"K-kau benar-benar akan melukai gadis kecil yang tidak bersalah? Aku tidak mengenalmu! Aku tidak tahu apapun tentangmu! Aku tidak ada hubungannya sama sekali!" pekik Rin dengan tangis yang sudah pecah, memenuhi seluruh ruangan tempatnya disekap.
"Kalau begitu apa salah Lilian? Apa salah calon istriku? Calon istriku juga tidak memiliki kesalahan apapun pada kakakmu! Calon istriku juga tidak mengenal kakakmu! Tapi kenapa kakakmu seenaknya mengarah pistol padanya?!" amuk Ron dengan teriakan kencang yang begitu memekakkan telinga.Ruangan itu kini dipenuhi dengan jeritan serta tangisan antara Rin dan juga Ron. Kedua orang itu sama-sama frustasi menghadapi keadaan yang membuat mereka terjepit dalam situasi membingungkan."Kau hanya butuh objek untuk disalahkan! Iya, kan? Kau hanya butuh pelampiasan, kan? Kau pikir aku mau menjadi pelampiasan kemarahanmu yang tidak jelas?" pekik Rin memberanikan diri meninggikan suara di hadapan Ron."Diam atau aku akan benar-benar mencabik-cabik isi perutmu dengan pisau ini!" hardik Ron."Kalian urus gadis kecil ini! Jangan beri dia makanan, sebelum dia merengek dan memohon meminta sebutir nasi!" titah Ron pada anak buahnya.Pria itu keluar dari ruangan tempat Rin dikurung sembari membanting pintu dengan kencang untuk melampiaskan kekesalannya.Ron menaiki tangga di sebuah kediaman mewah, kemudian masuk ke dalam sebuah kamar yang tak lain ialah kamar pengantin yang sudah ia siapkan untuk sang calon istri, Lilian.Prang!Lagi-lagi pria itu mengamuk tidak karuan dan membantingi banyak barang di dalam kamar yang dimasuki olehnya.Ron bahkan tak peduli melihat punggung tangannya yang sudah berlumuran darah karena pecahan kaca yang berceceran di lantai ruangan tersebut."Ron!" Seorang wanita paruh baya yang mendengar suara keributan dari kamar Ron, bergegas menghampiri pria bertubuh jangkung itu, sebelum Ron mengobrak-abrik seluruh isi kamar."Apa yang kau lakukan, Nak?" pekik ibunda dari Ron, Nyonya Helena.Istri Tuan Malvey itu terkejut bukan main saat mendapati ruangan yang ditempati oleh sang putra kesayangan sudah penuh dengan pecahan kaca yang berserakan."Ron! Tanganmu berdarah—""Biarkan saja!" Ron menepis tangan ibunya tanpa menoleh sedikitpun ke arah sang ibu.Pria itu tak ingin ibu kesayangannya melihat wajahnya yang sudah basah karena air mata."Relakan kepergian Lilian, Ron! Jangan siksa dirimu seperti ini," bujuk Nyonya Helena ikut berlinang air mata melihat keadaan sang putra yang begitu hancur."Relakan apanya? Aku harus menerima situasi konyol ini begitu saja?" sinis Ron dengan senyum kecut."Kau harus tetap melanjutkan hidup, Ron! Lilian pasti juga akan sedih jika dia melihatmu hancur dalam keterpurukan seperti ini!""Semudah itu Ibu mengatakan padaku untuk melanjutkan hidup? Lilian adalah hidupku, Bu! Wanita yang kucintai meregang nyawa di hadapan mataku begitu saja dan aku tidak bisa melakukan apa-apa! Aku hanya pria bodoh yang tidak berguna! Untuk melindungi wanitaku saja, aku tidak bisa!" oceh Ron dibayang-bayangi oleh rasa bersalah yang amat sangat, karena kepergian wanita yang sangat ia cinta."Ini bukan salahmu, Ron! Kau tidak bisa mengendalikan takdir! Apapun yang kau lakukan, hasilnya akan tetap sama! Waktu Lilian di dunia memang sudah habis," bujuk Nyonya Helena pada sang putra untuk mencoba menerima kenyataan."Tidak! Ini bukan takdir! Ada orang yang harus bertanggungjawab atas kematian Lilian! Mereka yang telah merenggut Lilian dariku!"Nyonya Helena makin tak tega melihat keadaan putranya. Wanita paruh baya itu memeluk erat putra semata wayangnya sembari menepuk-nepuk punggung Ron dengan lembut."Hal yang membuatmu terpuruk saat ini bukanlah kepergian Lilian, tapi rasa bersalah yang menumpuk di hatimu, kan?" tukas Nyonya Helena."Kau tidak salah, anakku! Jika ada orang yang harus disalahkan di dunia ini, maka bukan kau orangnya!" sambungnya."Aku tidak akan diam saja menerima kepergian Lilian! Aku akan memberi pelajaran setimpal pada semua orang yang sudah berani mengusik Lilian!" cetus Ron penuh dendam.Sementara, di sudut kota yang jauh dari kediaman Malveron, nampak seorang pria paruh baya tengah duduk dengan gusar karena gagalnya rencana yang sudah ia buat untuk melukai Ron."Inilah kenapa kau tidak seharusnya mempekerjakan tikus jalanan! Lihat hasil perbuatan pembunuh bayaran payah itu! Bukannya berhasil membuat Ron tumbang, dia justru membuat Ron semakin garang dan sulit disentuh!" omel seorang pria paruh baya pada seorang pria yang tengah duduk sembari memainkan gelas minuman dengan tatapan kosong."Untuk sementara, sebaiknya kita tidak mengusik Ron! Jika sampai ketahuan kalau kita berhubungan dengan pembunuh bayaran yang membuat Lilian tewas, mungkin Ron juga akan mengincar kita!" ujar pria paruh baya bertopeng yang masih sibuk memainkan gelas."Lalu, apa rencana kita berikutnya?""Jangan mengusik singa yang sedang mengamuk, jika kau tidak ingin terkena cakarnya! Biarkan saja Ron mendapatkan semua proyek baru itu! Tapi lain kali, aku tidak akan membiarkannya menang!"***Cklek!Hari sudah larut. Ron membuka pintu perlahan, kemudian melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan kecil tempat ia mengurung Rin.Tak tega melihat Rin yang terus diikat sepanjang hari, Ron pun berbaik hati melepas ikatan tali yang membelit tangan serta kaki Rin dengan kencang.Pria itu menatap sejenak mata bengkak Rin, kemudian mengusap lembut pipi Rin yang masih basah.Ron mengangkat tubuh mungil Rin dan memindahkan gadis itu menuju salah satu kamar kosong yang berada dalam rumahnya.Rin yang sudah lemas karena kelelahan menangis dan kelaparan, tak terbangun sedetikpun saat dirinya dipindahkan oleh Ron ruangan lain."Kenapa harus kau?" gumam Ron mulai berbelas kasih pada gadis kecil yang sudah menjadi pelampiasan amarahnya itu.Pria itu mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Rin di kampus beberapa hari yang lalu saat terjadi keributan di laboratorium universitas."Kau sudah menyelesaikan masalah laboratorium? Atau kau membiarkan dirimu menjadi kambing hitam?" gumam Ron lag
Pagi hari, Ron sudah berdiri di depan pintu kamar Rin dengan membawa nampan berisi penuh makanan.Pria itu mematung sejenak di depan kamar, tanpa langsung membuka pintu ruangan yang ditempati oleh tawanannya itu."Kenapa aku harus repot merawat gadis itu?" gerutu Ron sembari menatap sinis piring makanan yang dibawanya.Setelah mengalami perang batin beberapa saat, akhirnya Ron membuka kamar tempat Rin beristirahat. Pandangan mata pria itu langsung tertuju pada tubuh mungil Rin yang terlentang di atas ranjang."Wajahnya pucat sekali," gumam Ron makin tak tega melihat bibir Rin yang sudah pucat pasi."Hei! Bangun!" Ron mencolek bahu Rin dan mencoba mengguncang-guncangkan tubuh gadis kecil itu perlahan untuk membangunkannya.Beberapa kali Ron mencoba mengguncangkan tubuh Rin, namun sayangnya gadis itu tak menunjukkan pergerakan sekecil apapun.Ron terus mengoceh untuk membangunkan gadis berwajah pucat itu, tapi Rin tak memberikan sahutan maupun respon apapun."Hei, kau baik-baik saja, ka
Ron duduk termenung di ruang kerjanya sembari menatap berkas-berkas di mejanya dengan wajah malas. Pria itu masih tak bersemangat melakukan rutinitas, setelah sibuk mengurus pemakaman calon istrinya yang baru saja berlangsung beberapa hari yang lalu.Tok, tok!Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan pria hampir menginjak usia kepala tiga itu.Ron melirik ke arah pintu dengan malas, begitu ia melihat sosok sang asisten dari balik pintu."Bos, hari ini ada—""Tolak!" potong Ron cepat, sebelum asistennya menyelesaikan kalimatnya.Keringat dingin mulai mengucur deras membasahi pelipis Han, asisten dari Ron. Pria itu menghela nafas sejenak, sebelum ia kembali membuka mulut untuk memberikan laporan berikutnya."Proyek dari—""Tolak!"Glek! Han menelan ludah kasar begitu perkataan kembali dipotong oleh sang majikan."Perkebunan dari keluarga—""Bakar saja!" tukas Ron sembari melirik ke arah Han dengan mata melotot yang menyeramkan."Apa salah dan dosaku, Tuhan!" batin Han merinding ketakutan
"Ceburkan saja aku!" tantang Rin pada Ron.Ron sontak melotot ke arah Rin dan beradu pandang dengan gadis yang tengah tergantung di tiang jembatan itu."Aku juga sudah bosan hidup! Ceburkan saja aku!" ujar Rin tanpa rasa takut."Kau yakin? Air di bawah sana bisa membuatmu membeku dan kehabisan nafas. Kau ingin mencobanya?" sergah Ron, kemudian mengendurkan tali yang mengikat Rin hingga membuat gadis itu turun beberapa centi dari tempat dirinya digantung."Aakkhh!" Gadis itu sontak memekik kencang saat dirinya hampir terjun bebas ke bawah jembatan."Masih ingin mencobanya?" ledek Ron sembari menampakkan tawa jahatnya di depan Rin."Dasar pengecut! Kau sebut dirimu pria, hah?! Lebih baik kau ganti saja pakaianmu dengan rok sana! Beraninya menindas gadis kecil yang lemah!" gerutu Rin tak merasa takut pada Ron meskipun hidupnya sudah terancam."Pengecut kau bilang?"Ron yang sudah terlahap oleh amarah, tanpa sadar menjatuhkan Rin ke dalam sungai besar di bawah jembatan begitu saja tanpa s
Ron berlari secepat mungkin menuju jalan raya dan menarik tubuh Rin untuk menepi."Kau ini sudah gila, ya?" sentak Ron pada gadis kecil yang hampir saja bunuh diri itu."Aku hanya mengabulkan keinginanmu! Ini yang kau mau, kan?" sungut Rin tanpa takut."Tundukkan pandangan matamu! Berani sekali kau melotot padaku! Kau tidak tahu siapa aku?" sentak Ron hampir saja mencolok manik mata bening milik Rin yang menatapnya tanpa berkedip."Memangnya kau siapa?" cibir Rin dengan nada meremehkan."Aku adalah -@$#_@&!"Perkataan Ron menjadi terdengar tidak jelas karena tiba-tiba sebuah truk besar dengan suara bising melintas di dekat mereka."Apa? Aku apa?" tanya Rin lagi."Aku seorang 1?@€"Ucapan Ron kembali terdengar samar-samar karena mendadak sebuah bus besar membunyikan klakson yang bersuara nyaring."Kau ini berbicara apa sebenarnya?" tukas Rin mulai lelah berdebat dengan Ron."Sial! Aku hanya Ingin mengatakan kalau aku &@_?7%√¢!"Kesabaran Ron hampir habis karena ucapannya selalu saja t
"Sudah berapa hari kau bekerja di sini? Bisakah kau bawa aku keluar dari sini? Bisa kau beritahu aku pintu keluar yang biasa digunakan pelayan?" cecar Rin.Mungkin dengan adanya Linda, Rin bisa kabur dengan mudah dari cengkeraman Ron. Terlebih lagi, saat ini Rin sudah tidak dikurung dan dapat berkeliaran dengan bebas di area rumah Ron."Pintu keluar ada di belakang, di dekat dapur. Pelayan biasa keluar masuk lewat pintu itu," tukas Linda santai."Terima kasih!"Rin langsung berlari menuju dapur yang dimaksud oleh Linda. Senyum gadis itu mulai mengembang begitu Rin berhasil menemukan dapur yang memiliki pintu kecil menuju halaman belakang kediaman Ron.Rin membuka pintu kecil itu dengan penuh suka cita tanpa menduga ada seorang pria yang berdiri tepat di gerbang halaman belakang dan melambaikan tangan dengan ekspresi wajah mengejek pada Rin.Siapa lagi pria yang berdiri di depan pintu gerbang itu jika bukan sang pemilik rumah, Malveron.'Sial! Kenapa pria itu ada di sana?' jerit Rin da
Ron segera mengambil handuk dan melemparnya tepat ke kepala Rin. Pria itu nampak salah tingkah di depan Rin dan terus berusaha mengalihkan pandangan dari pakaian basah gadis itu."Lepas baju basahmu itu! Kau bisa membuat lantai kamarku banjir!" omel Ron, kemudian meninggalkan Rin yang masih mematung di dalam kamar mandi."Apa yang kau pikirkan, Ron? Singkirkan pikiran kotormu itu!" gerutu Ron pada dirinya sendiri.Pria itu duduk dengan gelisah di dalam kamarnya hingga akhirnya Rin keluar dari kamar mandi dengan berselimutkan handuk dan pergi meninggalkan kamar Ron."Aku pergi," pamit Rin sekenanya."Pergi ya pergi saja! Jangan lupa bawa keluar baju basahmu!" sungut Ron."Aku tahu!"Gadis itu membuka pintu kamar, tempat dirinya dikurung sebelumnya. Rin segera membuka lemari pakaian yang terpajang di kamarnya, namun sayangnya tak ada satupun pakaian yang menggantung di sana."Apa-apaan ini?" gerutu Rin kesal saat tak menemukan satu pakaian pun yang bisa ia kenakan.Gadis itu pun keluar
"Han!" panggil Nyonya Helena pada asisten putranya yang sejak tadi berlalu lalang di rumah putranya."Ada yang bisa dibantu, Nyonya?" sahut Han dengan sopan."Siapa sebenarnya gadis yang dibawa Ron kemari? Apa Ron mempunyai pacar baru?" tanya Nyonya Helena penuh harap."P-pacar? Bos terus mengurung diri di dalam rumah setelah pemakaman Nona Lilian. Mana mungkin Bos memiliki waktu untuk berkencan," terang Han."Kalau begitu, siapa gadis yang tengah dipeluk Ron? Kau yakin Ron tidak memiliki pacar baru?" tanya Nyonya Helena."Pasti bukan pacar, Nyonya. Bos tidak membawa gadis manapun ke rumah," "Benarkah? Tapi aku melihat sendiri Ron memeluk seorang gadis di dalam kamar. Apa mungkin Ron memeluk pelayan?" bisik Nyonya Helena."Memeluk apanya?" sahut Ron tiba-tiba muncul dan ikut menyela pembicaraan sang ibu dengan asisten."M-memeluk apa? Ibu hanya sedang membicarakan drama dengan Han. Iya 'kan, Han?" tukas Nyonya Helena."I-iya, Bos. Benar! Hanya membicarakan drama," dukung Han."Kalian