Share

7. Kandang singa

"K-kau benar-benar akan melukai gadis kecil yang tidak bersalah? Aku tidak mengenalmu! Aku tidak tahu apapun tentangmu! Aku tidak ada hubungannya sama sekali!" pekik Rin dengan tangis yang sudah pecah, memenuhi seluruh ruangan tempatnya disekap.

"Kalau begitu apa salah Lilian? Apa salah calon istriku? Calon istriku juga tidak memiliki kesalahan apapun pada kakakmu! Calon istriku juga tidak mengenal kakakmu! Tapi kenapa kakakmu seenaknya mengarah pistol padanya?!" amuk Ron dengan teriakan kencang yang begitu memekakkan telinga.

Ruangan itu kini dipenuhi dengan jeritan serta tangisan antara Rin dan juga Ron. Kedua orang itu sama-sama frustasi menghadapi keadaan yang membuat mereka terjepit dalam situasi membingungkan.

"Kau hanya butuh objek untuk disalahkan! Iya, kan? Kau hanya butuh pelampiasan, kan? Kau pikir aku mau menjadi pelampiasan kemarahanmu yang tidak jelas?" pekik Rin memberanikan diri meninggikan suara di hadapan Ron.

"Diam atau aku akan benar-benar mencabik-cabik isi perutmu dengan pisau ini!" hardik Ron.

"Kalian urus gadis kecil ini! Jangan beri dia makanan, sebelum dia merengek dan memohon meminta sebutir nasi!" titah Ron pada anak buahnya.

Pria itu keluar dari ruangan tempat Rin dikurung sembari membanting pintu dengan kencang untuk melampiaskan kekesalannya.

Ron menaiki tangga di sebuah kediaman mewah, kemudian masuk ke dalam sebuah kamar yang tak lain ialah kamar pengantin yang sudah ia siapkan untuk sang calon istri, Lilian.

Prang!

Lagi-lagi pria itu mengamuk tidak karuan dan membantingi banyak barang di dalam kamar yang dimasuki olehnya.

Ron bahkan tak peduli melihat punggung tangannya yang sudah berlumuran darah karena pecahan kaca yang berceceran di lantai ruangan tersebut.

"Ron!" Seorang wanita paruh baya yang mendengar suara keributan dari kamar Ron, bergegas menghampiri pria bertubuh jangkung itu, sebelum Ron mengobrak-abrik seluruh isi kamar.

"Apa yang kau lakukan, Nak?" pekik ibunda dari Ron, Nyonya Helena.

Istri Tuan Malvey itu terkejut bukan main saat mendapati ruangan yang ditempati oleh sang putra kesayangan sudah penuh dengan pecahan kaca yang berserakan.

"Ron! Tanganmu berdarah—"

"Biarkan saja!" Ron menepis tangan ibunya tanpa menoleh sedikitpun ke arah sang ibu.

Pria itu tak ingin ibu kesayangannya melihat wajahnya yang sudah basah karena air mata.

"Relakan kepergian Lilian, Ron! Jangan siksa dirimu seperti ini," bujuk Nyonya Helena ikut berlinang air mata melihat keadaan sang putra yang begitu hancur.

"Relakan apanya? Aku harus menerima situasi konyol ini begitu saja?" sinis Ron dengan senyum kecut.

"Kau harus tetap melanjutkan hidup, Ron! Lilian pasti juga akan sedih jika dia melihatmu hancur dalam keterpurukan seperti ini!"

"Semudah itu Ibu mengatakan padaku untuk melanjutkan hidup? Lilian adalah hidupku, Bu! Wanita yang kucintai meregang nyawa di hadapan mataku begitu saja dan aku tidak bisa melakukan apa-apa! Aku hanya pria bodoh yang tidak berguna! Untuk melindungi wanitaku saja, aku tidak bisa!" oceh Ron dibayang-bayangi oleh rasa bersalah yang amat sangat, karena kepergian wanita yang sangat ia cinta.

"Ini bukan salahmu, Ron! Kau tidak bisa mengendalikan takdir! Apapun yang kau lakukan, hasilnya akan tetap sama! Waktu Lilian di dunia memang sudah habis," bujuk Nyonya Helena pada sang putra untuk mencoba menerima kenyataan.

"Tidak! Ini bukan takdir! Ada orang yang harus bertanggungjawab atas kematian Lilian! Mereka yang telah merenggut Lilian dariku!"

Nyonya Helena makin tak tega melihat keadaan putranya. Wanita paruh baya itu memeluk erat putra semata wayangnya sembari menepuk-nepuk punggung Ron dengan lembut.

"Hal yang membuatmu terpuruk saat ini bukanlah kepergian Lilian, tapi rasa bersalah yang menumpuk di hatimu, kan?" tukas Nyonya Helena.

"Kau tidak salah, anakku! Jika ada orang yang harus disalahkan di dunia ini, maka bukan kau orangnya!" sambungnya.

"Aku tidak akan diam saja menerima kepergian Lilian! Aku akan memberi pelajaran setimpal pada semua orang yang sudah berani mengusik Lilian!" cetus Ron penuh dendam.

Sementara, di sudut kota yang jauh dari kediaman Malveron, nampak seorang pria paruh baya tengah duduk dengan gusar karena gagalnya rencana yang sudah ia buat untuk melukai Ron.

"Inilah kenapa kau tidak seharusnya mempekerjakan tikus jalanan! Lihat hasil perbuatan pembunuh bayaran payah itu! Bukannya berhasil membuat Ron tumbang, dia justru membuat Ron semakin garang dan sulit disentuh!" omel seorang pria paruh baya pada seorang pria yang tengah duduk sembari memainkan gelas minuman dengan tatapan kosong.

"Untuk sementara, sebaiknya kita tidak mengusik Ron! Jika sampai ketahuan kalau kita berhubungan dengan pembunuh bayaran yang membuat Lilian tewas, mungkin Ron juga akan mengincar kita!" ujar pria paruh baya bertopeng yang masih sibuk memainkan gelas.

"Lalu, apa rencana kita berikutnya?"

"Jangan mengusik singa yang sedang mengamuk, jika kau tidak ingin terkena cakarnya! Biarkan saja Ron mendapatkan semua proyek baru itu! Tapi lain kali, aku tidak akan membiarkannya menang!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status