Desir angin dan lantunan musik menemani keharmonisan aku dan Nisa, di bibir danau buatan yang dibuat pihak restaurant, kami masih menuangkan segala cerita. Duduk saling menatap, tanganku masih memegang tangannya, jari-jariku melekat pada jemarinya.
Banyak kisah lalu yang Nisa utarakan, aku semakin mengerti betapa berat kehidupannya, salut! Untuk seorang single Mom dengan anak tiga berjuang menghadapi kenyatan cinta dan realita kehidupan.
Niatku, inginku, bertambah menjadi besar untuk memilikinya, awalnya hanya nafsuku yang melihat kecantikannya. Setelah aku tahu semua, cintaku menjadi menggunung karena ikut merasakan luka dan pahit kehidupannya. Bukan karena iba atau kasihan, tapi, ini murni sebuah cinta sejati yang hadir.
"Terima kasih ya Ayah, walaupun Ayah belum sah menjadi Suamiku, tapi Ayah sudah menjadi sosok calon Suami yang Bunda dambakan dan Ayah sudah membuktikan menjadi calon Ayah terbaik untuk anak-anakku."
Ungkapan Nisa dan matanya yang berka
Aku dan Nisa telah sampai pada sebuah rumah yang terlihat lumayan cukup luas, dengan warna cat kuning terkesan jelas bentuknya. Pekarangan halaman dengan berbagai macam pepohonan menambah mendamaikan hati. Ya, aku tengah berdiri di depan rumah Bapakku. Di wilayah ini Bapakku merupakan orang terpandang karena memiliki sawah yang luas serta perkebunan, memperkerjakan para petani yang berasal dari lingkungan daerah ini juga.Aku menoleh memandangi Nisa yang sedikit takjub melihat rumah Bapakku, jantung ini semakin berdegub kencang. Sempat aku hentikan langkahku untuk menghela nafas, mencoba menenangkan diri sebelum masuk ke rumah.Nisa merapikan dirinya dan mengusap serta membersihkan wajahnya."Yah, aku kok deg-degan, ya," lirih Nisa melepaskan genggaman tanganku."Sama Bun, Ayah juga nih, heee," cetusku mengelus dada."Dih Ayah, kok Ayah ikutan sih, masa sama orang tua sendiri Ayah takut, hayoo ... Karena aku seorang janda, ya," Nisa melontarkan kata-kata yang membuatku kaget."Eh, gak
Aku membayar dan memberikan kartu identitasku, lalu kami di arahkan menuju ke kamar. Aku lihat Nisa hanya diam saja, masih aneh! Gumamku dalam hati. Kenapa ia tidak seperti biasa yang ada rasa takut jika terjadi suatu hal karena berdua dalam satu kamar, seringnya Nisa yang selalu mengingatkan supaya menjauhi agar menjaga sampai menikah. Tapi, ini kok malah ia yang mengajak, senyumnya serasa menghilang.Krek ...."Silahkan masuk Pak, mau ada pesanan lain, teh panas atau kopi mungkin?" tanya staff penginapan."Boleh deh Pak, teh manis panas dan kopi panas, ya," jawabku dan memesannya."Baik Pak, sebentar, ya," staff itu meninggalkan kamar kami.Aku merapatkan pintu kamar menunggu pesanan minumanku diantar."Ya udah, kamu tiduran dulu, Bun, Yah dah pesan teh manis," ucapku pada Nisa.Perlahan Nisa merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, aku menunggu duduk di bangku, sembari mengecharge ponselku."Tok ... Tok, permisi," suara dari lu
Aku memberanikan diri mengajak Nisa menemui kedua orang tuaku di kampung. Berhubung karyawanku sudah kembali. Jadi, kios sudah ada yang menjaganya.Rencananya besok aku dan Nisa berangkat. Sementara anak-anak di titipkan kepada saudaranya.Segera aku mempersiapkan semuanya."Semoga saja, Bapak dan Ibu menyetujuinya," gumamku sembari mengemas beberapa pakaian untuk aku bawa."Bunda, kamu udah siap-siap belum," tanyaku pada Nisa."Udah Yah, jam berapa kita berangkat Yah, menitipkan anak-anak dulu ya, Yah," cetus Nisa."Sore ini kali ya, Bun, jadi Ayah bermalam dulu di rumah kamu, besok pagi baru kita berangkat, gimana?" Pintaku."Ya udah Yah, Bunda bergegas kalau gitu," Nisa mengiakan.Aku memberi penjelasan pada karyawanku dan mempercayai semuanya untuk beberapa hari saja dan menekankan agar menjaga kesehatan, jangan paksakan jika sudah letih atau kondisi warung ramai, tidak harus tutup malam."Ayo Bun, kita berangkat," cel
Pov : Yudi"Lihat aja! Gue, enggak akan tinggal diam, pokoknya berbagai cara pasti gue lakukan untuk mendapatkan Nisa kembali atau gue, buat Nisa tidak tidur nyenyak."Yudi berucap dalam hati, langkahnya dengan penuh kebencian karena kekecewaan seusai ke luar dari kontrakan Nisa. Hatinya telah tertutup kabut hitam, bisikkan jahat telah merasukinya."Ayo Pak, kita pulang," pintanya pada Supir yang telah menunggu cukup lama."Oke, Pak," Pak Supir tidak banyak berkata, melihat raut wajah Yudi yang terlihat berubah penuh dengan amarah.Pak Supir masuk ke dalam mobil, menyalakan mobil. Yudi duduk di bangku depan. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, membuka menu kontak dan menskrolnya mencari sebuah nama kontak teman lamanya. Yudi membutuhkan bantuan perihal infornasi masalah pelet dan sihir. Berapapun biayanya akan ia bayar, asalkan mampu dan berhasil, apa yang menjadi keinginannya terwujud.Yudi telah menemukan kontak temannya lalu mengirim pesan
Hari yang paling tidak mengenakkan adalah disaat mantan Suaminya bertemu anaknya dan bersama itu juga aku melihatnya serta duduk bersama. Apa lagi dengan cara bodoh yang ia lakukan menguntil diam-diam, rasa cemburu ditambah terbakar lagi karena kini, ia mengetahui rumah kontrakan yang di tempati Nisa dan anak-anaknya.Aku emosi dan segera menghampirinya."Ayuk Bun, kita ke kontrakan, maunya apa sih mantan Suami kamu itu, enggak punya etika banget," ucapku."Ya udah yuk, Yah. Tapi jangan ribut ya Yah, ingat tetangga berdempetan, kalau kita diusir gimana? Wilayah ini juga kan tempat Ayah cari rejeki," tutur Nisa."Iya, ya. Bener juga kamu Bun," gumamku dalam hati sambil memikirkan perkataan Nisa, ada benarnya juga, ya. Bisa jelek di mata pelangganku nantinya."Oke, Bun, Ayah enggak akan marah-marah, kok," sahutku.Aku dan Nisa berjalan keluar kios, langkahku terasa malas dan berat. Panas mentari semakin menampakkan sinarnya, seiring bara di hatiku
Aku telah sampai dan berhenti tepat di gang rumah kontrakan Nisa. Kemudian aku membayar tarif taksi online, aku turun terlebih dahulu untuk menggendong anaknya Nisa, membuka pintu belakang mobil dan meraih anaknya yang tengah tertidur. Disusul kedua anaknya turun melalui pintu belakang mobil sebelah kanan.Terlihat wajah yang masih mengantuk diantara anak-anaknya, kami berjalan masuk melalui gang bersama-sama."Yah, tumben rame sih, Ibu-ibu," bisik Nisa."Udah biarin saja, permisi saja Bun, lirihku perlahan."Permisi, Bu ...," Aku dan Nisa berucap."Wah, habis jalan-jalan nih, Mas Farhan dan Mba Nisa," celetuk salah satu Ibu-Ibu."Iya Bu, persiapan nikah," aku menjawabnya dengan sengaja dan Nisa tersenyum mengangguk."Oh ya udah kalau gitu, cepat-cepat deh, Mas," Ibu itu menjawab.Jawabannya mengandung makna yang tidak mengenakkan."Insya Allah, Bu," ujarku sambil melangkah melanjutkan berjalan.****Kembali ke Yudi.