Share

5. Gagal

Ren mengambil wadah berisi senjata api yang disodorkan oleh sang teman dan membuka kotak berwarna gelap itu.

Sebuah pistol Glock 20 lengkap dengan peluru masih terbungkus rapi di dalam wadah tersebut dan siap untuk digunakan untuk melubangi kulit.

"Kau akhirnya mengambil tawaran itu?" tanya teman Ren.

"Aku butuh uang! Membuatnya cedera saja sudah cukup, kan? Jika aku sampai membunuhnya, mungkin nyawaku akan ikut melayang!" ungkap Ren.

"Jika mereka memang tidak terlalu menuntut untuk membunuh, kau buat luka ringan saja. Tidak perlu menggunakan pistol!" saran teman Ren.

"Penggunaan senjata api jauh lebih efektif. Setidaknya mereka tidak akan mempermasalahkan hal ini ke pihak kepolisian karena targetku kebanyakan adalah anggota organisasi illegal. Kalau aku membuat kecelakaan lalu lintas, masyarakat umum bisa terkena dampaknya dan polisi akan ikut campur," tukas Ren.

"Kau memang tidak akan dikejar polisi, tapi kau akan dikejar mafia! Menurutku lebih mudah menghindari polisi daripada harus berurusan dengan mafia,"

"Tenang saja! Aku sudah menyiapkan rute pelarian! Memang aku tidak cukup yakin bisa melarikan diri dari Malveron, tapi aku akan berusaha membuat Rin tidak ikut terlibat," tukas Ren.

"Kau tidak ingin menunggu misi selanjutnya saja? Sepertinya Malveron bukan target yang mudah,"

"Aku sudah mengintainya selama seharian penuh. Pria itu memang bukan pria sembarangan. Tapi aku sudah menemukan celah untuk merobek sedikit kulitnya malam ini. Malveron diundang ke acara relasi bisnisnya dua jam lagi. Acaranya diselenggarakan secara outdoor, jadi aku bisa lebih leluasa menggunakan senjata api di luar ruangan."

"Kau yakin kau bisa menangani Malveron? Sebesar apapun uangnya, lebih baik kau pertimbangkan baik—"

"Adikku membutuhkan uang! Aku harus mendapatkan uang sebelum ujian adikku minggu depan," potong Ren.

"Rin lagi?"

"Hanya uang saja, aku tidak keberatan mencarikan berapapun untuk Rin. Titip adikku selama aku pergi," pamit Ren sembari membawa senjata api yang akan digunakannya untuk melukai target barunya.

Sebelum berangkat menuju tempat Malveron berada, tak lupa Ren menghabiskan waktu sejenak bersama sang adik untuk sekedar bertegur sapa.

"Liburanmu sudah berakhir?" tanya Rin pada sang kakak yang sudah siap dengan pakaian serba hitam.

"Kalau bukan karena pengacau sepertimu, mungkin saat ini aku masih bisa bersantai di ranjang empuk kamarku!" cibir Ren.

"Sebenarnya pekerjaan apa yang kau lakukan? Kenapa kau selalu pergi saat malam hari dan bisa pulang membawa uang banyak?" tanya Rin penuh curiga.

"Kau tidak perlu tahu!"

"Kau tidak mungkin bekerja sebagai seorang ... pria panggilan, kan?" tanya Rin cemas.

"A-apa kau bilang? Pria panggilan apanya? Kau pikir aku pria murahan?!" sungut Ren seraya menjitaki kepala sang adik tanpa ampun.

"Memangnya pekerjaan apalagi yang biasa dilakukan di malam hari dan bisa menghasilkan banyak uang dalam waktu singkat? Kau tidak mungkin menjadi gigolo nenek tua kaya, kan? Kakak terlalu tampan untuk menjadi pria simpanan!" tukas Rin dengan imajinasi liarnya yang semakin meresahkan telinga Ren.

"Jangan berpikir yang tidak-tidak! Untuk apa aku menjual diri pada nenek tua?!"

"Kau yakin? Kau tidak perlu malu untuk—"

"Tutup mulutmu!" omel Ren sembari membungkam mulut cerewet sang adik yang terus menuduhkan hal-hal aneh padanya.

"Aku pergi! Jangan keluar rumah! Kunci pintu—"

"Aku tahu! Kau tidak perlu mengulangnya ribuan kali! Aku tidak akan menunggumu! Aku tidak akan peduli lagi jika kau tidak kembali!" sergah Rin.

Ren tersenyum tipis menanggapi ocehan sang adik yang terlihat tak peduli padanya, padahal jauh di lubuk hati Rin, gadis itu selalu mencemaskan sang kakak setiap kali Ren berpamitan untuk pergi bekerja.

Satu kecupan mendarat di kening Rin, kemudian Ren melambaikan tangan pada sang adik. "Jangan cari aku jika aku tidak kembali!"

***

Sebuah venue outdoor dengan dekorasi mewah nampak ramai dipenuhi oleh tamu undangan berbusana mahal.

Dalam kerumunan orang-orang berdompet tebal itu, muncul sosok Ron yang telah hadir dalam acara tersebut dengan menggandeng tunangannya tercinta, Lilian.

Pasangan kekasih itu terlihat serasi dalam balutan jas serta gaun yang anggun dan membuat Ron serta Lilian nampak seperti pangeran dan putri yang sangat serasi.

"Sudah kubilang untuk memakai gaun biasa saja! Aku tidak suka wanitaku diperhatikan oleh banyak pria!" bisik Ron pada Lilian dengan wajah cemberut.

"Mana mungkin aku mengenakan gaun biasa saat aku harus menemani Tuan Malveron? Aku bisa membuatmu malu nanti!" tukas Lilian.

Pasangan kekasih itu tertawa kecil di tengah-tengah acara tanpa menyadari ada sepasang mata yang mengawasi mereka dari kejauhan dengan membawa senjata api.

"Maaf, aku membutuhkan uang! Aku hanya akan menghadiahkan luka kecil untukmu!" batin Ren sembari menatap Ron dengan intens.

Pria itu bergegas mencari tempat yang pas untuk bersembunyi sebelum membidik Ron. Ren juga terus mengamati situasi dan menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan aksinya.

"Sayang, dasimu—"

Dor!

Suara tembakan kencang mengarah tepat menuju Ron yang tengah berdiri di keramaian, namun sayangnya peluru yang meluncur justru mengenai orang yang salah.

Niat hati Ren hanya ingin melukai lengan Ron, namun disaat Ren menarik pelatuk, tiba-tiba Lilian menutupi tubuh Ron untuk membetulkan dasi hingga akhirnya tembakan yang seharusnya mengenai Ron justru menembus kulit Lilian.

Tepat setelah suara tembakan itu menggema di tempat acara yang dihadiri sang kakak, Rin tiba-tiba terbangun mendadak dari tidurnya.

Gadis itu duduk di ruang tamu kecilnya dengan maksud menunggu kepulangan Ren hingga ia tak sadar tertidur dengan posisi duduk di lantai yang dingin.

"Apa aku ketiduran?" racau Rin dengan wajah linglung.

Gadis itu melirik ke arah dinding dan menatap jam bulat yang tertempel di sana. Waktu pun masih menunjukkan pukul sepuluh malam.

Rin mengintip keluar jendela dan memeriksa ponselnya berkali-kali, berharap Ren akan memberikan kabar padanya.

"Kakak bilang tidak perlu menunggu. Lebih baik aku tidur saja," gumam Rin memutuskan untuk beristirahat meskipun sebenarnya hatinya tengah dilanda kegelisahan.

Sementara di luar sana, Ren tengah sibuk melarikan diri dari kejaran orang-orang suruhan Malveron yang langsung memburunya begitu pria itu mendapati calon istri kesayangannya bersimbah darah karena ulah Ren.

"Sial! Kenapa bisa meleset?!" gerutu Ren sebal.

Pria itu terus menggerutu kesal mengingat dirinya tak mungkin mendapatkan uang karena tak berhasil melukai target.

Ren pun sibuk melarikan diri hingga pagi menjelang dan mencari tempat bersembunyi yang jauh dari Rin agar adik kesayangannya itu tak ikut menjadi incaran Malveron.

"Sudah pagi?" racau Rin menggeliat di ranjang dengan mata penuh belek.

Gadis itu segera bangkit dari ranjang dan memeriksa setiap ruangan di rumah kecil yang ditinggalinya, namun ia tak menemukan sosok Ren di sana.

"Kenapa Kakak belum pulang?" gumam Rin cemas.

Gadis itu meraih ponsel miliknya yang sengaja ia matikan dan memikirkan matang-matang sebelum menghidupkan alat komunikasi itu.

"Kakak bilang aku tidak boleh menghidupkan ponsel sebelum Kakak pulang. Kakak pasti akan baik-baik saja, kan?" gumam Rin lekas panik memikirkan nasib Ren yang tak pulang selama semalaman penuh.

"Tidak apa-apa, Rin! Jangan berpikir yang aneh-aneh! Kakak pasti baik-baik saja! Saat kau pulang kuliah nanti, Kakak pasti sudah ada di rumah!" oceh gadis itu mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran negatif yang bersarang di otaknya.

Rin meninggalkan rumah kecilnya dengan langkah berat tanpa ingin memusingkan kepulangan sang kakak. Gadis itu menjalani hari di kampusnya dengan gelisah tanpa bisa fokus memperhatikan kelas.

Rin terus memeriksa arloji kecil yang melingkar di tangannya dan ingin cepat-cepat kembali ke rumah untuk memeriksa kepulangan sang kakak.

"Ren pasti sudah pulang! Ren pasti sudah pulang! Ren pasti sudah pulang!" gumam Rin dengan mulut terus berkomat-kamit selama perjalanannya menuju rumah yang ia tinggali bersama sang kakak.

Gadis itu membuka pintu dengan antusias, namun sayangnya ia kembali mendapati ruangan yang kosong tanpa sosok Ren di dalamnya.

Rin terduduk lemas di depan pintu rumahnya dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu mengingat kembali perkataan sang kakak yang selalu berpesan pada Rin agar tidak mencarinya jika suatu hari nanti Ren tidak pulang ke rumah.

"Kenapa aku tidak boleh mencarimu? Sudah seharian aku tidak melihat wajahmu! Kau tidak mati, kan? Kau baik-baik saja, kan?" racau Rin dengan tangis sesenggukan.

Hari pun berlalu begitu cepatnya menuju penghujung bulan. Siang dan malam Rin terus menatap nanar ke arah jendela, berharap kakaknya akan segera pulang ke rumah mungil mereka.

Sudah dua hari lamanya Ren tak kunjung kembali dan Rin pun tak tahu harus mencari Ren kemana.

Gadis itu masih menuruti permintaan Ren untuk mematikan ponsel dan tidak mencoba menghubungi Ren dengan cara apapun.

"Aku tidak peduli lagi dengan kuliah. Aku juga tidak masalah jika harus menjual ginjal untuk mengganti rugi peralatan laboratorium. Aku hanya ingin kakak cepat kembali. Aku tidak ingin sendirian di sini," gumam Rin mulai putus asa.

Air mata kembali mengucur deras membasahi pipi Rin di tengah kesendiriannya saat ini. Meskipun baru dua hari sang kakak tidak pulang, namun kesepian yang melanda Rin nampak terasa seperti dua tahun lamanya.

Gadis itu terus menangisi Ren bak anak kecil yang tak ingin ditinggal pergi oleh orangtuanya.

Tok, tok!

Tangisan pilu gadis itu pun terhenti begitu ia mendengar suara ketukan pintu.

Rin langsung berlari dengan semangat menuju pintu, berharap suara ketukan pintu itu berasal dari sang kakak yang tengah ia tunggu.

"Kakak!" pekik Rin seraya membuka pintu kayu yang terpasang di dinding rumahnya.

Namun, bukannya mendapati sosok sang kakak, gadis itu justru disambut oleh puluhan preman berwajah seram yang mengenakan pakaian serba hitam.

Hanya dalam hitungan detik, gadis itu pun dapat dilumpuhkan dengan mudah menggunakan obat bius yang dibawa oleh kumpulan preman itu.

"Hanya ada satu gadis di dalam rumah itu, Bos! Sudah dapat dipastikan kalau gadis itu adalah keluarga dari pelaku," ujar seorang pria berbadan kekar memberikan laporan pada bos mereka yang ternyata ialah Malveron!

"Bawa gadis itu!" titah Ron tanpa banyak basa-basi.

Pria itu melirik sekilas ke arah gadis yang dibopong oleh bawahannya dan merasa nampak familiar dengan wajah Rin. "Tunggu dulu!" cegah Ron sembari melangkah mendekat untuk melihat wajah Rin dengan seksama.

"Bukankah ini gadis penghancur laboratorium yang kutemui di kampus beberapa hari yang lalu?" batin Ron cukup terkejut saat melihat sosok gadis yang diculiknya merupakan gadis yang ia kenal tanpa sengaja beberapa hari lalu di kampus yang ia datangi.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status