“Adisti, nanti ada rapat, katanya akan ada pergantian manajer di pabrik ini.” Sesil memberi informasi pada Adisti saat gadis itu bau saja duduk di kursinya.
Sesil adalah salah sat teman dekatnya selama bekerja, umur mereka pun tidak terlalu jauh. Adisti 20 tahun dan Sesil 23 tahun. Sesil sama seperti Adisti, bagian admin tetapi beda divisi.
“Iya? Tumben gak ada info sebelumnya. Kok dadakan banget?” keluh Adisti. Pergantian manajer itu artinya pergantian aturan baru. Adisti tidak menyukai itu.
“Entahlah. Denger-denger manajer baru kita masih muda. Tiga puluhan tahun katanya.” Sesil memang penyuka gosip. Informasi apa pun yang ada di pabrik ia mengetahui semua. Termasuk ada main antar pekerja pabrik walaupun mereka sudah menikah.
“Gebet sana!” celetuk Adisti menggoda Sesil. Teman satu-satunya itu memang sedang mencari jodoh karena lelah mendapatkan tekanan dari orangtua yang meminta dirinya segera menikah. Padahal umur belum kepala 3.
“Jelas dong! Nanti aku pasti akan tebar pesona tanpa kamu ingatkan.” Sesil tersenyum lebar. Ia membayangkan setampan apa wajah manajer barunya nanti.
“Udah sono siap-siap. Lima menit lagi kan?” ucap Adisti mengingatkan Sesil. Gadis cantik yang memiliki lesung itu segera meluncur kembali ke meja kerjanya lalu mengeluarkan peralatan tempur yang selalu ia bawa, make-up.
Adisti hanya menggeleng kepala melihat tingkah Sesil yang menurutnya kekanakan. Setelah menyalakan laptop, Adisti mengeluarkan note dari laci. Ia menjejerkan agenda hari ini, berkas mana yang harus ia selesaikan terlebih dahulu.
Selesai menata meja, Adisti bersiap menuju ruang rapat bersama Sesil. Karena mereka hanya karyawan biasa, Adisti dan Sesil mendapatkan kursi yang berjejer di belakang meja kepala bagian.
Adisti menatap sekeliling, masih separuh karyawan yang hadir. Entah pergi ke mana yang lainnya. Manajer baru pun belum tampak batang hidungnya.
Adisti sedikit menggeram kesal, rasanya rapat yang tidak tepat waktu ini membuat banyak waktunya terbuang sia-sia. Seharusnya ia sudah mulai memeriksa inventaris pabrik seperti instruksi kepala bagian, tetapi nyatanya setelah setengah jam berlalu belum ada tanda-tanda kedatangan mereka.
“Mau ke mana?” tanya Sesil saat melihat Adisti yang berdiri.
“Tentu kembali bekerja! Sudah sangat terlambat. Sebenarnya apa yang dilakukan manajer baru itu hingga membuatnya terlambat?” gerutu Adisti.
Sesil tidak bisa mencegah langkah Adisti. Gadis itu pasrah saat dirinya ditinggal Adisti keluar ruangan. Namun, tepat saat Adisti akan membuka pintu, dari arah yang berlawanan muncul laki-laki bertubuh tegap dengan tinggi 170 senti berjalan cepat menuju ruangan rapat di mana Tisa membuka pintu. Tabrakan tidak bisa mereka hindari.
Seketika Adisti terjatuh memeluk laki-laki itu. Dalam beberapa detik, laki-laki itu menatap Adisti yang matanya begitu dekat dengannya. Ia benar-benar menikmati menatap Adisti, tetapi beberapa detik kemudian ia mengernyit saat merasakan aura yang berbeda dari Adisti.
Seolah tersadar, segera Adisti mencoba berdiri dan melepaskan diri dari pelukan laki-laki yang tidak dikenalnya. Beberapa karyawan menatap laki-laki itu takjub dengan fisiknya yang rupawan, tetapi tidak berani bersuara.
“Maafkan saya!” Adisti membungkuk sembari terus meminta maaf.
“Tidak apa. Berhentilah membungkuk. Silakan masuk. Rapat akan segera dimulai.” Laki-laki itu berjalan melewati Adisti begitu saja, seolah tidak pernah terjadi apa pun. Berbeda saat menabrak Adisti. Matanya memancarkan cahaya penuh cinta.
Adisti kembali duduk di kursinya. Sesil mencolek lengan Adisti lalu bertanya, “Kenapa kembali?”
Adisti memberi kode agar Sesil menatap ke depan. Di sana sudah ada laki-laki yang tadi menabraknya tadi sedang menyalami kepala bagian.
Rupanya laki-laki yang bertabrakan dengan Adisti adalah manajer yang baru. Laki-laki itu bernama Dion. Fisik laki-laki itu hampir mirip dengan Abimanyu. Ah, lagi-lagi Adisti mengingat sosok Abimanyu.
Laki-laki itu memang tidak mudah dilupakan, pikir Adisti.
“Baiklah, terima kasih banyak atas waktunya. Saya meminta laporan bulan lalu ada di meja saya besok pagi. Ada beberapa hal yang harus dicek lagi.”
Beberapa menit kemudian, pertemuan pagi itu berakhir, tinggal Dion yang membaca laporan dari manajer sebelumnya. Laki-laki itu ingin meneliti semua laporan sebelum ia mengambil keputusan. Tanggung jawab yang ia emban sekarang jauh lebih berat dari sebelumnya.
“Pak. Wanita yang menabrak tadi siapa?” tanya Dion pada Andre, staf keuangan.
“Oh, dia Adisti, Pak. Admin di divisi penjualan.”
Dion mengangguk. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda pada wanita itu. Aura hitam yang menyelubungi seluruh tubuh Adisti. Namun, Dion tidak mau ambil pusing. Itu bukan urusannya.
Sementara itu, Adisti tengah sibuk mengerjakan laporan keuangan penjualan beberapa bulan sebelumnya.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kini sudah waktunya Adisti pulang. Saat sampai di rumah, Adisti mengernyit saat melihat Abimanyu sudah menunggunya.
“Akhirnya kamu pulang.”
Adisti tersenyum mendengar ucapan Abimanyu. Setelah memasukkan motor, segera Abimanyu merengkuh wanitanya lalu menciuminya dengan brutal. Ia rindu dengan bau Adisti. Namun, hanya sebatas itu. Abimanyu tidak ingin merusak misi keluarganya.
“Ikut aku ke rumah ya?” pinta Abimanyu lirih. Ia membelai wajah Adisti yang duduk di pangkuannya.
Adisti mengernyit. “Untuk?”
“Tentu saja kita menikah. Apa kamu tidak mencintaiku?” tanya Abimanyu pura-pura merajuk.
“Tentu saja aku mencintaimu, Abimanyu. Tapi bukankah aku manusia, dan kamu bukan?” Ada keraguan di hati Adisti. Apakah mungkin ada pernikahan dua alam? Antara manusia dan makhluk tidak kasatmata? Jika dipikirkan lebih mendalam, hal itu tidaklah masuk akal.
“Sah sah saja, Adisti. Banyak manusia yang menikah dengan bangsaku. Bahkan mereka memiliki anak dari pernikahannya dan aku ingin seperti itu,” bisik Abimanyu di telinga Adisti. Hal itu menghadirkan gelenyar aneh di tubuhnya.
“Benarkah?”
Abimanyu mengangguk. “Ikutlah aku sekarang ke duniaku, Adisti.”
Seolah tersihir, Adisti mengangguk patuh. Segera Abimanyu meminta Adisti segera bersiap.
Sepeninggal Adisti yang bersiap diri, Abimanyu menyunggingkan senyum samar. Kurang sedikit lagi, rencana keluarga Abimanyu akan menjadi kenyataan. Adisti-lah yang akan menggenapi rencana mereka.
Beberapa menit kemudian, Adisti muncul menggunakan baju kasual. Tampak lebih segar karena sudah bersih diri.
“Aku siap.” Adisti tersenyum saat melihat Abimanyu yang terus-menerus menatapnya.
“Kamu cantik alami. Aku tidak sabar segera menikahimu, Adisti,” ucap Abimanyu serak. Berusaha mati-matian ia menahan gejolak dalam dirinya yang ingin segera dituntaskan.
Adisti hanya tersenyum menanggapi ucapan Abimanyu. Hampir setiap hari ia mendengar laki-laki itu mengucapkan itu.
“Ayo.” Adisti menggamit lengan kekar Abimanyu. Mereka berjalan menuju pohon asam yang berada di halaman rumah.
“Benar di sini pintu masuk alam kalian?” tanya Adisti sedikit ragu. Tidak ada pintu atau semacamnya untuk masuk.
Abimanyu mengangguk. Tangan laki-laki itu menutupi mata Adisti, lalu mengucap mantra. Tak lama kemudian muncul sebuah cahaya putih yang menyilaukan.
“Buka mata!” perintah Abimanyu.
Adisti membuka mata, refleks ia menyipitkan mata karena silau. “Kenapa?” tanyanya heran.
“Inilah pintu masuknya. Ayo!” Abimanyu merengkuh pundak Adisti lalu membimbing wanita itu masuk menembus cahaya.
Pertama kali yang Adisti lihat setelah membuka mata adalah deretan rumah terbuat dari anyaman bambu yang berjejer di pinggir jalananan tidak beraspal.Sesekali Adisti mengucek mata memastikan penglihatannya. Namun, tetap penampakan rumah berjejer yang terlihat.“Benarkah ini dunia kalian?” tanya Adisti heran. Ia berpikir dunia Abimanyu akan berbeda dengan dunia manusia, tetapi nyatanya apa yang ia lihat sama. Dunia Abimanyu dan dunia manusia sama.Abimanyu merengkuh pundak Adisti, membimbing gadis itu berjalan menuju rumah mewah yang berada di paling ujung. Rumah yang terlihat mencolok karena terlihat paling mewah dan besar dibandingkan dengan yang lain.Adisti mengernyit saat melihat ada yang melakukan aktivitasnya sama seperti manusia pada umumnya. Ada yang menyapu halaman, bergosip, atau pun melakukan aktivitasnya di sawah. Adisti benar-benar tidak habis pikir. Benarkah ia berada di dunia Abimanyu sekarang? Mengapa tidak ada bedanya dengan dunianya? Lagi-lagi hanya pertanyaan tanpa
“Besok sepulang bekerja, datanglah ke Kafe Garden. Laki-laki itu akan menunggumu di sana.”Ucapan sang kakek terus terngiang di kepala Adisti malam itu. Ia bingung bagaimana mengatakannya pada Abimanyu saat bertemu nanti. Ia yakin laki-laki itu pasti akan marah mendengar perjodohan itu. Apalagi mereka akan segera menikah. Menikah? Tentu saja menikah dengan tata cara alam Abimanyu.Hati dan pikiran Adisti sudah dipenuhi Abimanyu seorang. Tidak ada lagi ruang untuk laki-laki lain. Setidaknya itu yang ia rasakan saat ini.Adisti menghela napas. Apa yang akan ia katakan pada Abimanyu nanti?Sampai pukul 11 malam, Abimanyu tidak juga datang. Ada apa? Bukankah laki-laki itu bilang akan menjemput malam ini? Apakah pernikahan itu ditunda? Apa penyebabnya? Banyak pertanyaan dalam kepala Adisti saat ini.Adisti mengingat lagi ucapan Abimanyu, sepertinya ia tidak salah mendengar saat laki-laki itu mengatakan mereka akan menikah malam ini di rumah Abimanyu. Lantas, mengapa sampai sekarang laki-la
“Mau ke mana kamu?” tanya Abimanyu yang tiba-tiba muncul dari belakang Adisti. Wanita itu terkejut setengah mati saat akan menyalakan motornya.“Ngagetin aja sih,” protes Adisti sambil mencubit lengan kekar Abimanyu.“Jawab dulu. Kamu mau ke mana?” tanya Abimanyu ketus.Adisti diam. Mana mungkin ia jujur pada Abimanyu bahwa akan menemui laki-laki yang dijodohkan kakeknya. Lagi pula, Abimanyu mengingkari janjinya malam kemarin.“Aku jalan sama temen. Kamu ke mana kemarin? Kenapa tidak datang?” tuntut Adisti mencoba mengalihkan pembicaraan.“A-aku ... keluarga kami sedang ada sedikit masalah. Jadi pernikahan kita ditunda sementara waktu.” Abimanyu tampak salah tingkah. Ia tidak bisa menceritakan kenyataannya bahwa Arka datang dan mengganggu moodnya kemarin.Adisti mengernyit. “Masalah? Karena masalah itu kita tidak jadi menikah?” protes Adisti kesal. Ia sudah membayangkan akan hidup bahagia bersama Abimanyu.Adisti tidak mengerti, seolah ada sesuatu yang mencubit di dalam sana saat meng
“Kita percepat pernikahanmu apa pun yang terjadi,” titah Lastri pada Abimanyu sesaat laki-laki itu baru saja kembali dari dunia Adisti.Seketika Abimanyu mendongak. “Kenapa, Ma?” tanyanya heran. Baru saja beberapa jam yang lalu Lastri mengatakan bahwa akan memikirkan lagi kapan waktu yang pas untuk pernikahan Abimanyu, justru sekarang memerintahkan Abimanyu segera menikah.“Kamu lupa Arka bisa saja menyerang kita sewaktu-waktu. Jadi, kamu harus segera menikah dan renggut gadis itu di malam pertama. Setelah itu baru kita melakukan ritual untuk menyempurnakan kekuatan keluarga kita,” jelas Lastri berapi-api. Tentu saja ia bersemangat karena ambisinya yang membuat Abimanyu harus menikahi Adisti.“Bawa gadis itu malam nanti. Kita lakukan secepatnya. Jangan sampai ada yang tahu,” bisik Lastri sambil melirik sekeliling. Ia takut ada telinga yang mendengar pembicaraan mereka.Abimanyu mengangguk. Hanya dengan cara ini dirinya bisa berbakti pada ibunya. Walaupun harus mengorbankan dirinya sen
Adisti dan Abimanyu duduk bersanding di atas panggung yang terbuat dari batu yang diukir. Proses pernikahan di dunia Abimanyu belum selesai. Sekarang mereka harus menjalani prosesi siraman yang akan dilakukan sesepuh di wilayah Abimanyu.Adisti tidak berani mengangkat kepala, ia terus menunduk sambil menautkan jemarinya. Cemas. Itu yang dirasakannya saat ini. Walau bagaimanapun, ini kali pertama Adisti menjalani prosesi pernikahan, apalagi dengan Abimanyu yang berbeda alam.Hati kecilnya yang paling dalam mengatakan untuk lari dari prosesi ini, tetapi tubuhnya tidak sinkron. Gadis itu tetap duduk dan mengikuti semua kegiatan dengan patuh. Ia lupa bahwa apa yang dilakukannya sekarang adalah sebuah kesalahan.Mantra yang Abimanyu tujukan pada Adisti sangat kuat, sehingga gadis itu benar-benar lupa bahwa semuanya ini keliru.Tak terasa waktu berlalu, prosesi pernikahan Abimanyu dan Adisti berjalan lancar. Kini tinggallah sesi ramah tamah. Hal pertama yang membuat Adisti terheran adalah m
“Bagaimana wanita yang dikenalkan kemarin?” Tanya Dini, ibu Dion.Dion menghela napas. Ia teringat perjanjian yang ia buat dengan Adisti malam itu.“Jika kita sama-sama tidak bisa menolak, bagaimana kalau kita membuat perjanjian?” usul Dion akhirnya.“Perjanjian?” tanya Adisti tidak mengerti.Dion mengangguk. “Iya, kita tetap menyetujui perjodohan ini, tetapi ada hitam di atas putih. Kita buat perjanjian apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan selama pernikahan.”Adisti terdiam sejenak. “Sampai kapan?” tanyanya.“Aku tidak tahu.” Dion berharap Adisti menyetujui usulnya, sehingga ia bisa dengan mudah mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Adisti saat ini.Adisti diam, memikirkan setiap ucapan Dion. Jika menolak, tentu saja ia tidak tega pada kakeknya. Menerima perjanjian itu, sama saja membuka diri agar orang lain tahu hubungannya dengan Abimanyu.Memikirkan hal itu membuat Adisti semakin pusing. Hingga akhirnya sebuah keputusan diambilnya dengan terpaksa.“Baiklah! Tetapi a
“Selesaikan dia sekarang!” perintah Lastri pada Abimanyu. Saat ini mereka sedang berperang melawan keluarga Arka.Abimanyu mengangguk lalu mendekati Arka yang ngos-ngosan karena perutnya terluka. Sebelumnya Lastri yang melawan Arka, tetapi wanita itu ingin Abimanyu yang menghabisi Arka. Setidaknya sampai Arka mengibarkan bendera putih.“Matilah kamu!” Tiba-tiba dari telapak tangan Abimanyu muncul cahaya berwarna merah terang yang membentuk seperti bola, lalu dengan sekali ayun, telapak tangan Abimanyu mengenai punggung Arka yang berusaha kabur.Lama-lama tubuh Arka melemah dan akhirnya tidak sadarkan diri. Beberapa pengikut Arka saling berpandangan saat melihat Arka mulai tidak berdaya. Segera mereka menghilang dan kembali ke wilayahnya meninggalkan Arka.“Buang dia ke lembah Kematian!” perintah Lastri pada Abimanyu.Laki-laki hanya mengangguk. Kini masalah wilayah terselesaikan. Setelah sekian lama, akhirnya Negeri Goria berada di tangan Lastri. Inilah momen yang paling ditunggu Last
“Maafkan aku, Sayang. Aku cemburu.” Abimanyu mencoba menenangkan Adisti yang menangis sesenggukan di atas ranjang.“Pergi kamu!” teriak Adisti. Ia menjauhkan diri dari suaminya lalu beranjak menuju kamar mandi dan meneruskan menangis di sana.Selama hidupnya, belum ada yang memarahinya hingga membuatnya terluka. Bukan luka yang tampak, justru luka tak tampak yang membekas kiat di hati. Kartilan tidak pernah membentaknya sekali pun.Adisti mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan kasar. Ia kecewa dengan Abimanyu yang berbuat kasar padanya. Padahal mereka baru beberapa hari menikah.“Maafkan aku, Sayang!” teriak Abimanyu dari balik pintu kamar mandi sambil mencoba membuka pintu. Sayangnya dikunci dari dalam.Saat tidak lagi terdengar jawaban Adisti, Abimanyu memutuskan pulang.“Manusia sangat menyusahkan!” gerutu Abimanyu kesal. Ia memang mencintai Adisti, tetapi jika wanita itu menyusahkan seperti sekarang malas rasanya bertemu lagi.Sementara itu, Adisti terus menangis di kamar