Aku dan Rendra sudah sampai di kediaman Rendra.
Rumah milik Rendra adalah sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi dengan arsitektur modern yang menawan. Dikelilingi oleh taman yang rimbun dan indah, pintu masuk utama dilapisi dengan panel kayu yang elegan. Langit-langit tinggi memberikan kesan luas dan anggun saat memasuki ruang utama.Interior rumah dipenuhi dengan furnitur mewah dan sentuhan artistik yang menghadirkan suasana yang hangat dan mengundang.Dinding-dindingnya dihiasi dengan lukisan-lukisan indah dan hiasan seni yang menambah keanggunan ruangan.Cahaya alami memasuki ruangan melalui jendela-jendela besar, menciptakan permainan cahaya yang menawan di sepanjang hari.Rumah Rendra adalah tempat yang memancarkan kemewahan dan kenyamanan."Kamarmu sebelah sana, dan kamarku sebelah sini. Jangan pernah sesekali masuk ke kamarku tanpa izin. Dan ada tangga mengarah ke ruang bawah tanah, kamu dilarang ke sana," ucap Rendra dan pergi meninggalkanku ke kamarnya.Aku juga masuk ke kamar untuk membersihkan diri dan berencana memesan makanan karena merasa sangat lapar, "Apa aku perlu menanyakan Rendra juga?" pikirku dalam hati.Aku keluar kamar untuk menanyakan Rendra sedang lapar juga atau tidak, bagaimana pun dia sekarang adalah suamiku, aku setidaknya harus sedikit memedulikannya.Ketika aku keluar kamar, aku melihat Rendra dan Anya sedang berciuman mesra di sofa ruang tamu, "Sejak kapan Anya tiba di sini? aku tidak mendengar langkah kaki seseorang masuk ke rumah," gumamku seorang diri.Mereka tampak terbuai dalam momen, terikat oleh kelembutan cahaya lampu yang memancar di ruangan. Wajah mereka dipenuhi dengan ekspresi kebahagiaan, tanpa menyadari kehadiranku yang baru saja muncul.Tanpa ragu aku mendekati mereka dan melemparkan bantal kepada mereka, "Setidaknya jangan lakukan itu di tempat terbuka," pekikku kepada mereka menggambarkan ketidaksukaaanku pada kegiatan yang mereka lakukan."Aku tidak masalah jika kalian ingin bermesraan, hanya saja lakukan di tempat yang sepi, jangan di tempat terbuka seperti ini. Bagaimana kalau orang tua kita tiba-tiba datang?" protesku dengan perasaan kesal.Rendra dan Anya terkejut mendengar suaraku, mereka berhenti berciuman dan memalingkan pandangan ke arahku dengan ekspresi kesal karena mengganggu aktivitas romantis mereka."Kamu mengganggu saja," ucap Rendra kesal dan kemudian menarik Anya ke kamarnya, "Kita lanjutkan di dalam saja sayang.""Kenapa dia ikut kesal? Harusnya aku lah yang kesal. Dasar pasangan tidak tahu tempat," gerutuku pelan pada mereka yang berjalan meninggalkanku.Setelah aku melihat Rendra dan Anya masuk kamar, aku memilih untuk duduk di sofa dan memesan makanan untuk diriku sendiri."Yasudah, aku akan menikmati makananku sendiri," ucapku sambil menyalakan televisi untuk menemani kesunyianku.Dari dalam kamar Rendra aku mendengar suara-suara yang dikeluarkan oleh Anya dan Rendra, suara kenikmatan bagi mereka."Orang gila, bagaimana bisa dia tidak membuat dinding kamarnya kedap suara," ucapku seorang diri kesal mendengar suara yang mereka timbulkan.Saat aku ingin memprotes hal itu, aku terpikir ide yang lebih cemerlang. Aku urungkan niatku untuk memprotes mereka dan membiarkannya beberapa saat hingga pesananku datang."Sepertinya besok aku harus mencari tukang dan meminta untuk membuat kamar Rendra kedap suara, aku geli jika mendengarkannya setiap hari," pikirku untuk menangani masalah itu yang kemungkinan akan selalu aku dengar."Tapi Rendra melarangku untuk masuk ke kamarnya," pikirku setelah mengingat ucapan Rendra untuk tidak memasuki kamarnya. Aku memutar otak untuk memikirkan sesuatu yang cemerlang, "Yasudah, kamarku saja yang dibuat kedap suara," gumamku sambil menganggukkan kepala.Tidak lama, makanan pesananku datang. Aku masuk ke kamar dan menyalakan televisi dengan suara yang sangat keras untuk mengalahkan suara kenikmatan mereka. Aku tidak peduli mereka terganggu atau tidak, mereka saja tidak peduli denganku."Rasakan ini Rendra, Anya," ucapku sambil tersenyum jahil.Aku memesan ayam goreng tepung dengan bumbu spesial, aromanya sangat sedap membuatku tidak sabar melahapnya."Enak juga ayam goreng ini," ucapku menikmati setiap gigitan ayam goreng itu.Di tengah aku menikmati ayam goreng, pintu kamarku digedor-gedor oleh seseorang dari luar, aku menduga itu adalah ulah Rendra.Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian aku kecilkan sedikit volume televisi, "ADA APA?" teriakku dari dalam agar bisa terdengar oleh Rendra."KECILKAN VOLUME TELEVISIMU ITU," balas Rendra dengan teriakan juga.Aku turuti saja perintah Rendra, aku kecilkan volume televisiku hingga volume paling rendah.Sejenak aku mempertajam pendengaranku ke arah luar, untuk membaca gerakan Rendra. Aku mendengar suara langkah kakinya perlahan menjauh, "Sepertinya dia sudah kembali ke kamarnya," pikirku setelah aku mendengar suara pintu ditutup.Aku membiarkan volumeku televisiku seperti itu dalam beberapa detik, dan kemudian aku naikkan kembali volume televisiku hingga volume maksimal."Hahahahhaha dia pikir aku akan mengalah begitu saja? Hei Rendra, lihat dulu siapa lawanmu," ucapku berbangga diri."Mari kita hitung bersama, dalam hitungan berapa detik Rendra akan kembali menggedor-gedor pintuku. Satu...." ucapku menghitung."Dua...." lanjutku sambil mengunyah ayam goreng."Tiga...." Aku masih terus menghitung dan menebak sampai hitungan ke berapa Rendra akan sampai. "Empat...." lanjutku menghitung.Brak, brak, brak."Welcome Rendra," gumamku pelan menyambut Rendra dalam kamar melihat aksi yang aku harapkan.Rendra menggedor-gedor pintu, namun kali ini aku tidak memedulikannya.Aku biarkan saja, jika dia berulah, aku juga akan berulah. Aku bukan orang yang sabar, aku tidak akan tinggal diam begitu saja jika merasa tidak dihargai."Teruslah menggedor sampai kamu lelah," ucapku pelan, merasa senang atas tindakan yang dilakukan oleh Rendra."LUSI, BUKA PINTUNYA!!" teriak Rendra dari arah luar, sepertinya dia sangat marah.Pintu masih digedor selama beberapa detik, kemudian aku mendengar gedoran itu semakin lama semakin redup, aku mencoba mempertajam pendengaranku lagi untuk mencoba melihat gerakannya melalui pendengaranku."Sepertinya dia sudah lelah dan kembali ke kamarnya," ucapku seorang diri ketika mendengar tidak ada suara apapun dari luar.Aku melanjutkan menikmati makananku sambil terus menatap layar. Entah kenapa, suara TV yang keras memberi kepuasan tersendiri."Kamu pikir ini rumah siapa?" ucap Rendra yang berhasil masuk ke kamarku."Sial. Dia punya kunci cadangan," umpatku kesal.Rendra mengambil remot televisiku dan kemudian mematikannya."Hei, jangan seenaknya kamu," protesku kepadanya dan berusaha mengambil remot yang dipegang oleh Rendra.Rendra tidak menghiraukanku, dan terus berjalan hingga masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya."KALAU BEGITU PELANKAN SUARA DESAHAN KALIAN YANG MENJIJIKKAN DI TELINGAKU ITU!!!" protesku sambil menggedor-gedor pintunya, tidak terima atas sikap kurang ajar Rendra."Hah..." ucapku sambil mengusap wajah kasar, "Rendra kurang ajar," umpatku pada Rendra atas.Dengan perasaan kesal yang meluap, aku kembali ke kamar. Aku tidak terima kalah seperti ini, "Aku akan mengganti kunci pintu kamarku juga. Aku tidak rela dia mempunyai kunci cadangan kamarku, yang artinya dia bisa dengan bebas mengakses kamarku," ucapku memikirkan rencana yang harus aku lakukan di esok hari."Gila, suara mereka keras sekali," kesalku pada suara kenikmatan yang mereka hasilkan.Aku tiba-tiba terpikir sesuatu, "Bagaimana jika suara Rendra dan Anya sampai terdengar ke luar rumah?" pikirku yang membuatku langsung berlari keluar rumah untuk mencoba memastikannya.Ketika aku sampai di luar rumah, aku tidak mendengarkan apapun, hening."Di sini aman, tidak terdengar suara apapun. Jadi si Rendra gila itu memasang kedap suara di dinding rumahnya, namun di kamarnya tidak?" pikirku terhadap hal aneh yang dilakukan oleh Rendra.Aku mencoba keliling rumah dari luar untuk memastikan bahwa rumah itu memang kedap suara, dan benar saja tidak ada suara sedikitpun terdengar dari luar rumah.Setelah berkeliling ke semua arah di rumah Rendra dan memastikan tidak ada suara yang bocor sedikit pun, aku memilih untuk kembali masuk ke dalam kamar."Sial. Di sini suara mereka terdengar sangat jelas," umpatku seorang diri."HEI SUARA KALIAN ITU MENGGELIKAN!!!!!" pekikku pada mereka karena sudah teramat kesal pada mereka."Percuma saja sepertinya aku memaki-maki mereka, lebih baik aku tidur saja. Hari pernikahan ini sudah cukup lelah bagiku," ucapku menenangkan diri.Sebelum itu, aku mencari earphone milikku dan aku gunakan untuk menutupi suara Anya dan Renda yang terasa sangat menggelikan. Aku tidur di bawah iringan lagu Taylor Swift kesukaanku.Sesuai apa yang telah aku rencanakan kemarin, misiku hari ini adalah mencari tukang untuk memperbaiki dinding dan pintuku. "Ah, lapar sekali," ucapku sambil meng-scroll aplikasi pesan antar makanan. Aku akan memesan makanan untukku dan Rendra, "Kamu seharusnya beruntung memiliki istri sepertiku. Lihat, aku juga memesankan makanan untukmu," ucapku berbangga diri. Sambil menunggu pesanan, aku duduk di sofa ruang tamu sambil berpikir, "Kira-kira siapa yang punya kenalan seorang tukang?" "OH! SELLA!!!" pekikku teringat seorang teman masa kuliah yang memiliki banyak kenalan tukang karena kelurganya selalu melakukan renovasi rumah tiap dua bulan sekali. "Halo Sella," sapaku pada Sella melalui telepon. "Iya Lusi. Ada apa nih?" tanya Sella "Jadi gini Sel, aku lagi mau merenovasi kamarku. Kamu ada rekomendasi tukang gak?" jelasku pada Sella. "Butuh kapan Lus?" tanya Sella memastikan. "Aku butuh hari ini, ada gak ya Sel?" ucapku pada Sella. "Coba aku cariin ya, nanti aku hubungi lagi,"
"Nanti malam ada acara keluarga," ucap Rendra ketika aku lewat di depannya, sedang duduk di sofa ruang tamu."Artinya aku harus bersandiwara menjadi pasangan sungguhan dengannya?" pikirku dalam hati mengenai ucapan Rendra.Aku tidak memedulikan ucapannya, melewatinya begitu saja dan menyambut para tukang yang sudah datang.Aku berjalan keluar rumah dan berhenti di depan pintu, "Halo, kamu mau kerjaan?" tanyaku kepada seseorang melalui telepon."Temui aku di butikku," ucapku yang kemudian mengakhiri telepon.Aku melirik Rendra sejenak, "Dia sedang siap-siap untuk berangkat ke kantor."Kruyuk, kruyuk.Perutku berbunyi."Sabar, habis ini kita makan enak," ucapku kepada perut rataku.Aku berjalan menuju tempat mobilku terparkir, saat aku hendak membuka pintu, sebuah mobil berhenti di halaman rumahku."Siapa itu?" gumamku dalam hati memperhatikan seseorang tersebut hingga keluar dari mobilnya."Hai," sapa seseorang padaku, dan dia adalah...."Anya," gumamku pelan.Aku masuk ke dalam mobilku
"Memangnya aku akan berbuat apa?" gumamku dengan kesal mendengar ucapan Rendra.Aku bersiap-siap dengan dress ungu muda yang Rendra berikan. Dress itu terlihat begitu indah dan pas di tubuhku."Bagaimana sekretaris Rendra tahu kalau aku mengincar dress ini?" tanyaku seorang diri masih penasaran.Aku tersenyum, "Tapi dia manis juga membelikanku dress ini."Aku berputar-putar di depan kaca, melihat penampilanku.Ketika merasa sudah siap, aku berjalan keluar kamar untuk menemui Rendra yang sepertinya sudah menunggu di depan. "Rendra," sapaku pada Rendra ketika aku melihatnya dari belakang sedang duduk di sofa.Rendra menoleh saat aku memanggil namanya, tatapannya terpaku selama beberapa detik, "Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" tanyaku pada Rendra memastikan bahwa tidak ada yang aneh dengan penampilanku."Tidak. Ayo berangkat," balasnya kemudian jalan keluar rumah.Aku mengikuti langkah kaki Rendra, mencoba mensejajarkan dengan langkahnya, "Apakah aku tidak terlihat cocok denga
Suasana di rumah terasa tegang dan penuh dengan ketegangan. Wajah Rendra masih memancarkan amarah, mencerminkan ketidakpuasan dan ketegangan yang mendalam dalam dirinya. Dengan langkah perlahan, aku memasuki dapur untuk mencari segelas air minum. Dengan suara yang lembut, aku menawarkan air tersebut kepadanya, mencoba memberikan sedikit ketenangan, "Minumlah agar kamu lebih tenang," ucapku sambil menyerahkan gelas air ke tangannya. Rendra menerima gelas air dengan tangan yang gemetar, menunjukkan kegelisahan yang masih terasa di dalam dirinya. Setelah mengambil beberapa tegukan air, ekspresinya sedikit mereda, tetapi suasana tegang masih terasa di sekitarnya, seolah-olah siap meledak setiap saat. Dengan napas yang masih memburu, Rendra menoleh ke arahku, "Kenapa kamu sendirian di sana?" tanyanya dengan nada tajam. Aku menjelaskan situasi yang terjadi sebelumnya, "Aku hendak berjalan ke arahmu, namun Tante Dewi-" "Jangan menyebut namanya, itu akan mengotori rumahku," potong Rendra
"Anya?" ucapku dengan terkejut ketika melihat yang ada di depan pintu bukan kurir, melainkan Anya. Anya mengernyitkan dahinya, "Kenapa kamu begitu terkejut?" tanyanya padaku. "Rendra di dalam kan?" tanyanya lagi sambil melihat ke arah dalam rumahku. Saat Anya hendak masuk ke dalam rumah, aku menahannya, "Hari ini libur dulu, biarkan Rendra istirahat," tegasku padanya. Anya menatapku dengan tatapan heran, mencoba memahami alasan di balik kata-kataku. Wajahnya memperlihatkan sedikit kebingungan, seolah tidak yakin dengan ucapan yang baru saja aku sampaikan. "Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran, mencerminkan ketidakpastian yang ada di benaknya. "Aku hanya ingin Rendra mendapatkan istirahat yang cukup," jawabku dengan mantap, mencoba meyakinkan Anya tentang ucapanku. "Dia akan lebih baik jika bersamaku," ucap Anya dan mendorong tubuhku agar bisa menerobos masuk ke dalam rumahku. Meskipun Anya berusaha keras, aku menahan langkahnya. "Aku mengerti bagaiman
Aku terkejut, sontak membuka mata dan merasakan suasana yang hening. Mengalihkan pandanganku ke arah pintu, aku menyadari bahwa aku tertidur di sofa. "Aku ketiduran di sini, lalu bagaimana dengan Anya?" pikirku dalam hati, sambil mencoba memahami keadaan sekitar.Aku keluar untuk melihat mobil Anya yang awalnya terparkir di sana. Sial! Tapi mobil Anya sudah tidak berada di tempatnya. Perasaanku campur aduk."Bukan aku yang mengerjainya tapi dia yang mengerjaiku," gumamku pelan sambil mengusap wajah kasar, mencoba memahami apa yang terjadi.Drtt. Drtt. Telepon dari Frans masuk."Jam berapa aku harus ke sana?" tanya Frans melalui telepon."Sekarang aja, sekalian bawakan makanan, aku lapar," jawabku cepat."Ini hari terakhir para tukang bekerja. Apa saja yang akan aku lakukan hari ini?" pikirku dalam hati, mencoba merencanakan langkah selanjutnya."Pertama aku harus makan dulu," ucapku sambil membayangkan makanan yang lezat, mencoba menenangkan perut yang kosong."Kemudian, aku akan ke b
Aku terus mengamati pergerakan Raju dan wanita itu di tengah keramaian restoran yang penuh dengan aroma makanan lezat dan gemerlap lampu. Lampu-lampu berwarna-warni memantulkan cahaya yang memperindah suasana, sementara bau rempah-rempah dari masakan yang sedang dimasak membuat perutku bergelora.Seketika aku teringat ucapan Raju ketika kami masih berpacaran, "Aku akan membangun restoranku sendiri satu atau dua tahun kemudian, aku akan memberi nama Ra-food. Bagaimana menurutmu?" Ucapannya menggema di telingaku, dan rasanya aneh untuk menyadari bahwa restoran ini adalah buah dari mimpi yang pernah diucapkannya padaku."Jadi, inilah restoran milik Raju. Dia tidak lagi bekerja di restoran keluarganya," gumamku seorang diri, memperhatikan pergerakan Raju dan wanita itu dari kejauhan."Lalu, siapa wanita itu?" tambahku penasaran, mencoba mengintip percakapan mereka dari kejauhan.Rasa penasaranku membuatku berjalan mendekat ke arah kasir. Aku ingin memastikan apakah pemilik restoran ini be
Malam itu, aku kembali ke rumah dengan perasaan kosong. Aku memutuskan untuk memberikan waktu dan ruang bagi diriku sendiri, untuk menyembuhkan luka dan menerima kenyataan yang sulit ini.Sesampai di rumah, aku tidak merasakan keberadaan Rendra. Aku memilih untuk mengabaikannya dan segera masuk ke kamar untuk istirahat."Raju. Aku tidak menyangka dia pandai membalikan fakta. Membuat seolah-olah dia adalah korban," ucapku pada diri sendiri, mencoba meredakan kekesalan dan kekecewaan yang melanda hatiku. Perasaan itu terus menghantuiku bahkan di dalam kegelapan kamar yang sunyi. Aku membiarkan diriku terlelap dalam kelelahan yang menyelimuti hatiku. Sesak. Sesaat, semua terasa sesak.Pagi-pagi buta, mentari menyapa jendela kamarku dengan sinar hangatnya. Kuatkan hati, aku bersiap untuk menghadapi hari dengan tekad baru. Aku meninggalkan kamar dan menuju ke dapur untuk mengambil segelas air. Saat itu, Rendra terlihat sibuk di dapur, sementara Anya dengan senyuman penuh kemenangan menya