Share

Bab 6 - Kena kamu, Mas!

"Kamu pasti terlalu capek, hingga hormonnya jadi tak jelas seperti ini." ucapnya sambil meraih daguku dan mendekati bibirnya kembali.

Tubuhku bergidik, jantung bertalu-talu saat melihat bibir Mas Rudi. Hati kembali teremas-remas saat mengingat ucapan Dila, tentang mimik s*su.

"Iya, kamu benar. Aku hanya terlalu capek," aku memalingkan wajah, membuat kecupan itu mendarat dirambut tak mengenai bibirku.

"Sebaiknya aku tidur. Besok ada rapat," segara aku menarik selimut lalu merebahkan tubuh. Terdengar helaan panjang dari Mas Rudi, menandakan dia kecewa dengan penolakanku. 

Biarlah aku berdosa sudah mengabaikan keinginan suami. Aku bukan perempuan sholekha yang bisa menurut saja, apapun perintah Mas Rudi.

Pagi ini aku bangun kesiangan, sesampainya dimeja makan penghuni rumah sudah menduduki dikursinya masing-masing. Mas Rudi tersenyum melihat keberadaanku, lalu menyodorkan nasi goreng tanpa kecap dihadapanku.

"Bik Narti ..." ucapku setelah menghempaskan bokong diatas kursi.

"Iya, Neng?" Bik Narti mendekat kearahku. "Mau susu atau teh hangat?" ucapnya ramah.

"Mm ..." aku bergumam sambil menatap Mas Rudi yang tersenyum kearahku. "Mulai besok, Bibik saya liburkan sementara ya. Banyak sekali pengeluaran. Saya harap Bibik bisa memaklumi nya." ucapku sambil tersenyum tipis. Bik Narti nampak terpaku ditempat, terkejut dengan ucapanku.

Sementara Mas Rudi dan Hella, kompak menghentikan aktifitasnya masing-masing.

"Tapi, Neng ..."

"Saya tidak ingin selalu menanggung biaya kebutuhan rumah. Mulai saat ini akan saya sesuaikan pengeluaran dari penghasilan Mas Rudi. Lagi pun, ada Hella. Saya yakin dia mau membantu merapihkan atau sekedar membersihkan rumah ini." ucapku sambil menatap kearah Hella, yang memandang penuh tanda tanya.

"Bukan begitu, Mas?" kali ini aku menatap kearah Mas Rudi.

"Eh ... Mmm," wajah itu terlihat berfikir. "Kalau Mas, terserah kamu saja." jawabnya sambil berusaha melempar senyum.

"Trimakasih ya, Bik. Nanti jika saya butuh tenaga Bibik, pasti akan saya hubungi." ucapku dengan senyum tipis. Wajah Bik Narti terlihat sangat sedih, meski terlihat keberatan akhirnya dia mengangguk juga.

Aku melirik pada Hella yang memainkan sendok diatas piring, aku tersenyum sinis melihat wajah muramnya.

Sudah saatnya kau menjadi babu dirumahku. Hidupmu sudah terlalu enak, makan tinggal makan. Semua urusan perut, kecantikan dan segala tetek bengek aku yang menanggung. Tak punya hati, beraninya merusak rumah tanggaku. Entah siapa yang menggoda terlebih dahulu, yang pasti keduanya sudah tidak punya hati dan perasaan. Sama-sama serigala berbulu domba.

"Setelah semuanya selesai, Bibik boleh pulang ya." ucapku lagi.

"Iya, Neng." jawab Bik Narti sambil menundukan wajah.

Maaf Bik, bukan tega kepadamu. Hanya saja aku sedang merencanakan sesuatu.

Selesai menghabiskan sarapan, aku berjalan menuju kamar Bik Narti. Langkahku terhenti saat mendengar isakan dari kamarnya.

Aaah. Maafkan aku, Bik.

"Boleh saya masuk?" ucapku setelah mengetuk pintu dua kali. Bik Narti menoleh, dengan cepat tangannya menghapus jejak air mata dipipinya.

"Silahkan, Neng ..." jawabnya dengan suara parau.

"Ini untuk, Bibik." aku menyodorkan amplop berisi gajinya bulan depan. Tentu saja aku tak ingin membuat Bik Narti kebingungan melanjutkan hidup. Setidaknya aku memberi sedikit modal untuknya jika mau membuka usaha.

"Kenapa saya dipecat, Neng?" tanyanya dengan mata sembab berkaca-kaca. Aku hanya tersenyum, tak bisa bicara yang sejujurnya.

"Maaf, Bik. Saya benar-benar pusing setiap akhir bulan. Cicilan dan segala kebutuhan pokok semakin bertambah. Saya tidak mau setiap bulan sakit karna memikirkan hal ini," ucapku beralasan.

"Bibik terima ya?" aku kembali mendekatkan amplop ini.

"Makasih, Neng. Bibik pamit ya," ucapnya pelan.

"Iya, hati-hati Bik. Salam untuk keluarga," balasku.

Aku segera keluar, membiarkan Bik Narti mengemasi pakaiannya. Saat membuka pintu aku lihat Hella berpura main dengan Hamdan disamping pintu kamar Bik Narti.

Ck! Sudah aku duga. Pasti ada telinga yang ingin mendengar pembicaraanku.

"Karna Bik Narti sudah tidak ada, Mbak harap kamu mengerti apa yang harus kamu lakukan!" aku menatap bola mata Hella.

"Iya, Mbak." sahutnya sambil tersenyum. Senyum palsu lebih tepatnya.

***Ofd.

Pulang kerja aku dapati rumah tidak seperti biasanya, sisa makanan berceceran diatas lantai, bahkan mainan Hamdan banyak yang terserak diatas meja ruang tamu. Aku jalan mengendap dan berjingjat, mencari tahu keberadaan Hella. Adik angkat terkutukku.

"Aku capek, Mas! Rumah ini terlalu besar. Pokoknya aku tidak mau tahu, Mas harus bujuk Mbak Rissa untuk membawa pulang Bik Narti!" dari ruang tengah aku bisa mendengar suara Hella.

....

"Halahhh itu pasti cuma alasan. Gaji Mbak Rissa itu besar. Masa cuma bayar gaji Mbak Narti saja keberatan!" suara Hella terdengar marah.

....

"Aku disini seperti pembantu. Baru tiga hari Bik Narti pergi, badanku sudah pegal-pegal sakit semua. Gimana kalau sebulan? Aku tidak sanggup!"

....

"Sabar teruss, lama-lama Mbak Rissa itu bisa membunuhku. Atau dia memang sengaja memecat Bik Narti. Dia pasti iri kan dengan kecantikan aku, dia ingin aku terlihat kumal dengan menjadikan aku pembantu gratisan!"

Aku mendecis sinis, sudah lama dia hidup seperti nyonya. Baru sebentar ditinggal Bik Narti dia langsung kalang kabut. Padahal sebelum tinggal disini, dia sudah terbiasa mengerjakan tugas rumah. Sudah lupa daratan ternyata.

"Cobalah, Mas bujuk dia. Bisa rusak kulit tanganku, setiap hari bertempur dengan segudang pekerjaan ini." keluh Hella, tak tahu diri.

Entah apa jawaban dari Mas Rudi, aku memilih untuk menaiki tangga masuk kedalam kamar. Rasanya cukup menyenangkan membuat valak itu kerepotan.

Menyegarkan tubuh dibawar guyuran shower, mataku terpejam menikmati setiap tetes air yang menyentuh kulit tubuhku. Sudah lama aku tidak memanjakan diri, mempercantik wajah dan tubuh rampingku.

Hari libur besok, aku akan meluangkan waktu untuk kesalon. Sudah lama sekali rasanya aku tak menginjakkan kaki disana.

"Mah ..." Mas Rudi tersenyum, saat melihat aku membuka pintu toilet.

"Hmm," aku hanya bergumam lalu melangkah menuju lemari.

"Sudah bersih ya, tuh sudah keramas." ucapnya dengan tatapan genit. Aku hanya tersenyum, mengambil piyama yang masih terbungkus plastik dari lemari.

Kalau pun sudah, apa aku mau? Tidak!

Sengaja aku melepas handuk didepannya, lalu memakai piyama dengan gaya yang aduhai. Jakun itu terlihat naik turun, tanpa kata dia langsung mendekat hendak menerkamku.

Aishhh ... jijik, Mas!

"Kamu bau kecut, Mas. Sana mandi dulu," ucapku seraya menghindar lalu membuka pintu kamar. Malas sekali melayaninya.

"Kamu masak apa, La?" tanyaku. Hella menoleh, memperhatikan piyama baru yang aku kenakan.

"Eh ini, Mbak. Telur dadar sama sayur toge." jawabnya sambil mengocok telur didalam mangkuk. Aku tersenyum miris, melihat penampilan kumalnya.

"Wah sepertinya enak. Cepat masaknya, aku sudah laper." aku tersenyum manis. Hella hanya tersenyum tipis lalu menghidupkan kompor.

"Tante, Hamdan pup!" seru Dila dari ruang tengah. Hella menghela nafas, menghapus keringat dikening menggunakan punggung tangan lalu mematikan kompor.

"Ada-ada saja, sih." gumamnya terlihat kesal. Aku tersenyum miring, mengekori langkahnya.

"Duh, berantakan sekali rumah ini. Seperti kapal pecah." ucapku sambil berkacak pinggang.

"La ..." Hella menghentikan langkah saat ingin berjalan menuju toilet.

"Nanti habis masak tolong dirapihkan ya mainan Hamdan ini, aku tidak mau rumah ini kotor dan berantakan." ucapku. Raut Hella semakin muram, dengan terpaksa dia menganggukkan kepalanya.

"Jalan keluar yuk, sayang." aku menggandeng tangan Dila.

Aku tersenyum manis lalu berjalan keluar rumah. "Kita makan bakso di gang sebelah yuk, Dil." ucapku sambil menuntun tangan Dila.

Boleh saja aku dirumah makan seadanya, tapi diluar? Tentu saja tidak. Untuk apa aku kerja jika aku masih perhitungan dengan urusan perut. Aku tidak sepelit itu. Biar saja mereka makan seadanya, berlaukan garam atau kecap aku tidak peduli. Yang penting aku dan Dila tidak.

Jarak antar rumah dan kedai bakso hanya memakan waktu sepuluh menit berjalan kaki, sepanjang perjalanan banyak anak-anak yang bermain dilapangan atau halaman rumahnya.

"Mah, Bik Narti kenapa dipecat sih. Kasihan Tante, ngurus rumah sama Dedek Hamdan. Setiap hari marah-marah terus," tanya Dila saat kami sedang menunggu pesanan datang.

"Tante masih suka dipijit sama Ayah tidak?" aku mengalihkan topik pembicaraan.

"Tidak tahu, Mah." jawab Dila sambil memainkan sedotan disampingnya.

"Kirain masih," ucapku.

"Dila habis ngaji kan langsung tidur, Mah. Jadi tidak tahu," jawab bocah polos itu.

Bik Narti sudah keluar dari rumah, seharusnya ini menjadi kesempatan yang baik untuk mereka berdua. Tidak mungkin mereka tidak macam-macam.

Apa aku harus memasang cctv?

"Silahkan, Mbak." ucap penjual bakso dengan senyum ramah.

"Makasih, Mas." jawabku.

"Yang kemarin itu Adiknya ya, Mbak?" tanya penjual bakso. Alisku menaut, tak mengerti ucapannya.

"Itu ... kemarin Mas Rudi mampir makan bakso sama perempuan bawa anak. Istri saya sudah mikir yang tidak-tidak."

"Oh ..." bibirku membulat dengan hati yang bergemuruh.

Bisa-bisanya mereka diam-diam makan bakso tanpa izin dariku. Benar-benar tidak dianggap sama sekali kehadiranku.

Selesai menyantap bakso kami langsung kembali pulang, langkahku terhenti saat membuka pintu rumah.

"Tante kenapa nangis?"

Hella yang ada didalam pelukan Mas Rudi terlonjak kaget, pun dengan Mas Rudi yang tak kalah pucat dari gundiknya.

Kena kamu, Mas!

***Ofd.

Malam Mak.. maaf telat update. Masih ada yang melek kah?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nur Bilal Arsakha Hizam
lanjut ceritanya dong ka
goodnovel comment avatar
Arinda
......usir dan ceraikan saja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status