Share

PERSIAPAN PERNIKAHAN

"Kenapa secepat itu?" tanyaku kebingungan atas sesuatu yang diucapkan Rendra melaui telepon bahwa pernikahan kami akan dilaksanakan satu minggu lagi.

Rendra tidak memberikan alasan yang jelas padaku, dia hanya menyuruhku untuk segera bergegas kembali ke rumah sakit, tempat Kakek dirawat.

"Hal gila apa lagi ini?" umpatku dalam hati.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, aku memaki-maki Rendra, menyumpahi namanya karena selalu berbuat seenaknya.

Bagaimana bisa dia selalu berbuat seenaknya?

Aku berjalan cepat dengan perasaan membara. Segera saja aku masuk ke ruangan rawat Kakek yang penuh dengan aroma obat-obatan menusuk hidung.

Pandanganku langsung tertuju ke arah ranjang, namun yang kulihat bukan hanya Kakek yang terbaring di kasur. Di sana, ada banyak sekali orang yang mengelilinginya. Ada keluarga Rendra juga di sana.

"Kamu sudah datang, Lusi. Kemarilah," sapa Kakek ketika melihatku masuk ke dalam ruangan.

Kakek terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku bertanya-tanya mengapa kondisinya membaik begitu cepat. Meskipun begitu, aku merasa bersyukur bahwa Kakek tidak mengalami masalah yang serius.

Aku berjalan mendekati Kakek, "Ada apa ini, Kek?" tanyaku penasaran.

"Menikahlah dengan Rendra minggu depan, Lusi," ucap Kakek dengan nada memelas.

"Aku tidak mau secepat itu, Kek," tolakku pada Kakek atas tawaran pernikahan yang terlalu cepat ini.

"Aku setuju, pernikahan ini harus segera dilaksanakan," ucap Rendra di luar dugaanku. Harusnya dia berada di pihakku, tapi mengapa justru dia yang meminta dipercepat? Pikiranku kacau dengan kebingungan.

Aku memandang Rendra dengan kesal karena tampaknya dia tak peduli dengan perasaanku dan bertindak seenaknya. Untungnya, dia pria tampan. Kalau tidak, aku mungkin sudah membungkam mulutnya yang tidak punya aturan itu.

"Lusi, hal baik tidak boleh ditunda. Tenang saja, nanti mama, papa, dan orang tua Rendra yang akan mengurus semua pernikahan kalian. Kalian tidak perlu khawatir," bujuk Mama padaku.

Aku memandang orang-orang yang ada di sana, mereka memberikan tatapan seolah-olah setuju dengan apa yang dikatakan oleh Kakek, Rendra, dan Mama.

Aku tidak punya kekuatan untuk melawan orang sebanyak itu. Aku turuti saja semuanya agar cepat selesai, "Terserah, aku ikut saja," balasku malas berdebat dengan banyak orang.

"Bagaimana kalau kita berangkat sekarang untuk melakukan fitting baju?" ucap Tante Mala, Mama Rendra dengan antusias. Suaranya penuh semangat, menyiratkan keinginan untuk segera melanjutkan persiapan pernikahan.

Persetujuan atas ide Tante Mala membuat kami sekarang berjalan keluar rumah sakit. Kami akan melakukan fitting baju sesuai rencana yang telah disusun olehnya.

Aku memandang pria yang berjalan di sampingku, "Jangan memandangku seperti itu atau kamu akan jatuh cinta padaku," ucap Rendra begitu percaya diri karena aku memandangnya.

"Kenapa kamu menyetujui ini semua?" tanyaku penasaran kepada Rendra. Aku ingin memahami alasan di balik keputusannya untuk mendukung pernikahan yang begitu cepat ini.

"Memang untuk apa menunggu lama-lama? Kamu lihat sendiri kan, kondisi Kakekmu jauh lebih baik setelah kesepakatan pernikahan kita?" balas Rendra tanpa menatapku sedikitpun.

****

Setelah perjalanan yang memakan waktu beberapa menit, akhirnya kami sampai di sebuah butik yang sering aku datangi. Ya, ini adalah butik milik keluargaku, dan aku adalah salah satu pengelolanya di sana. Rasanya aneh berada di tempat yang biasanya aku jalani dengan kedamaian, tetapi sekarang dipenuhi dengan kesibukan persiapan pernikahan yang mendadak.

Di dalam butik, cahaya alami memancar melalui jendela besar, menyinari setiap detail gaun pernikahan yang tergantung dengan anggun di rak-rak kayu.

Di antara deretan gaun-gaun mewah, ada satu gaun yang menonjol dengan keanggunan dan keindahannya yang luar biasa. Sebuah gaun pernikahan yang memikat, berkilau dengan taburan mutiara dan kristal yang menambahkan sentuhan magis pada desainnya. Potongan yang mengalir, kerah yang rendah, dan detail penuh keanggunan di setiap lipatan menjadikan gaun ini sebagai karya seni yang tiada tanding.

Warna putih yang murni melambangkan kepolosan dan keabadian cinta, sementara kerapatan kain yang lembut memberikan sentuhan romantis yang tak terlupakan. Gaun itu seolah memanggil untuk dipilih, untuk dikenakan oleh seorang pengantin yang akan menjadi pusat perhatian di hari istimewanya.

Aku mengambil gaun itu dan mencobanya. Ini adalah gaun hasil desainku, dan ternyata hasilnya sangat cantik. Aku benar-benar menyukainya.

Aku membawa gaun itu ke ruang fitting untuk kucoba.

Aku memandang diriku menggunakan gaun itu melalui kaca yang ada di dalam ruang fitting. Di sana, aku terlihat seperti seorang pengantin sungguhan. "Meskipun tidak mencintaiku, Rendra pasti terpukau dengan kecantikanku," pikirku sambil tersenyum.

Aku keluar dari ruang ganti dan menunjukkan gaun itu kepada Rendra, selaku calon pengantin pria.

Dia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah-olah tidak mau melewatkan satu pun detail dari penampilanku. Tatapan matanya terasa tajam, mungkin mencoba menemukan sesuatu yang sulit terungkap di balik kesempurnaan itu.

"Jelek, ganti," ucapnya ketus atas penilaiannya pada gaun yang aku gunakan.

Dengan ekspresi kekecewaan di wajah, aku mencoba gaun-gaun lainnya. Setiap kali aku keluar dari ruang ganti, tatapan kritisnya terus mengawasi setiap detail, dan kata-kata "Jelek, ganti" terus terulang.

Setelah lima kali ganti gaun, kelelahan mulai terasa. Aku merasa frustrasi dan ingin mencari cara agar Rendra puas. Tanpa ragu, aku meminta saran langsung darinya, "Rendra, tolonglah, pilihkan gaun yang menurutmu paling baik untukku."

Rendra yang awalnya terlihat keras dan kritis, tiba-tiba tersenyum kecil. "Baiklah," katanya, dan dengan hati-hati, ia mulai memilih gaun berikutnya. Kejutan datang ketika Rendra memilih gaun yang memiliki belahan dada dan kaki cukup lebar, baju itu cukup seksi bagiku.

Aku melotot ke arah Rendra menanyakan maksud dia memilihkan aku baju seterbuka itu. "Aku tidak mau," bantahku padanya dengan tegas, mencerminkan ketidaksetujuanku terhadap pilihannya.

Rendra memberikan gaun itu kepada pelayan toko dan menyuruhnya untuk memakaikannya padaku. Aku memandang gaun tersebut dengan keraguan, dan dengan terpaksa, aku mencoba mengikuti kemauannya sambil berdecak kesal.

Saat aku keluar dari ruang ganti dengan gaun yang dipilihkan oleh Rendra, "Luar biasa," ucapnya dengan puas dengan senyuman yang sumringah.

"Lusi, kamu terlihat benar-benar seksi," puji Rendra padaku, yang membuatku semakin merasa kesal. Pujian itu tidak membantu meredakan ketidaknyamananku.

Aku hanya menatap tajam Rendra. Tanpa berkata apa-apa, aku masuk kembali ke dalam ruangan fitting untuk segera mengganti bajuku. Aku tidak memedulikan keinginan Rendra. Aku memilih gaun pertama yang menurutku paling cantik. Kemudian, aku meninggalkan Rendra dengan perasaan kesal dan dendam kesumat padanya. Langkahku dipenuhi dengan ketegasan dan ketidaksenangan yang mendalam.

"Rendra gila, gila!!" kesalku pada Rendra ketika aku berjalan menuju parkiran.

Aku sangat membenci Rendra. Lihat saja, ketika sudah menikah nanti, aku akan membalas lebih dari yang dia lakukan. Aku menghela napas kasar atas perlakuan gila Rendra. Kemarahanku mencuat karena sikapnya yang tidak terkendali.

Aku akan pulang ke rumah, namun ketika aku hendak membuka pintu mobil, "Kuncinya tidak masuk, apa yang salah?" Pikiranku berkecamuk dengan kejadian-kejadian yang tidak biasa belakangan ini.

"Hahahahaha Delusi Delusi" tawa seseorang di belakangku.

Suara tawa itu memperkuat rasa ketidaknyamananku. Aku berbalik ingin melihat siapa yang berada di belakangku. Aku melihat Rendra menertawakanku di sana, dia berjalan mendekatiku.

Hatiku berdegup kencang. Rendra, dengan sikapnya yang tidak terduga, membuatku semakin gelisah dan marah.

"Kenapa kamu begitu ceroboh, Lusi?" ejek Rendra sambil menggoyangkan kunci mobil yang dibawanya.

Hatiku berdesir mendengar ejekan Rendra. Rasanya campuran antara marah dan frustrasi menghantamku begitu keras.

Rendra membuka pintu mobil itu, "Naiklah. Kita akan memesan cincin pernikahan."

Tanpa berkata sepatah kata pun, aku masuk ke dalam mobil itu. Rendra juga masuk ke dalam mobil.

"Kenapa kamu tidak mau membeli gaun pilihanku?" goda Rendra. "Kamu sangat seksi menggunakan gaun itu," bisik Rendra padaku.

Perkataan Rendra semakin membuatku kesal. Aku mendorong wajahnya yang mendekatiku, "Berhenti melakukan hal aneh, Rendra, Pernikahan ini bukan hanya untukmu!" ucapku, meluapkan kekesalan yang kurasakan.

Emosi yang terpendam meledak begitu saja, aku tidak tahan lagi dengan perlakuan Rendra yang semakin tidak wajar.

"Jangan banyak bicara dan cepat berangkat," desakku kepada Rendra untuk cepat-cepat menyelesaikan ini semua.

Rendra menyalakan mobil, dan kami segera berangkat menuju toko perhiasan. Suasana di dalam mobil hening, menggambarkan kecanggungan antara kami berdua.

****

Kami sampai di sebuah toko cincin rekomendasi orang tua kami. Segera saja kami memesan cincin pernikahan dan menggambarkan detail cincin yang kami inginkan.

"Yang biasa-biasa saja, seperti cincin pernikahan pada umumnya," ucap Rendra menjelaskan kepada pelayan toko. Suara Rendra terdengar monoton, mencerminkan ketidakbersemangatannya dalam memilih cincin pernikahan.

"Saya lebih suka yang ini," ucapku dengan tegas, menunjuk pada cincin yang memiliki desain yang jauh dari kesan elegan.

Aku sengaja meminta model cincin yang memiliki desain mencolok, dengan kombinasi warna yang emas dan merah. Batu permata yang terlalu besar dan aksen yang berlebihan membuatnya terkesan norak. Aku ingin memperlihatkan bahwa aku juga bisa melakukan hal yang sama seperti yang telah dia lakukan di butik.

Rendra menatapku dengan heran dan seperti memberikan pertanda ketidaksetujuan, tetapi aku hanya tersenyum penuh kepuasan. Meskipun ini hanya langkah kecil, rasanya seperti kemenangan kecil bagiku.

"Memangnya kamu tidak malu menggunakan cincin itu?" tanya Rendra, mencoba memprovokasiku.

"Tidak, ini cantik. Kenapa harus malu?" balasku dengan santai sambil melihat cincin yang telah aku pasang di jariku.

Aku tidak ingin terpancing oleh provokasi Rendra.

"Gila kamu ya? Aku tidak setuju," protes Rendra kepadaku.

"Mbak, bungkus yang ini," ucapku kepada pelayan toko untuk membungkus cincin norak itu.

Rendra mengambil cincin norak itu, "Apa yang kamu inginkan?" tanya Rendra padaku.

Akhirnya Rendra masuk dalam perangkapku, seseorang yang lebih menyukai hal yang simple ini pasti akan menolak ketika aku meminta cincin norak. Aku tersenyum kecil atas kemenanganku.

"Apa yang aku inginkan?" ucapku sambil mengetuk-ngetuk daguku dengan jari. "Hmmmm, apa ya?" lanjutku sambil memikirkannya dengan lebih serius.

"Cepat katakan atau kita pulang saja," ancam Rendra padaku. Berani sekali dia mengancamku, apakah dia lupa kalau kita sedang berada di posisi yang sama?

"Keinginanku adalah kamu diam saja di sini dan biarkan aku yang memilih model cincin pernikahan kita," tegasku pada Rendra. Rendra hanya diam, sepertinya dia takut kalau cincin yang aku pilih tidak sesuai keinginannya.

"Pilihlah dengan benar kali ini," ucap Rendra pasrah setelah melamun beberapa saat. Aku tersenyum penuh kemenangan karena bisa membalas perbuatan Rendra.

Segera saja aku memilih cincin yang cantik menurutku. Aku tidak akan memedulikan pendapat Rendra kali ini. "Ini cantik, bungkus ini mbak," ucapku kepada pelayan, menunjuk cincin dengan permata kecil namun menempel dengan cantik di sana. Cincin itu terlihat sangat elegan.

Aku kembali ke tempat Rendra berada, "Aku sudah memilih cincinnya." Sambil menunjukkan cincin tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status