Kyai Rangga memeriksa pasukannya yang terluka atau terbunuh saat pertempuran. 5 orang mengalami luka agak parah, 10 orang luka ringan, 3 orang tewas, dan 2 orang putus tangannya. Kyai Rangga memerintahkan Bhre Wiraguna dan pasukan yang tersisa untuk merawat yang terluka dan menguburkan yang tewas. Kemudian Kyai Rangga menghampiri pendekar berpakaian kulit ular, yang sejak tadi berdiam diri sambil berdiri mematung.
“Terimakasih atas bantuan anda, siapakah anda? Dan mengapa membantu kami?” tanya Kyai Rangga.
“Orang tuaku memberiku nama Badra, lengkapnya Badra Mandrawata. Aku hanya tidak suka ada pasukan lebih besar yang menyerang pasukan kecil. Lalu anda sendiri siapa dan hendak kemana? Mengapa bisa sampai di gua ini dan siapa yang menyerang anda?” ganti Badra yang mengajukan pertanyaan beruntun.
Kyai Rangga menjelaskan dengan singkat siapa dirinya dan kemana tujuannya. Dijelaskan pula tentang pasukan pemberontak pimpinan Sindurejo. Sambil menjelaskan Kyai Rangga memperhatikan sosok Badra yang berambut panjang, tangannya memegang tongkat dari bambu kuning. Tiba-tiba Kyai Rangga menyadari bahwa Badra buta kedua belah matanya. Diam-diam Kyai Rangga mengagumi kemampuan Badra yang melebihi orang normal.
“Lalu mengapa pasukan VOC muncul dari dalam gua dan langsung menyerang? Apa urusan mereka disini? Apa yang anda tahu tentang mereka?” tanya Kyai Rangga setelah selesai memperkenalkan diri dan menceritakan tujuan perjalannnya.
“Yang kutahu mereka adalah para pemberontak, mereka lari dari kapal dan membawa berpeti-peti emas yang seharusnya dikirim ke Batavia. Mereka bersembunyi di gua yang dianggap aman ini. Mereka bersembunyi di lembah rahasia di dalam gua ini, yang aku sendiri belum pernah ke sana. Mereka menembaki kita mungkin karena khawatir tempat persembunyian mereka diketahui,” jelas Badra.
“Peti-peti berisi emas? Lembah rahasia? Hmm…” Kyai Rangga rupanya tertarik mendengar cerita itu.
“Anda ingin ke lembah rahasia dan mengambil peti-peti itu?” pancing Badra.
“Hmm..Jika ada kesempatan, tetapi sekarang banyak anak buahku yang terluka dan aku sedang mengemban tugas yang tidak bisa ditunda. Mungkin lain kali saja, tapi tahukah anda berapa kekuatan pasukan VOC itu?” tanya Kyai Rangga dengan rasa penasaran.
“Jumlah mereka empat puluh orang. Tiga puluh tujuh orang sudah jadi mayat disini, jadi tinggal ada tiga orang yang ada di lembah rahasia!” kata Badra.
Walaupun Kyai Rangga telah melihat puluhan mayat yang ada di situ, dia sama sekali tidak menghitung jumlahnya. Sedangkan Badra yang buta dapat tepat menghitung jumlah mayat pasukan VOC yang ada disitu. Kekaguman Kyai Rangga terhadap Badra semakin bertambah.
“Sebenarnya kita dapat mengambil peti-peti itu dengan mudah. Tapi, seperti kukatakan tadi banyak anak buahku yang terluka dan aku harus bergegas ke Batavia. Lagipula ketiga orang itu tidak akan mungkin dapat membawa peti-peti itu sendiri,” kata Kyai Rangga.
“Lalu apa rencana anda selanjutnya?” tanya Badra.
“Aku akan melanjutkan perjalanan, setelah anak buahku selesai mengubur rekan-rekannya dan mengobati yang sakit,” kata Kyai Rangga sambil memandangi pasukannya yang masih sibuk.
“Aku akan menunggu,” kata Badra datar.
“Apa maksudmu?” tanya Kyai Rangga heran mendengar ucapan Badra.
“Jika boleh aku akan ikut kalian, ke Batavia, mungkin bantuanku diperlukan,” jawab Badra.
Kyai Rangga terperangah, dia tidak menyangka Badra akan menawarkan diri untuk ikut serta ke Batavia.
“Ya, ya..tentu saja, kamu boleh ikut, kami akan senang sekali. Tetapi masalahnya, kuda kami terbatas, kami tidak punya kuda cadangan,” kata Kyai Rangga.
“Jangan khawatir, aku punya kuda sendiri,” kata Badra sambil memasukkan tangganya ke mulutnya, dan kemudian terdengar suara suitan dari mulutnya. Sejurus kemudian terdengar derap kuda masuk ke dalam gua. Seekor kuda putih yang besar dan tegap datang menghampiri Badra.
“Jalak! Kemari!” kata Badra pada kuda yang bernama Jalak itu. Kuda itu mendekat, Badra mengelus surai kuda yang panjang dan berwarna putih itu.
“Kuda yang bagus,” puji Kyai Rangga sambil memperhatikan kuda putih yang memang benar-benar gagah itu.
Sementara itu, Herman Bondervijnon, Kapten pasukan VOC, bersama Otto Vollehaven, dan Pieter Cornelisz yang berada di lembah rahasia sedang mengalami masalah yang cukup pelik. Mereka adalah yang tersisa dari pasukan VOC, semua anggota pasukannya lainnya tewas dalam pertempuran melawan pasukan Kyai Rangga. Pieter mengalami luka yang cukup parah, dadanya tertembus tombak, darah terus keluar dari tubuhnya. Herman dan Otto berusaha keras untuk menghentikan pendarahan Pieter, tetapi lukanya cukup parah dan sudah cukup banyak kehilangan darah. Herman sudah berusaha menaburkan bubuk mesiu untuk menghentikan pendarahan, tetapi luka cukup besar sehingga darah terus mengalir. Pieter tampak lemas dan pucat, dia sudah tidak mengerang kesakitan, tubuhnya lemas dan lunglai. Tak lama kemudian detak jantungnya berhenti. Herman dan Otto menghela nafas panjang, dan membuat tanda salib dengan gerakan tangan.
“Sekarang tinggal kita berdua,” kata Herman.
“Ja, wat is uw plan? Apa rencanamu?” tanya Otto.
Herman tidak menjawab dia berdiri memandang ke sekeliling lembah rahasia yang luas itu. Kemudian dia memandang gundukan tanah tempat peti-peti berisi emas disembunyikan.
“Kita akan melanjutkan sesuai rencana kita semula, tanda bahaya telah kukirimkan, kita tinggal menunggu regu penyelamat, atau kita berangkat sendiri ke Batavia untuk melapor kepada Gubernur Jenderal Batavia,” kata Herman.
“Tapi,….aku khawatir kita malah akan disidang dan dipenjara karena kelalaian kita,” Otto mengungkapkan kekhawatirannya.
“Ja,..redelijk, masuk akal, kekhawatiranmu masuk akal. Lalu menurutmu bagaimana?”
“Sebaiknya kita segera membeli kapal, dan kita langsung menuju Portugal sesuai rencana kita semula. Kita bisa membayar penduduk pribumi untuk mencari kapal beserta awak kapalnya,” Otto menjelaskan rencananya.
“Lalu, siapa yang akan membongkar peti-peti yang sudah terlanjur tertanam begitu dalam itu? Kita berdua takkan mampu. Kalau kita menyuruh orang pribumi, kita bisa dicurigai. Kita harus tampil di hadapan orang pribumi sebagai seorang saudagar Belanda yang kaya, bukan sebagai seorang pencuri. Paham maksudku?” kata Herman.
Otto Vollenhaven tersenyum misterius. Tangannya masuk kedalam bajunya dan mengeluarkan tabung kecil beserta jarum suntik.
“Wat is dat? Apa itu?” tanya Herman keheranan.
“Serum kehidupan!” kata Otto sambil mengangkat tabung kecil yang dipegangnya.
“Apa?” Herman semakin keheranan.
“Kamu sudah pernah mendengarnya? Salah seorang temanku, Victor Frankenstein, menemukan serum ini untuk menghidupkan kekasihnya yang meninggal. Dia melakukan percobaan yang membuahkan hasil yang cukup memuaskan walaupun kekasihnya tidak bisa hidup lagi. Lalu aku minta ramuannya dan dia memberiku ini,” Otto menjelaskan.
“Kamu sudah pernah mencobanya?” tanya Herman.
“Belum. Aku akan mencobanya sekarang!” kata Otto dengan mantap.
“Kamu akan menghidupkan Peter?” tanya Herman terbelalak.
“Ja, mari kita coba!” Otto menyiapkan jarum suntiknya memauskkan serum kehidupan ke dalam jarum suntik dan mulai menyuntik lengan Pieter.
Otto dan Herman menunggu reaksi serum itu dengan berdebar-debar. Selama beberapa menit tidak ada reaksi apapun. Tubuh Pieter tetap terbujur kaku. Otto memperhatikan sekujur tubuh Pieter tanpa berkedip, waktu berjalan terasa lambat baginya. Herman juga terlihat tegang, tampak butiran keringat mengucur di dahinya.
“Hei, lihat!” teriak Herman tiba-tiba sambil menujuk wajah Pieter.
Mata Pieter mendadak terbuka lebar, wajahnya yang pucat perlahan memerah. Pieter segera bangun dan berdiri tegak, tatapan matanya kosong.
“Pieter, dengar aku. Sekarang aku adalah tuanmu, segala perintahku harus kamu turuti!” Otto memberi perintah kepada Pieter.
“Ja, tuan,” kata Pieter dengan suara berat dan datar.
“Ambil cangkul dan segera gali peti-peti di gundukan itu!” perintah Otto sambil menunjuk ke arah gundukan tanah tempat peti-peti ditimbun.
“Ja,” kata Pieter sambil mengambil cangkul yang tak jauh darinya dan kemudian berjalan menuju gundukan tanah, lalu mulai menggali.
Herman terpana, takjub, melihat semua itu. Dia benar-benar tidak menyangka serum kehidupan akan bekerja seperti itu.
“Verbazend, mengagumkan! Apakah dia akan terus seperti itu?” tanya Herman.
“Aku sendiri tidak tahu berapa lama khasiat serum itu, tapi kuharapkan dapat berlangsung agak lama, sampai pekerjaan kita selesai,” kata Otto.
“Kamu masih punya banyak persediaan serum itu?” tanya Herman.
“Banyak, cukup banyak untuk menghidupkan semua pasukan kita!” kata Otto dengan mantap.
“Kalau begitu, tunggu apa lagi, ayo kita bangkitkan mereka semua!”
Matahari mulai bergeser ke barat. Tetapi di dalam gua Sindanglaut suasana tetap gelap tidak ada bedanya siang dan malam. Rombongan Kyai Rangga telah berada di pintu keluar gua. Tetapi suasana cukup gelap, mereka tidak bisa melempar-lempar peti tanpa ada penerangan.“Buat obor!” perintah Kyai Rangga.Dwipangga segera mengeluarkan batu pemantik kemudian mencoba membuat api. Tetapi gagal, lagipula tidak ada ranting kering atau apa pun yang dapat digunakan untuk menyalakan api di gua itu.“Maaf Kanjeng Tumenggung, saya tidak dapat menyalakan api,” kata Dwipangga merasa menyesal.“Hmm, tidak ada jalan lain, kita harus membawanya keluar dengan panduan Badra. Jadi kita terpaksa harus bolak-balik masuk ke dalam gua untuk mengeluarkan peti-peti ini,” kata Kyai Rangga.Maka ke sepuluh orang itu harus empat kali bolak-balik keluar masuk gua untuk mengeluarkan peti-peti itu. Untungnya di luar ada Lasmini dan Suzane yang sigap membantu, sehingga mereka dapat lebih cepat mengeluarkan peti-peti itu
Suasana mendadak hening. Semua mata menatap pada tumpukan peti yang terbuat dari baja tahan karat itu. Di atas masing-masing peti terdapat simbol VOC berwarna keemasan. Ada pegangan di kanan dan kirinya untuk mengangkat peti itu. Di bagian tutupnya ada gembok besar berwarna perak. Di gembok itu juga ada logo VOC, walau samar karena tertutup tanah. Semuanya ada 80 peti.“Sarip, coba kau buka salah satu peti itu,” kata Kyai Rangga.Sarip segera menghunus goloknya dan menebas gembok yang mengunci peti itu dengan kekuatan penuh.Triiingg!! Terdengar suara benturan keras, gembok terlepas dari tempatnya. Semua penasaran ingin segera melihat isinya.“Buka peti itu!” kata Kyai Rangga yang juga ingin segera melihat isi peti itu.Sarip segera membuka peti itu dan membuat semuanya terbelalak. Batangan-batangan emas berkilauan terdapat dalam peti itu. Sarip mengambil satu batang dan mengamatinya dengan saksama. Ada tulisan dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Sarip dan ada lambang piramida ter
Rombongan Kyai Rangga mulai menjelajahi daratan aneh itu. Mereka berjalan dengan pelan mengikuti Badra yang tetap berjalan di depan. Kyai Rangga berada tepat di samping Badra.“Kamu yakin sudah tahu tempatnya?” tanya Kyai Rangga.“Ya, sangat yakin karena waktu itu aku berada di sini dan mengamati setiap gerakan pasukan VOC yang menyembunyikan harta karun itu. Dan jangan lupa, Wanara juga melihatnya!” kata Badra sambil menunjuk Wanara di pundaknya.Wanara melompat-lompat kecil sambil meringis dan mengeluarkan bunyinya yang khas, seolah mengiyakan kata-kata Badra.Anggota rombongan yang lain mengikuti Badra dan Kyai Rangga sambil melihat-lihat disekitar mereka dengan penuh ketakjuban.“Jangan menyentuh apa pun, dan jangan mengambil apa pun yang ada di sini,” kata Kyai Rangga mengingatkan pada rombongannya.“Mengapa?” tanya Jampang.“Sudah, patuhi saja, jika tidak ingin ada kejadian buruk,” kata Suropati sambil mengingat kejadian yang pernah dialaminya saat memasuki gua itu.Walaupun kur
Sindanglaut. Siang hari. Cuaca sangat cerah, tidak ada awan sama sekali di angkasa, ketika Kyai Rangga dan rombongannya mendarat di pantai Sindanglaut. mereka segera berjalan menuju ke arah gua di tepi pantai itu. Mereka berjalan beriringan, sampai di depan gua mereka berhenti. “Sebaiknya hanya laki-laki saja yang masuk,” kata Kyai Rangga setelah berada di depan gua. Semua pandangan tertuju pada Lasmini dan Suzane. Tampaknya semua setuju bahwa kedua wanita itu tidak ikut masuk ke dalam gua. “Bagaimana?” tanya Kyai Rangga. “Ya, kami akan menunggu di luar gua sambil berjaga-jaga. Lagipula Suzane membawa anak kecil,” kata Lasmini. Semua setuju untuk meninggalkan Lasmini, Suzane dan si kecil Roberth di luar gua. Kyai Rangga memimpin di depan diikuti oleh Suropati, Sakera, Sarip, Dwipangga, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Ketika mereka hampir masuk gua mendadak terdengar sebuah suara. “Aku juga ikut, sudah lama aku m
Tengah laut. Siang hari. Di atas binatang raksasa berbentuk pulau. Rombongan Kyai Rangga tengah melaju dengan kencang menuju ke Sindanglaut. Semua masih terdiam setelah Kyai Rangga menyatakan bahwa Lembu Sora adalah seorang pengkhianat. Mereka semua terkejut dan tidak menyangka bahwa Lembu Sora, yang selama ini merupakan orang kepercayaan Kyai Rangga adalah pengkhianat. “Sejak kapan Kanjeng Tumenggung mengetahui kalau Lembu Sora adalah pengkhianat?” tanya Suropati penasaran. “Bukankah dia ikut membunuh Kanigoro?” Sarip juga ikut mengajukan pertanyaan. Kyai Rangga tidak langsung menjawab, dia memandang semua yang ada, semua orang yang telah ikut dalam penyerangan ke Batavia. “Hmm, akan kuc
Kyai Rangga segera berlari menuju ke pulau hidup, diikuti oleh Suropati, Sakera, Dwipangga, Suzane yang menggendong Roberth, Jampang, Pitung, Rais, dan Ji’i. Mereka berlari dengan cepat tanpa melihat ke belakang. “Tunggu!” teriak Sarip yang tiba-tiba muncul dari belakang bersama Lasmini. “Kami ikut!” teriak Sarip sambil berlari mengejar rombongan Kyai Rangga di depan. “Ya, ayo cepat!” teriak Kyai Rangga, menoleh sambil terus berlari. Sarip dan Lasmini segera berlari mengikuti Kyai Rangga dan yang lainnya. Dalam sekejap rombongan itu telah naik ke atas pulau itu. “Semua ke