“Maaf, aku terlambat pulang,” ucap Restu saat masuk kamar dan melihat Isna sedang berkutat dengan tumpukan kertas.Isna melirik sekilas wajah yang tersenyum kaku padanya. Lalu kembali pada kertas-kertas yang beberapa berserakan di atas lantai. “Mandilah, aku sudah menyiapkan handuk di kamar mandi. Setelah ini, sholat dan makan bersama orang tuaku,” sahutnya dengan ekspresi serius menatap kertas yang ada di tangan.“Kamu sedang apa? Sudah mulai bekerja, ya?” tanya Restu untuk mencairkan suasana.Isna diam. Ia merasa tidak perlu memberitahukan perihal pekerjaan pada lelaki yang ia sudah menganggap sebagai orang lain.“Kenapa tidak menjawab? Aku bertanya padamu.” Restu protes. Ia kini sudah duduk di tepi ranjang, memperhatikan wanita yang rambutnya terurai setengah basah.Isna menghentikan aktivitas, lalu menatap sejenak Restu yang berada lurus dengan posisinya saat ini. Kepala ia angkat, karena tubuh Restu berada di atas ranjang. “Sepertinya itu tidak perlu kamu tahu, Mas. Urusan kita h
Part 12Malam hanya dilewati sepasang pengantin baru itu dengan saling diam. Hanya saat di meja makan saja, keduanya sesekali terlibat obrolan dengan kedua orang tua Isna. Selama bersama, keduanya masih bisa bersandiwara.Saat kembali ke dalam kamar, kebisuan dan keheningan kembali menghiasi kamar bernuansa pink itu.Tak berapa lama, setelah membereskan kertas-kertas yang berserakan, Isna kembali hendak keluar. Namun, langkahnya terhenti saat berada di depan pintu. “Bantu aku ambil kasur busa kecil di kamar sebelah, ayo. Biar bapak dan ibu tidak curiga, maka kita harus melakukannya berdua. Untuk alasan, nanti aku yang katakan,” ucapnya masih terkesan dingin.Entah karena takut, atau memang setuju dengan pendapat Isna untuk tidur berbeda kasur, Restu menurut begitu saja. Ia sendiri juga bingung, mengapa mau menuruti keinginan wanita yang masih menunjukkan kemarahannya itu.“Loh, kenapa bawa kasur?” tanya ibu Isna saat melihat anak dan menantunya membawa benda berbahan busa itu.“Ibu ta
“Bangunlah, Mas. Tolong, jangan semakin menyakiti hatiku. Bila memang kamu benar-benar merasa bersalah, maka, cukuplah jangan bersikap berlebihan terhadapku. Tunjukkan yang sebenarnya, jika kamu benar-benar tidak menginginkanku ….”‘Wanita macam apa dia? Mengapa tidak mau aku perlakukan manis, dan lebih suka jika aku bersikap sesuai dengan perasaanku?’ Itu yang ada dalam pikiran Restu.“Baiklah, Isna, jika itu maumu. Namun, aku tetap akan berusaha bisa mencintaimu,” janji Restu.Isna sebenarnya muak mendengar semua ucapan itu. Karena dari sana jelas, bahwa saat ini, Restu sama sekali tidak memiliki perasaan apapun.Malam merambat naik, suara binatang malam mulai terdengar saling sahut menyahut. Di sebuah kasur kecil, sesosok tubuh berbalut selimut terbungkus rapi, menghadap tembok. Dengkur halusnya sudah mulai terdengar. Ia sendiri yang memilih untuk tidur di tempat itu. Membiarkan Restu menikmati kasur empuknya seorang diri. Sengaja memeluk laranya di tempat yang sempit, agar terbias
“Baik, Bu Ika. Terima kasih sudah mendengarkan keluh kesahku,” ucap Isna setelah ia merasakan cukup lega dan hendak berpamitan.“Isna, jika memang Restu berusaha untuk mencintaimu. Jika dia melakukan usaha itu dan dia berhasil mencintai kamu, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Ika menghentikan Isna yang sedang memakai tas.“Aku tidak yakin.” Isna sudah kelihatan pasrah dengan keadaan.“Tidak ada yang tidak mungkin. Berbagai macam jalan dilalui setiap orang untuk menemukan jodohnya. Termasuk kalian. Siapa tahu, memang takdir menggariskan seperti inilah yang harus kalian lalui.”“Aku tidak yakin itu terjadi, Bu Ika. Biarlah seperti ini saja dulu. Yang akan terjadi kapan waktu, itu urusan hatiku di masa depan.”“Jika memang suami kamu sungguh-sungguh dengan ucapannya, maka beri dia kesempatan. Jangan sampai kamu kalah dengan bayangan Marwah. Dia akan bahagia jika kamu menyerah,”Isna menghembuskan napas kasar lalu berujar, “jika itu terjadi, berarti memang Marwah adalah jodoh Restu. Aku
“Tapi, bagaimanapun kita harus melakukan itu. Bukankah kamu bilang, kalau sementara waktu ini, kamu akan menjalani pernikahan kita dengan normal layaknya pengantin lain?” tanya Restu lagi. “Siapa yang bilang begitu? Aku tidak merasa mengatakan itu. Aku hanya bilang, akan bertahan untuk sementara waktu.” “Itu sama artinya dengan bersikap seperti pasangan lain, bukan?” “Beda. Tidak sama.” “Lalu acara besok, kamu akan melewati dengan apa? Apa yang akan kamu katakan pada orang tuamu sebagai alasan?” Isna meletakkan pensil yang ada di tangan. Berpikir sejenak. Jika dia menghindari acara itu, maka artinya harus siap jika orang tuanya curiga. Jari lentiknya menggaruk salah satu alis. Mencoba mencari solusi dari apa yang dihadapi besok. “Baiklah. Aku akan mengikuti acara itu seperti adat dalam desa kita,” ucapnya. “Terima kasih,” ujar Restu sambil tersenyum. Isna hanya memandang sekilas saja. Isna dan Restu menaiki mobil hanya berdua. Mengantar makanan pada saudara-saudara Restu yang ru
POV IsnaLuka ini hanya aku yang paling tahu. Menjadi terhina di malam yang harusnya aku diratukan oleh lelaki bergelar suami, adalah mimpi paling buruk sepanjang hidup. Berkali-kali menahan isak tangis di malam hari, seolah menjadi rutinitas sejak menikah dengan Mas Restu.Ah, bahkan, menyebut namanya dengan panggilan kehormatan, mas, hati sangat tidak ikhlas.Marwah, sebuah nama yang akhirnya aku benci. Iya, hanya mendengar namanya saja hati sudah membencinya apalagi jika bertemu. Namun, aku memilih bertahan menjadi istri formalitasnya karena sebuah kehormatan dan harga diri. Tidak mudah berada dalam posisiku seperti sekarang. Dan akan sangat memalukan jika seorang Isna bercerai hanya karena suami tidak ada hasrat saat bersama. Tekadku sudah bulat, hanya akan berlangsung beberapa bulan saja.Kadang aku berpikir, seperti apakah sosok yang selalu disebut suamiku dalam tidurnya itu. Apa dia begitu sempurna? Atau, Restu hanya gelap mata saja?Malam-malam selalu aku lewati dengan meratap
“Kita ke rumah ibu dulu,” ucap Restu setelah mobil dekat dengan rumahnya. Aku diam saja.Kulihat beberapa kerabatku yang ikut sedang bercengkrama dengan beberapa kerabat Restu. Hati berusaha untuk meredam amarah agar tidak terlihat. Muak. Harus bersandiwara di hadapan mereka. Rasanya, ingin mempercepat kelender agar tiga bulan bisa terlewati. Setelah itu, aku akan menyusun rencana untuk berpisah dengan Restu. Jika selama tiga bulan ini dia setidaknya, tidak membuatku tambah sakit hati, maka perpisahan akan terjadi dengan tidak diiringi huru hara. Namun, jika dia membuatku sakit hati, maka aku, Arisna Pertiwi binti Ahmad Hasyim akan memberikan pelajaran yang sangat berharga di akhir pernikahan ini.Setelah basa-basi sebentar, keluargaku pamit. Ingin rasanya ikut serta bersama mereka yang naik mobil pick up. Agar bisa menghidu banyak angin di jalan, untuk stok di kamar yang seringnya kurasa sesak. Akan tetapi, ibu mertua bilang ingin berbicara penting setelah ini.Restu masih duduk di r
Part 15“I-ibu, dari mana tahu kalau aku sudah suka anak ibu sejak masih SMA?” Pertanyaan bodoh yang aku lontarkan, jelas menegaskan jika apa yang dikatakan ibu mertua adalah benar. Setelah mengatupkan bibir, aku menyesal bertanya demikian.“Restu cerita, kalau kamu sering melihat dan memandangnya saat dia datang ke rumah. Dan, saat aku tanya sama ibu kamu, Rahayu pun mengiyakan … maafkan kami, Isna. Kami menjodohkan Restu dengan kamu, itu karena kami tahu, kamu bakal menerimanya. Tapi, masalah Restu yang belum bisa melupakan Marwah, kamu tidak keberatan bukan? Ibu yakin, dia tidak akan berani bertemu Marwah. Ibu sangat paham sifatnya ….”Apa yang bisa aku katakan untuk membela perasaanku? Untuk menyalahkan mereka? Jika sejak awal saja, perasaanku sudah sangat salah terhadap Restu. Ah, mulutku terpaksa memanggil mas pada dia, demi menghormati ibu mertua.“Jangan pernah mau kalah dengan keluarga Marwah, Isna. Mari, kamu dan ibu bekerjasama untuk hal ini. ibu sudah mendengar desas desus