Share

Bab 6

Pertama kali yang Adisti lihat setelah membuka mata adalah deretan rumah terbuat dari anyaman bambu yang berjejer di pinggir jalananan tidak beraspal.

Sesekali Adisti mengucek mata memastikan penglihatannya. Namun, tetap penampakan rumah berjejer yang terlihat.

“Benarkah ini dunia kalian?” tanya Adisti heran. Ia berpikir dunia Abimanyu akan berbeda dengan dunia manusia, tetapi nyatanya apa yang ia lihat sama. Dunia Abimanyu dan dunia manusia sama.

Abimanyu merengkuh pundak Adisti, membimbing gadis itu berjalan menuju rumah mewah yang berada di paling ujung. Rumah yang terlihat mencolok karena terlihat paling mewah dan besar dibandingkan dengan yang lain.

Adisti mengernyit saat melihat ada yang melakukan aktivitasnya sama seperti manusia pada umumnya. Ada yang menyapu halaman, bergosip, atau pun melakukan aktivitasnya di sawah. Adisti benar-benar tidak habis pikir. Benarkah ia berada di dunia Abimanyu sekarang? Mengapa tidak ada bedanya dengan dunianya? Lagi-lagi hanya pertanyaan tanpa jawaban yang didapatkannya.

“Ini dunia kami, Sayang. Pada dasarnya sama dengan manusia. Yang membedakan hanya alamnya saja.”

Jawaban Abimanyu tidak sepenuhnya menjawab pertanyaan Adisti, tetapi setidaknya gadis itu sekarang tahu bahwa hidup Abimanyu sama seperti dirinya. Beda jenis saja.

“Ini rumahku.” Abimanyu membuka gerbang. Lalu menyilakan Adisti masuk dan berjalan terlebih dahulu.

Sebelumnya, Abimanyu memantrai gerbang agar tidak bisa dibuka oleh siapa pun jika bukan dirinya. Ia tidak ingin ada yang mengganggu selama Adisti berada di rumahnya. Terutama Arka.

Adisti dan Abimanyu disambut hangat oleh Lastri dan Hartono, orangtua Abimanyu. Mereka menyalami Adisti lalu menyilakannya masuk ke rumah.

“Kamu yang bernama Adisti? Abimanyu banyak bercerita tentang kamu. Ternyata cantik sekali.” Lastri memuji terlalu berlebihan. Tentu saja itu hanya kamuflase. Faktanya bukan kecantikan Adisti yang membuatnya senang.

“Duduklah. Kita mengobrol sebentar.” Lastri menggandeng Adisti, membawa gadis itu duduk.

Lastri memberi kode pada Abimanyu lewat kedipan mata. Seketika laki-laki itu berdiri menuju dapur.

“Umur berapa kamu, Sayang?” tanya Lastri antusias. Berbeda dengan Hartono yang hanya diam sejak Adisti datang.

“Dua puluh tahun, Tante.” Adisti tersenyum senang. Mama Abimanyu terlihat baik dan seolah menganggap dirinya seperti anak sendiri. Tiba-tiba perasaan sedih menghinggapi hati Adisti. Ia teringat sejak kecil hanya tinggal bersama sang kakek saja. Sehingga tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu.

“Wah, masih muda sekali. Abimanyu memang tidak salah memilih.” Lastri meremas jemari Adisti, membuat gadis itu meringis pelan.

“I-iya, Tante.” Adisti mengangguk pelan.

“Jangan panggil Tante, sebentar lagi kamu jadi bagian keluarga ini. Jadi panggil Mama, oke?” pinta Lastri.

Adisti hanya mengangguk sebagai jawaban.

Tak lama kemudian, muncul Abimanyu dari dapur membawa nampan berisi segelas minuman berwarna merah pekat.

Adisti mengernyit melihat minuman itu. Apalagi saat tak sengaja hidungnya mencium bau anyir seperti darah.

“Minumlah, Sayang. Ini minuman khas dunia kami yang diyakini bisa menambah kesehatan.” Abimanyu menyodorkan gelas pada Adisti lalu memaksa gadis itu meminumnya seketika.

Ragu Adisti menerima uluran Abimanyu. Terpaksa ia menerima karena tatapan Hartanto sangat tidak enak dipandang. Berbeda dengan Lastri yang terus tersenyum dan meyakinkan Adisti bahwa minuman itu aman untuk diminum.

Pelan Adisti membawa minuman itu mendekati bibirnya. Ia mengernyit. Rupanya dari minuman itu bau anyir yang tadi tercium berasal.

“Minuman apa ini?” tanya Adisti ragu. Ia menatap Abimanyu, Lastri, dan Hartanto bergantian. Raut wajah mereka tidak sama, tetapi pandangan mata sama-sama menuntut Adisti agar segera meminumnya.

Lastri kembali memberi kode pada Abimanyu yang dijawab dengan anggukan oleh laki-laki itu.

Abimanyu mendekati Adisti, lalu merengkuh pundak wanita yang akan menjadi tumbalnya kali ini. “Minumlah. Sebentar lagi kamu akan menjadi bagian dari keluarga kami. Jadi, kamu harus mengikuti aturan yang kami berikan.”

Setelah mendengar penjelasan Abimanyu, Adisti tergerak dengan sendirinya meminum minuman itu dengan sekali tenggak. Adisti tidak sadar, bahwa yang ia lakukan akibat mantra yang Abimanyu tujukan padanya saat merengkuh pundak.

“Bagus, Sayang.” Abimanyu sengaja memuji Adisti agar gadis itu tidak sadar telah meminum cairan kental itu.

Lastri tersenyum miring saat melihat gelas itu telah kosong.

‘Sebentar lagi aku akan menguasai wilayah ini. Tidak akan ada lagi yang berani mengangguk,' batin Lastri senang.

Berbeda dengan Hartanto. Laki-laki itu hanya diam dan berwajah datar. Ekspresinya tidak mudah ditebak. Sejak Adisti datang, ia hanya diam dan mengamati Adisti.

---

“Wajah lo kenapa?” tanya Sesil pagi itu saat melihat wajah Adisti yang pucat.

“Aku? Gak kenapa-kenapa tuh. Ada apa? Ada yang aneh dengan wajahku?” tanya Adisti sambil menyiapkan laptop dan beberapa berkas yang harus ia buat laporannya.

“Ada yang beda aja.” Sesi mengedikkan bahu lalu kembali ke mejanya.

Adisti tidak lagi memikirkan pertanyaan Sesil. Ia menghela napas. Tubuhnya terasa aneh memang sejak pulang dari alam Abimanyu semalam. Namun, gadis itu tidak tahu alasannya apa.

Tidak sengaja ekor mata Adisti menangkap sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya. Cincin pemberian Abimanyu semalam sebagai tanda pengikat bahwa gadis itu adalah milik Abimanyu.

Adisti tersenyum saat teringat Abimanyu menyematkan cincin itu di jemarinya lalu mereka berciuman dalam waktu lama. Malam itu Adisti benar-benar bahagia mendapatkan Abimanyu dan mengetahui orangtuanya yang sangat ramah. Seolah ia menemukan keluarga baru, menemukan kasih sayang orangtua yang selama ini tidak ia dapatkan.

“Besok kita akan menikah. Semua akan dipersiapkan orangtuaku, jadi kamu tinggal duduk manis seperti ratu. Tidak perlu memikirkan apa pun. Karena hanya kamu yang bisa melihatku, jadi rahasiakan pernikahan kita, Sayang. Oke?” ucapan Abimanyu malam itu terus terngiang di kepalanya.

Menikah dengan Abimanyu? Tentu tidak pernah ada dalam bayangan Adisti selama ini. Menikah saja belum terpikirkan, apalagi menikah dengan selain manusia.

Adisti tidak ingat, bahwa hal itu sangat bertentangan dengan ketetapan Tuhan. Pernikahan dua alam, tentulah syirik. Menikah dengan berbeda agama saja tidak boleh, apalagi berbeda alam. Tentu sangat dilarang.

Gadis itu sengaja dibuat lupa oleh Abimanyu. Laki-laki sudah memantrai Adisti, agar gadis itu patuh hanya pada ucapannya. Karena itulah, Adisti hanya diam dan menuruti apa pun permintaan Abimanyu.

Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 12 siang. Itu artinya sudah waktunya istirahat. Adisti yang kebetulan membawa makanan, tidak beranjak dari kursinya. Ia makan di mejanya sendirian.

Sepasang mata menatap kegiatan Adisti dengan pandangan entah. Sebenarnya ia tidak ingin ikut campur urusan orang, tetapi mengingat siapa wanita itu akhirnya mau tidak mau ia mengawasi gadis itu selama di pabrik.

---

Kartilan sudah menunggu Adisti di teras. Laki-laki tua itu mengernyit saat melihat sesuatu yang berbeda dalam diri Adisti.

“Mbah, kenapa tidak masuk rumah saja?” tanya Adisti menghentikan motor di halaman lalu turun menyalami Kartilan.

“Aku lebih senang menunggumu di depan, Nduk. Sekalian mencari udara segar.” Kartilan tersenyum saat Adisti menggandengnya masuk ke rumah.

“Tapi dingin, Mbah.”

Adisti membawa laki-laki itu duduk di kursi tamu. Lalu duduk di samping sang kakek.

“Ada apa, Mbah? Tumben datang malam hari.”

“Kamu sudah punya pacar?” tanya Kartilan tiba-tiba.

Adisti terdiam. Membicarakan pacar, ia ingat ada Abimanyu yang menjalin hubungan dengannya. Namun, mengingat dunia mereka berbeda Abimanyu meminta Adisti merahasiakan hubungan mereka.

“Tidak, Mbah. Ada apa?” tanya Adisti hati-hati.

Kartilan mengembuskan napas lega. “Aku ingin menjodohkanmu dengan anak temanku, Adisti.” Mata Kartilan berbinar-binar saat mengucapkan itu.

Seketika Adisti membelalak tak percaya. Bagaimana ini? Jika Abimanyu tahu pasti laki-laki itu akan marah. Jika menolak sang Kakek dirinya tidak tega. Keluarga yang dimiliki hanya Kartilan seorang.

“Menjodohkan Adisti, Mbah?”

Kartilan mengangguk mantap. “Tenang saja. Dia dari keluarga berada. Kamu pasti akan bahagia, Adisti. Melihatmu bahagia dan ada yang menjaga adalah mimpiku sebelum tiada, Adisti. Patuh ya?”

Bibir Adisti terasa kelu. Ia tidak mampu menjawab permintaan sang kakek. Apalagi menolak. Apa yang akan ia katakan pada Abimanyu nanti saat mereka bertemu? Apalagi sebentar lagi mereka akan menikah di dunia Abimanyu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status