"Untuk apa kamu ke sini?"
Dapat aku dengar Mas Alvaro bertanya dengan nada tinggi dan sepertinya dia sangat kesal, tapi aku tidak peduli.
Aku baru bisa bernapas lega setelah melihat ponselku masih tersimpan rapi di dalam tas, segera aku mengambilnya, lalu mengirimkan pesan singkat memintanya untuk datang ke sini agar mereka tidak curiga kalau aku sudah sadar.
Setelah pesan terkirim dan tanda biru sudah terlihat, kembali aku mengirimkan pesan kedua agar Mas Langit tidak mengatakan kepada siapapun kalau aku sudah sadar. Termasuk Mas Alvaro dan keluarganya yang sedang ada di luar.
Dengan cepat aku menyimpan ponsel itu kembali ke tempatnya dan pura-pura tertidur sambil mendengarkan apa yang mereka katakan. Sekarang aku hanya tinggal menunggu Mas Langit datang, baru mulai membuat rencana..
"Mas, beberapa waktu lagi aku akan melahirkan. Aku butuh kamu ada di sampingku, Mas. Aku tidak mau berjuang sendirian." Wanita itu mengadu dengan suara yang terdengar menangis.
Cih, keluarga yang aku kira alim, ternyata hanya kedok. Mereka bahkan menyembunyikan masalah sebesar ini. Kalau saja aku masih belum sadar, sudah pasti akan selalu dibohongi oleh mereka.
"Aku gak bisa, Bella. Kaluna di sini lebih membutuhkan aku, dia masih belum sadarkan diri." Mas Al kembali menolak dengan tegas, tapi sayangnya aku tetap tidak suka karena dia sudah melakukan pengkhianatan.
"Enggak bisa kenapa? Sekarang yang membutuhkan kamu itu bukan Kaluna, tapi Bella!" bentak mama.
Aku yang berada di dalam saja sangat terkejut mendengar suaranya yang seperti ini karena biasanya mama berbicara dengan lembut. Namun, sepertinya rasa cintanya terhadap Bella membuatnya berubah.
"Benar apa yang Mama katakan, Al. Bella lebih membutuhkan dirimu daripada Kaluna. Kita ada di sini untuk dia, sementara Bella, dia hanya punya kamu," sahut Mbak Nia membuatku beberapa kali menggelengkan kepala.
Orang-orang yang katanya akan mendukung hubunganku dengan Mas Al meskipun tidak punya anak, sekarang sudah berbelok, dan merubah haluan. Hatiku tentu saja perih ketika mendengarnya. Di saat tubuh masih butuh perawatan, aku malah mendengar berita seperti ini.
Bukan dari orang lain, melainkan dari mulut mereka sendiri, dan didengar oleh kedua telingaku. Tega sekali mereka melakukan hal ini.
"Enggak, Ma, Mbak. Aku enggak bisa begini. Aku gak tega jika harus meninggalkan Kaluna sendiri," ucap Mas Al membuatku semakin marah.
Apa katanya? Tidak tega meninggalkan aku di sini sendiri, tapi dia tega mengkhianati aku? Yang kecelakaan aku, tapi malah otaknya yang rusak.
Kembali aku mengecek ponsel untuk melihat balasan dari Mas Langit.
"Ya, ampun, Dek? Kamu sudah sadar?" balasnya disertai stiker heran dan mengucapkan syukur.
"Sudah, Mas. Ke sini sekarang, ya, ada yang ingin aku bicarakan."
"Siap, Dek. Apapun yang kamu minta akan Mas turuti. Tunggu di sana, Mas akan segera sampai," balasnya cepat.
Bagus kalau begitu.
Aku ingin melihat sejauh apa kalian bisa bersandiwara di hadapanku, Mas. Kira-kira kalian akan terkejut tidak jika melihatku sudah sadarkan diri, tapi Bella masih belum melahirkan?
Bukankah sudah pasti dia akan cari-cari alasan agar bisa menemani wanita itu melahirkan?
Sudah pasti seperti itu.
KalunaHari ini adalah waktu akad nikahku dengan Rayan. Aku hanya menunggu di kamar sampai ijab qobul selesai. Katanya, nanti aku akan dijemput kalau sudah waktunya.Seminggu yang lalu, papa sendiri yang bilang kalau hari ini akad nikahnya dulu. Nanti minggu depan, baru resepsi. Anehnya hari ini banyak sekali tamu undangan yang datang. Kenapa aku bilang tamu, karena mereka hanya bisa masuk kalau menyerahkan undangan.Kalau saja aku tidak punya pengawal pribadi, aku juga tidak akan tahu papa mengundang banyak orang. Sepertinya dulu papa mengatakan hal itu agar aku tidak menolak pernikahan ini. Padahal, aku memang tidak punya alasan untuk menolak.Rayan adalah pria yang nyaris sempurna. Nikmat mana lagi yang aku dustakan?Bella berhasil meloloskan diri dari kejaran orang-orang Rayan, papa, dan juga pihak kepolisian. Namun, kondisi fisiknya membuat dia tidak bisa bertindak lebih jauh kalau tidak ada orang dalam atau sekarang dia sedang bersembunyi.Meski aku yakin dia akan kembali datang
"Itu aku, bukan?" Aku berjalan masuk ke dalam rumah yang penuh dengan serigala itu. Sayangnya aku tidak takut karena ada beberapa ksatria yang menjagaku. Terlebih, aku sudah berdoa lebih dulu dan menyerahkan apa pun yang terjadi kepada yang mahakuasa.Mas Al menatapku seperti serigala menatap mangsanya. Aneh, kenapa dia yang harus marah sampai melakukan berbagai cara? Bukankah harusnya aku karena dia sudah berkali-kali mencoba untuk mencelakai aku?Aku harus mengulur waktu sampai pihak kepolisian dan orang-orang papa sampai di sini dan aku yakin aku bisa. Selama ini dia selalu mendengarkan perintahku, meskipun kali ini aku tidak yakin."Bagus. Akhirnya kamu tahu di mana posisimu," ucapnya, tapi tidak berani melangkah mendekat lagi karena ada papa."Yang harusnya tahu diri di sini bukanlah anakku, tapi kau!" Papa memegang senjata yang aku tidak tahu sejak kapan benda itu ada di tangannya.Wajah papa menunjukkan amarah yang selama ini tidak pernah diperlihatkan. Bahkan Mas Al juga hanya
PRKS 39"Ayo, kita makan dulu. Aku tahu kalian belum makan apapun," ucapnya membuatku tersentak.Kenapa dia tahu kalau aku datang sendiri?"Awalnya aku tidak tahu kamu di sini, tapi ketika ke depan, tidak sengaja melihat mobil di rumah terparkir di sana. Jadi aku tahu kamu ke sini dengan Mbak Olive," jelasnya tanpa aku minta.Benar, pria seperti ini yang aku inginkan. Dialah pria yang nyaris sempurna dan aku tidak akan membuatnya lepas begitu saja.Aku tersenyum tipis. Gengsi, dong, kalau langsung nyambar. Wanita itu harus jual mahal, apalagi kita belum halal."Ayo, ikut aku!" Aku dan dia menuruni tangga, lalu berjalan ke arah kanan dari tangga utama. Di sini ada tempat makan yang menyediakan berbagai makanan kesukaanku."Kalian mau pesan apa?" tanyanya membuatku tersadar kalau aku jalan bukan hanya sama Rayan, tapi Mbak Olive sama anaknya juga. Ya, ampun.Mbak Olive dan anaknya mulai menyebutkan makanan yang ingin dimakan, kecuali aku karena masih bingung memilih."Kalau mau pesan ba
PRKS 38 Pria yang TepatRayan tersenyum lebar, tapi aku duduk tanpa mengatakan apapun. Aku memang setuju untuk menikah dengan Rayan, tapi tidak tahu kapan siap untuk melakukan ijab qobul."Kenapa pertanyaan Papa melayang di udara?" Papa melipat tangannya di dada dan menatap kami bergantian."Pa, kita baru menyelesaikan masalah Mbak Olivia, masa iya kita langsung membahas tentang pernikahan!" Aku mengusap wajah kasar, lalu berjalan ke arah seorang pekerja untuk meminta kotak obat.Setelah benda yang aku minta ada di tangan, segera aku duduk di samping kakaknya Rayan."Sepertinya kamu memang sudah siap untuk menjadi istri seorang dokter." Rayan mulai mengatakan yang tidak-tidak, tapi aku tetap mengobati luka Mbak Olive.Lukanya bekas cakaran tangan suaminya bukan hanya dalam dan luas, bahkan darahnya tidak kunjung berhenti."Mbak, menurutmu gimana dengan calon istriku?" tanya Rayan.Mendengarnya bicara santai, aku baru berani menyimpulkan kalau hubungan di antara mereka dekat. Sayangnya
"Jangan pedulikan sikap mereka yang seperti itu. Aku membawamu ke sini bukan untuk meminta restu mereka, tapi hanya untuk menegaskan kalau aku tidak akan menikah dengan wanita selain dirimu," ucapnya lembut tapi penuh penekanan.Mamanya Rayan sempat melihat ke arah kami, tapi mereka langsung berjalan ke dalam rumah seolah tidak melihat kami yang berdiri dari beberapa menit yang lalu."Ayo, masuk!" ajaknya dan aku pun langsung masuk mengikuti langkah kakinya tanpa memedulikan pandangan beberapa orang yang menatapku tajam."Pantesan diceraikan, ternyata sikapnya seperti ini," celetuk seseorang."Ya, iyalah. Kalau memang dia wanita salihah, tidak mungkin pria itu melemparkan dia kepada anak sial itu," sahut yang lainnya."Sudah cukup! Jangan katakan yang tidak-tidak, lagi pula kalian tidak tahu, apalagi kenal dengan Kaluna. Jadi, jangan sembarangan menilai," ucap seorang wanita dengan memar di wajahnya membelaku.Ah, ya, aku ingat wanita itu. Dia adalah kakak Rayan yang mendapatkan perla
"Kenapa belum apa-apa kamu sudah memberikan aku benda ini? Apa kamu begitu yakin kalau aku akan menerima dirimu?" tanyaku membuat diam terdiam dan tubuhnya sedikit gemetar.Tunggu, dia pria, kenapa tubuhnya harus gemetar hanya karena ditolak seorang janda seperti aku, bukan?Kembali aku memastikan semuanya dengan melihatnya lagi dan tubuhnya masih gemetar. Tadi aku tidak salah melihat. "Bukankah kamu orang hebat dan kuat? Apa mungkin semua itu hanya rumor agar aku mau menerima dirimu?" tanyaku membuatnya sedikit tersentak.Melihat gelagatnya seperti ada yang aneh, aku langsung memalingkan wajah ke sisi yang lain. Tidak mungkin aku terus menggodanya di saat tubuhnya sedang lemah seperti ini."Tidak tau. Aku hanya tahu satu hal, yaitu tubuhku sangat lemah ketika di hadapanmu dan aku tidak sekuat itu," jelasnya.Sebenarnya aku ingin mengeluarkan kata-kata meledek, tapi sungguh tidak tega."Aku tidak suka orang yang lemah ketika berada di dekatku, sejujurnya aku lebih suka melihat sesuat