Rin membuka mata perlahan saat dirinya merasakan percikan air yang membasahi wajahnya.
Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang nampak asing dengan wajah linglung."Gadis ini sudah bangun, Bos!" pekik seorang pria bertubuh kekar hingga membuat Rin tersentak kaget.Seorang pria berjalan mendekat ke arah Rin dan menatap nanar ke arah gadis yang pernah ditemuinya itu.Sama seperti Ron yang masih tak menyangka saat bertemu kembali dengan Rin, gadis itu pun ikut menampakkan wajah bingung sekaligus terkejut saat dirinya bertemu pandang dengan sosok pria yang dijumpainya beberapa hari yang lalu di kampus.Rin mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, namun sayangnya gadis itu sudah terlilit dengan tali yang membuat Rin tak dapat bergerak bebas."Aku melihatmu sebelumnya di kampus! Kau ... Malveron? Bisa kau berikan penjelasan yang masuk akal atas tindakanmu padaku?" ketus Rin sembari melotot ke arah pria berwajah dingin itu."Penjelasan? Kau berani menuntut penjelasan dariku? Seharusnya aku yang menuntut penjelasan darimu! Apa kau terlibat dalam pembunuhan calon istriku? Apa kau bersekongkol dengan pembunuh itu?!" pekik Ron tak dapat mengendalikan amarahnya saat dirinya teringat dengan kejadian naas yang menimpa Lilian beberapa hari yang lalu.Pria yang sebentar lagi akan menikah itu, justru kehilangan sang calon istri dan menyaksikan sendiri saat wanita yang dicintainya meregang nyawa."P-pembunuhan apa? Aku hanya mahasiswi biasa—"Brak!Ron menendang kursi yang berada tak jauh darinya, hingga bangku itu terpental ke arah tembok ruangan tempat dirinya menyekap Rin.Tubuh Rin langsung bergetar hebat dan air mata mengucur begitu saja membasahi wajah Rin tanpa peringatan."Aku membawamu kemari bukan untuk mendengarkan ocehan omong kosong darimu! Katakan padaku di mana pembunuh itu?!" teriak Ron tepat di depan wajah Rin."Aku benar-benar tidak tahu apa maksudmu—"Prang!Kali ini Ron melempar vas kecil yang tergeletak di atas meja dan melemparnya ke arah kaca besar yang tersandar di tembok.Rin makin gemetar ketakutan dan tangis sesenggukan pun tak terhindarkan lagi. "Aku tidak tahu apa maksudmu! Tolong lepaskan aku!" pinta Rin dengan air mata mengucur deras."Melepaskan? Aku tidak akan melepaskanmu sebelum aku berhasil menemukan pembunuh itu!" sentak Ron."Pembunuh siapa yang kau maksud? Aku tidak mengerti—""Siapa lagi kalau bukan pria brengsek bernama Ren!" potong Ron cepat.Deg!Jantung Rin langsung berpacu kencang begitu ia mendengar nama sang kakak disebut."Apa ini alasan Ren tidak pulang selama beberapa hari ini? Apa dia benar-benar terlibat masalah? Apa dia ... benar-benar seorang pembunuh seperti yang dikatakan oleh orang ini?" batin Rin berkecamuk."Aku akan melepaskanmu setelah aku mencincang pria itu! Bertahanlah, Nona! Aku akan membalas pria itu dengan cara yang lebih menyakitkan!" tukas Ron penuh dendam."Kakakku bukan pembunuh! Kau pasti salah orang!" pekik Rin mencoba menyangkal tuduhan Ron."Dia memang pembunuh! Dan dia sudah membunuh calon istriku di depan mataku sendiri! Kau masih berharap aku akan melepaskanmu! Berdoa saja aku tidak akan melemparmu ke jurang besok pagi!" ancam Ron."Ren bukan pembunuh! Kakakku bukan pembunuh—""Diam!" hardik Ron mulai kehilangan kesabaran."Kau benar-benar tidak tahu apapun mengenai pria yang kau panggil dengan sebutan kakak?" sinis Ron."Pasti ada kesalahpahaman di sini. Aku akan membantumu mencari kakakku. Aku yakin kakakku tidak mungkin melakukan hal itu!" bujuk Rin mencoba menjelaskan.Namun, apapun yang dikatakan oleh gadis itu, tentu tak akan mengubah pemikiran Ron sedikitpun.Hal yang ada di pikirannya saat ini hanyalah bagaimana caranya ia bisa menemukan Ren dan memotong-motong tubuh pria sial itu untuk membalaskan kematian Lilian."Kakakmu memang hanya kaki tangan! Aku tidak mengenal kakakmu dan aku yakin ada orang di sekitarku di balik kematian Lilian! Tapi pria brengsek itu tetap harus bertanggungjawab atas kematian calon istriku!" sergah Ren dengan sorot mata penuh amarah."Maaf, sudah membuatmu bernasib sial! Tapi pria itu juga harus merasakan rasa sakit yang setimpal!" imbuhnya sembari mengambil pisau kecil di sakunya."Kira-kira bagaimana reaksi kakakmu nanti jika melihat wajah cantik adiknya yang sudah rusak karena sayatan pisau?" lanjut Ron seraya mengarahkan pisau ke wajah mulus Rin."A-apa yang ingin kau lakukan?" tanya Rin dengan suara bergetar."Pilihlah! Kau ingin menerima sayatan di wajah, atau di organ dalam perutmu?" bisik Ron membuat Rin bergidik ngeri.Gadis itu hanya bisa menutup mata tanpa bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan diri. "Apa yang sudah kau lakukan, Ren! Aku akan menghajarmu karena sudah melibatkanku dalam kesialan ini!" jerit Rin dalam hati.***"K-kau benar-benar akan melukai gadis kecil yang tidak bersalah? Aku tidak mengenalmu! Aku tidak tahu apapun tentangmu! Aku tidak ada hubungannya sama sekali!" pekik Rin dengan tangis yang sudah pecah, memenuhi seluruh ruangan tempatnya disekap."Kalau begitu apa salah Lilian? Apa salah calon istriku? Calon istriku juga tidak memiliki kesalahan apapun pada kakakmu! Calon istriku juga tidak mengenal kakakmu! Tapi kenapa kakakmu seenaknya mengarah pistol padanya?!" amuk Ron dengan teriakan kencang yang begitu memekakkan telinga.Ruangan itu kini dipenuhi dengan jeritan serta tangisan antara Rin dan juga Ron. Kedua orang itu sama-sama frustasi menghadapi keadaan yang membuat mereka terjepit dalam situasi membingungkan."Kau hanya butuh objek untuk disalahkan! Iya, kan? Kau hanya butuh pelampiasan, kan? Kau pikir aku mau menjadi pelampiasan kemarahanmu yang tidak jelas?" pekik Rin memberanikan diri meninggikan suara di hadapan Ron."Diam atau aku akan benar-benar mencabik-cabik isi perutm
Cklek!Hari sudah larut. Ron membuka pintu perlahan, kemudian melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan kecil tempat ia mengurung Rin.Tak tega melihat Rin yang terus diikat sepanjang hari, Ron pun berbaik hati melepas ikatan tali yang membelit tangan serta kaki Rin dengan kencang.Pria itu menatap sejenak mata bengkak Rin, kemudian mengusap lembut pipi Rin yang masih basah.Ron mengangkat tubuh mungil Rin dan memindahkan gadis itu menuju salah satu kamar kosong yang berada dalam rumahnya.Rin yang sudah lemas karena kelelahan menangis dan kelaparan, tak terbangun sedetikpun saat dirinya dipindahkan oleh Ron ruangan lain."Kenapa harus kau?" gumam Ron mulai berbelas kasih pada gadis kecil yang sudah menjadi pelampiasan amarahnya itu.Pria itu mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Rin di kampus beberapa hari yang lalu saat terjadi keributan di laboratorium universitas."Kau sudah menyelesaikan masalah laboratorium? Atau kau membiarkan dirimu menjadi kambing hitam?" gumam Ron lag
Pagi hari, Ron sudah berdiri di depan pintu kamar Rin dengan membawa nampan berisi penuh makanan.Pria itu mematung sejenak di depan kamar, tanpa langsung membuka pintu ruangan yang ditempati oleh tawanannya itu."Kenapa aku harus repot merawat gadis itu?" gerutu Ron sembari menatap sinis piring makanan yang dibawanya.Setelah mengalami perang batin beberapa saat, akhirnya Ron membuka kamar tempat Rin beristirahat. Pandangan mata pria itu langsung tertuju pada tubuh mungil Rin yang terlentang di atas ranjang."Wajahnya pucat sekali," gumam Ron makin tak tega melihat bibir Rin yang sudah pucat pasi."Hei! Bangun!" Ron mencolek bahu Rin dan mencoba mengguncang-guncangkan tubuh gadis kecil itu perlahan untuk membangunkannya.Beberapa kali Ron mencoba mengguncangkan tubuh Rin, namun sayangnya gadis itu tak menunjukkan pergerakan sekecil apapun.Ron terus mengoceh untuk membangunkan gadis berwajah pucat itu, tapi Rin tak memberikan sahutan maupun respon apapun."Hei, kau baik-baik saja, ka
Ron duduk termenung di ruang kerjanya sembari menatap berkas-berkas di mejanya dengan wajah malas. Pria itu masih tak bersemangat melakukan rutinitas, setelah sibuk mengurus pemakaman calon istrinya yang baru saja berlangsung beberapa hari yang lalu.Tok, tok!Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan pria hampir menginjak usia kepala tiga itu.Ron melirik ke arah pintu dengan malas, begitu ia melihat sosok sang asisten dari balik pintu."Bos, hari ini ada—""Tolak!" potong Ron cepat, sebelum asistennya menyelesaikan kalimatnya.Keringat dingin mulai mengucur deras membasahi pelipis Han, asisten dari Ron. Pria itu menghela nafas sejenak, sebelum ia kembali membuka mulut untuk memberikan laporan berikutnya."Proyek dari—""Tolak!"Glek! Han menelan ludah kasar begitu perkataan kembali dipotong oleh sang majikan."Perkebunan dari keluarga—""Bakar saja!" tukas Ron sembari melirik ke arah Han dengan mata melotot yang menyeramkan."Apa salah dan dosaku, Tuhan!" batin Han merinding ketakutan
"Ceburkan saja aku!" tantang Rin pada Ron.Ron sontak melotot ke arah Rin dan beradu pandang dengan gadis yang tengah tergantung di tiang jembatan itu."Aku juga sudah bosan hidup! Ceburkan saja aku!" ujar Rin tanpa rasa takut."Kau yakin? Air di bawah sana bisa membuatmu membeku dan kehabisan nafas. Kau ingin mencobanya?" sergah Ron, kemudian mengendurkan tali yang mengikat Rin hingga membuat gadis itu turun beberapa centi dari tempat dirinya digantung."Aakkhh!" Gadis itu sontak memekik kencang saat dirinya hampir terjun bebas ke bawah jembatan."Masih ingin mencobanya?" ledek Ron sembari menampakkan tawa jahatnya di depan Rin."Dasar pengecut! Kau sebut dirimu pria, hah?! Lebih baik kau ganti saja pakaianmu dengan rok sana! Beraninya menindas gadis kecil yang lemah!" gerutu Rin tak merasa takut pada Ron meskipun hidupnya sudah terancam."Pengecut kau bilang?"Ron yang sudah terlahap oleh amarah, tanpa sadar menjatuhkan Rin ke dalam sungai besar di bawah jembatan begitu saja tanpa s
Ron berlari secepat mungkin menuju jalan raya dan menarik tubuh Rin untuk menepi."Kau ini sudah gila, ya?" sentak Ron pada gadis kecil yang hampir saja bunuh diri itu."Aku hanya mengabulkan keinginanmu! Ini yang kau mau, kan?" sungut Rin tanpa takut."Tundukkan pandangan matamu! Berani sekali kau melotot padaku! Kau tidak tahu siapa aku?" sentak Ron hampir saja mencolok manik mata bening milik Rin yang menatapnya tanpa berkedip."Memangnya kau siapa?" cibir Rin dengan nada meremehkan."Aku adalah -@$#_@&!"Perkataan Ron menjadi terdengar tidak jelas karena tiba-tiba sebuah truk besar dengan suara bising melintas di dekat mereka."Apa? Aku apa?" tanya Rin lagi."Aku seorang 1?@€"Ucapan Ron kembali terdengar samar-samar karena mendadak sebuah bus besar membunyikan klakson yang bersuara nyaring."Kau ini berbicara apa sebenarnya?" tukas Rin mulai lelah berdebat dengan Ron."Sial! Aku hanya Ingin mengatakan kalau aku &@_?7%√¢!"Kesabaran Ron hampir habis karena ucapannya selalu saja t
"Sudah berapa hari kau bekerja di sini? Bisakah kau bawa aku keluar dari sini? Bisa kau beritahu aku pintu keluar yang biasa digunakan pelayan?" cecar Rin.Mungkin dengan adanya Linda, Rin bisa kabur dengan mudah dari cengkeraman Ron. Terlebih lagi, saat ini Rin sudah tidak dikurung dan dapat berkeliaran dengan bebas di area rumah Ron."Pintu keluar ada di belakang, di dekat dapur. Pelayan biasa keluar masuk lewat pintu itu," tukas Linda santai."Terima kasih!"Rin langsung berlari menuju dapur yang dimaksud oleh Linda. Senyum gadis itu mulai mengembang begitu Rin berhasil menemukan dapur yang memiliki pintu kecil menuju halaman belakang kediaman Ron.Rin membuka pintu kecil itu dengan penuh suka cita tanpa menduga ada seorang pria yang berdiri tepat di gerbang halaman belakang dan melambaikan tangan dengan ekspresi wajah mengejek pada Rin.Siapa lagi pria yang berdiri di depan pintu gerbang itu jika bukan sang pemilik rumah, Malveron.'Sial! Kenapa pria itu ada di sana?' jerit Rin da
Ron segera mengambil handuk dan melemparnya tepat ke kepala Rin. Pria itu nampak salah tingkah di depan Rin dan terus berusaha mengalihkan pandangan dari pakaian basah gadis itu."Lepas baju basahmu itu! Kau bisa membuat lantai kamarku banjir!" omel Ron, kemudian meninggalkan Rin yang masih mematung di dalam kamar mandi."Apa yang kau pikirkan, Ron? Singkirkan pikiran kotormu itu!" gerutu Ron pada dirinya sendiri.Pria itu duduk dengan gelisah di dalam kamarnya hingga akhirnya Rin keluar dari kamar mandi dengan berselimutkan handuk dan pergi meninggalkan kamar Ron."Aku pergi," pamit Rin sekenanya."Pergi ya pergi saja! Jangan lupa bawa keluar baju basahmu!" sungut Ron."Aku tahu!"Gadis itu membuka pintu kamar, tempat dirinya dikurung sebelumnya. Rin segera membuka lemari pakaian yang terpajang di kamarnya, namun sayangnya tak ada satupun pakaian yang menggantung di sana."Apa-apaan ini?" gerutu Rin kesal saat tak menemukan satu pakaian pun yang bisa ia kenakan.Gadis itu pun keluar