Aku di asingkan duduk dari meja dua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu. Maira setuju mengajakku makan bersama, asalkan aku duduk jauh dari mereka. Tak masalah. Aku tak marah. Aku tahu diri siapa diriku.
Bayu sudah menyantap habis pesanannya, sedangkan Maira masih sibuk merajuk karena kasus bayi merah itu sebagai anak kekasihnya. “Kan aku udah bilang itu bukan anak kandung aku. Aku sama Aura nemuin dia di semak taman komplek.” “Tapi di data rumah sakit, kamu adalah ayahnya, Aura juga ibunya. Wajar ‘kan aku marah?” “Iya, wajar kamu marah. Tapi masalahnya Askara bukan anak aku sama Aura.” “Askara?” Bayu mengangguk, “Namanya Askara. Aura yang pilih. Tadi aku udah usulin kasih nama Banyu, Bintang, sama Langit tapi di tolak semua sama dia.” Maira melirikku, “Kalian bahkan bikin nama anak itu. Masa iya dia bukan anak kalian?” “Loh? Masa ngasih nama aja gak boleh? Masa selamanya aku panggil bayi itu bayi merah, ‘kan gak mungkin, sayang. Dia bukan power ranger.” Aku terbahak mendengar kalimat terakhirnya. Maira membuang nafasnya pelan, “Tapi bayi itu mirip kamu, Bay.” “Ya mana aku tahu? Semua bayi mukanya mirip, jadi itu bukan patokan Askara anak aku ‘kan?” “Golongan darahnya juga sama kayak Aura.” Bayu melirikku, memintaku yang duduk memperhatikan mereka dari meja sebrang untuk menjelaskan. “Emang kalo darahnya sama udah pasti itu anak gue?” kataku berusaha membantu Bayu. “Tuh, kamu denger. Kalo golongan darahku sama dengan Bon Jovi, bukan berarti aku anaknya ‘kan? Begitu juga dengan Askara dan Aura.” Maira tak menjawab lagi. Dia pasti sedang sibuk mencari celah untuk menyerang Bayu. Aku tahu para cewek ketika punya pacar memang punya tujuan utama untuk menghancurkan mental pasangannya. Karena kalau mereka tidak melakukan itu, mungkin rugi buat mereka. “Tapi orang tua kamu bilang ‘tolong jaga cucu kami.’ Itu artinya itu anak kalian ‘kan?” Bayu mengusap wajahnya kasar, “Sayang, aku udah jelasin ‘kan kalo mama sama papa gak tahu kalo Askara bukan anak aku? Aku sama Aura terpaksa bohong demi dapetin uang lima belas juta perbulan. Itu lumayan bisa dibagi tiga sama Adit.” “Apa? Lima belas juta? Buat apa?” “Judulnya buat biaya hidup Askara, tapi biaya hidup bayi paling sejuta dua juta. Sisanya aku bisa bagi sama rata. Uangnya lumayan, sayang, kita bisa sering makan di luar begini.” Maira tertawa, “Lima belas juta bisa kurang loh, Bay, buat biaya hidup bayi. Apalagi anak kalian yang katanya nemu di semak itu mengalami Anemia Prematuritas. Perawatannya gak selesai sampai disini, ada banyak tahapan yang harus kalian kejar biar dia bisa sama kayak bayi sehat lain.” Bayu tertawa, “Enggak lah, aku percaya kok Askara bisa tumbuh sehat tanpa harus dapet perawatan khusus, kamu tenang aja ya.” Aku ikut tertawa. Biaya hidup Askara pasti tidak akan sebesar itu. Kalau pun harus berobat, mentoknya lima juta. Susunya ‘kan murah, popok juga. Maira pasti hanya ingin menakut-nakuti Bayu karena cemburu. Sepi. Entah sudah tidak ada topik atau Maira masih berpikir dan ingin menyerang Bayu. Ponselku yang tergeletak dimeja bergetar panjang. Begitu melihat penelpon, ku lirik Bayu yang sedang mengocek Jus Nanas pesanannya, “Ananta.” Bayu melirik ku. “Bokap lo nelpon.” “Ya angkat lah, kenapa malah laporan ke gue?” Benar juga. Kenapa aku harus wajib lapor padanya? Bayu terlihat tidak peduli padaku, aku pun berusaha tak peduli padanya yang mulai ngobrol entah apa dengan Maira. Ku angkat telpon itu. “Halo om, ada apa ya?” “Kalian kemana sih, kok gak sampe-sampe ke rumah?” “Eum... kita... emangnya kenapa ya, om?” “Papa.” tegas papa. “Oh iya, ada apa ya, pa?” “Ini Askara nangis terus. Kayaknya kangen sama mama papanya. Kalian pulang ya. Kalian dimana emang? Papa tadi tanya ke satpam, katanya kalian udah pulang dari tadi.” “Eum, ini kita udah di jalan kok, pa.” aku meniup ujung telpon hingga membuat bunyi wush~wush~wush~. “Ya sudah, cepet ya. Oyah, jangan lupa mampir beli susu sama popok. Tadi mamamu belum sempet beli banyak karena Askara rewel.” “Oke, pa.” Aku mengambil tas dan menghampiri meja Bayu, “Ayo balik, bokap lo bilang Askara rewel.” “Dia gak kenapa-napa ‘kan?” si Bayu mulai bersikap berlebihan lagi “Ya mana gue tahu, gue ‘kan ada disini sama lo.” Bayu menatap Maira yang cemberut, “Sayang, kita pulang yuk.” “Kok pulang sih? Kita baru lima menit disini.” katanya dengan wajah yang merengut. Aku mengernyit, “Dih, jam tangan lo mati apa? Lima menit dari Hongkong? Udah setengah jam juga kita disini, ngarang banget.” Maira melongo. Sepertinya dia tidak tahu aku ceplas-ceplos seperti ini. “Sayang, lain kali kita akan makan lebih lama ya. Sekarang aku sama Aura harus pulang, kasian Askara.” “Kalian pulangnya pisah aja. Kamu anterin aku pulang.” Bayu melirikku, “Sayang, jangan gitu dong. Kasian Aura.” “Kamu kasian sama dia karena ibu dari anak kamu?” “Askara bukan anak aku.” “Ya udah biarin dia pulang sendiri. Aura ‘kan udah gede. Udah kelas dua belas ‘kan?” Bayu melirikku lagi, “Sayang, kali ini aja Aura pulang sama kita. Ke depannya aku janji Aura akan pulang sendiri. Ya?” Maira ngambek. Cewek satu itu seperti anak usiaku saja, padahal usianya sama dengan si Bayu. Kalau punya pacar emang harus selalu mode manja gitu ya? Jijik. Maira berdiri, “Ya udah. Tapi dia duduk dibelakang.” “Gue duduk di atas kap mobil juga gak masalah.” kataku cepat. Aku malas jadi obat nyamuk lama-lama. Kita semua berjalan ke parkiran. Aku berjalan jauh dibelakang mereka yang bergandengan tangan seperti lansia akan nyebrang. Karena tidak berjalan dekat dengan dua sejoli itu, didepan kafe aku bertemu Adit yang baru datang bersama teman-teman kerjanya, “Kak, lo disini?” “Lo juga disini? Ngapain?” Bibir monyongku menunjuk ke arah parkiran, dimana Bayu dan Maira baru masuk mobil. “Eh lo pada masuk duluan. Gue mau ngobrol dulu sama adek gue.” pinta Adit pada teman-temannya. “Oke.” Aku dan Adit berjalan menuju mobil Bayu. “Bay,” “Dit?” Maira yang melihat Adit tersenyum sumringah. Sebentar, dia tidak menyukai kakakku ‘kan? “Dit, lo ‘kan ada disini. Aura pulang sama lo aja ya. Dia katanya buru-buru mau ketemu anaknya, sedangkan gue sama Bayu mau pergi dulu ke tempat lain.” Adit melirikku lalu Bayu, “Kalian gak bilang ke Maira kalo udah nikah dan tinggal di rumah lo, Bay?” Aku dan Bayu saling lirik. Bayu memintaku untuk tidak memberi tahu Maira mengenai adanya pernikahan palsu itu, dan somplaknya si Adit malah memberitahunya. Maira melirikku dan Bayu silih berganti, matanya melotot. Sebentar lagi biji matanya pasti akan keluar, “Ka-kalian--udah nikah?"Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil
Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan
“...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny
Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf
Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari
Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon