“Baik, Nyonya Besar,” jawab Ambar santun.
Setelah membungkuk hormat, Ambar meninggalkan ruang tamu dengan tenang. Tidak ada raut wajah jengkel kepada Bu Galuh atas perlakuannya itu. Pun kepada Aletta yang tersenyum mengejek kepadanya. Meski akan segera menikahi Alvaro, Ambar menyadari posisinya saat ini yang masih menjadi kepala rumah tangga di kediaman Alvaro. Jadi, tidak ada rasa tersinggung ketika dia diminta untuk menjalankan pekerjaannya. Tak lama kemudian, Ambar memasuki ruang tamu kembali. Tangannya membawa sebuah nampan yang di atasnya terletak dua buah gelas berisi minuman dan satu piring berisi kudapan. Saat menyajikan makanan dan minuman tersebut, Ambar mendengar Aletta sedang membanggakan diri di depan Bu Galuh. Nenek alvaro itu juga tampak ramah kepada gadis itu. Hal itu membuat Ambar merasa keduanya tidak ingin diganggu dan memutuskan untuk segera beranjak.“Kamu mau ke mana?” tanya Bu Galuh saat Ambar mau pergi. “Duduk,” titah Bu Galuh. Perintah itu membuat Ambar dan Aletta sama-sama kaget, tetapi keduanya diam. Ambar pun menurut dan memilih duduk di sofa yang berada di seberang Aletta. Bu Galuh sendiri duduk di sofa tunggal.Bu Galuh kemudian memandang Ambar dan berkata, “Kami sedang berbincang mengenai karir Aletta yang saat ini sedang melambung.” Pernyataan itu membuat Ambar mengangguk dan menatap Aletta, “Selamat, Nona.”Cuping hidung Aletta kembang kempis mendengar pujian Bu Galuh. Dia menangkap sinyal bahwa sepertinya Bu Galuh ingin membuat Ambar sadar diri dengan perbedaan mereka. Jadi dia langsung bertanya, “Kamu sebenarnya lulusan universitas mana, Ambar? Kuliah jurusan apa?”Kening Ambar berkerut mendengar pertanyaan Aletta. Dia yakin gadis itu tahu persis dirinya tidak sempat kuliah. Jadi, Ambar heran dan bertanya-tanya mengapa Aletta masih tetap bertanya. Sudah sangat jelas niatnya, Aletta ingin mempermalukan Ambar.Akan tetapi, Ambar tetap menjawab pertanyaan Aletta. “Saya tidak kuliah, Nona.”Aletta pura-pura terkejut mendengar jawaban Ambar. Kemudian, dia berkata dengan nada mengejek, “Oh maaf, aku kira Mbak Ambar lulusan universitas.” Walau melihat Ambar hanya tersenyum menanggapi sindirannya, Aletta tetap melanjutkan, “Terus, apa Kak Alvaro tahu Mbak Ambar bukan seorang sarjana?”Ambar menatap Aletta lurus. “Saya pekerjanya, jadi jelas Tuan Alvaro tahu,” jawabnya tenang.Melihat Ambar dipojokkan, Bu Galuh tidak berkomentar sama sekali. Wanita tua itu hanya menyesap tehnya dengan tenang selagi membiarkan dua wanita itu berbicara.Hal tersebut pun membuat Aletta menjadi semakin berani dan berkata, “Loh, itu kamu sadar diri kalau hanya pekerja. Kok tiba-tiba berusaha menjadi nyonya?”Ambar terdiam mendengar kata-kata Aletta yang jelas mencemoohnya. Dia menatap Aletta sambil membatin ‘Gadis cantik yang selalu tampil elegan itu rupanya tidak malu-malu merendahkan orang lain.’‘Mungkin karena dia merasa posisinya jauh lebih tinggi dibanding Ambar. Tingkah kasar gadis itu benar-benar tidak mencerminkan keanggunan penampilannya.’ batin Ambar lagi. Mata Ambar kemudian beralih kepada sosok Bu Galuh yang hanya diam. Sepertinya, keberadaan sesepuh keluarga Hadinata itu menjadi dukungan untuk Aletta untuk bersikap semena-mena. Sementara itu Aletta tersenyum manis. Dia merasa menang karena mengira Ambar juga tidak berani banyak bicara karena keberadaan wanita tua itu.Akan tetapi–“Nona Aletta, memaksakan suatu hal itu tidak baik,” ucap Ambar.Aletta mengerutkan kening dan bertanya balik, “Apa maksudmu?”Senyum merekah di wajah Ambar. “Saya membicarakan pernikahan, Nona. Kalau dipaksakan, hasilnya tidak akan baik.” Balasan Ambar membuat pelayan yang ada di ruang tamu dan juga Aletta yang mendengarnya kaget. Dari ucapannya, Ambar jelas-jelas sedang mengatakan kalau Alvaro dan dirinya saling mencintai, itu alasan pernikahan bisa terjadi. Tidak seperti Aletta yang sudah lama berjuang, tapi tidak menimbulkan hasil!Ambar sedang menyindir Aletta habis-habisan dengan cara yang sangat berkelas!!Beberapa pelayan mulai berbisik. Kalau soal latar belakang, Ambar memang kalah dari Aletta. Akan tetapi, kalau soal kecerdasan dan wibawa, Ambar masih menang jauh! Empat tahun bekerja menjadi tangan kanan Alvaro di rumah, memang hanya Ambar yang bisa bertahan karena sifat tenang dan sikap bijaknya!“Kalau dipikir-pikir lagi, memang tidak heran sih Tuan Alvaro suka dengan Mbak Ambar. Di luar latar belakang yang tidak sederajat, dia memang cantik, cerdas, dan cukup berwibawa,” bisik seorang pelayan kepada teman-temannya. “Benar. Aku setuju. Kalau bukan karena diberi tahu Mbak Ambar dari keluarga biasa, aku awalnya kira dia nona besar dari keluarga berada.” Pelayan lain ganti berbisik. Bisik-bisik para pelayan itu cukup keras hingga terdengar oleh Aletta. Wanita itu menjadi marah mendengar komentar para pelayan dan dia pun menatap Ambar dengan tajam.“Kamu menghinaku!?”Masih duduk di kursinya, Ambar membungkukkan sedikit badannya menghadap Aletta, ”Saya tidak berani, Nona. Tolong jangan salah paham. Saya hanya memberikan pandangan saya saja.”Tubuh Aletta bergetar marah. Dia berdiri dan langsung menyiramkan minuman kepada Ambar. “Dasar wanita rendahan! Hanya karena kamu bisa menggoda Alvaro, kamu pikir statusmu berubah menjadi tinggi dan–”“Apa yang kamu pikir sedang kamu lakukan?!”Semua orang kaget mendengar teriakan marah itu. Serempak mereka menoleh ke arah sumber suara dan melihat sosok beraura gelap yang tiba-tiba berdiri di pintu. Semua orang gemetar ketika melihat sosok itu kemudian datang menghampiri dengan langkah lebarnya.Seorang pelayan memekik, “I-itu T-Tuan Alvaro.”Pelayan lain pun menyahut, “Perang, pasti akan terjadi perang!”Nah, loh ... akankah terjadi perang? Ikuti terus cerita ini, ya. Buat para pembaca dukung Ambar,yuk dengan memberi ulasan dan gem. I Love you all 🥰🥰🥰
Bab 61 Meminta Maaf ‘Mata yang biasanya bercahaya itu hari ini meredup’ batin Alvaro. ‘Aku harus bisa mengembalikan keceriaan Ambar lagi. Tapi bagaimana caranya?’ Alvaro masih terus menatap Ambar, meski saat ini gadis itu sudah beranjak meninggalkan ruang makan. Setelah punggung Ambar tak nampak lagi dari tempat Alvaro berjongkok, lelaki itu mulai mengurai pelukannya. Lalu dia mengajak Afreen duduk kembali di kursi. “Afreen sayang yuk dihabiskan sarapannya. Susunya juga ya biar cepat besar seperti papa,” bujuk Alvaro. “Tapi papa temanin Afreen sarapan, ya,” rajuk Afreen. “Iya Papa temani.” Alvaro pun memberi isyarat kepada salah satu asisten rumah tangganya untuk menyiapkan sarapan buat dirinya. Ketika Alvaro tengah menikmati sarapan sambil mendengar celotehan Afreen, Ambar masuk kembali ke ruang makan. Melihat mama tiri kesayangannya itu Afreen spontan berkata, “Ayo, Mama sarapan juga bareng Papa.” Ambar menatap Afreen sambil melirik Alvaro. Dia tampak enggan duduk seme
Bab 60 Memperbaiki Kesalahan Alvaro menuruni tangga dari lantai dua rumahnya sambil memegangi pelipisnya. Kepalanya terasa berdenyut nyeri akibat kurang tidur semalam. Semua karena isi kepalanya yang terlalu riuh. ‘Kenapa? Kenapa semalam dia bisa lepas kendali? Kenapa juga dia merasa tidak rela disebut bajin**n oleh Ambar? Memangnya apa bedanya Ambar dengan orang lain?’ Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi benak Alvaro hingga dia menjadi sulit tidur karena kesulitan mencari jawabannya. Baru saja sampai di tangga terbawah, telinga Alvaro yang tajam mendengar gelak tawa dari arah ruang makan. Lelaki itu mempercepat langkahnya menuju ruangan tersebut. “Afreen nggak mau minum susu. Afreen maunya minum teh atau kopi seperti Mama.” “Nggak boleh, Sayang. Afreen masih kecil nggak boleh minum kopi. Kalau minum teh boleh, tapi nanti siang pulang sekolah. Sekarang sarapannya minum susu dulu, ya. Biar Afreen sehat dan tambah pinter,” jawab sebuah suara wanita yang dikenali oleh A
Bab 59 Kekesalan Alvaro “Kamu benar-benar tega! Aku tidak menyangka ternyata kamu seorang bajin**n! Kemana perginya Tuan Alvaro yang terhormat itu? Aku menyesal sudah setuju menikah dengan bajin**n seperti kamu!” Jeritan Ambar membuat Alvaro tersentak. Tepat pada saat bersamaan bibirnya berhasil menyentuh pipi Ambar yang mulai basah oleh air mata. Alvaro pun membeku. Perlahan-lahan Alvaro menutup mata. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Dia melakukannya berulang kali dalam usahanya meredam emosi. Setelah deru napasnya yang memburu berubah menjadi lebih tenang, Alvaro mengangkat tubuhnya yang tadi menind*h Ambar. Lantas dia menjauh dari Ambar dan memilih duduk di pinggir kasur. Karena Alvaro sudah tidak lagi mengungkungnya, Ambar segera beringsut menjauh. Sebenarnya bisa saja Ambar beranjak keluar dari kamar, tetapi dia masih syok. Jadi ketika mencobanya kaki Ambar terlalu lemah sehingga dia tidak sanggup berdiri. Akhirnya gadis itu memilih duduk di uju
Bab 58 Memaksakan Kehendak“Kamu benar-benar tidak bisa kuampuni lagi. Kamu harus diberi pelajaran sekarang juga!” Alvaro merengkuh tubuh Ambar agar tetap berdiri lalu tangannya mulai menarik Ambar. Dengan sedikit kasar Alvaro mencekal lengan Ambar dan menyeretnya menuju ujung ruang kerjanya. Di sudut ruangan itu terdapat pintu penghubung menuju kamar tempat Alvaro beristirahat kalau dia sedang malas naik ke kamarnya di lantai dua. Ambar kaget mendapat perlakuan seperti itu dari Alvaro. Selama dia bekerja sebagai baby sitter Afreen, Ambar belum pernah melihat Alvaro berbuat kasar. Mantan majikannya itu memang sering marah, tapi tidak pernah sampai menggunakan tangannya untuk menghukum seseorang. Itu sebabnya saat ini Ambar sangat ketakutan. Dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari cekalan tangan Alvaro. Namun tidak berhasil. Bagaimana mungkin kekuatannya sebagai seorang wanita bisa menandingi ketangguhan seorang lelaki? Apalagi lelaki yang sudah gelap mata sepert
“Aku tidak terima alasan seperti itu!” “Terus mau kamu bagaimana?” tantang Ambar. Sambil berdiri tegak di depan Alvaro, mata Ambar menatap tajam lelaki yang baru beberapa bulan menikahinya itu. “Aku akan meminta hakku agar kamu selalu ingat kewajibanmu,” ucap Alvaro dengan tegas. Ambar menatap Alvaro dengan bingung. “Hak? Hak yang mana yang ingin kamu minta?”Alvaro balik menatap Ambar lekat. “Tentu saja hakku sebagai seorang suami. Dan tentunya sebagai seorang istri sudah kewajibanmu untuk memenuhi hakku sebagai suami.”Kening Ambar berkerut membentuk beberapa garis. Bibirnya sedikit melongo. Dia terbengong-bengong mendengar ucapan Alvaro. “Aku tidak mengerti maksudmu. Hak yang mana lagi? Bukankah aku sudah memberikan semuanya kepadamu? Bukankah sudah kuturuti juga semua perintahmu? Apa semua itu masih belum cukup?” “Tentu saja belum cukup! Justru hal yang paling dasar belum kamu penuhi!” sentak Alvaro. “Hal yang paling dasar?” gumam Ambar sambil mengulangi kata-kata Alvaro. Eksp
Bab 56 Alvaro Meminta Hak Sebenarnya Ambar sudah menyiapkan hati sebelum membuka pintu ruang kerja Alvaro. Dia tahu suami di atas kertasnya itu pasti akan marah melihat kepulangannya yang terlambat. Namun tak urung dia tersentak juga ketika Alvaro menegurnya saat dia memasuki ruang kerja Alvaro. Dengan suara menggelegar lelaki itu berkata, “Akhirnya kamu pulang juga! Kupikir kamu mau menginap di luar!”Tubuh Ambar gemetar mendengarnya. Bukan karena dia kaget mendengar suara Alvaro yang sangat keras namun dia tak mampu menahan gejolak emosi nya mendengarkan kata-kata yang diucapkan oleh lelaki itu.Dengan mata menatap nanar Alvaro, Ambar berdiri tegak dan menjawab dengan suara yang tak kalah keras, “Apa maksud kamu? Kau pikir aku perempuan apa?” “Coba kamu pikir sendiri kamu perempuan seperti apa. Karena terus terang saja aku tidak tahu harus berpikir bagaimana melihat wanita yang kunikahi tidak memberi kabar sama sekali kalau akan terlambat pulang!” Alvaro menatap Ambar dengan tat