Share

MERTUAKU TUKANG FITNAH HANDAL

Hari mulai petang, matahari sudah mulai condong ke barat, ke tempat Sun Go Kong dan teman-temannya mencari kitab suci. Sudah pasti cahayanya mulai redup tak secerah tengah hari tadi. Langit berwarna merah jingga sudah menjadi cerita lama. Sayangnya aku masih tak tahu siapa namaku, Dysta tak pernah memberitahu siapa namaku, kecuali tadi pagi dia menyebutku sebagai 'Mas Joko', tapi tak memberitahu kelanjutan dari nama itu.

 

Dari sepengetahuanku, 'Joni' adalah nama jenis kelamin laki-laki yang berasal dari jawa. Mungkin ayah dan ibuku adalah orang jawa karena memberikan nama 'Joko' untukku. Aku sama sekali tak mempersoalkan nama itu. 

 

"Bagaimana jika ternyata ayahku adalah seorang pertapa dari jawa?" tiba-tiba terbesit satu pertanyaan di dalam pikiranku. Aku tak tahu darimana datangnya pikiran itu. Namun penulis kisah ini pasti mendengar semua yang ada di dalam pikiranku. Sialnya lagi, penulis itu membenciku. Pasti dia yang menulis hal-hal aneh di dalam pikiranku.

 

Aku tak mau terjebak terlalu lama di dalam pikiranku. Bisa saja penulis itu mempunyai satu ide membuatnya menjadi kenyataan. Aku tak mau memberi ikan asin pada kucing garong. Kupilih jalan ke luar kamar, mungkin bisa menghilangkan pikiran-pikiran aneh di dalam otakku.

 

Aku membuka pintu kayu kamarku yang penuh dengan ukiran, kulalui lorong yang sangat panjang penuh dengan lukisan menempel di dindingnya, menuruni anak tangga berkelok-kelok yang jumlahnya hampir seratusan, hingga sampai di sebuah ruangan yang cukup besar dengan sepasang pintu kayu jati berukiran cukup besar sebagai penutupnya. 

 

Guci-guci besar dan patung-patung berukuran besar memenuhi hampir seluruh ruangan. Beberapa pilar besar bermotif emas terpasang sebagai penopang ruangan. Aku sangat kagum dan keheranan bisa tinggal di rumah megah bagai istana kerajaan di dalam sinetron Angling Dharma.

 

Kubuka pintu besar itu, taman yang sangat luas dan juga indah terpampang di depan mata. Dihiasi dengan bunga yang berwarna-warni, ada merah, putih, kuning, dan jingga. Rumput hijau terlihat sangat rapi membalut tanah sebagai lantainya. Ada satu jalan yang lumayan lebar dengan beberapa tiang lampu hias berjajar di tepi kanan dan kirinya membelah taman tepat pada tengahnya. Betapa rapi, bersih dan juga indah taman itu. Membuatku penasaran dan ingin bertanya, siapa sebenarnya tukang tamannya?

 

Kuputar kepalaku ke kanan dan ke kiri, tampak satu jalan kecil mengarah ke samping rumah, aku tak tahu jalan kemana. Kuturuti naluriku untuk menyusuri jalan itu hingga sampai di belakang rumah. Terlihat satu bangunan kecil yang agak jauh dari rumah utama. Harus melalui jalan setapak di tengah taman belakang yang juga di tumbuhi banyak bunga.

 

"Mungkin ada tukang taman yang tinggal disana," praduga timbul di kepalaku.

 

Aku terus menapaki jalan itu hingga sampai di depan bangunan kecil itu yang mirip dengan rumah. Ada satu pintu kecil dan dua buah jendela tertutup tirai putih di sampingnya.

 

'Tok tok tok!'

 

Kuketuk pintu tapi tak ada jawaban dari siapa-siapa. Kuraih gagang pintu dan menurunkannya ke bawah, pintu kecil itu terbuka. Bau debu dan lembab tercium jelas di dalam ruangan. Berdiri satu lagi pintu tertutup di depanku, mungkin pemisah ruang tamu dan ruang tengah. Kuberanikan diri menapakkan kakiku menuju ruangan di balik pintu kayu model lama yang tertup di hadapanku.

 

Perlahan kubuka pintu itu, terdapat lorong dengan tiga pintu tertutup di samping kanannya. Kemungkinan ada sebuah kamar di balik masing-masing pintu-pintu tertutup itu. Tapi ketiga pintunya dikunci dengan gembok besar. Suasana rumah semakin mencekam, beberapa rumah laba-laba bergelantungan menghalangi perjalanan melalui lorong. Plafon di atas kepalaku terlihat sudah usang, bahkan ada beberapa yang sudah berlubang.

 

"Toloong!" kudengar lolongan dari belakang ruangan. Dengan jantung berdebar-debar kucari dari mana suara itu berasal.

 

"Toloong!" kembali kudengar teriakan dari belakang. Kubuka pintu pembatas lorong dengan ruang belakang, kulihat satu ruangan seperti kandang. Seorang laki-laki yang sudah berumur terkurung di dalamnya. Badannya sangat kurus tinggal tulang, wajahnya sangat tirus, tulang pipi sudah menjulang keluar, matanya cekung kehitaman merangsek agak ke dalam, dan rambut putih panjang tumbuh jarang-jarang di atas kepalanya.

 

"Anda siapa?" kuberanikan diri bertanya kepada orang tua itu.

 

"Baskoro." Jawabnya dengan suara bergetar.

 

"Kenapa Anda disini?"

 

"Aku dikurung oleh perempuan tua."

 

"Perempuan pemakan daun sirih?"

 

"Iya."

 

"Kenapa?" 

 

"Aku mau cerita yang sebenarnya, tapi janji jangan memberitahu siapa-siapa," pintanya sebelum bercerita.

 

"Iya, aku janji tak akan memberitahu siapa-siapa," janjiku kepadanya.

 

"Dulu ada seorang yang sangat tua yang dikurung disini sebelum aku. Dia difitnah, dibilang sudah gila oleh nenek tua itu."

 

"Darimana Anda tahu kalau dia difitnah?"

 

"Aku sering ngobrol dengan dia."

 

"Dengan orang gila?" tanyaku masih tak percaya.

 

"Tidak! Dia bercerita kalau dirinya tidak gila. Dia adalah pemilik rumah utama, nenek itu sebagai pembantunya. Tapi nenek itu bilang kepada warga bahwa dia sudah gila, dia telah membunuh anak dan isterinya. Maka warga menangkap dia, menghajar hingga babak belur dan mengurungnya disini. Warga takut dia mengulangi perbuatannya kepada warga."

 

"Apa hubungannya dengan Anda?"

 

"Aku sering menengok untuk memberi makan dan minum kepada dia. Kami sering ngobrol, kadang aku hanya menjadi pendengar yang baik untuk dia. Suatu hari dia berpesan untuk tidak menceritakan kisahnya kepada siapa-siapa. Aku pun menuruti pesannya untuk tidak bercerita kepada siapa-siapa."

 

"Terus apa yang terjadi?"

 

"Suatu ketika ada seseorang yang bekerja sebagai tukang taman memergokiku sedang ngobrol bersama dia. Dia mengira hanya orang gila yang bisa mengerti omongan orang gila lainnya. Dia memberitahu seluruh warga bahwa aku sudah gila."

 

"Hanya karena itu Anda dianggap gila?"

 

"Tidak. Waktu di warung kopi Buk Inah, ada dia bersama beberapa warga sedang ngopi disana sebelum aku datang untuk ngopi juga. Mereka berbisik bahwa ada orang gila baru datang untuk ngopi bersama mereka. Aku hanya bisa menahan diri agar tidak marah, karena mereka tidak tahu yang sebenarnya."

 

"Lalu?"

 

"Ada satu orang dari mereka melarangku untuk memesan kopi dan memaksaku keluar, karena dia menganggap aku sudah gila. Aku tidak terima kata-katanya, aku terpaksa menceritakan yang sebenarnya kepada mereka. Anehnya tak satupun dari mereka mempercayai ceritaku, bahkan mereka bilang aku benar-benar gila telah mempercayai cerita dari orang gila. Lalu sebagian besar dari mereka tertawa, bahkan ada yang tertawa sambil meledekku."

 

"Anda tetap menceritakan kebenarannya kepada mereka?" rasa penasaranku memuncak.

 

"Tidak. Aku sangat marah kepada mereka, aku gulingkan meja di hadapan mereka, kubanting nampan yang berisi gorengan dan kulempar gelas-gelas di atas meja lainnya, aku teriak sekuat tenaga untuk memaki mereka."

 

"Lalu, apa yang terjadi?"

 

"Mereka terus saja tertawa terbahak-bahak. Mereka bilang inilah buktinya bahwa aku sudah gila. Kemudian beberapa dari mereka memegang kedua tanganku, sebagian yang lain memukuliku hingga aku tersungkur dan pingsan."

 

"Lalu?" aku terpaksa bertanya karena aku sangat tertarik dengan cerita itu. Dia diam beberapa saat. Aku juga diam menunggu jawaban yang akan diucapkannya. Suasana berubah menjadi hening, hanya terdengar suara jangkrik. Tak lama kemudian dia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.

 

"Ketika aku sadar, aku sudah terkurung di tempat ini. Orang gila di sampingku tersenyum, kemudian tertawa melihatku. Makin lama tawanya makin keras, aku pun ikut tertawa menikmati sisa-sisa waktuku bersama orang gila." Jawabnya sambil menangis atau tertawa tak begitu jelas bagiku. Tertawanya sangat keras, terbahak-bahak disertai air mata, tapi terisak di akhir tawanya.

 

"Kemana dia sekarang?"

 

"Dia sudah lama meninggal dunia," tuturnya sambil menunduk menghapus air mata yang masih saja deras mengalir dari matanya yang sudah ambles ke dalam tengkoraknya.

 

Aku berdiri, meninggalkan dia. Aku tak ingin membuka luka lama laki-laki tua di hadapanku. Tak sanggup melihat dia tertawa sambil tersedu-sedu. Aku kembali ke rumah utama untuk mencari tahu kebenarannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status