Mas Langit
Mas sudah sampai di depan rumah sakit. Cuman ada wanita yang teriak-teriak enggak jauh dari ruanganmu, Dek. Siapa dia?
"Nanti aku jelaskan, Mas. Sekarang datang ke sini dulu saja. Ini juga yang mau aku bicarakan sama Mas," balasku cepat.
Mas Langit
Oke. Tunggu bentar.
Aku menunggu Mas Langit dengan perasaan yang tidak menentu. Anehnya, keluarga Mas Al masih setia menungguku di luar selama beberapa bulan aku tidak sadarkan diri. Padahal, mereka sendiri yang bilang kalau wanita itu lebih membutuhkan Mas Al daripada aku.
Harusnya kalau memang mereka punya pemikiran begitu, bukankah lebih baik mereka juga berjaga di sana? Kenapa malah terus di depan ruanganku?
Mas Langit
Bagaimana caranya Mas masuk kalau keluargamu ada di sana?
Kembali dia mengirimkan aku pesan.
"Masuk saja, Mas. Paling nanti mereka bilang kalau aku masih tidak sadarkan diri," balasku cepat.
"Eh, Langit. Tumben datang ke sini? Ada apa?" Terdengar Mbak Nia langsung melayangkan pertanyaan kepada kakakku. Namun, yang membuatku aneh kenapa pertanyaannya ada kata 'tumben', apa jangan-jangan Mas Langit jarang melihat keadaanku?
"Iya, kebetulan hari ini saya meliburkan diri. Sengaja mau melihat adik tercinta." Mas Langit menjawabnya dengan sangat percaya diri. "Boleh saya masuk?"
"Boleh, tapi Kaluna masih belum sadarkan diri," jawab mama mertua dengan suara yang pelan. Seperti ada kesedihan yang tertahan, hanya saja kenapa mereka bersedih dengan keadaanku kalau pada akhirnya menusuk seperti ini?
Pintu terdengar dibuka. Aku hanya melihat dari sudut mata dan itu adalah Mas Langit. Aku memberikan kode agar pintunya dikunci dari dalam dan Mas Langit pun hanya mengangguk.
"Kamu kapan sadar? Kenapa Mas baru tahu?" tanyanya langsung heboh. Untung saja aku memintanya untuk tidak bicara keras-keras, nanti bisa ketahuan.
"Tadi, Mas. Kebetulan pas aku sadar, mereka sudah menyebut nama Bella. Dia ternyata adalah istri Mas Al dan sedang hamil," jelasku membuatnya terkejut.
"Apa?" Mas Langit membulatkan kedua matanya. "Ternyata dia yang kusangka orang baik hanya kedok saja."
"Aku sendiri tidak tahu kenapa dia bisa berubah seperti itu, Mas. Padahal, jika melihat bahagia sikap sehari-harinya, sangat jauh."
"Sudah pasti karena mereka sudah tidak sabar agar Alvaro memiliki anak, jadi mencari jalan yang lain," geram Mas Langit sambil memasang wajah garang. "Sekarang apa yang mau kamu lakukan?"
"Aku diajak kerja sama, sama temannya Mas untuk mendirikan restoran. Berhubung aku masih punya banyak uang di rekening, sepertinya aku akan menyetujuinya. Daripada memberikan uang itu pada Mas Al, yang pada akhirnya dipakai untuk membiayai persalinan wanita itu, bukan?" jelasku.
"Benar. Mas juga tidak setuju kalau mereka tetap menggunakan uang kamu untuk diberikan kepada wanita itu. Enak sekali mereka." Mas Langit terlihat lebih emosi daripada aku.
"Makanya. Aku mau menerima tawaran teman Mas itu. Nanti aku bilang saja sama mereka kalau kita bangkrut, Mas," seruku mulai menyampaikan ide gila.
Selama ini mereka hanya tahu kalau aku adalah anak yang suka menghabiskan uang orang tua, begitupun dengan Mas Al. Makanya selama ini dia suka meminta uang dariku dengan alasan menabung daripada aku habiskan untuk hal-hal yang tidak perlu.
Padahal, dari awal aku memang tidak suka berfoya-foya. Dia sendiri yang menilai aku begitu.
"Oke. Nanti Mas kasih tau teman Mas."
Aku mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya Mas Langit.
"Hanya aku sisakan dua juta saja. Soalnya aku yakin nanti mereka akan minta aku untuk biaya persalinan wanita itu," bisikku lagi dan Mas Langit setuju.
"Nanti Mas atur semuanya. Cuman kapan kamu akan kasih tahu mereka kalau sudah sadar?" tanyanya dan aku sendiri tidak tahu.
Rasanya aku tidak mau bangun setelah tahu apa yang terjadi, tapi kalau begitu sama saja memberikan mereka kesempatan untuk bersenang-senang.
"Kapan, ya, Mas?" Aku malah meminta pendapatnya.
"Sekarang saja. Kamu suaranya agak dikeraskan, nanti mereka pasti langsung dengar," jawabnya membuatku terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Kaluna!" seru Mas Langit setelah memutar anak kunci.
Mama dan Mbak Nia langsung masuk dan menatapku tidak percaya.
"Syukurlah, akhirnya ada harapan untuk keluar dari masalah ekonomi," lirih Mbak Nia membuatku dan Mas Langit menatapnya lekat.
Keluar dari masalah ekonomi? Apa mereka menganggapku sebagai ATM berjalan?
KalunaHari ini adalah waktu akad nikahku dengan Rayan. Aku hanya menunggu di kamar sampai ijab qobul selesai. Katanya, nanti aku akan dijemput kalau sudah waktunya.Seminggu yang lalu, papa sendiri yang bilang kalau hari ini akad nikahnya dulu. Nanti minggu depan, baru resepsi. Anehnya hari ini banyak sekali tamu undangan yang datang. Kenapa aku bilang tamu, karena mereka hanya bisa masuk kalau menyerahkan undangan.Kalau saja aku tidak punya pengawal pribadi, aku juga tidak akan tahu papa mengundang banyak orang. Sepertinya dulu papa mengatakan hal itu agar aku tidak menolak pernikahan ini. Padahal, aku memang tidak punya alasan untuk menolak.Rayan adalah pria yang nyaris sempurna. Nikmat mana lagi yang aku dustakan?Bella berhasil meloloskan diri dari kejaran orang-orang Rayan, papa, dan juga pihak kepolisian. Namun, kondisi fisiknya membuat dia tidak bisa bertindak lebih jauh kalau tidak ada orang dalam atau sekarang dia sedang bersembunyi.Meski aku yakin dia akan kembali datang
"Itu aku, bukan?" Aku berjalan masuk ke dalam rumah yang penuh dengan serigala itu. Sayangnya aku tidak takut karena ada beberapa ksatria yang menjagaku. Terlebih, aku sudah berdoa lebih dulu dan menyerahkan apa pun yang terjadi kepada yang mahakuasa.Mas Al menatapku seperti serigala menatap mangsanya. Aneh, kenapa dia yang harus marah sampai melakukan berbagai cara? Bukankah harusnya aku karena dia sudah berkali-kali mencoba untuk mencelakai aku?Aku harus mengulur waktu sampai pihak kepolisian dan orang-orang papa sampai di sini dan aku yakin aku bisa. Selama ini dia selalu mendengarkan perintahku, meskipun kali ini aku tidak yakin."Bagus. Akhirnya kamu tahu di mana posisimu," ucapnya, tapi tidak berani melangkah mendekat lagi karena ada papa."Yang harusnya tahu diri di sini bukanlah anakku, tapi kau!" Papa memegang senjata yang aku tidak tahu sejak kapan benda itu ada di tangannya.Wajah papa menunjukkan amarah yang selama ini tidak pernah diperlihatkan. Bahkan Mas Al juga hanya
PRKS 39"Ayo, kita makan dulu. Aku tahu kalian belum makan apapun," ucapnya membuatku tersentak.Kenapa dia tahu kalau aku datang sendiri?"Awalnya aku tidak tahu kamu di sini, tapi ketika ke depan, tidak sengaja melihat mobil di rumah terparkir di sana. Jadi aku tahu kamu ke sini dengan Mbak Olive," jelasnya tanpa aku minta.Benar, pria seperti ini yang aku inginkan. Dialah pria yang nyaris sempurna dan aku tidak akan membuatnya lepas begitu saja.Aku tersenyum tipis. Gengsi, dong, kalau langsung nyambar. Wanita itu harus jual mahal, apalagi kita belum halal."Ayo, ikut aku!" Aku dan dia menuruni tangga, lalu berjalan ke arah kanan dari tangga utama. Di sini ada tempat makan yang menyediakan berbagai makanan kesukaanku."Kalian mau pesan apa?" tanyanya membuatku tersadar kalau aku jalan bukan hanya sama Rayan, tapi Mbak Olive sama anaknya juga. Ya, ampun.Mbak Olive dan anaknya mulai menyebutkan makanan yang ingin dimakan, kecuali aku karena masih bingung memilih."Kalau mau pesan ba
PRKS 38 Pria yang TepatRayan tersenyum lebar, tapi aku duduk tanpa mengatakan apapun. Aku memang setuju untuk menikah dengan Rayan, tapi tidak tahu kapan siap untuk melakukan ijab qobul."Kenapa pertanyaan Papa melayang di udara?" Papa melipat tangannya di dada dan menatap kami bergantian."Pa, kita baru menyelesaikan masalah Mbak Olivia, masa iya kita langsung membahas tentang pernikahan!" Aku mengusap wajah kasar, lalu berjalan ke arah seorang pekerja untuk meminta kotak obat.Setelah benda yang aku minta ada di tangan, segera aku duduk di samping kakaknya Rayan."Sepertinya kamu memang sudah siap untuk menjadi istri seorang dokter." Rayan mulai mengatakan yang tidak-tidak, tapi aku tetap mengobati luka Mbak Olive.Lukanya bekas cakaran tangan suaminya bukan hanya dalam dan luas, bahkan darahnya tidak kunjung berhenti."Mbak, menurutmu gimana dengan calon istriku?" tanya Rayan.Mendengarnya bicara santai, aku baru berani menyimpulkan kalau hubungan di antara mereka dekat. Sayangnya
"Jangan pedulikan sikap mereka yang seperti itu. Aku membawamu ke sini bukan untuk meminta restu mereka, tapi hanya untuk menegaskan kalau aku tidak akan menikah dengan wanita selain dirimu," ucapnya lembut tapi penuh penekanan.Mamanya Rayan sempat melihat ke arah kami, tapi mereka langsung berjalan ke dalam rumah seolah tidak melihat kami yang berdiri dari beberapa menit yang lalu."Ayo, masuk!" ajaknya dan aku pun langsung masuk mengikuti langkah kakinya tanpa memedulikan pandangan beberapa orang yang menatapku tajam."Pantesan diceraikan, ternyata sikapnya seperti ini," celetuk seseorang."Ya, iyalah. Kalau memang dia wanita salihah, tidak mungkin pria itu melemparkan dia kepada anak sial itu," sahut yang lainnya."Sudah cukup! Jangan katakan yang tidak-tidak, lagi pula kalian tidak tahu, apalagi kenal dengan Kaluna. Jadi, jangan sembarangan menilai," ucap seorang wanita dengan memar di wajahnya membelaku.Ah, ya, aku ingat wanita itu. Dia adalah kakak Rayan yang mendapatkan perla
"Kenapa belum apa-apa kamu sudah memberikan aku benda ini? Apa kamu begitu yakin kalau aku akan menerima dirimu?" tanyaku membuat diam terdiam dan tubuhnya sedikit gemetar.Tunggu, dia pria, kenapa tubuhnya harus gemetar hanya karena ditolak seorang janda seperti aku, bukan?Kembali aku memastikan semuanya dengan melihatnya lagi dan tubuhnya masih gemetar. Tadi aku tidak salah melihat. "Bukankah kamu orang hebat dan kuat? Apa mungkin semua itu hanya rumor agar aku mau menerima dirimu?" tanyaku membuatnya sedikit tersentak.Melihat gelagatnya seperti ada yang aneh, aku langsung memalingkan wajah ke sisi yang lain. Tidak mungkin aku terus menggodanya di saat tubuhnya sedang lemah seperti ini."Tidak tau. Aku hanya tahu satu hal, yaitu tubuhku sangat lemah ketika di hadapanmu dan aku tidak sekuat itu," jelasnya.Sebenarnya aku ingin mengeluarkan kata-kata meledek, tapi sungguh tidak tega."Aku tidak suka orang yang lemah ketika berada di dekatku, sejujurnya aku lebih suka melihat sesuat