Kirani menatap lurus kedepan. Senyum tipis terkadang ia sunggingkan di bibir tipisnya. Sesekali ia memperhatikan penampilan Fatma yang tampak cantik manglingi, dengan kebaya pengantin warna putih. Kemudian ia bergeser sedikit kebelakang duduk tepat di samping ibu sang mempelai. Disebelah kanan Bu Minah, ada Hartini yang duduk dengan gamis biru senada dengan Kirani, hanya saja warna gamis Hartini sedikit lebih tua dari gamis yang digunakan Kirani.
Hartini yang sudah hamil tua itu, malah menggeser duduknya ke samping Kirani. Selain di samping Kirani ada kipas angin yang berputar juga karna Hartini tak menyangka bila pria yang menjadi saksi pernikahan Fatma dan Firman dalah Danu. Mantan suami Kirani.
Jiwa kepo Hartini pun meronta-ronta. Hartini yang memang ceplas ceplos dari kedua rekannya ini tak tahan untuk tak kepo pada Kirani tentang kehadiran mantan suaminya di acara pernikahan ini. Tumpukan pertanyaan sudah menggunung di kepala wanita berumur tiga puluh empat tahun ini.
Bukan hanya Hartini yang terkejut sebenarnya. Fatma pun tak menyangka bila yang menjadi saksi pernikahan mereka adalah mantan suami dari sahabatnya dari sahabatnya.
Sepertinya mereka berdua akan memberondong Kirani dengan banyak pertanyaan selepas acara sakral ini.
Kirani yang pernah membersamai pria yang berjas hitam di depan sana, pun tak menyangka bila hari ini akan bertemu setelah sekian lama Kirani menghilangkan diri.
Kirani yang menghilangkan diri, namun Danu selalu mencari.
Sejenak tatapan kedua mantan suami istri itu bersirobok. Ada senyum sangat tipis yang Danu berikan pada Kirani, sayangnya wanita ini langsung menundukkan pandangan, tak ada balasan senyum atau tatapan yang sedikit lama.
Kirani merasa tak pantas membalas senyum itu, sementara Danu begitu berharap Kirani memberi balasan senyum.
Ini jarak yang cukup dekat, ia melihat Kirani lagi. Terakhir ia melihat dari dekat wajah itu, saat ibunya Kirani meninggal tiga tahun yang lalu. Danu sempat hadir, entah darimana ia tahu kabar itu, sebab Kirani pun sudah mengganti ponsel dan kartunya.
“Aku turut berduka, atas kepergian ibu.” Danu mengulur tangan, ingin berikan kekuatan pada Kirani yang bersimbah air mata dengan wajah terlihat pilu saat itu. Tentulah pilu, sebab setelah ini Kirani akan benar-benar sendiri. Ingin sekali rasanya Danu memeluk Kirani yang terlihat rapuh kala itu, namun setelah menyambut uluran tangannya, Kirani langsung menepi tanpa kata.
“Akad nikahnya akan segera di mulai.” Suara MC tadi kembali mengalihkan perhatian Danu dari wajah yang setia menunduk itu. sekali lagi ia melirik, sebelum ia berusaha fokus menandatangani surat-surat yang ada di hadapannya.
“Mantan kamu, kan?” Hartini berbisik begitu lirih. Ia tak bisa menunggu acara selesai untuk mengajukan pertanyaan yang sedari tadi menggelitik benaknya.
“He em.” Kirani mengangguk, membalas pertanyaan Hartini dengan singkat sambil berbisik halus.
“Koq dia bisa disini? Kangen kali sama, kamu?” tanya Hartini lagi sedikit gemas.
Dan Kirani menggeleng sambil menahan senyum.
__
Herda semakin pusing dan semakin khawatir. Bukan karna Danu yang tak pulang-pulang setelah kemarahan yang ia ciptakan di hati lelaki itu. Tapi karna aib yang ia sembunyikan selama ini. Bagaimana bila Danu membeberkan pada semua orang, bagaimana bila Danu sudah tak pulang lalu menuntut dirinya bercerai.
Ingin rasanya Herda ke rumah mertuanya, namun ada keraguan yang mengganjal di hati. Apa yang harus ia jawab, bila bu Maryam menanyakan penyebab pertengkaran mereka. sedangkan selama ini ia pun kurang ramah pada ibu mertuanya.
Lalu ia mulai mengetik pesan pada nomor ponsel Danu. Berharap pesan yang kirim menjadi senjata ampuh untuk meluluhkan hati pria itu seperti biasa.
[Assalamualaikum, Mas dimana. Maaf untuk yang kemarin. Mas boleh marah sama aku, tapi kumohon pulanglah barang sebentar. Dinar demam sejak kemarin, ia ngigau panggil-panggil kamu, Mas] panjang pesan yang dikirim Herda pada Danu.
Pesan itu centang dua. Tapi belum dibaca. Dan Herda menunggu dengan rasa harap cemas. Biasanya jika mengetahui Dinar sakit, Danu pasti luluh, meski di hatinya sudah ada rasa bila anak itu bukan darah dagingnya, meski ia butuh bukti, namun anak itu tak berdosa. Tak tahu apa-apa.
Sambil menunggu balasan pesan dari Danu, Herda mengecek saldo rekeningnya lewat aplikasi mbanking. Kemarin sore ia sudah membayar cicilan anting emas seharga lima juta rupiah. Kemarin adalah pembayaran ke sembilan. Cicilannya sisa tiga bulan lagi.
“Astaga!” Herda sedikit terkejut melihat sisa isi tabungannya. Hanya tersisa tiga juta lima ratus ribu saja. memang benar rumah dan mobil sudah atas namanya, namun untuk uang belanja bulanan ia harus menunggu Danu mentransferkan gajinya. Sementara tanggal gajian sudah lewat dua hari, namun belum ada notif transferan dari rekening suaminya.
Sebenarnya tabungan Herda cukup banyak, namun tiga bulan ini, ia kembali aktif berhubungan dengan mantan kekasihnya, yang juga rekan Danu. Willy namanya. Pria berkulit putih itu pernah menjadi rekan kerja Danu dan Herda di masa lalu. Namun karna posisi dan gaji Willy jauh lebih sedikit dari Danu, makanya Herda juga menjalin dan akhirnya menjebak Danu dalam pernikahan tak sehat yang ia ciptakan untuk pria itu.
Dimasa lalu, saat Herda mulai intens berkomunikasi dengan Danu, sebenarnya Herda juga diam-diam menjalin hubungan dengan Willy kala itu.
Tiga bulan ini keduanya kembali intens bertemu. Bukan di tempat biasa, namun tentu di hotel agar tak ada yang melihat keduanya. Lalu yang bayar hotel? Lebih sering Herda yang bayar, bukan hanya hotel namun juga makanan dan rokok pria itu.
Hampir satu jam menunggu, pesan yang Herda kirim tak kunjung berbalas. Meski centang dua pada pesan itu sudah berubah warna menjadi biru.
Herda kalut.
__
Akad nikah Fatma dan Firman berlangsung khidmat dan lancar. Dalam satu tarikan nafas, Fatma sudah resmi kembali menjadi istri. meski Fatma seorang janda dan Firman seorang bujang yang belum pernah menikah, namun pria itu tulus menerima dan mencintai Fatma tanpa syarat. Bahkan Firman butuh waktu hampir setahun untuk meyakinkan Fatma agara bisa menerima dirinya menjadi imama bagi wanita itu.
Para tamu undangan dan rekan kerja yang datang langsung dipersilahkan menikmati hidangan makan siang yang telah disiapkan. Terlihat Hartini dan Kirani sibuk melayani tamu-tamu yang hadir. Mereka berdua terlihat sibuk di meja prasmanan panjang. Sebenarnya yang sibuk Kirani saja, Hartini hanya memperhatikan keterdiaan piring dan makanan di meja tersebut.
Sesekali Fatma dari atas pelaminan melihat kearah keduanya. Wanita ini pun sama dengan Hartini. Ia juga cukup terkejut dengan kehadiran Mantan suami kawannya itu sebagai saksi pernikahannya.
Bukan hanya Hartini yang penasaran mengapa pria itu bisa hadir. Rasanya Fatma tak sabar memberondong Firman tentang Danu yang menjadi saksi pernikahan mereka.
Kirani sedang membawa nampan kosong ke bagian dapur untuk diisi sayur acar, saat Sofia memanggil namanya.
“Bunda!” suara khas anak-anak itu terdengar gembira.
“Fia, sama siapa, Nak?” Kirani langsung menyerahkan nampan kosong itu pada ibu-ibu yang bertugas di dapur, sementara Sofia sudah mengekor saja di belakang guru ngajinya itu.
“Sama ayah sama nenek, Bunda.” Sofia menjawab sambil menarik-narik gamis biru Kirani.
“Kenapa, Sayang?” Kirani merunduk sedikit memperhatikan wajah imut Sofia.
“Fia, laper, Bunda!” jawab Sofia malu-malu.
“Oh sebentar ya, nanti bunda ambilkan,” ucap Kirani sambil melihat ke dalam dapur apa nampan yang ia bawa tadi sudah terisi acar.
“Biar, saya yang antar, Mbak Rani. Mbak sudah dari tadi bolak balik.” Leli, sepupu Fatma menawarkan agar dirinya saja yang membawa acar tadi.
“Oh, ok Lel, ia benar, mbak sudah pegal ini.” seloroh Kirani sambil terkekeh kecil.
“Ok, Mbak, istirahat dulu. Sekalian makan sama Fia dulu.”
Kemudian Kirani memegang tangan Sofia dan membawanya ke meja prasmanan. Kemudian mulai mengisikan makanan di piring untuk anak itu. Kirani nampak seperti seorang ibu yang sedang melayani anaknya yang sedang makan.
Kirani tak menyadari bila aksinya yang nampak sibuk mengurus Sofia, diperhatikan oleh dua orang pria dengan harapan yang ada di hati mereka masing-masing.
Abdul Gani, dengan harapan Kirani menjadi ibunya Sofia sementara Danur Adiwilaga dengan harapan, Kirani bisa kembali menjadi istrinya.
Waktu berjalan begitu pantas dan berlalu tanpa bisa dihentikan. Masa-masa derita, sakit hati, kecewa dan air mata kini berganti tawa bahagia. Meski luka itu tetap meninggalkan bekasnya. Namun duka itu sebisa mungkin tak diingat-ingat lagi oleh Sofia dan Arbi. Pun dengan Kirani yang sudah terlebih dahulu memaafka luka masa lalu yang dulu membuatnya menangis kecewa. “Nenek sudah makan?” Davka yang sudah kelas lima SD menghampiri Kirani yang terlihat sedang menjahit sebuah jaket berwarna coklat tua. “Sudah, tadi ibumu sudah bawakan nenek ubi jalar rebus. Nenek sudah dua hari tak makan nasi, ibumu yang melarang.” “Karna mama bilang, gula darah nenek tinggi lagi!” Davka memperhatikan jaket coklat yang sering digunakan neneknya akhir-akhir ini. Terlihat ada tiga bekas jahitan pada baju hangat itu. “Nenek, kayanya suka sekali dengan jaket kakek ini?” “Ya, suka sekali. Kakekmu itu baik dan sangat sayang pada nenek.” Bukan sekali dua kali Kirani menceritakan tentang Gani pada cucu mere
“Kok, begitu liatnya, Mas?” Kening lebat Sofia berkedut heran, melihat Arbi menatapnya seolah tak berkedip. Baju dinas belum sempat Sofia lepas, bahkan rambut panjangnya hanya dicepol asal. Sofia sedikit terlambat pulang, siang ini. Membuatnya harus terburu mengeluarkan bahan makanan dari kulkas. Ia ingat suaminya pasti belum makan siang. Tinggal di desa seperti ini, tak seperti di kota, bila lapar bisa lari ke warung makan yang bertebaran dimana-dimana. Di sini, belum banyak yang menjual makanan masak. Hanya ada bakso, ayam crispy dan jajanan cilok dan sejenisnya. Penampilan berantakan itu malah membuat Sofia semakin terlihat cantik. Wajahnya terlihat bersinar. Bisa jadi karna efek KB juga. Sofia tak ingin kecolongan. Setelah memastikan dirinya tak hamil, segera saja ia meminta suntik KB satu bulan. Mungkin Kbnya cocok di tubuh Sofia. Ia tak merasa pusing atau keluhan lainnya. Lagian masa lalu yang menyakitkan itu membuatnya masih takut untuk memberi adik lagi pada Davka. Arbi me
“Fia,”“Y-ya, Mas!”Rasanya begitu gugup. Bukan hanya Sofia, tapi juga Arbi. Benar-benar canggung. Bahkan debaran itu semakin menggila saat Arbi melihat lagi rambut sebahu istrinya yang begitu indah. Bertahun-tahun baru ia melihat mahkota legam itu lagi. Ditambah dengan Sofia yang masih menggunakan baju mandi saja, membuat Arbi semakin, ah ...Tak jadi masuk, Arbi malah keluar lagi, mengganti lampu di ruang TV dengan yang lebih redup.“Huf! Selamat,” batin Sofia.Namun ...“Lho kok dimatiin lampunya, Mas?”Arbi masuk lagi, mematikan lampu kamar. Namun pintu kamar ia buka sedikit agar tetap bisa mengawasi Davka yang sedang tertidur di depan. Ingin tidur di kamar ini juga tak bisa, sebab kasurnya hanya muat untuk dua orang. Memang malam ini mereka harus tidur bertiga di depan tv. Namun, Arbi ada keinginan sendiri yang tak bisa ditunda. Melihat penampilan Sofia tadi membuatnya seketika on fire.“Mas kangen banget sama, kamu!”Arbi mendekat, bahkan langsung memeluk. Mendekap tubuh itu d
Sofia tergugu dalam isak tangisnya. Ini bukan tangis kesedihan lagi. Namun ini tangis keikhlasan. Keikhlasan yang membawanya kembali pada jodoh pertamanya.Ingin sekali rasanya Arbi memeluk tubuh terguncang itu, tapi disini ada bunda Kiran, dan tentu Sofia tak ingin disentuh terlalu jauh, sebab keduanya belum menjadi muhrim lagi.Antara bahagia dan sedih, juga rasa khawatir menyatu, mengepung benak perempuan tiga puluh tiga tahun ini. “Mama, maukah mama maafkan papa, biar papa bisa bobo sama kita disini?”Davka berdiri dengan sebuah kotak cincin sederhana di belakang Sofia yang sedang mengusap air mata yang tak ingin berhenti.Pertanyaan yang sudah diajarkan Arbi berulang kali tadi pada sang putra sebelum mereka masuk ke dapur menemui Sofia yang sedang menghapus air matanya yang tak ingin berhenti.Pernyataan Arbi tadi bila akan menikah, membuat hatinya nelangsa dan semakin hilang separuh rasanya.“Eh, Avka. Apa itu, Nak? Kembalikan sama papa.” Jujur hati Sofia sedikit tercubit, meli
Arbi yang dulu selingkuh, Arbi pula yang merasa kecewa. Keputusan Sofia yang belum ingin membuka hatinya kembali, cukup membuat Arbi merasa kecewa, sekaligus takut. Mengapa kecewa?Sebab Arbi merasa Sofia bukan hanya sedang menghukum dirinya, tapi juga sedang menghukum Davka yang begitu ingin melihat mama papanya tinggal serumah.“Kamu nggak, kasihan sama Davka, kah?”“Nanti pasti akan mengerti, Mas.”Sofia selalu yakin bila suatu hari Davka akan mengerti tentang kondisi orang tuanya yang tak sudah tak bersama. Kelak pun akan diceritakannya pada putranya itu bila, papa mamanya sudah berpisah sebelum dirinya dilahirkan.“Kok, papa nggak pernah bobo sama kita, Ma?” Pertanyaan polos seperti itu bukan satu dua kali meluncur dari bocah tampan berhidung mangir mirip ayahnya. Namun Sofia menguatkan hati, selalu mencari jawaban yang tepat, agar sang putra tak merasa sedih.“Papa kan, kerja, Nak. Jadi tidak bisa tinggal disini.”“Papanya Nanda juga kerja, tapi selalu diantar ngaji sama papa m
Masa sudah berlalu. Siang dan malam berkejaran laksana busur panah yang tak bisa dihentikan. Musim penghujan pun berganti dengan kemarau yang cukup panjang. Violetta menatap jauh kebawah sana. Pemadangan hijau nan asri begitu menyejukkan mata. Ia berdiri di balkon villa milik ibunya. Membelakangi Adam yang tampak begitu berharap padanya.“Mengapa menutup diri terlalu kuat, Vio. Apa tak ada cinta sedikit pun di hatimu untuk aku?”“Rasa mungkin bisa dipupuk kembali, Mas. tapi restu yang utama, kan? aku ini janda dan punya masa lalu yang cukup buruk. Menikah tanpa restu sudah pernah kurasakan. Dan akhirnya begitu sakit.”Violetta tersenyum kecut. Perasaannya untuk Arbi belum hilang sepenuhnya. Bukan hanya perasaan cinta, tapi juga ada dendam yang masih belum tuntas. Violetta cukup terharu, melihat kesungguhan di mata Adam. Namun Violetta juga tahu, jalannya bersama lelaki ini tidak akan semudah keinginan pria bermata tajam ini. Violetta mendekat mengelus cambang kasar yang tumbuh di s