Share

Bab 4

Aku mengerutkan kening dan menatapnya lekat untuk mendapatkan jawaban, tapi mama malah memberikan tanda agar Mbak Nia diam.

"Tidak apa-apa, Mbak. Katakan saja." Kembali, aku memancingnya, tapi Mbak Nia masih diam, dan mama menatapnya tajam.

"Eh, itu ponsel kamu?" tanya Mbak Nia heboh ketika melihat ponselku menyala. Segera aku mengambilnya dan menutupinya dengan tangan.

"Iya, Mbak. Aku mencoba mengeceknya, ternyata sudah mati," jawabku berbohong.

"Barusan nyala, kok," sahutnya sambil berusaha membuka tanganku yang menutupi ponsel.

"Nyala karena aku nyalakan. Nanti juga mati.". Aku berusaha meyakinkan. Namun, Mas Al yang berdiri di ambang pintu malah terlihat heran.

Mas Al seperti tahu sesuatu tentang ponselku. Kalau tidak salah, waktu kecelakaan aku memang tidak membawa ponsel karena waktu itu aku menabrak pembatas jalan ketika hendak mengambil benda pipih ini.

"Kok, bisa?" Mbak Nia malah terlihat lebih Panin daripada aku.

"Tentu saja bisa!" teriakku geram di dalam hati.

Aku memperhatikan Mas Al yang hanya diam di depan pintu, lalu tersenyum ke arahnya seolah tidak ada apapun. "Mas, kamu tidak senang melihatku bangun?" tanyaku dengan suara lembut seperti biasanya.

Mas Al sedikit terperanjat, lalu berjalan ke arahku. "Tentu saja Mas sangat senang. Bahkan kedua kaki terasa tiba-tiba keram," jawabnya.

Dulu, mungkin hatiku akan menghangat dan semakin mencintainya jika mendengar perkataan seperti ini, tapi tidak dengan sekarang. Hatiku langsung penuh luka ketika mendengar percakapan mereka tentang Bella.

"Waduh, tapi Mas tadi tidak melihat kamu bahagia, tuh," sindir Mas Langit membuat mama langsung mendekat ke arahku.

"Mana mungkin, Alvaro adalah suamimu. Sudah pasti dia yang paling bahagia setelah mendengar kamu sudah sadar," hibur mama membuatku semakin tidak suka.

Wanita yang kusangka baik dan paham bagaimana perasaan menantunya, ternyata diam-diam malah menikahkan anaknya dengan wanita lain. Sekarang bahkan beranggapan kalau aku akan menerima anak dan istri keduanya itu? Sungguh tidak memikirkan bagaimana hancurnya perasaanku.

Aku tersenyum lebar dan tentu saja ini hanya kepalsuan. Aku harus menjadi aktris yang baik agar bisa mengelabui mereka semua. Awalnya aku berpikir mertua dan ipar yang jahat itu hanya ada di sinetron atau cerita dengan genre rumah yang, tapi sekarang aku--Kaluna mengalaminya sendiri.

Orang-orang yang aku pikir lembut dan penuh kasih sayang, ternyata hanya orang-orang yang mau memanfaatkan aku saja.

"Boleh kita bicara berdua?" tanya Mas Al membuatku menatap ke arah Mas Langit.

"Bisa." Mas Langit menjawab cepat. "Tapi saya akan kembali masuk kalau pembicaraan rahasia kalian sudah selesai."

"Iya, Mas. Saya juga hanya bicara sebentar, kok. Kalau dibicarakan di hadapan banyak orang seperti ini, takutnya tidak menghargai perasaan pasangan," cetusnya membuatku tersenyum getir.

Tidak menghargai? Sekarang bukan hanya itu yang kamu lakukan, Mas, tapi melukai. Hatiku sudah terlanjur luka dengan apa yang sudah kau lakukan. Awalnya sungguh aku tidak menyangka meksipun sempat mengira-ngira, tapi sekarang, semuanya sudah tampak di depan mata, dan sangat jelas. Aku tidak percaya padamu lagi, Mas.

"Oke."

Mas Langit langsung keluar tanpa bicara lagi dan yang lainnya juga ikut dengan wajah keberatan.

"Ada apa, Mas?" 

Aku bertanya dengan pelan dan penuh kelembutan seperti biasa. Padahal, hatiku rasanya ingin meninju wajahnya itu kalau saja tidak dosa.

"Apa ponselnya masih berfungsi?" tanyanya membuatku mengerutkan kening.

"Tentu saja, Mas. Kenapa?"

"Baru kemarin Mas bawa ponselnya kemari. Setiap seminggu sekali, Mas isi daya ponsel kamu, dan Mas cek kuotanya karena Mas tidak mau pas kamu sadar, ponselnya mati atau kuotanya habis," jelasnya membuatku terharu.

Kenapa kamu harus melakukan ini? Kenapa, Mas? Kenapa kamu tidak menjadi orang jahat saja seperti suami di luaran sana yang tidak mau menafkahi istrinya atau melakukan kekerasan dalam rumah tangga?

Apa kamu sengaja ingin membuatku goyah atau memang kamu ingin selalu menjadi yang terbaik di dalam hatiku?

Kalau kamu terus seperti ini, aku tidak bisa membencimu apalagi meninggalkan kamu, Mas.

"Kenapa, Mas?" tanyaku penasaran dengan luka hati yang semakin lebar. "Apa hanya karena tidak mau ponselku mati kalau aku sadar nanti?"

"Ada satu alasan lagi," lirihnya.

"Apa itu, Mas?"

"Karena Mas takut kamu sadar ketika Mas tidak ada di sini dan kamu sendirian. Mas tidak mau hal itu terjadi," jelasnya dan aku tahu semuanya jujur juga tikus dari hati.

Aku meremas baju bagian dada yang terasa sesak, padahal bajunya longgar.

"Sebenarnya siapa aku di dalam hidupmu, Mas?" Aku menatapnya nyalang. 

"Tentu saja kamu adalah yang terpenting."

"Kalau di antara kita tetap tidak ada anak, apa Mas masih menganggap aku sebagai yang terpenting?" Aku kembali bertanya dengan hati yang berdebar. Bukan karena cinta, tapi karena kenyataan pahit yang akan segera aku dengar.

Mas Al hanya diam.

"Kenapa, Mas? Apa tidak bisa?" desisku kecewa.

"Anak adalah pelengkap kebahagian. Tanpa anak, kehidupan rumah tangga kalian akan terasa hambar," sahut seorang wanita dengan perut yang besar membuat kami terkejut, terutama Mas Al.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
yenyen
oo ini jawabannya..udah prasangka buruk aja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status