Share

Bab 3

Mas Langit

Mas sudah sampai di depan rumah sakit. Cuman ada wanita yang teriak-teriak enggak jauh dari ruanganmu, Dek. Siapa dia?

"Nanti aku jelaskan, Mas. Sekarang datang ke sini dulu saja. Ini juga yang mau aku bicarakan sama Mas," balasku cepat.

Mas Langit

Oke. Tunggu bentar.

Aku menunggu Mas Langit dengan perasaan yang tidak menentu. Anehnya, keluarga Mas Al masih setia menungguku di luar selama beberapa bulan aku tidak sadarkan diri. Padahal, mereka sendiri yang bilang kalau wanita itu lebih membutuhkan Mas Al daripada aku.

Harusnya kalau memang mereka punya pemikiran begitu, bukankah lebih baik mereka juga berjaga di sana? Kenapa malah terus di depan ruanganku?

Mas Langit

Bagaimana caranya Mas masuk kalau keluargamu ada di sana?

Kembali dia mengirimkan aku pesan.

"Masuk saja, Mas. Paling nanti mereka bilang kalau aku masih tidak sadarkan diri," balasku cepat.

"Eh, Langit. Tumben datang ke sini? Ada apa?" Terdengar Mbak Nia langsung melayangkan pertanyaan kepada kakakku. Namun, yang membuatku aneh kenapa pertanyaannya ada kata 'tumben', apa jangan-jangan Mas Langit jarang melihat keadaanku?

"Iya, kebetulan hari ini saya meliburkan diri. Sengaja mau melihat adik tercinta." Mas Langit menjawabnya dengan sangat percaya diri. "Boleh saya masuk?"

"Boleh, tapi Kaluna masih belum sadarkan diri," jawab mama mertua dengan suara yang pelan. Seperti ada kesedihan yang tertahan, hanya saja kenapa mereka bersedih dengan keadaanku kalau pada akhirnya menusuk seperti ini?

Pintu terdengar dibuka. Aku hanya melihat dari sudut mata dan itu adalah Mas Langit. Aku memberikan kode agar pintunya dikunci dari dalam dan Mas Langit pun hanya mengangguk.

"Kamu kapan sadar? Kenapa Mas baru tahu?" tanyanya langsung heboh. Untung saja aku memintanya untuk tidak bicara keras-keras, nanti bisa ketahuan.

"Tadi, Mas. Kebetulan pas aku sadar, mereka sudah menyebut nama Bella. Dia ternyata adalah istri Mas Al dan sedang hamil," jelasku membuatnya terkejut.

"Apa?" Mas Langit membulatkan kedua matanya. "Ternyata dia yang kusangka orang baik hanya kedok saja."

"Aku sendiri tidak tahu kenapa dia bisa berubah seperti itu, Mas. Padahal, jika melihat bahagia sikap sehari-harinya, sangat jauh."

"Sudah pasti karena mereka sudah tidak sabar agar Alvaro memiliki anak, jadi mencari jalan yang lain," geram Mas Langit sambil memasang wajah garang. "Sekarang apa yang mau kamu lakukan?" 

"Aku diajak kerja sama, sama temannya Mas untuk mendirikan restoran. Berhubung aku masih punya banyak uang di rekening, sepertinya aku akan menyetujuinya. Daripada memberikan uang itu pada Mas Al, yang pada akhirnya dipakai untuk membiayai persalinan wanita itu, bukan?" jelasku.

"Benar. Mas juga tidak setuju kalau mereka tetap menggunakan uang kamu untuk diberikan kepada wanita itu. Enak sekali mereka." Mas Langit terlihat lebih emosi daripada aku.

"Makanya. Aku mau menerima tawaran teman Mas itu. Nanti aku bilang saja sama mereka kalau kita bangkrut, Mas," seruku mulai menyampaikan ide gila.

Selama ini mereka hanya tahu kalau aku adalah anak yang suka menghabiskan uang orang tua, begitupun dengan Mas Al. Makanya selama ini dia suka meminta uang dariku dengan alasan menabung daripada aku habiskan untuk hal-hal yang tidak perlu.

Padahal, dari awal aku memang tidak suka berfoya-foya. Dia sendiri yang menilai aku begitu.

"Oke. Nanti Mas kasih tau teman Mas."

Aku mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya Mas Langit.

"Hanya aku sisakan dua juta saja. Soalnya aku yakin nanti mereka akan minta aku untuk biaya persalinan wanita itu," bisikku lagi dan Mas Langit setuju.

"Nanti Mas atur semuanya. Cuman kapan kamu akan kasih tahu mereka kalau sudah sadar?" tanyanya dan aku sendiri tidak tahu.

Rasanya aku tidak mau bangun setelah tahu apa yang terjadi, tapi kalau begitu sama saja memberikan mereka kesempatan untuk bersenang-senang.

"Kapan, ya, Mas?" Aku malah meminta pendapatnya.

"Sekarang saja. Kamu suaranya agak dikeraskan, nanti mereka pasti langsung dengar," jawabnya membuatku terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Kaluna!" seru Mas Langit setelah memutar anak kunci.

Mama dan Mbak Nia langsung masuk dan menatapku tidak percaya.

"Syukurlah, akhirnya ada harapan untuk keluar dari masalah ekonomi," lirih Mbak Nia membuatku dan Mas Langit menatapnya lekat.

Keluar dari masalah ekonomi? Apa mereka menganggapku sebagai ATM berjalan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status