"Pelengkap?" Aku tertawa kecil. "Anak adalah anugerah dari yang mahakuasa? Bukankah anugerah itu datang tanpa kita tahu?" tanyaku sambil melemparkan tatapan tidak suka.
"Tentu saja. Hanya saja anugerah itu hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu seperti aku," jawabnya tidak tahu diri.
Aku tersenyum kecut, lalu menatap ke arah Mas Al yang terlihat gelagapan. Berhubung aku ingat kalau keluarga suamiku ini berniat menggunakan uangku untuk persalinannya, sepertinya akan ada hal baik kalau aku mengunakannya.
"Ya, kamu punya anugerah lewat anak sementara keluargaku lewat kekayaan. Apalagi segalanya membutuhkan uang, begitupun ketika kita melahirkan. Bukankah kamu juga sedang membutuhkan uang yang tidak sedikit?" tanyaku tepat sasaran.
Kini bukan hanya wanita yang tengah hamil itu yang menatapku penuh kebencian, tapi juga Mbak Nia, dan Mama. Sementara Mas Al, dia menatapku terkejut, lalu memelukku.
"Apa yang kamu bicarakan, Sayang?" tanyanya lirih dan aku benci mendengarnya. Bukan karena nada, tapi karena yang dia bicarakan. Bukankah sudah pasti dia mau menutupi kesalahannya?
"Iya, Kaluna, apa yang baru saja kamu katakan? Bukankah kalian tidak saling mengenal, tapi kenapa kamu malah membuat Bella merasa tidak nyaman?" cecar mama mertua membuatku yakin kalau dia yang sudah memaksa Mas Al untuk menikah dengan wanita lain.
"Oh, jadi namamu Bella?" tanyaku pura-pura baru mengetahuinya.
Sontak semua mata kini tertuju ke arah mama, tapi tidak dengan Bella. Dia malah melemparkan tatapan bangga seolah ingin menunjukkan padaku kalau dia sudah menang.
"Kenapa? Apa anda ada masalah dengan saya?" tanyanya mulai formal.
Aku tertawa cukup lama sampai membuat semua orang heran. Kenapa ada orang yang begitu tidak tahu malu seperti ini? Apa dia pikir aku akan diam saja dengan apa yang baru dilakukannya?
Tidak. Aku akan mengingat semuanya dan membalas satu-persatu. Tidak akan aku biarkan kalian lolos tanpa berurai air mata atau rasa sakit seperti yang aku rasakan.
Bagi seorang muslim, memang lebih baik sabar, lalu memaafkan. Namun, maaf, aku tidak bisa seperti itu. Aku justru tidak akan tidur nyenyak jika belum membuat mereka tahu siapa aku dan melihat penyesalannya.
"Tentu, ada banyak masalah di sini. Pertama, anda masuk begitu saja ke ruangan orang lain. Kedua, tiba-tiba ikut campur dalam percakapan kita. Apa menurut anda itu bukan masalah?" tanyaku penuh penekanan.
Seketika wajah mama dan Mbak Nia berubah pucat, tapi tidak dengan Mas Al. Dia begitu tenang. Namun, kedua tangannya menggenggam tanganku dengan erat. Seperti takut ditinggal.
Lihat saja, Mas, aku akan membuatmu tau bagaimana rasanya ada di posisiku. Memang tidak sekarang, tapi sudah bisa kupastikan kamu akan menyesali perbuatanmu, Mas.
"Tentu saja aku punya hak!" serunya membuat ibu dan anak yang tadi hanya diam, memintanya untuk keluar.
"Ayo, kita bicarakan semuanya baik-baik," ajak Mbak Nia, tapi tangannya lebih dulu ditepis oleh wanita itu.
"Aku memang punya hak di sini, Mbak. Jangan pura-pura tidak kenal," bentak Bella membuatku semakin bersemangat untuk menyaksikan drama.
Tontonan gratis di saat tubuh sedang tidak berdaya, tentu sangat menarik. Dua bulan sudah aku tidak sadarkan diri dan kata dokter aku membutuhkan waktu cukup lama untuk pulih. Karena dokter sendiri tidak bisa memastikan kapan tubuhku stabil.
Untuk sementara, aku hanya bisa menyelesaikan semuanya lewat ponsel. Sisanya bisa diurus nanti.
"Bella! Jangan kelewatan!" Mbak Nia mulai kehilangan kesabaran.
"Wah, kalian ternyata saling kenal, ya?" Kembali aku memasang wajah heran.
"Jangan pedulikan dia, Sayang," bisik Mas Al sambil menutupi kedua mataku.
Aku melepaskan kedua tangan dan menyingkirkannya dari mata. "Mana mungkin aku tidak peduli kalau dia tiba-tiba masuk dan nimbrung pembicaraan kita, Mas?" ucapku penuh penekanan.
Mas Al berjalan menjauh dariku dan menarik tangan Bella keluar. Jujur saja aku kecewa. Aku ingin melihat mereka saling menutupi di saat aku sudah tahu semuanya.
"Ma, kenapa Mas Al terlihat akrab dengan Bella? Apa benar kalian saling kenal?" tanyaku kepada wanita yang memakai kacamata itu dan dia malah mengalihkan tatapannya.
"Itu ... itu ... dia ...."
"Dia saudara jauh Mas Arsan, Lun," sahut Mbak Nia membuat mama mengelus dada lega.
"Mas Arsan?" tanyaku tidak percaya mereka bisa berbohong sejauh ini.
Sudah bisa kupastikan kalau Mas Arsan atau suamimu Mbak Nia tidak mungkin terlibat dengan kebohongan tentang Bella. Bahkan, rasanya mustahil kalau dia ikut campur tentang keturunan Mas Al.
Aku mengenal Mas Arsan daripada yang lainnya termasuk Mbak Nia. Karena sebelum dekat dengan Mas Al, aku bersahabat dengan Mas Arsan juga Mas Langit yang akhirnya berujung luka karena dia mengungkapkan cinta, tapi aku menolaknya. Bagiku cinta bisa merusak persahabatan.
Sekarang, aku ingin tahu bagaimana reaksi Mas Arsan ketika tahu istrinya ternyata sudah berbohong.
"Iya, Bella adalah saudara jauhnya," jawabnya gelagapan.
"Oke, nanti aku tanya Mas Arsan langsung. Kebetulan Mas Arsan sudah di perjalanan mau ke sini," tandasku membuat Mbak Nia dan mama membelalakkan mata.
"Tidak, Mas Arsan sibuk. Jangan coba-coba membohongi Mbak, Kaluna," desisnya tidak terima. Aku tertawa kecil. Berbohong dia bilang? Kalau memang tidak ada apapun, seharusnya dia tidak perlu takut. Belum juga apa-apa, sudah salah tingkah begitu."Tidak ada yang berbohong di sini. Aku baru saja bangun, masa iya langsung berbuat begitu," lirihnya sambil menatapnya tidak percaya. "Kecuali kalau di mata Mbak aku memang orang yang begitu buruk.""Sudah, biarkan saja Arsan ke sini." Mama menengahi, tapi wajahnya menunjukkan kalau dirinya sendiri tidak mau menantunya itu datang ke sini.Mama menarik Mbak Nia keluar tanpa berkata apapun lagi padaku dan ini membuatku curiga. Setelah mereka keluar, aku berjalan pelan ke arah pintu. Alhamdulillah sekarang aku bisa berjalan meksipun perlahan."Jangan katakan apapun kepada Bella kalau Arsan mau ke sini. Kamu cukup jauhkan dia dari ruangan ini!" Mama memberi perintah kepada Mbak Nia."Tapi, Ma, Mas Arsan itu orangnya peka. Dia akan langsung tahu me
Aku terdiam cukup lama dengan tangan yang memegang dada. Perasaan apa ini, kenapa rasanya lebih sakit dibanding mengetahui pengkhianatan Mas Al?"Tidak mungkin kalau kamu anggap aku bohong, bukan?" tanyanya meyakinkan.Aku menggeleng pelan.Saat ini bibirku terasa kelu dan kata-kata yang sudah aku siapkan dari tadi dalam hati, hilang begitu saja, dan berganti dengan rasa sesak. Siapa sangka pria yang aku kira sungguhan sayang, ternyata hanya bermain belaka.Kenapa dia masih berani mengatakan sayang dan cinta kalau pada akhirnya dia juga yang menenggelamkan?"Kamu harus percaya sama aku, Luna. Alvaro memang bukan pria yang baik. Dia tega meninggalkan kamu yang saat itu terkapar tidak berdaya hanya untuk menyenangkan dirinya sendiri," jelasnya lagi tanpa aku minta.Aku hanya mengangguk menanggapi."Aku bahkan curiga dia punya wanita lain karena sejak kamu di sini, dia juga jarang ke rumah. Awalnya aku berpikir mungkin dia menemanimu di sini, tapi ketika aku ke sini, kamu hanya sendiri.
Seusai perkataannya, hari ini aku memang sudah diperbolehkan untuk pulang karena tubuhku juga sudah lebih bertenaga. Namun, waktu pulang masih menunggu beberapa jam lagi karena sekarang jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi. Katanya aku harus periksa lagi, tapi sekarang dokternya belum datang."Tolong selesaikan administrasinya lebih dulu," ucap seorang petugas.Aku juga mendengarnya dan aku yakin Mas Al, Mbak Nia, dan mama mertua juga mendengarnya. Jadi, aku berpura-pura tidak mendengar dan kembali sibuk dengan aktivitas sendiri, yaitu mengirimkan pesan singkat kepada Mas Langit mengajaknya bertemu sore ini.Anehnya, Mas Al ataupun keluarganya tidak menjawab pertanyaan itu sampai aku sendiri dibuat kesal. Masa, iya, di antara mereka tidak ada yang berniat untuk membayar biaya perawatanku selama di sini?"Mas, kamu selesaikan administrasinya," pintaku pada pria yang duduk di samping ranjang pasien."Kamu saja, Lun, nanti uangnya Mas ganti," jawabnya membuatku sungguh tidak percaya
"Baik, Pa, terima kasih banyak. Cuman anehnya mereka hanya diam sama ketika pihak rumah sakit meminta agar kami segera melunasi tagihannya," ucapku dengan napas tidak teratur karena memindahkan ponsel ke sana ke mari, agar tidak berhasil direbut Mas Al."Apa lagi yang perlu kamu bicarakan, Mas? Semuanya sudah kelas." Aku berteriak kesal. Dia sudah keterlaluan.Aku diam bukan karena tidak berani bertindak atau berat oleh cinta, tapi karena tubuhku masih lemah. Fisik tubuhku sedari awal memang berbeda dari yang lain, ditambah sudah tidak sadarkan diri dalam jangka waktu yang cukup lama, hal ini membuat tubuhku semakin susah bergerak cepat."Aku tidak menerima uang yang Papa kamu ucapkan," ungkapnya tidak tahu diri, lalu keluar begitu saja tanpa memikirkan aku yang masih terbaring lemah."Apa maksud kamu, Kaluna?" Mbak Nia mengayunkan tangannya untuk memberikan aku tamparan, tapi tanganku lebih dulu menahannya, dan mendorongnya.Kalau berhadapan satu lawan satu, aku masih bisa memang, ta
PoV Alvaro"Kaluna! Kamu di mana?"Aku berteriak sambil membuat satu persatu ruangan yang ada di depan mata, begitupun dengan mama dan Mbak Nia. Sungguh aku dibuat kewalahan dengan sikapnya yang aneh akhir-akhir ini.Ketika dia kecelakaan, aku dan keluarga besarku memang sedang berada di rumah Bella. Waktu itu dia sedang mengidam dan meminta kami semua untuk datang, bahkan menginap di rumahnya.Kata mama dan juga keluarganya, permintaan orang yang sedang ngidam harus dituruti. Jadi, dengan berat hati aku tidak pulang selama satu minggu. Hatiku juga ikut hancur ketika mendengar dia kecelakaan, tapi apa daya, tidak ada yang bisa kulakukan.Sejak menikah dengan Bella, pikiranku jadi bercabang. Tidak hanya memikirkan Kaluna, tapi juga Bella dan anaknya. Ditambah sekarang pekerjaanku juga sedang tidak stabil, ditambah tabungan yang ada sudah terpakai ketika menikahi Bella.Aku bahkan masih tidak tahu ke mana harus pergi agar mendapatkan uang untuk biaya persalinan Bella. Ditambah Kaluna ju
PoV KalunaMas Al berjalan gugup ke arahku, mama, dan papa. Lihat saja, meksipun hubungan kami memang tidak begitu baik, tapi kami tetaplah anak dan orang tua. Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi putrinya.Lagi pula aku masih punya Mas Arsan yang bisa memberikan bukti untuk kedua orang tuaku. Jadi, kali ini mereka akan kalah telak. Untuk sementara, aku tidak mau langsung bercerai, karena setelah berpisah aku tidak akan tahu bagaimana kehidupan mereka yang susah. Namun, aku juga tidak akan tinggal diam dengan apa yang sudah mereka lakukan."I-iya, Pak. Ada apa?" tanya Mas Al terbata."Apa yang kalian lakukan terhadap anak saya?" tanya papa dengan mata yang menatap mereka tajam. Seorang pria awet muda ditambah lesung pipi, papa memang sangat tampan, tapi marahnya juga tidak kalah menyeramkan."Maaf, saya izin undur diri, tapi jangan lupa untuk melunasi administrasinya," ucap dokter muda yang sudah membantuku bersembunyi di sini.Dia bahkan berbalik tanpa melihat ke arahku dulu, sa
"Dia adalah istri baru Mas Al, apa Mama sudah mengenalnya?" Aku bertanya dengan diliputi rasa kecewa.Teganya mereka mengkhianati aku seperti ini. Ditambah orang tuaku malah terlihat mendukung hubungan mereka dan bicara diam-diam di belakangku.Bukankah harusnya pihak istri keberatan dan marah ketika tahu anaknya di duakan? Kenapa malah sebaliknya?"Istri baru?" Mama menatapku tidak percaya."Tentu saja. Dia adalah wanita yang aku maksud tadi dan sekarang dia sedang mengandung anak Mas Al. Karena sebentar lagi dia akan melahirkan, maka aku juga akan ditelantarkan," jelasku pelan tapi penuh penekanan.Wajah Bella malah terlihat bahagia. Dia seolah tidak malu kalau dirinya merebut suami dan kebahagiaan wanita lain."Kamu pasti bohong, bukan?" Kedua tangan mama memegang pundakku kuat. "Katakan yang sebenarnya," pintanya membuatku semakin kecewa."Saya mengenal Mas Al lebih dulu daripada Kaluna, jadi wajar kalau saya Istrinya," ucap Bella bangga.Dia sungguh orang tidak tahu malu setelah
"Apa yang sedang kau rencanakan?" Tidak hanya orang tuaku ataupun Mas Al, tapi mama mertua, dan Mbak Nia juga langsung keluar ketika melihat Mas Langit."Menyusun rencana. Memangnya apalagi?" Aku mengendikkan bahu dengan santai, lalu memberikan perjanjian yang dibawa Mas Langit ke hadapan mereka. "Silakan dibaca."Aku tertawa kecil melihat ekspresi mereka yang terlihat tidak sudi mengikuti kata-kataku, tapi sayangnya mereka sudah menyentuh batas kesabaranku, dan inilah awal aku bertindak. Kali ini mereka memang tidak akan pernah bisa lolos."Kenapa? Baca ini, lalu tanda tangani." Aku berbicara setengah membentak, sampai mereka menatapku. "Apa ada yang salah?""Tolong pikirkan baik-baik. Ini hanya perjanjian kekeluargaan, tidak membutuhkan hitam si atas putus seperti ini." Mas Al mulai bicara dana semua orang ikut mengangguk. Kembali aku tertawa, lalu menatap mereka satu persatu. "Terserah apapun yang menjadi keputusan kalian, yang jelas aku tidak akan mau diajak kerja sama kalau k