Share

BAB 2

“Jangan! Ini aku yang membuatnya!” Langkah Bora terhenti saat mendengar suara anak kecil yang dikenal. Itu George. Anak yatim piatu yang tinggal dekat rumahnya. Sebuah boneka kayu terlempar setelah jadi rebutan setengah jam lamanya. Hancur begitu saja. Kaki dan tangan boneka terlepas. Suasana langsung hening.

Tap! Tap! Tap! Bora mendekat. Ia mengambil boneka kayu, membersihkannya dari debu lalu menyerahkannya pada George.

"Hey kau!" Bora menunjuk anak berambut ikal yang bertengkar dengan George. Kedua tangan berpangku pada pinggang. Posisinya mirip ibu-ibu komplek yang siap membela anaknya yang tengah dibully. "Apa ibumu yang melajarimu untuk mencuri hah??"

Anak berambut ikal diam. Bora mendekat kemudian menjewer telinga kanan anak tersebut. "Dasar anak nakal! Dua hari yang lalu kau juga mengganggu kucing-kucing dekat rumahku kan!! Aku sudah tahan-tahan supaya tidak menghukummu tahu! Rasakan ini!" Bora menaikkan tangannya. Anak tersebut berteriak kesakitan, satu dua pejalan kaki yang lewat memilih berhenti untuk melihat.

Bora sadar dengan apa yang dilakukannya, dia tidak berniat melampiaskan kekesalannya pada siapapun tapi dia juga tidak tahan melihat anak kecil diperlakukan tidak adil oleh anak sebayanya.

"Hentikan!" Seorang pria yang baru pertama kali terlihat muncul dari Bar. Perawakannya mirip artis terkenal. Dadanya bidang, kulitnya putih, pakaiannya tampak menawan di mata Bora. Celana hitam polos, kemeja abu-abu yang membentuk tubuh serta celemek terikat dari pinggang. Menutupi sebagian pahanya.

“Jeo!” George berteriak duluan, tapi wajah sedihnya tidak bisa disembunyikan.

Bora melepaskan tangannya setelah dipegang erat oleh pria yang bernama Jeo. Mereka saling tatap selama beberapa menit. "Si- siapa kau?" Entah kenapa Bora jadi gugup, sebenarnya ia heran karena baru melihat laki-laki setampan itu. Beberapa hari di kota, ia belum pernah melihatnya.

"Kau tidak berhak menghukumnya, biar ibunya yang menghukumnya." Suara jernih, berat-berat basah terdengar. Bora terdiam beberapa detik karena merasa telinganya telah disembuhkan walau tidak sakit.

"Be-benar. Tapi dia anak nakal! Kau tidak lihat dia mencoba merebut mainan George?" Bora hampir kehilangan sadar. Ia dari dulu benci anak nakal. "Maksudku.. dia berhak dihukum siapapun!"

"Siapapun?"

"Ya, tentu saja! Si- siapapun. Maksudku kau tidak gerah saat melihat anak nakal? Kalo aku sih gerah." Bora mengipasi dirinya sendiri dengan tangan, malu karena meracau tidak jelas.

"Setiap anak tidak terlahir nakal, dia begitu karena salah meniru yang tidak baik." Lagi-lagi Bora mematung. Kalimat lebih panjang. Bora ingin mendengar lebih banyak lagi. Gadis itu menggeleng, menyadarkan diri.

"Kau benar. Ya, kau benar. Tapi aku merasa tidak salah karena telah menjewernya. Dia berhak mendapatkannya." Bora mengangguk setuju dengan kalimatnya sendiri. Matanya menatap ke tempat lain, mencoba menghindari tatapan Jeo yang memicing.

"Minta maaf pada anak ini."

Bora kaget bukan main. "Minta maaf? Maksudku.. memang harus sampai minta maaf?"

"Ya, cepat minta maaf."

"Tidak mau." Bora menolak, dia melipat kedua tangannya di dada.

"Tidak mau? Kalau aku panggil ibunya maka semua masalah akan tambah rumit."

"Panggil saja." Bora tidak merasa keberatan. Dia tetap kekeh tidak mau minta maaf.

"Sudahlah," potong George. "Biarkan saja dia pergi. Aku tidak papa."

"Kau yakin?" tanya Jeo. Suaranya berubah lembut. Yang ditanya mengangguk mantap. Bora menurunkan tangannya ke bawah. Anak yang tadi dijewer sudah pergi duluan. Hilang di balik gang, mungkin memilih pulang dan mengadu pada ibunya.

“Hey, jangan bersedih. Kita bisa memperbaiki ini, mau ikut masuk?” ucap Jeo dan dibalas anggukan George. Jeo tersenyum, merangkul bahu kecil anak itu dan membawanya masuk ke dalam Bar.

Bora ditinggal sendirian, dia kemudian kembali berjalan dengan langkah lemah ke jembatan gantung yang berjarak cukup jauh dari rumah. Sepatu jeraminya yang hampir putus membuat penampilannya tampak menyedihkan. Bora menghela nafas lagi dan terus berjalan.

"Viola!" George datang. Mereka bertemu di perempatan. Anak itu menyunggingkan senyum lebar.

"George?"

"Untunglah belum jauh."

"Kenapa? Kau mau mengatakan sesuatu?" tanya Bora.

"Aku hanya ingin berterimakasih karena kau telah menolongku. Tapi apa terjadi sesuatu?"

"Tidak ada." Bora menggeleng pelan sambil mencoba tersenyum.

"Aku hanya heran karena kau biasanya menemaniku bicara. Kenapa kau tidak datang akhir-akhir ini?"

Kedua bahu Bora turun, raut wajah kesalnya hilang. Dia lupa, tidak, lebih tepatnya dia tidak bisa mengimbangi sifat Viola yang kata Phill punya hati sebersih kanvas. Menyapa warga kota setiap pagi, menemani George serta anak-anak yang ditemuinya bermain serta menolong siapapun yang butuh bantuan. Viola diberi julukan malaikat. Menjadi wanita yang disenangi setiap orang. Viola, gadis ceria yang lebih mirip karakter fiksi.

"Tidak perlu dijawab kalau kau tidak mau mengatakannya. Tapi apa kau tau Sreyxer? Semua orang banyak membicarakannya. Padahal kupikir ceritanya sudah terkubur dalam-dalam." George bicara, memecah lamunan Bora.

"Apa itu?" Kali ini Bora tampak tertarik, tadinya memang tidak. Tapi karena disebut dua kali, jadi dia mulai merasa kalau itu memang perlu diketahui.

Sreyxer, legenda yang banyak dipercayai warga kota dimana para wanita dilarang keluar rumah setelah jam 12 malam. Mereka percaya kalau Sreyxer yang tergambar pada buku sejarah kuno akan menculik para wanita dan menjadikannya ramuan keabadian.

"Siapa yang memberitahumu itu?" tanya Bora dengan wajah serius.

"Jeo. Dia yang bilang."

"Jeo?"

"Ya. Ngomong-ngomong, apa kau saat itu diculik Sreyxer? Tapi bagaimana caranya kau kembali?"

"Aku?"

"Kau... tidak tau?" George bertanya hati-hati. Gelengan kepala Bora yang amat pelan dengan wajah bingung membuat George menyesal telah bicara. Dia menutup mulut rapat-rapat. Seruan paman Rore terdengar dari jauh, George pamit pergi dan berlari dengan tangan penuh koran.

Yang Bora ingat dari cerita Phill saat pertama kali bangun dari pingsan adalah dirinya yang saat itu hilang selama tiga hari dua malam. Ibunya, para kerabat dekat dan petugas polisi sekalipun sudah mencoba mencari ke seluruh sudut kota hingga naik ke gunung dekat hutan yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Mereka tidak dapat menemukan Viola, bahkan keberadaan jasad gadis itupun tidak ditemukan -kalau memang terjadi kasus pembunuhan.

Sampai pada malam ketiga saat hujan turun dengan begitu deras, ditambah petir menyambar nyaring. Viola tiba-tiba muncul begitu saja dengan tubuh lemah dan wajah pucat pasi. Phill yang diamanatkan menjaga rumah untuk berjaga-jaga siapa tau adiknya kembali, kaget bukan kepalang, dia segera merengkuh tubuh lemah Viola yang langsung terjatuh tepat di pelukan. Keesokannya Bora hadir sebagai pengganti jiwa Viola yang sekarang hilang entah kemana.

Bora tersadar dari lamunan saat mendengar suara dentang jam dinding besar di tengah kota. Dia bergegas pergi ke tempat dimana Jeo berada. Kata hatinya berkata kalau ada sesuatu yang pria tampan tersebut ketahui tentang kehadirannya di masa ini.

Tok! Tok! Tok! Bora mengentuk pintu Jeo Bar tidak sabaran. Kepalanya celingukan. Tanda tutup yang terpasang pada pintu membuatnya tidak bisa membuka tanpa permisi.

Ceklek! Pintu terbuka. Menampilkan sosok Jeo dengan satu tangan memegang beer.

"Kau! Apa kau yang mengirimku kemari?" tanya Bora tidak sabaran.

"Aku dengar kau kehilangan ingatan. Rupanya itu benar." Mengabaikan, Jeo tidak menyangka akan bertemu gadis yang jarang bicara dengannya sebanyak dua kali dalam sehari.

"Sreyxer. Makhluk itu. Aku dengar George tahu darimu."

Jeo mengangguk pendek. "Lalu?"

Bora memicing. Memperhatikan wajah Jeo yang tidak tampak seperti orang jahat. Tapi berdasarkan reset dari serial drama, wajah-wajah meragukan adalah dalang di balik semuanya. Apalagi Jeo punya aura tidak biasa.

"Kau tidak berpikir yang macam-macam kan?" tanya Jeo yang merasa diperhatikan terlalu dalam.

"Tidak, aku hanya..."

"Aku tahu apa yang kau pikirkan tapi bukan aku kaki tangannya. Apa menurutmu kaki tangan monster sibuk berbisnis? Bukankah mereka harusnya fokus melayani Sreyxer?" Tawa kecil tersemat pada akhir kalimat. Jeo mengangkat bahunya santai. "Ini sudah seratus kalinya aku mengatakan hal yang sama. Yah, aku tahu aku yang membuat cerita itu tapi aku ini hanya manusia biasa. Jadi, berhenti mencurigaiku seperti penjahat."

"Kau manusia biasa? Jadi bukan kau yang mengirimku kemari?"

"Mengirim? Maksudmu mengirim apa? Aku tidak mengerti kau bicara apa." Jeo mengernyit, memikirkan kesalahan apa yang telah dia perbuat akhir-akhir ini hingga harus melayani gadis amnesia sore-sore begini.

"Aneh sekali, aku merasakan hal yang lain darimu."

Jeo mengangkat bahunya. "Mungkin hanya firasatmu saja."

"Apa kau yakin kau bukan kaki tangannya?"

"Bukan. Kalau kau mau mendengarku berkata bukan terus menerus apa perlu aku ambil rekaman dulu?"

"Jawab dengan jujur. Kau bukan manusia biasa kan?" tanya Bora dengan mata penuh selidik. Hening, Jeo diam selama beberapa detik. Pria itu tidak menggeleng atau mengangguk. Melainkan menghela nafas pendek.

"Kalau memang bukan?"

Deg! Kedua bola mata Bora membesar. "Bu-bukan?"

"Apa yang akan kau lakukan kalau aku memang bukan manusia? Itu kan yang mau kau dengar?"

"Jangan main-main!"

"Kembalilah. Ibumu pasti khawatir." Jeo berniat menutup pintu, tapi Bora menghalanginya dengan memegang sisi pintu sekuat tenaga.

"Katakan. Kau ini apa?" Kali ini tatapannya memicing.

"Itu rahasia. Aku tidak bisa mengatakannya." Mendengar kalimat yang tidak seharusnya terucap, Bora langsung berlutut sedangkan Jeo yang menyesal telah membuka mulutnya hanya bisa menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.

Bora menyatukan kedua tangannya. "Aku tahu kau menganggapku tidak waras tapi aku tidak punya jalan keluar lagi. Kumohon bantu aku. Makhluk apapun itu. Kau pasti punya kekuatan yang bisa mengembalikanku ke masa depan. Kumohon, bantu aku." Matanya berkaca-kaca, memohon belas kasih.

"Berdirilah." Jeo memperhatikan sekitar. Takut disangka aneh-aneh karena aksi Bora yang tiba-tiba.

Bora masih pada posisi yang sama. Gadis itu sekarang malah semakin mendekatkan diri ke kedua kaki Jeo.

"Yang benar saja." Berdecak, Jeo menarik tubuh Bora masuk ke dalam Bar. Pintu ditutup rapat-rapat.

"Oh?" Gelap, tidak keliatan apa-apa. Kedua tangan Bora meraba-raba udara.

"Wizard." Sebuah cahaya kebiruan mirip api yang membara keluar dari telapak tangan Jeo. Bora terduduk tanpa sadar ke lantai. Mulutnya menganga lebar-lebar.

"Pe-penyihir?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status