Share

NENEK PEMAKAN DAUN SIRIH ITU MERTUAKU

"Siapa aku?" pertanyaan yang tinggal di dalam benakku sejak seminggu yang lalu. Kini berubah menjadi rasa penasaran yang sangat butuh adanya satu jawaban. Mirisnya, sampai sekarang masih tak menemukan jawaban yang bisa melepaskan rasa penasaran itu dari dalam benakku. 

 

Kepalaku masih sering sakit, tubuhku masih sangat lemah untuk mencari jawaban dari pertanyaanku. Hari-hari kulewati hanya dengan berbaring menghitung matahari terbit dan tenggelam sambil memendam rasa penasaranku di dalam kalbu.

 

Tak sia-sia aku menghitung matahari terbit dan tenggelam, aku menjadi tahu bahwa tujuh kali matahari terbit dan tujuh kali matahari tenggelam telah kulalui di dalam kamar. Tubuhku masih terasa sangat lemah dan tidak bisa bergerak kemana-mana. Baru kemarin kakiku mulai bisa menginjakkan tanah.

 

Hari ini aku bangun agak pagi dari biasanya, penunjuk waktu di dinding menunjukkan pukul setengah tujuh. Matahari tampak cerah, pertanda semangatnya menyinari dunia masih ada. Sinarnya yang masuk melalui celah-celah jendela menjadi selimut yang menghangatkan tubuhku.

 

Kulihat Dysta sedang membawa nampan dengan kedua tangannya dari balik pintu yang terbuka. Dia melenggang bak model di atas panggung peragaan busana, sangat cantik bagai barbie dengan posisi dagu sedikit mendongak bagai ada tali tak terlihat yang melilit dan mengangkat dagunya ke atas.

 

Berbeda dengan bibir model yang tersenyum alami, bibir Dysta justru dihiasi dengan senyuman yang merekah. Pandanganku bukan ke arah pakaiannya, melainkan ke arah giginya yang berbaris rapi di balik bibirnya.

 

Mataku tak berkedip berusaha menghitung berapa banyak gigi di dalam senyumnya. Tanpa kusadari gigi-gigi itu menempatkan Dysta tepat di hadapanku. Tercium aroma wangi tubuhnya, mungkin dia memakai parfum Italy atau merendam pakaiannya dengan pengharum pakaian lebih dari tujuh hari tujuh malam sehingga wanginya semerbak dan bertahan lebih lama. 

 

Mataku tak bisa menahan pandangan untuk tidak turun ke bawah, melihat dua cangkir kopi hitam lengkap dengan sendok kecil berada di atas nampan yang di bawanya. Tempat gula mungil berwarna merah muda, berada diantarana. Tampak wadah susu kental manis berada di belakangnya.

 

"Apakah rasa susu itu tetap sama?" rasa penasaranku bertanya-tanya. Anehnya justru mataku tak bisa lepas dari wadah susu kental manis yang berada di belakangnya (Mungkin karena pembawaan dari orok suka minum susu kental manis putih).

 

"Silahkan diminum kopi pahitnya, Mas. Kalau mau kopi manis tinggal ditambah gula atau susu kental manis putih yang sudah Dysta sediakan spesial buat Mas," titah Dysta sambil memegang dan menuangkan susu kental manis itu ke dalam cangkir kopi miliknya. 

 

Senyumnya terlihat begitu menggoda, lesung pipi yang berada di kiri kanannya membuatku tak tahan untuk berpaling darinya. Spontan kuraih wadah susu kental manis yang sedang dipegangnya, kugenggam dan kutuang ke dalam cangkir kopi milikku.

 

Kuaduk rata menggunakan sendok kecil yang sudah tersedia sambil memandang wajah ayu Dysta, berharap rasa kopi susuku menjadi lebih nikmat dari biasanya. 

 

Dysta melihat mataku yang sedang menikmati paras ayunya. Dia sengaja menjulurkan lidahnya seperti kadal atau komodo yang sedang merayu pasangannya. Jangan pernah menganggap aku tak tergoda, karena aku di tulis sebagai karakter berotak kotor oleh penulis cerita.

 

"Dysta! Lagi apa kamu disini?" jerit nenek tua dengan daun sirih dan buah pinang memenuhi mulutnya. Dia berdiri sambil meletakkan kedua tangannya tepat di lingkaran pinggangnya yang sudah tak simetris lagi.

 

"Lagi menemani Mas Joko ngopi, Ma," jawab Dysta dengan sejujur-jujurnya.

 

"Kenapa lelaki tak berguna seperti itu masih juga kamu pelihara?

 

"Ayo cepat keluar, bantu Mama!" Bentaknya kepada Dysta. Seperti ketakutan, Dysta sangat nurut kepada mamanya. Kemudian beranjak dari tempat duduk, meninggalkan meja dan meninggalkanku yang sedang terpaku memandangnya.

 

"Kenapa kamu tak mati saja!" makian nenek tua pemakan daun sirih itu sambil menunjuk batang hidungku dengan telunjuk berkuku panjang berwarna hitam pada ujungnya.

 

Aku hanya diam, tak berani menatap wajahnya. Hanya satu hal yang bisa kulakukan, mengelap ludah berwarna merah yang tersembur keseluruh wajahku ketika dia mencaciku barusan. 

 

Bau khas daun sirih, pinang, dan air liur yang keluar dari mulutnya bagai bau seekor naga. Menyeruak masuk ke dalam indera pembauku. Hampir saja kopi susu yang baru kuteguk keluar dari dalam perutku. Terasa ingin kumuntahkan depan matanya, tapi takut terkena karma buruk nantinya.

 

"Cuih!" suara pamit nenek yang dipanggil 'mama' oleh isteriku meninggalkan remahan daun sirih, buah pinang, dan ludah merah berceceran membasahi lantai marmer di bawahku. 

 

Membating daun pintu yang berada tepat di sampingku adalah salam penutupnya. Pundakku spontan naik keatas, berbarengan dengan kedua kakiku melonjak sedikit dari tanah, mata terpejam sebagai ekspresinya (untuk yang bisa berbahasa jawa: Awakku njingkat) ketika mendengar kerasnya suara bantingan daun pintu yang dilakukan nenek pemakan daun sirih itu. Untung saja pintunya tidak sampai lepas.

 

Aku hanya pasrah diam menerima perlakuan seperti itu dari nenek yang seharusnya aku panggil ibu mertua. Kumenangis... membayangkan betapa kejamnya dirinya atas diriku. Aku terpuruk, tiba-tiba merasa menjadi laki-laki yang sangat tidak berguna. Mungkin memang benar yang dikatakan ibu mertua pemakan daun sirih kepadaku.

 

Kutermenung duduk sendiri sambil menikmati secangkir kopi susu dari Dysta. Sayup-sayup terdengar suara gelak tawa, kuputar-putar kepalaku sampai seratus delapan puluh derajat mencari dari mana datangnya. 

 

Bulu kudukku mulai berdiri, antara takut dan penasaran. Jika kujumpai sesuatu yang ganjil, kuberniat segera berlari menabrak pintu tertutup yang di banting ibu mertua.

 

Kuteliti satu persatu, kuikuti arah suara, betapa terkejutnya aku melihat remahan daun sirih sedang tertawa. Antara percaya dan tak percaya kudekati benda itu, semakin dekat suaranya semakin terdengar jelas. Ternyata benar, benda ini sedang menertawaiku.

 

"Apa kamu sedang menertawaiku?" kubertanya kepada benda kecil itu. Kudekatkan bibirku dengan maksud agar dia mendengar pertanyaanku. Sialnya bau khas dari benda itu kembali mengaduk-ngaduk isi perutku.

 

"Sebentar lagi kamu akan dilumat oleh nenek itu, ha ha ha...." Kalimat yang kudengar dari remahan daun sirih yang berada di depanku.

 

"Apa maksudmu?" tanyaku keheranan.

 

"Dulu, dia memetik daun teman-temanku untuk merendam kedua matanya, tapi karena matanya tak kunjung jernih dia marah dan melumat seluruh daun sirih yang berada di halaman rumah," cerita remahan daun sirih kepadaku dengan berlinang air mata.

 

"Tapi aku berbeda, dia tak mungkin melakukan hal yang sama terhadapku!" gertakku.

 

"Kamu berkata seperti itu karena kamu belum tahu bagaimana rasa sakitnya. Batang hidung dan daun telingamu akan dipetik satu persatu seperri dia memetik aku dari tangkaiku. Setelah itu dilumat di dalam mulutnya. Dikunyah, digilas bercampur dengan air ludah. Batang hidung dan daun telingamu menjadi remuk dan hancur, seperti dia meremukkan seluruh tubuh, tulang-tulangku, bahkan menghancurkan jiwaku," desis remahan daun sirih menakut-nakuti aku.

 

"Aku bukan anak kecil yang takut dengan dongeng seperti itu," cemoohku kepada benda kecil bau yang ada di hadapanku. Aku berdiri untuk meninggalkan remahan-remahan kecil menjengkelkan itu.

 

"Aku salut dengan keberanianmu Anak muda!" teriaknya samar-samar kudengar dari jauh. Kuabaikan saja suara itu.

 

Aku beralih ke bawah jendela, posisinya tepat berada di atas kepalaku. Terlihat langit masih berwarna biru. Aku sangat bersyukur bisa melihat lagit berwarna biru, setidaknya penulis itu tak membuangku jauh dari pangkuan bumi pertiwi yang mencintaiku.

 

"Kamu baik-baik saja, kan, Mas?" suara Dysta mengagetkanku.

 

"Iya. Aku tak tahu kenapa ibu mertua sangat membenciku."

 

"Ceritanya panjang, Mas." Ucap Dysta sembari memeluk punggungku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status