Share

KONTRAK PERNIKAHAN

Sesuai kesepakatan, kami bertemu di kantor milik keluarganya. Di sinilah kami sekarang, berada dalam ruangan kerja Rendra.

Aku duduk di sofa yang tersedia di ruangan Rendra, menikmati secangkir teh yang telah disiapkan untukku.

Sepuluh menit menunggu, Rendra masuk dengan membawa laptop miliknya, lalu duduk di sebelahku.

“Ayo kita tulis perjanjian itu bersama,” ajaknya.

“Seperti yang aku tawarkan kemarin di taman, aku akan menuliskan pasal-pasal dalam pernikahan kontrak kita,” ucap Rendra sambil mengetik.

“Aku penasaran, mengapa kamu begitu ingin menjadi penerus perusahaan ini? Bukankah kamu sudah pasti akan menjadi penerus perusahaan ini?” tanyaku kepada Rendra.

“Tidak, perusahaan ini tidak akan diserahkan kepadaku kecuali jika aku menikah denganmu dan bertahan setidaknya satu tahun,” jelas Rendra padaku.

“Kenapa situasi menjadi seperti itu? Bukankah kamu saat ini adalah pewaris tunggal di keluargamu?"

Rendra melihatku sekilas, lalu menghela napas. “Keluargkaku tidak sehangat keluargamu,” jelas Rendra, membuatku terkejut.

Seolah ingin mengalihkan topik, Rendra langsung menggeser laptopnya ke depanku.

“Baca ini dan tambahkan jika ada yang kurang,” ucap Rendra setelah menyelesaikan pengetikan dari apa yang telah disampaikannya sebelumnya.

Aku membaca dengan cermat apa yang tertera di sana, aku tidak ingin ada kesalahpahaman yang mungkin timbul di antara kami.

“Jadi, maksudmu kita akan bercerai setelah satu tahun?” tanyaku memastikan.

“Iya, tulis saja aturan-aturan yang kamu inginkan di sana,” pintanya padaku.

Aku memandang laptop, ragu dengan keputusan yang harus kubuat.

Aku mulai mengetik lembaran perjanjian itu, “Aturan pertama, kita tidak boleh ikut campur urusan pribadi satu sama lain,” ucapku sambil mengetik.

“Aturan kedua, kontrak akan berakhir setelah satu tahun, tanpa pengecualian,” lanjutku setelah melihat Rendra tidak memberikan respon negatif terhadap aturan pertama.

“Aturan ketiga, tidak boleh menyentuh tanpa izin,” ucapku membacakan aturan ketiga.

Aku berhenti mengetik sejenak dan bertanya kepada Rendra, “Bagaimana kita merespons jika keluarga kita menanyakan tentang anak?”

“Mari kita katakan kita masih ingin menikmati masa berdua,” jawab Rendra, dan aku menyetujuinya.

Aku terdiam lagi sambil membaca ulang hal-hal yang baru kuketik. Sesekali aku melirik ke arah pria itu.

Ya, kuakui, dia memang tampan tanpa cela. Rambutnya hitam legam, sama seperti warna matanya. Alisnya tebal dan hidungnya mancung. Jangan lewatkan juga tubuhnya yang tampak kokoh dan otot tangannya yang kekar.

Perempuan normal mungkin akan berteriak ketika melihatnya. Tapi, aku yang sudah merasakan bagaimana sikap dingin dan tegasnya pria ini, lebih baik mengubur diri daripada menikah dengannya.

“Aturan selanjutnya apa lagi?” tanyaku pada Rendra lagi.

“Tidak boleh ada perasaan cinta,” balas Rendra.

Aku mendecih pelan sambil mengetik aturan keempat, “Kemudian, aturan kelima?”

“Harus berperilaku seperti pasangan sesungguhnya di depan umum.”

“Ada lagi?” tanyaku kepada Rendra, dan mendapat gelengan kepala sebagai jawaban.

Aku memberikan kembali laptop kepada Rendra sebagai tanda bahwa semua yang telah kita sepakati telah tercatat di sana.

Rendra memeriksa ulang lembar kontrak tersebut. Setelah merasa yakin, Rendra mencetak lembaran itu menggunakan printer yang tersedia di ruangannya.

“Setelah tanda tangan, itu berarti kita telah setuju dengan semua perjanjian ini,” ucap Rendra sambil memberikan lembaran kontrak pernikahan kami.

Aku mengambil bulpen, masih ada keraguan di dalam hatiku. Sejujurnya, aku masih belum yakin tentang pernikahan ini.

“Cepatlah tanda tangani, aku tidak akan membiarkanmu berubah pikiran,” ucap Rendra, seolah melihat keraguanku.

Akupun menandatangani surat itu dengan harapan semuanya akan berjalan lancar. Setidaknya, kesehatan Kakek akan membaik setelah ini.

Aku melihat Rendra tanpa keraguan menandatangani surat itu juga.

Ceklek!

Aku sontak menoleh ke arah pintu yang dibuka tanpa diketuk lebih dulu.

Dengan langkah yang ringan dan elegan, seorang perempuan masuk dengan memancarkan aura keanggunan yang memikat seisi ruangan.

Rona kulitnya yang bersinar menambah pesonanya, menciptakan aura kecantikan yang memancar dari setiap gerakannya. Sorot matanya yang tajam dan bijaksana menyiratkan kecerdasan.

“Sayang, kita akan makan di mana?” ucap seorang perempuan itu.

Perempuan itu kemudain berjalan ke arahku dan memperhatikanku dari atas hingga bawah. “Oh, ada tamu rupanya. Maaf kalau mengganggu,” ucapnya, meskipun maafnya terdengar tidak tulus.

Perempuan itu meraih lembaran kontrak pernikahan kami dan mengamatinya sambil menganggukkan kepalanya.

“Ternyata kamu yang bernama Delusi,” ucapnya kepadaku setelah selesai membaca surat kontrak itu.

“Perkenalkan, aku Anya kekasih Rendra,” sapanya mengenalkan diri kepadaku.

“Lusi,” balasku menyapanya.

“Jadi, kapan pernikahan kalian?” Anya melontarkan pertanyaan yang seharusnya tidak dilakukan sebagai sepasang kekasih, seharusnya dia marah bukan menerimaku dengan hangat seperti itu.

“Secepatnya,” balas Rendra sambil bergelanyutan manja memeluk Anya.

Pasangan yang aneh. Bagaimana bisa dia menerima kekasihnya menikah dengan perempuan lain seterbuka itu? Rendra dan Anya sudah benar-benar gila. Aku masih berada di ruangan yang sama dengan mereka, tapi mereka justru berciuman di depanku?

Sambil mendengus, aku memilih untuk keluar dari ruangan itu.

Aku sendiri bahkan belum mengatakan apapun tentang ini kepada kekasihku. Begitu sudah sampai di depan lift, aku membuka ponselku untuk menghubungi Raju, meminta pertemuan. Aku harus segera mengatakannya padanya.

****

“Aku akan menikah,” ucapku kepada Raju setelah kami bertemu.

“Dengan laki-laki yang selalu dijodohkan dengan kakekmu itu?” tanya Raju untuk memastikan.

“Iya,” jawabku.

“Ya, baguslah. Akhirnya kamu tidak bingung harus menolak permintaan kakekmu,” jawab Raju dengan tenang, tanpa menunjukkan sedikitpun kesedihan atas kabar yang aku berikan.

“Kami menikah kontrak, rencananya akan bercerai setelah satu tahun,” jelasku pada Raju.

“Kamu pikir di antara kalian nanti tidak akan ada yang jatuh cinta?”

“Kami sudah menyepakati untuk tetap bercerai jika salah satu dari kami jatuh cinta.”

Raju tampak tidak suka dengan jawabanku. Dia terus menodongku. “Bagaimana jika keduanya saling mencintai?”

“Aku yakin itu tidak akan terjadi,” ucapku, mencoba meyakinkan Raju.

“Aku tidak bodoh. Bagaimana mungkin dua orang dewasa lawan jenis tinggal satu atap selama satu tahun dan tidak saling jatuh cinta? Itu hal yang mustahil terjadi!”

Aku hanya diam, tidak memberikan respon.

Apa yang dikatakan Raju memang benar. Kami hanya manusia yang memiliki perasaan.

Aku tidak berani mengatakan bahwa aku tidak akan jatuh cinta pada Rendra, namun aku juga tidak ingin kehilangan Raju, seseorang yang sangat kucintai.

“Kita putus saja,” ucap Raju mangatakan keputusannya.

Raju langsung meninggalkanku sendirian di sana tanpa memberikanku waktu untuk membujuknya.

Aku memandangi cangkir kopi di depanku. Aku tidak yakin apa yang sedang kurasakan sekarang. Kenapa aku tidak menangis? Kenapa aku tidak mau menahan Raju untuk bersabar?

“Hah....” aku menghela napas panjang.

Aku berharap ini adalah keputusan yang tepat dan terbaik untukku. Tidak akan sia-sia ketika aku berbakti kepada orang tua, bukan? Meskipun aku yakin akan selalu melihat Rendra bermesraan dengan Anya, aku hanya perlu menganggap mereka orang asing.

Drtt. Drtt.

Tepat sekali, Rendra meneleponku.

“Dia selalu saja mengganggu ketenanganku. Kali ini apa yang dia inginkan?” gerutuku kesal pada ponselku.

“Halo?” sapaku.

“HA? MINGGU DEPAN?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status