Share

Bab 4

“Dia menolakmu?” tanya Lastri, Mama Abimanyu.

Abimanyu mengangguk pelan lalu menghela napas. Ia menyandarkan kepala di kursi. Pikirannya melayang, membayangkan wajah ayu Adisti yang alami tanpa polesan make-up.

“Gobl0k! Harusnya kamu mantrai dia, buat dia suka sama kamu dan menuruti semua ucapanmu! Gitu aja gak ngerti, gimana sih! Semakin lama kamu menunda semakin lama kita menguasai wilayah ini. Paham?” hardik Lastri kesal melihat Abimanyu yang terlihat lemah.

“Iya, Ma. Nanti malam aku akan datang lagi ke sana untuk memikat dia agar mau.” Hanya itu yang keluar dari mulut Abimanyu.

Lastri duduk di samping Abimanyu lalu mengelus kepalanya.

“Maafkan Mama, Nak. Mama hanya tidak suka kamu terlalu lama menunda. Kesempatan hanya sekali, manfaatkan itu.”

“Iya, Ma. Abimanyu paham.”

“Bagus. Jangan lewatkan kesempatan ini Abi, martabat keluarga kita berada di tanganmu sekarang. Jangan sampai ada yang mendahuluimu mendapatkan Adisti. Terutama Arka!”

“Iya, Ma.”

Lastri mengangguk lalu menepuk pundak Abimanyu sebelum beranjak menuju kamar. Wanita itu berambisi menguasai wilayahnya, hanya dengan menikahkan Abimanyu dengan Adisti keinginannya akan terlaksana.

Menurut kepercayaan, bangsa manusia yang pernah mati suri memiliki suatu keistimewaan yang mampu membuat bangsa ‘mereka' disegani jika bisa menikahinya. Karena itulah Lastri memaksa Abimanyu untuk menikahi Adisti dengan tujuan agar bisa menguasai bangsa mereka.

Kini tinggallah Abimanyu yang termangu di ruang tamu. Ia paham benar apa maksud mamanya. Jika Arka mengetahui tentang Adisti, tidak menutup kemungkinan ia akan menemui wanita itu dengan tujuan yang sama seperti Abimanyu.

“Adisti ....” desah Abimanyu menyebut nama wanita yang kini mulai bertahta di hatinya. Selain karena misi dari sang Mama, sebenarnya hati Abimanyu sudah terpaut pada Adisti di awal mereka bertemu.

Abimanyu tidak mengira bisa menyukai bangsa manusia, bahkan ia bergairah saat berada di dekat wanita itu. Sudah lama ia tidak bercinta. Sejak hubungannya dengan Meira, wanita yang pernah menjalin cinta dengannya itu kandas karena mamanya, ia tidak lagi dekat dengan perempuan pun tidur bersama. Tidak pernah.

Namun, saat berada di dekat Adisti jiwa kelelakiannya keluar begitu saja tanpa diminta. Tentu saja Abimanyu senang. Apalagi dengan dirinya berhasil menikahi Adisti, keluarganya akan disegani di wilayahnya. Bukankah itu keberuntungan berlapis namanya.

“Aku harus mendapatkan wanita itu.” Tekat Abimanyu sudah bulat. Malam ini ia akan memantrai Adisti agar wanita itu mau segera menikah dengannya. Abimanyu takut Arka mengetahui itu lalu merebut Adisti dari tangannya.

Abimanyu teringat saat malam itu ia mengatakan pada Adisti bahwa dirinya bukan manusia, seketika wanita itu menolak mentah-mentah dan mengusir Abimanyu. Laki-laki itu masih ingat bagaimana raut terkejut Adisti saat ia mengatakan bahwa dirinya adalah bangsa jin.

“Kamu bukan manusia? Lantas kenapa mendekatiku? Kenapa sengaja menampakkan diri di depanku? Apa tujuanmu?” cecar Adisti hampir kalap jika Abimanyu tidak segera membungkam Adisti dengan ciuman.

“Aku mencintaimu. Apakah alasan itu kurang kuat?” tanya Abimanyu setelah menjauhkan bibirnya dari bibir Adisti.

Seketika Adisti tidak mampu bersuara.

Mengingat itu, Abimanyu memantapkan hati akan memantrai Adisti untuk mempercepat proses pernikahan mereka dan tentu saja agar bangsa jin hitam bisa menguasai semua wilayah di negeri Goria.

Malam menjelang. Abimanyu sudah bersiap menunggu Adisti pulang bekerja. Sengaja ia menunggu di teras agar wanita itu tahu bahwa dirinya sudah menunggu.

Abimanyu merapalkan mantra, ia mencium bau Adisti yang sudah mendekat. Benar. Beberapa menit kemudian Adisti muncul masuk ke halaman mengendarai motor.

Wanita itu mengernyit saat melihat ada Abimanyu di teras. “Tumben.”

Abimanyu mendekat lalu membantu wanita itu memasukkan motor ke dalam rumah. Adisti tidak memiliki bagasi khusus motornya, karena itulah ia memasukkan motor ke dalam rumah. Tepat di samping kursi tamu.

“Aku rindu.”

Ucapan singkat Abimanyu mampu membuat Adisti seketika meleleh. Rindu. Hanya satu kata yang membuatnya melayang seperti wanita bod0h. Bukankah tidak ada hal yang lebih indah selain dirindukan seseorang yang disukai? Ya, Adisti memiliki rasa pada Abimanyu. Walaupun hanya sedikit, tetapi ada.

“Benarkah?” tanya Adisti tersipu malu. Ia menyilakan Abimanyu duduk, sedangkan dirinya ingin membersihkan diri sebentar. Pulang kerja malam hari biasanya wanita itu akan mandi air hangat atau berendam sejenak untuk meregangkan ototnya setelah lelah bekerja shift kedua.

Abimanyu memindai rumah Adisti yang terlihat rapi, kembali ia merapalkan mantra. Jika yang tadi untuk Adisti, kali ini Abimanyu mengkhususkan untuk rumah. Alasannya? Tentu saja agar Adisti hanya mengingat dirinya saja dan menghalangi Arka menemui Adisti. Jika pernikahan belum terjadi dan Arka mendahului rencananya, maka semua akan sia-sia.

Beberapa menit kemudian, Adisti muncul dengan pakaian santai dan rambut yang basah. Harum sampo menguar mengenai penciuman Abimanyu, membuat gairah laki-laki itu kembali menggelora.

Seketika Abimanyu menahan napas saat Adisti membungkuk sebelum duduk. Jarak mereka terlalu dekat. Bahkan laki-laki itu bisa merasakan sentuhan Adisti yang tidak sengaja menyenggol lengannya.

“Tumben datang di jam segini. Biasanya kamu datang tengah malam.” Adisti membuka suara. Ia sudah duduk di seberang Abimanyu sambil membukakan minuman kaleng lalu menuangkannya ke dalam gelas yang tadi ia bawa daari dapur.

“Aku ingin memperjelas hubungan kita, Adisti. Aku benar-benar mencintai kamu. Aku ingin kita menikah dan memiliki anak.” Dalam hati Abimanyu terus membaca mantra.

Ia tersenyum saat melihat Adisti mulai menggeleng lalu memegangi kepala. Sepertinya efek mantra Abimanyu mulai bekerja.

“Kamu bilang apa tadi? Menikah? Memiliki anak?” tanya Adisti di sela sakitnya.

Abimanyu mendekati Adisti lalu menggenggam tangannya. “Aku benar-benar mencintaimu, Adisti. Aku ingin kita menikah.”

Tanpa sadar Adisti mengangguk. Pun dengan Abimanyu yang refleks memeluk Adisti. Sentuhan Abimanyu ternyata menghadirkan getaran dan gelenyar aneh dalam diri Adisti. Wanita itu menuntut lebih dari sentuhan. Mungkin saja itu efek mantra Abimanyu yang membuat Adisti seketika ingin semuanya dalam diri Abimanyu.

“Jangan lepas. Aku ingin selalu dipeluk olehmu,” bisik Adisti.

Wanita itu memejamkan mata. Menikmati setiap sentuhan yang Abimanyu berikan. Awalnya hanya sentuhan ringan di wajah, tangan, lalu merembet ke dada Adisti. Laki-laki itu benar-benar memanfaatkan keadaan. Tanpa menunggu persetujuan, Abimanyu mencium bibir ranum Adisti. Ritme yang terus naik, membuat Abimanyu dan Adisti dipenuhi nafsu untuk mempersatukan diri. Namun, tiba-tiba saja Abimanyu ingat bagaimana nasihat sang Mama yang mengatakan jangan sampai menodai Adisti sampai hari pernikahan tiba.

Seketika Abimanyu mengumpat dalam hati. Ia menghentikan ciuman panas mereka perlahan. Tampak gurat kecewa dari wajah Adisti. Sepertinya mantra Abimanyu sangat kuat, lihat saja kini justru Adisti yang agresif mendekati Abimanyu.

“Mengapa berhenti?” protes Adisti sambil memonyongkan bibirnya.

“Maaf, Adisti. Aku takut kita kebablasan melakukan sesuatu yang belum seharusnya.”

Adisti tampak berpikir. “Baiklah. Segera nikahi aku, Abimanyu. Aku ingin merasakan dirimu seutuhnya.”

Abimanyu mengangguk. “ Tentu saja. Ikutlah ke rumahku nanti, akan kukenalkan pada orangtuaku.”

Adisti menganga. “Secepat itukah?” tanyanya tidak percaya.

Abimanyu mengelus lengan Adisti. “Mereka baik. Justru mereka yang memintaku untuk segera menikahimu.”

Adisti menatap tak percaya. “Kamu tinggal di mana?”

“Tahu pohon asam di depan rumahmu?” tanya Abimanyu.

Adisti mengangguk.

“Pohon itu adalah jalan masuk menuju duniaku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status