Share

HARI PERNIKAHAN

Sekarang adalah hari pernikahanku. Aku berada di ruang makeup, rambutku dihias dengan mahkota bunga segar yang menambah pesonaku. Gaun putih yang elegan menempel dengan manis di tubuhku yang mungil. Perasaanku campur aduk, antara gugup dan gelisah karena momen besar ini.

Orang yang sedang meriasku dengan penuh antusiasme memuji, "Cantik sekali, pengantin pria pasti terpesona melihat anda," seraya menambahkan sentuhan akhir pada riasan wajahku.

Ucapan pujian itu membawa senyum ke wajahku, meskipun hatiku masih dipenuhi oleh sejumlah emosi yang sulit diungkapkan.

"Pengantin wanita sudah siap untuk keluar?" tanya seseorang kepadaku.

Aku menjawab dengan anggukan ringan, mencoba menyembunyikan ketidakpastian dalam suaraku. Langkah-langkahku terasa berat saat aku berjalan menuju pintu keluar. Rasa gelisah semakin menguat, seperti tak terbendung oleh keindahan sekelilingku.

Papaku sudah berdiri dan siap untuk mengantarku ke pelaminan, aku melihat cahaya kebahagiaan yang terpancar dalam dirinya.

"Kamu terlihat cantik sekali, Lusi," ucap Papa yang sedang menggandengku.

Saat mendengar pujian itu dari Papaku, hatiku hangat dengan kebahagiaan dan kebanggaan.

Aku menatap wajah Papa, di sana terlihat sesuatu yang berat baginya untuk melepas putri semata wayangnya yang selama ini dijaganya.

"Papa juga terlihat tampan, jangan sampai nanti ada wanita lain yang terpesona dengan Papa," ucapku mencoba memberikan sentuhan humor di momen yang penuh emosi ini.

Papa tertawa pelan, mengurangi ketegangan di udara dan memperkuat ikatan batin kami.

Aku dan Papa berjalan hingga sampai di depan pintu menuju pelaminan.

Saat pintu terbuka, cahaya lampu menyilaukan mataku. Sorakan meriah para hadirin menjadi saksi bisu atas langkahku menuju Rendra yang menantiku di pelaminan.

"Kemari, Lusi," ucap Rendra mengulurkan tangannya kepadaku.

Aku menerima uluran tangan Rendra dan melepas gandengan tangan Papa.

Langkahku berpindah dari orang tua ke arah pria yang akan membawaku ke panggung pernikahan.

Rendra berbeda denganku, dia tersenyum dengan lebar seakan-akan ini adalah pernikahan yang sangat membahagiakan baginya. Dia memang pandai berakting demi keuntungan pribadinya.

"Kenapa kamu bisa terlihat begitu bahagia?" bisikku pada Rendra.

"Betul bukan? Aku memang pandai akting," balasnya dengan bangga.

Aku mendengus kesal mendengar ucapannya.

Kami berdua berjalan menuju pelaminan, di bawah sorotan lampu dan tepuk tangan riuh.

Ketika upacara dimulai, aku mencoba menyembunyikan kebingungan di balik senyumku.

Doa-doa dan ucapan-ucapan berbahagia bergema di ruangan itu, tetapi bagiku, mereka hanya terdengar seperti bisikan-bisikan kosong yang menggema di antara dinding-dinding hatiku yang rapuh.

Saat giliran kami untuk mengucapkan sumpah setia, suaraku gemetar, "Saya Delusi Etina Deron berjanji akan menemani suami saya dalam keadaan suka maupun duka selamanya."

Rasanya seperti berbohong kepada diri sendiri dan kepada Rendra. Namun, di hadapan semua orang, aku memilih untuk melangkah maju, terjebak dalam alur yang sudah digariskan oleh takdir dan harapan orang-orang di sekitarku.

Aku menarik napas panjang dan memejamkan mata sejenak untuk berusaha yakin menerima semua ini. "Lusi, kamu pasti bisa melaluinya dengan baik," ucapku dalam hati, mencoba menenangkan diri dan menemukan kekuatan dalam diri sendiri.

Ketika sampai pada tahap meminta restu pada orang tua, aku menundukkan kepala, merasakan beratnya tanggung jawab yang kupikul.

Papa memberikan restu dengan senyuman penuh harapan, namun mata Mama menyiratkan kekhawatiran yang dalam. "Mama doakan kamu bahagia bersama Rendra," ucap Mama ketika sedang memelukku.

"Datanglah pada Mama jika ada hal yang ingin kamu ceritakan, ingat Lusi meskipun kamu belum menerimanya dengan hati, pernikahan ini benar adanya," pesan Mama padaku.

Aku menahan bendungan air mata yang sedari tadi ingin menetes, "Doakan yang terbaik untukku Ma."

Pandangan Rendra terasa menusuk, seakan mengingatkanku bahwa ini hanyalah peran yang kami mainkan, dan kami harus melakukannya dengan baik.

Aku bergeser meminta restu kepada kedua orang tua Rendra, "Mama doakan kalian menjadi keluarga yang bahagia. Lusi, Rendra memang orang yang terkadang bersikap dingin atau tidak peduli dengan sekitar, namun sebenarnya hatinya baik. Kalau dia bersikap jahat padamu, jangan sungkan untuk mengatakannya kepada Mama," ucap Tante Mala yang kini telah menjadi mertuaku.

Aku berdiri dan akan kembali ke pelaminan, namun ketika aku sedang melihat ke arah para tamu, pandanganku tidak sengaja melihat ke arah seseorang yang sangat kucintai, "Raju?" gumamku seorang diri.

Raju datang ke pernikahanku, aku pikir dia tidak akan datang.

Dalam hatiku, aku sedikit berharap Raju akan menghancurkan pernikahanku dan membawaku kawin lari dengannya.

Namun, Raju hanya tersenyum pahit dari kejauhan, memahami bahwa waktu untuk bertindak telah berlalu.

"Tersenyumlah, jangan rusak acara hari ini," tegur Rendra yang daritadi sepertinya mengamati perasaan tidak senangku atas penikahan ini.

"Kamu tidak akan mengerti apa yang aku rasakan. Diam saja," balasku ketus kepada Rendra.

"Memang apa pentingnya aku untuk tahu?" ucap Rendra yang menusuk hatiku.

Aku menatap pria itu, mana ada dia adalah orang yang baik?

"Aku bukan orang yang suka bersandiwara sepertimu," ucapku kepada Rendra.

Rendra diam tidak membalas ucapanku, dia hanya tersenyum lebar seolah-olah sangat bahagia dalam pernikahan itu.

Aku mengikuti saja permainan yang dilakukan Rendra, aku juga tidak mau kalah terlihat bahagia dengan Rendra.

"Baiklah Rendra jika itu maumu, aku juga bisa melakukannya," ucapku dalam hati sambil tersenyum sangat lebar.

"Selamat ya atas pernikahan kalian," ucap Anya yang datang dengan wajah yang terlukis sangat bahagia.

Anya meletakkan hadiah yang dibawanya dan lanjut menyalami Rendra. Anya membisikkan sesuatu kepada Rendra, dan Rendra tersenyum tipis atas bisikan yang diberikan Anya.

"Apa yang mereka bicarakan itu?" tanyaku penasaran dalam hati.

Aku melihat Anya dengan heran, bagaimana bisa seseorang terlihat begitu bahagia ketika kekasihnya menikah? Ah aku lupa, mereka memang pasangan aneh.

Aku mencoba untuk tidak memedulikan pasangan aneh itu, lebih baik aku fokus pada diriku hari ini. Aku tidak ingin mengecewakan siapapun di sini, terlebih aku melihat Kakek yang rela dirawat jalan untuk menyaksikan pernikahanku secara langsung.

"Apakah keluargamu tahu kalau Anya adalah kekasihmu?" tanyaku penasaran kepada Rendra setelah Anya pergi meninggalkan pelaminan.

"Tidak, dan jangan sampai tahu," balas Rendra.

"Kenapa mereka tidak boleh tahu?" tanyaku semakin penasaran kepada Rendra.

"Kamu tahu sendiri, keluargaku pilih-pilih dalam menerima pasanganku," jelas Rendra.

"Lalu bagaimana dengan kejadian tempo hari? Tidak ada kah pegawai yang akan mengatakannya kepada keluargamu?" tanyaku pada Rendra mengingat kejadian yang dilakukannya bersama Anya.

"Menurutmu jika mereka tahu, mungkinkah aku baik-baik saja sekarang? Pegawai di kantor itu sudah ada di bawah kendaliku semua, karena perusahaan itu akan menjadi milikku," jelas Rendra kepadaku.

"Cih, sangat percaya diri," gumamku seorang diri yang aku yakin bisa didengar oleh Rendra.

Rendra menatapku sekilas, sepertinya dia tidak terima dengan ucapanku. Tetapi aku abaikan saja tatapannya dan terus bersandiwara seperti yang dilakukannya.

"Ini adalah acara dansa," ucap pembawa acara pernikahanku sambil mengarahkan kami ke tengah gedung. "Kedua pengantin, silakan untuk berdansa."

Aku awalnya merasa ragu, namun Rendra langsung menggandengku, "Jangan banyak mikir, lakukan saja sesuai perintah."

Langkah-langkahnya ringan, seakan-akan dunia ini adalah panggungnya sendiri. Aku mencoba mengikuti alurnya, tetapi setiap gerakan terasa seperti sebuah kebohongan besar.

Di tengah tarian, Rendra tiba-tiba berbisik, "Kamu harus belajar bersikap bahagia, bahkan ketika hatimu penuh kegelisahan. Kita tidak bisa membiarkan siapa pun merusak pertunjukan ini."

Aku tidak memberikan respon. Sementara itu, pandanganku masih terpaku pada Raju dari kejauhan, menyiratkan rasa kehilangan dan penyesalan, "Aku berharap yang ada di hadapanku adalah kamu Raju," ucapku dalam hati dan masih menatapnya.

Kami terus berdansa mengikuti irama musik, aku kembali menatap Rendra yang tengah fokus berdansa, "Pria ini sebenarnya sangat tampan, di pernikahan kami ini dia terlihat dua kali lipat lebih tampan dari biasanya. Matanya hangat, senyum manisnya menggoda, hidungnya mancung, dan kulitnya bersinar, membuatnya terlihat seperti pangeran dalam dongeng," ucapku dalam hati memuji Rendra.

"Aduh," pekikku karena tergelincir sepatu hak tinggiku, akibat tidak fokus dengan dansa itu.

Rendra menghentikan dansa yang tengah kami lakukan, dia berlutut dan memegang kakiku.

"Apakah sakit?" tanya Rendra kepadaku.

"Sedikit," ucapku atas pergelangan kaki yang dipegangnya, sepertinya aku keseleo.

Rendra melepas sepasang sepatu hak tinggiku, "Bisakah kamu berjalan sendiri kembali ke pelaminan?" tanyanya penuh perhatian.

Aku mengangguk kecil dan kemudian mencoba berjalan pelan-pelan kembali ke pelaminan, namun ketika aku mencoba berjalan kakiku terasa sangat nyeri.

"Sudahlah biar tidak terlalu lama," ucap Rendra yang kemudian menggendongku berjalan kembali ke pelaminan.

Rendra tidak sadar, perbuatannya ini membuat jantungku sedikit berdegup kencang.

"Kamu baik-baik saja Lusi?" tanya Mama Mala kepadaku saat aku sudah tiba di pelaminan.

"Aku baik-baik saja Ma," balasku sambil tersenyum.

Kini aku beralih menatap Rendra, tidak percaya dengan sikapnya, "Kenapa kamu tiba-tiba bersikap romantis?" tanyaku penasaran atas sikap yang diberikan Rendra.

"Sudah kukatakan, tidak boleh ada yang merusak pernikahan hari ini," tegasnya dengan dingin tanpa memandangku sedikitpun.

Ternyata semua hanya sandiwara, kuakui dia cukup hebat.

Saat acara hampir berakhir, aku pergi ke ruang make up untuk menenangkan diri. Anya menyusulku dengan senyumnya yang mengembang.

"Kamu tahu, ini adalah pertunjukan terbaik yang pernah aku saksikan," kata Anya dengan penuh kekaguman.

"Apa yang kamu maksud?" tanyaku heran.

"Mereka semua percaya bahwa ini adalah pernikahan nyata, padahal kita tahu bahwa ini hanya sebuah akting besar. Bagi mereka, kamu dan Rendra adalah pasangan sempurna, sementara kisah kita bertiga menjadi lebih menarik," ujarnya sambil senyum tipis.

"Oh, bahkan bukan bertiga. Tapi berempat, aku lupa dengan kekasihmu," tambah Anya dengan senyumnya yang tidak pernah memudar.

Anya pergi dengan senyum misterius, meninggalkanku dalam kebingungan yang semakin memuncak.

"Apa maksud ucapan Anya itu?" gumamku penasaran atas ucapan Anya.

Aku ingin mendapat ketenangan sejenak, namun Anya mengusik ketenanganku. Dia sama saja dengan Rendra, pantas saja mereka menjadi sepasang kekasih.

Aku memilih kembali ke pelaminan dengan hati yang berat, bersiap menghadapi hidup baru yang penuh kompromi dan kepura-puraan. Pernikahan ini adalah panggung sandiwara, dan aku adalah aktris yang terjebak dalam perannya. Ini adalah pilihanku, aku harus menghadapinya dengan berani.

"Tenang Lusi, semua akan baik-baik saja," ucapku dalam hati kembali menenangkan diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status