“Kamu melamun? Kamu senang ya bertemu lelaki dari masa lalu kamu yang tampan dan kaya itu?”Ambar menoleh. Dia menelisik wajah lelaki yang duduk di sebelahnya. Ambar merasa ada yang aneh dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Alvaro itu. Namun meskipun begitu Ambar tetap menjawabnya. “Tentu saja saya senang … namanya juga bertemu dengan teman lama.”“Apalagi kalau teman lamanya itu tampan dan kaya gitu, kan?” potong Alvaro. “Maksudnya apa sih pertanyaan Anda itu? Tadi Anda diam saja seperti orang marah, tapi sekarang Anda melontarkan pertanyaan yang aneh,” tanya Ambar.“Di mana anehnya? Itu kan pertanyaan yang wajar ditanyakan. Lagipula bukankah pertanyaan itu sesuai dengan kenyataan. Teman lama yang kamu temui tampan dan kaya, kan?” Ambar menatap tak suka kepada wajah datar yang duduk disampingnya. ‘Bisa-bisanya Alvaro berwajah seperti itu tapi berbicara dengan nada tinggi. Dia pikir aku ini siapa?’ batin Ambar.“Kenapa diam? Aku benar kan?” cibir Alvaro.“Oke … oke … tidak perlu
Ambar baru saja meletakkan tas di meja dan belum sempat menaruh tubuhnya di kursi, ketika terdengar suara dari arah belakangnya. “Wah … wah … wah … tumben anak baru sudah datang. Padahal baru jam delapan kurang sepuluh menit.Ambar menoleh dan mendapati Susan memasuki ruangan divisi procurement.“Pagi, Mbak Susan.”“Heemm,” jawab Susan pendek.“Kamu mimpi apa semalam, Anak baru? Kantor belum ada penghuninya kamu sudah datang.”“Nggak mimpi apa-apa, Mbak. O ya nama saya Ambar bukan anak baru. Minggu lalu sudah saya perkenalkan, bukan?”“Saya tahu tapi kamu anak baru, kan? Jadi apa salahnya saya manggil kamu begitu?” sahut Susan dengan ketus.Ambar mendesah. Dia malas membantah Susan lagi. Dia tidak ingin suasana hatinya rusak sejak pagi hari.“Heh! Malah melamun. Ayo jelaskan! Jadi maksudmu kamu tiba-tiba bangun dan berubah jadi orang yang rajin berangkat pagi ke kantor?”“Ya nggak gitu juga Mbak, kan saya sudah pernah bilang kalau perjanjian kontrak kerja saya itu memperbolehkan saya
“Kamu nggak mau sekalian minta tolong Ambar?” tanya Susan kepada Wulan.“Eh … enggak. Saya masih bisa mengerjakannya sendiri,” tolak Wulan. Sepertinya gadis itu masih merasa trauma dengan pertengkaran terakhir mereka.Ambar menatap Susan dengan kesal. ‘Orang ini ngapain sih nawar-nawarin ke yang lain kalau mau nitip kerjaan kayaknya dia sengaja.’ batin Ambar. Susan bukannya tidak tahu kalau Ambar merasa kesal kepadanya. Dia sengaja. Buktinya dia tetap menawarkan kepada Wulan untuk meminta bantuan Ambar, meski Ambar sudah menatapnya marah. Selain itu seringai yang diam-diam muncul di bibirnya muncul di bibirnya juga menjadi pertanda Susan mengerjai Ambar.Ambar jadi merasa dia tengah menjalani berpeloncoan layaknya siswa baru. Masalahnya dia bukanlah anak sekolah yang perlu digembleng untuk menjadi tabah dan terlatih serta lebih mengenal lingkungan baru. Justru sebagai orang dewasa Ambar merasa kesal melihat praktek perpeloncoan menjadi sebuah ajang bully. Namun untuk saat ini Ambar a
Ambar menatap punggung Heru yang berjalan kembali ke kubikelnya dengan mulut hampir melongo. Ambar membatin ‘Kok bisa Heru sepercaya diri itu. Dia pikir dirinya sangat tampan sehingga bisa merayu perempuan manapun. Benar-benar tak waras.’Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Ambar kembali menekuri berkas-berkas di mejanya. Ambar merasa harus selekasnya menyelesaikan laporan agar dia bisa memenuhi janjinya untuk membantu pekerjaan Susan.Tanpa terasa Ambar sudah berkutat dengan berkas-berkas selama beberapa jam dan sekarang sudah masuk waktu istirahat makan siang. Awalnya Ambar berencana pergi ke kantin. Namun saat dia beranjak dari kursinya bersamaan dengan kedatangan Pak Bambang dari dinas luar. Lelaki berusia pertengahan empat puluh tahun itu menyerahkan beberapa data yang secepatnya harus dibuatkan laporan oleh Ambar. Hal ini membuat Ambar membatalkan rencananya pergi ke kantin untuk membeli makanan kecil dan minuman. Ambar memang sudah membawa bekal makan siang, tetapi dia
‘Menelepon Ambar? Memangnya Ambar di mana?’ batin Alvaro.Alvaro menatap jam yang melingkar di tangannya. Pukul delapan malam lebih sepuluh menit. Dia menatap baby sitter Afreen dan bertanya, “Ambar belum pulang?” “Belum Tuan. Dan dari tadi Bu Ambar tidak bisa ditelepon makanya Tuan muda Afreen jadi gelisah dan rewel,” jawab sang baby sitter sambil menunduk. “Ambar ke mana saja, sih!” desis Alvaro dengan kesal.“Apakah dia lembur? Tapi ngerjakan apa? Pekerjaan dia kan harusnya cuma membantuku sepeninggal Siska. Jadi harusnya dia tidak lembur, atau jangan-jangan ….” Belum selesai Alvaro bergumam, Afreen kembali menubruknya. Tangan kecil bocah lelaki berusia empat tahun itu memeluk erat kaki Alvaro. “Kenapa Mama Ambar nggak pulang-pulang, Pa? Mama Ambar pergi ke mana? Kenapa nggak ngajak Afreen? Mama Ambar nggak sayang Afreen lagi, ya, Pa?”“Bukan seperti itu. Mama Ambar sayang, kok, sama Afreen. Mungkin sebentar lagi Mama Ambar pulang. Sabar, ya, sekarang Afreen nurut dulu sama suste
Wajah Ambar merah padam. Dia benar-benar tidak terima Alvaro berulang kali membentaknya. Namun, ketika dia ingin membantah tuduhan Alvaro, dari dalam muncullah Afreen yang sudah mengenakan piyama. Bocah lelaki itu berlari memeluk Ambar dan menatap Alvaro nyalang. Dia lalu berkata marah, “Kenapa Papa memarahi Mama?”Alvaro terkejut melihat anaknya tiba-tiba muncul. “Saayang … Papa nggak marahin Mama kok.”“Tapi kenapa suara Papa keras ke Mama seperti … seperti orang bentak-bentak,” ucap Afreen.Alvaro terdiam dia tidak bisa mencari alasan lagi. Suaranya memang tinggi karena dia sedang membentak Ambar.Melihat Alvaro kebingungan merespon kata-kata Afreen, Ambar berjongkok. Mata Ambar menatap mata Afreen lekat, “Papa nggak marahin Mama, kok. Papa dan Mama sedang diskusi."‘Diskusi itu apa Ma?” tanya Afreen lugu. “Diskusi itu … orang-orang dewasa yang sedang bicara serius jadi suaranya keras,” jelas Ambar.Afreen manggut-manggut. “Oo gitu.”“Iya … jadi karena Papa dan Mama mau diskusi, A
“Kenapa kamu diam saja? Sekarang jelaskan untuk apa kamu meminta Mbak Anisa datang ke ruanganku dengan membawa makanan. Apa maksudmu?” desak Ambar.Alvaro tersentak. Rupanya dia tidak menyangka Ambar akan menanyakan hal itu. Raut Alvaro yang semula datar mulai beriak. Di wajah lelaki itu mulai menunjukkan kebingungannya dalam memberikan jawaban pada pertanyaan Ambar.“Untuk apa kamu tanyakan itu?” Wajah Alvaro sudah kembali menjadi datar ketika bertanya.“Memangnya salah kalau seorang pimpinan memperhatikan kebutuhan bawahannya?” lanjut Alvaro.“Ini bukan tentang salah atau benar, hanya terasa aneh saja. Kamu meminta aku menyembunyikan status sebagai istri kamu, tapi kamu sendiri justru membuat orang-orang semakin curiga kepadaku.” Ambar berkata dengan kesal.Alvaro menelengkan kepalanya ke arah kanan untuk melihat Ambar lebih jelas. Namun dia tidak memberikan reaksi apapun ketika melihat wajah kesal Ambar.Melihat Alvaro tampak cuek Ambar melanjutkan ucapannya“Di hari pertama aku
Ambar melongo. “Ganti baju? Memangnya kenapa dengan gaun ini? Bukankah gaun ini salah satu yang kemarin kamu belikan itu? Artinya kamu sendiri yang memilih gaun ini. Jadi kenapa sekarang kamu meminta aku ganti baju?” “Sudah jangan banyak tanya! Lakukan perintahku!” sentak Alvaro.Ambar tersentak mendengar nada bicara Alvaro yang tinggi. “Kamu kenapa, sih, pagi-pagi sudah bikin emosi?”“Makanya kalau aku minta sesuatu itu harus segera kamu turutin bukannya membantah!” potong Alvaro tak sabar.Afreen yang duduk di meja makan bersama Ambar dan Alvaro menyaksikan perdebatan kedua orang tuanya itu. Dia kemudian mengerucutkan bibirnya. Bulu matanya pun mulai bergetar tanda dia sebentar lagi akan menangis.“Papa kenapa bentak-bentak Mama,” protes bocah lelaki itu.Alvaro dan Ambar seketika menoleh mendengar protes Afreen. Melihat wajah bocah lelaki berumur 4 tahun itu siap menangis membuat mereka baru tersadar telah melakukan kesalahan.Ambar yang duduk di sebelah Afreen segera memeluk da