Share

Bab 5

 "Pelengkap?" Aku tertawa kecil. "Anak adalah anugerah dari yang mahakuasa? Bukankah anugerah itu datang tanpa kita tahu?" tanyaku sambil melemparkan tatapan tidak suka.

"Tentu saja. Hanya saja anugerah itu hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu seperti aku," jawabnya tidak tahu diri.

Aku tersenyum kecut, lalu menatap ke arah Mas Al yang terlihat gelagapan. Berhubung aku ingat kalau keluarga suamiku ini berniat menggunakan uangku untuk persalinannya, sepertinya akan ada hal baik kalau aku mengunakannya.

"Ya, kamu punya anugerah lewat anak sementara keluargaku lewat kekayaan. Apalagi segalanya membutuhkan uang, begitupun ketika kita melahirkan. Bukankah kamu juga sedang membutuhkan uang yang tidak sedikit?" tanyaku tepat sasaran.

Kini bukan hanya wanita yang tengah hamil itu yang menatapku penuh kebencian, tapi juga Mbak Nia, dan Mama. Sementara Mas Al, dia menatapku terkejut, lalu memelukku.

"Apa yang kamu bicarakan, Sayang?" tanyanya lirih dan aku benci mendengarnya. Bukan karena nada, tapi karena yang dia bicarakan. Bukankah sudah pasti dia mau menutupi kesalahannya?

"Iya, Kaluna, apa yang baru saja kamu katakan? Bukankah kalian tidak saling mengenal, tapi kenapa kamu malah membuat Bella merasa tidak nyaman?" cecar mama mertua membuatku yakin kalau dia yang sudah memaksa Mas Al untuk menikah dengan wanita lain.

"Oh, jadi namamu Bella?" tanyaku pura-pura baru mengetahuinya.

Sontak semua mata kini tertuju ke arah mama, tapi tidak dengan Bella. Dia malah melemparkan tatapan bangga seolah ingin menunjukkan padaku kalau dia sudah menang.

"Kenapa? Apa anda ada masalah dengan saya?" tanyanya mulai formal.

Aku tertawa cukup lama sampai membuat semua orang heran. Kenapa ada orang yang begitu tidak tahu malu seperti ini? Apa dia pikir aku akan diam saja dengan apa yang baru dilakukannya?

Tidak. Aku akan mengingat semuanya dan membalas satu-persatu. Tidak akan aku biarkan kalian lolos tanpa berurai air mata atau rasa sakit seperti yang aku rasakan.

Bagi seorang muslim, memang lebih baik sabar, lalu memaafkan. Namun, maaf, aku tidak bisa seperti itu. Aku justru tidak akan tidur nyenyak jika belum membuat mereka tahu siapa aku dan melihat penyesalannya.

"Tentu, ada banyak masalah di sini. Pertama, anda masuk begitu saja ke ruangan orang lain. Kedua, tiba-tiba ikut campur dalam percakapan kita. Apa menurut anda itu bukan masalah?" tanyaku penuh penekanan.

Seketika wajah mama dan Mbak Nia berubah pucat, tapi tidak dengan Mas Al. Dia begitu tenang. Namun, kedua tangannya menggenggam tanganku dengan erat. Seperti takut ditinggal.

Lihat saja, Mas, aku akan membuatmu tau bagaimana rasanya ada di posisiku. Memang tidak sekarang, tapi sudah bisa kupastikan kamu akan menyesali perbuatanmu, Mas.

"Tentu saja aku punya hak!" serunya membuat ibu dan anak yang tadi hanya diam, memintanya untuk keluar.

"Ayo, kita bicarakan semuanya baik-baik," ajak Mbak Nia, tapi tangannya lebih dulu ditepis oleh wanita itu.

"Aku memang punya hak di sini, Mbak. Jangan pura-pura tidak kenal," bentak Bella membuatku semakin bersemangat untuk menyaksikan drama.

Tontonan gratis di saat tubuh sedang tidak berdaya, tentu sangat menarik. Dua bulan sudah aku tidak sadarkan diri dan kata dokter aku membutuhkan waktu cukup lama untuk pulih. Karena dokter sendiri tidak bisa memastikan kapan tubuhku stabil.

Untuk sementara, aku hanya bisa menyelesaikan semuanya lewat ponsel. Sisanya bisa diurus nanti.

"Bella! Jangan kelewatan!" Mbak Nia mulai kehilangan kesabaran.

"Wah, kalian ternyata saling kenal, ya?" Kembali aku memasang wajah heran.

"Jangan pedulikan dia, Sayang," bisik Mas Al sambil menutupi kedua mataku.

Aku melepaskan kedua tangan dan menyingkirkannya dari mata. "Mana mungkin aku tidak peduli kalau dia tiba-tiba masuk dan nimbrung pembicaraan kita, Mas?" ucapku penuh penekanan.

Mas Al berjalan menjauh dariku dan menarik tangan Bella keluar. Jujur saja aku kecewa. Aku ingin melihat mereka saling menutupi di saat aku sudah tahu semuanya.

"Ma, kenapa Mas Al terlihat akrab dengan Bella? Apa benar kalian saling kenal?" tanyaku kepada wanita yang memakai kacamata itu dan dia malah mengalihkan tatapannya.

"Itu ... itu ... dia ...."

"Dia saudara jauh Mas Arsan, Lun," sahut Mbak Nia membuat mama mengelus dada lega.

"Mas Arsan?" tanyaku tidak percaya mereka bisa berbohong sejauh ini.

Sudah bisa kupastikan kalau Mas Arsan atau suamimu Mbak Nia tidak mungkin terlibat dengan kebohongan tentang Bella. Bahkan, rasanya mustahil kalau dia ikut campur tentang keturunan Mas Al.

Aku mengenal Mas Arsan daripada yang lainnya termasuk Mbak Nia. Karena sebelum dekat dengan Mas Al, aku bersahabat dengan Mas Arsan juga Mas Langit yang akhirnya berujung luka karena dia mengungkapkan cinta, tapi aku menolaknya. Bagiku cinta bisa merusak persahabatan.

Sekarang, aku ingin tahu bagaimana reaksi Mas Arsan ketika tahu istrinya ternyata sudah berbohong.

"Iya, Bella adalah saudara jauhnya," jawabnya gelagapan.

"Oke, nanti aku tanya Mas Arsan langsung. Kebetulan Mas Arsan sudah di perjalanan mau ke sini," tandasku membuat Mbak Nia dan mama membelalakkan mata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status