Home / Romansa / PERFAKE HUSBAND / 9. Bertemu Pacar Bayu

Share

9. Bertemu Pacar Bayu

Author: Rahmani Rima
last update Last Updated: 2024-10-11 19:18:28

Di jam pulang sekolah, dimana guru baru membubarkan kelas, aku ngacir dengan cepat dari peredaran mata Sean. Aku sengaja menyimpan semua bukuku di kolong meja, sehingga tas ranselku bisa dilipat depan dada.

Dari luar kelas terdengar suara cempreng Nadia yang mencariku. Masa bodo dengan makhluk senk itu, aku hanya ingin pergi secepatnya dengan Bayu dari sekolah.

“Lo maling?” Bayu yang tahu-tahu ada dibelakangku, berhasil membuat aku kaget maksimal.

“Elo? Kok ada disini?”

“Terserah gue lah. Yayasan juga punya bokap gue.”

“Mulai deh jumawanya. Ayo balik.”

“Balik? Enak aja. Gue mau ketemu ayang. Kalo mau lo balik, sono sendiri.”

Aku manyun dan meninju lengannya pelan, “Jangan gitu lo.”

Bayu menelisik wajahku, “Lo kenapa gak berani pulang sendiri?”

“Ngggggg, gak papa.”

“Si Adit juga gak pernah cerita kenapa lo harus banget pulang sama gue kalo dia gak bisa jemput.”

Aku menunduk. Aku senang Adit tidak bawel dan mengatakan semuanya pada si Bayu.

“Lo kalo mau bareng sama gue, kita mampir dulu ke rumah sakit. Kita jemput Maira.”

Aku mengangguk. Aku harus tahu diri karena bagaimana pun Bayu sudah menyelamatkanku, “Yaudin ayok. Jalannya harus kayak tuan Crab, gue gak mau keliatan si Sean.”

“Sama bule aja takut lo. Ayok.”

Meski protes, Bayu menurut pada ucapanku. Dia berjalan seperti Kepiting, melewati banyak anak-anak kelasku yang berpencar. Ku lihat Nadia kembali ke kelas. Pasti ada barangnya yang tertinggal. Anak itu memang pelupa. Ia bahkan pernah lupa membawa tas ranselnya pulang. Lama-lama ia bisa lupa untuk pulang.

Aku berjinjit begitu mendekati mobil Bayu. Secepat kilat aku memasuki mobil. Nafasku terasa lega begitu sudah duduk nyaman di dalam.

Aku menunduk, karena baru ku lihat tali sepatuku terlepas. Ku ikat segera dari pada lupa dan berakhir jatuh. Mana sedang pergi dengan si Bayu, bisa tertawa puas dia melihatku menderita.

“....plis, pak, hari ini aja.”

“Tapi saya gak bisa. Saya... Karina!”

Aku melotot begitu handel pintu mobil bergerak. Refleks badanku sedang baik, sehingga ku tarik dari dalam.

“Saya ada urusan. Kamu pulang sama yang lain aja ya?” Bayu berdiri menahan pintu.

“Pak, kok susah dibukanya?”

“Hah?”

Ku tatap wajah bodoh si Bayu. Jangan-jangan dia ketakutan dan menyangka didalam mobilnya ada hantu, bukan diriku.

“Oh ini... macet deh kayaknya. Udah, kamu pulang sama yang lain ya.”

“Tapi, pak—”

Bayu menatap kaca mobilnya dari luar. Setelah otaknya berpikir bahwa aku menahannya dari dalam, dia berlari untuk segera membawa pergi mobilnya.

Dia masuk ke dalam mobil dan memakai sabuk pengaman.

“Ananta, lock dong pintunya.” pintaku cepat karena Karina masih berusaha membuka pintu dengan paksa.

“Oh iya.”

Aku memutar mataku kesal. Setelah mobil bergerak, ku lipatkan tangan dan meliriknya kesal, “Jangan-jangan lo gak tahu lagi ada fitur lock pintu.”

“Tahu, tadi cuma panik.”

“Panik gak panik otak lo tetep sama, gak ada bedanya. Ngeblank terus.”

“Gak ada terima kasihnya lo, udah untung gue mau angkut lo.”

Aku menaikkan bibir atasku.

Selama perjalanan aku sibuk memutar radio, mencari lagu yang enak di dengar sore hari begini.

“Nanti begitu ketemu Maira lo diem aja, gak usah ngomong.”

“Siapa juga yang mau ngomong. Suara diva kayak gue tuh mahal, gak bisa sembarangan orang denger suara gue.”

“Lagak lo.”

Mobil berhenti tiba-tiba.

“Kita udah sampe?”

“Mau beli bunga dulu. Tunggu.”

Bayu keluar. Aku melirik pergerakannya memilih bunga yang akan ia beli. Dia mencium beberapa jenis bunga, lalu menyimpannya. Sebetulnya dia mau beli bunga apa sih?

Ku lihat pelayan toko membawa bunga dari dalam. Jadi si kampret sudah memesan duluan? Boleh juga idenya. Ku pikir dia adalah makhluk tidak romantis dan hanya jual tampang.

Bayu membuka pintu mobilku, “Pegang.”

Aku cengo. Dia memberiku bunga? Serius? Bunga mawar merah yang kira-kira berisi dua puluh tangkai ini untukku?

Di sisa perjalanan menuju rumah sakit kami tak saling bicara. Ku lirik wajahnya diam-diam. Tidak ada ekspresi mencurigakan yang jatuhnya akan ngeprank.

Hatiku tiba-tiba menghangat. Ini kali pertamanya aku menerima bunga. Ternyata senang juga ya diperhatikan seperti ini. Meski tidak jatuh cinta padanya, tetap saja rasanya senang.

“Turun. Bawa bunganya.” katanya begitu kita sampai di depan UGD rumah sakit.

“Hah?”

Bayu keluar dari mobil lebih dulu. Aku pun mengikutinya membawa bunga ini. Ternyata Maira, pacarnya yang seorang perawat Perina itu sudah berdiri menunggu jemputan.

“Sayang, maaf ya lama.” mereka berpelukan seperti Teletubis. Si Bayu memang mirip Tinkiwinkie sih.

“Gak papa,” Maira melepaskan pelukannya, ia melirikku sedikit kecewa. Mungkin dia terkejut melihat kekasihnya membawa calon artis besar dunia sepertiku, “Sayang, kok dia ikut?”

“Eu...” Bayu melirikku, diambilnya buket bunga itu dari pelukanku, “Ini bunga buat kamu sayang.”

Begitu bunga diambil aku sedikit kaget. Hampir saja aku mau protes, kenapa bungaku diambil, tapi otakku langsung mencerna bahwa aku hanya ditugaskan untuk memegangi buket bunganya agar tidak rusak.

Maira tak tampak senang menerima bunga itu, ia terus melirikku, “Sayang, dia... bisa ‘kan kamu suruh pulang? Aku mau kita cuma makan berdua.”

Bayu melirikku. Aku juga meliriknya. Ku tunggu jawaban yang akan dikeluarkan mulutnya yang melongo.

“Eu... tapi...”

Kita lihat, apakah ia tega memintaku pulang sendiri?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PERFAKE HUSBAND    144. Bukan Suami Palsu

    Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil

  • PERFAKE HUSBAND    143. Malam Pertama Mantan Musuh

    Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan

  • PERFAKE HUSBAND    142. Adu RaYu (Aura - Bayu)

    “...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny

  • PERFAKE HUSBAND    141. Kode Rahasia

    Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf

  • PERFAKE HUSBAND    140. Bayu Sekarat

    Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari

  • PERFAKE HUSBAND    139. Masalah Pertama di Surabaya

    Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status