Beberapa bulan berlalu, Akash sibuk dengan kegiatannya di kantor sementara Asha sibuk mencari pekerjaan yang tidak kunjung berhasil. Ternyata punya ijazah S1 tidak menjamin seseorang mendapat pekerjaan yang sesuai dengan cepat.
Tentang hubungan keduanya pun tidak ada kemajuan. Asha merasa apapun yang dia lakukan sepertinya tidak berarti untuk Akash. Dia berjuang sendiri, sementara Akash bebas dengan dunianya.
Asha tidak pernah berniat membuat Akash jatuh cinta padanya, tapi setidaknya dia berharap Akash memberi sedikit penghargaan untuknya. Sayangnya itu pun tidak terjadi.
Seperti malam ini misalnya, saat Asha sudah menyiapkan makan malam sejak sore, namun sampai pukul sembilan malam Akash masih belum juga pulang dan itu tanpa kabar.
Asha khawatir kalau terjadi sesuatu padanya. Maka dia berusaha menghubunginya.
Satu kali panggilan tidak terjawab, disusul panggilan tidak terjawab berikutnya dan berikutnya.
Hati Asha makin tak tenang.
[Mas dimana? Sudah jam 9 malam, kok belum pulang?]
Asha pada akhirnya mengirim pesan, berharap Akash membaca dan membalas pesannya.
Tapi ditunggu beberapa menit pesan itu tidak juga dibaca Akash.
[Mas, kamu gak papa kan? Bisa tolong kabari aku, biar aku tenang.]
Pesan berikutnya terkirim tapi tetap tidak dijawab.
“Kamu dimana Mas?” Lirihnya pada dirinya sendiri.
***
Sementara itu di kantor, Akash sedang berkutat dengan berkas-berkas yang menumpuk di atas mejanya.
Beberapa hari belakangan ini dia mendapat tekanan tidak hanya dari Sandy, tapi juga dari petinggi di banyak divisi.
Kemampuannya sebagai CSO sedang dipertanyakan, karena itu dia benar-benar sedang berusaha untuk membuktikan diri.
Tapi di sela-sela kesibukannya dia terganggu dengan panggilan telepon yang masuk berkali-kali. Akash melihat nama yang tertera di ponselnya–Asha.
Dan itu benar-benar membuat Akash sakit kepala karena kesal.
Diabaikannya panggilan Asha dan mengubah mode ponselnya ke mode jangan ganggu.
Kemudian dia kembali fokus dengan berkas-berkas di mejanya. Dia harus mendapatkan tender berikutnya untuk memastikan posisinya aman di kantor. Posisi ini sudah diincarnya sejak enam tahun lalu, sekarang setelah memilikinya dia tidak boleh kehilangan.
***
Asha tidak tahu apa yang terjadi pada Akash di kantor, dia juga tidak tahu harus mencari tahu kemana. Dia tidak kenal satupun rekan kerja Akash.
Dadanya sesak, rasa kesal menumpuk di sana, ingin marah tapi dia tidak tahu harus marah pada siapa.
Dirapikannya kembali ruang makan dan dia segera masuk ke kamar, tidur meringkuk di atas sofa sambil menangis.
*
Pukul tiga pagi, Asha terbangun. Dilihatnya Akash tidak ada di kasurnya, mungkin laki-laki itu tidak pulang semalam. Asha berlalu ke kamar mandi, membersihkan diri, mengambil wudhu dan melaksanakan sholat sunnah.
Setelah itu dia turun ke dapur, niatnya ingin membuat sarapan lebih awal agar nanti bisa berangkat lebih pagi untuk mencari kerja dan tidak membebani ibunya dengan tugas memasak.
Siapa sangka dia justru melihat Akash duduk di salah satu kursi di ruang makan, sedang fokus pada laptopnya dengan sepiring kentang goreng di samping laptop.
Asha tidak menegurnya, dia berlalu ke dapur tanpa menoleh sedikitpun membuat Akash meliriknya tanpa suara.
Asha membuka kulkas mengambil bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat sarapan. Setelah mendapat semua bahan yang dia perlukan, tangannya dengan cekatan mulai mengiris bakso, sosis dan sayuran untuk membuat nasi goreng.
Selain itu juga dia menyiapkan beberapa menu untuk ibunya makan siang, karena hari ini dia berniat keluar lebih lama.
Pekerjaannya terhenti saat mendengar suara adzan, Asha lekas masuk ke kamar dan mulai menunaikan sholat subuh.
Saat masuk ke kamar, Akash sedikit heran karena Asha sudah menyelesaikan shalatnya, padahal biasanya dia akan meminta Akash menjadi imam meskipun Akash selalu menolak. Tapi kali ini jangankan meminta, mengingatkan pun tidak.
Selesai sholat Asha kembali ke dapur, dia masih mengabaikan Akash. Pagi ini Asha tidak menyapanya seperti biasa.
Pukul 07.00 saat Akash membawa turun gelas kopi miliknya, Akash memencarkan pandangannya, mencari sosok Asha.
“Asha mana?” tanyanya, “bukannya tadi dia yang masak?” lanjutnya.
“Iya ini Asha yang masak, sekarang dia ke kamar Ibu numpang mandi dan ganti pakaian. Tadi katanya ada janji sama Indira mau ngelamar kerja pagi.” Akash mengernyitkan keningnya.
Biasanya perempuan itu akan memberitahukan apapun padanya, tapi hari ini jangankan memberitahu jadwalnya, sekedar menyapa saja tidak.
“Bu, Asha mau berangkat ya.” Asha datang dengan senyum manisnya, dia memakai tunik pink dengan celana hitam longgar. Tangannya terulur menyalami ibunya dan beralih menyalami Akash. “Pamit, assalamu’alaikum.” Asha tidak menunggu jawaban, dia lekas berlalu keluar dari rumah, ojek online sudah menunggunya di depan pagar.
Akash menatap punggung istrinya yang pergi begitu saja, ada rasa asing yang mengganjal saat melihat Asha bersikap dingin padanya.
***
Indira meninggalkan Asha setelah mereka memasukkan beberapa lamaran pekerjaan dengan motor maticnya karena ada keperluan lain, sementara Asha memilih untuk menunggu ojek online di depan sebuah mini market.
“Hai Sha!” Asha menoleh saat mendengar seorang pria menyapanya, dia Erik.
Asha tidak menjawab. Erik yang dia kenal semasa kuliah dulu bukan pria baik-baik, maka Asha berusaha untuk tidak memperdulikannya.
“Mau kemana? Biar aku antar,” tawarnya sambil menunjukkan kunci mobil.
“Tidak terimakasih,” jawab Asha seadanya.
“Jangan terlalu jual mahal Sha, nanti gak ada yang mau.” Asha tidak perduli.
Dia sibuk mengutak-atik ponselnya, sejak tadi memesan ojol tapi tidak ada yang mengambil pesanannya.
“Sombong banget sih!” ketus Erik sambil berusaha mencolek pipi Asha, namun dia berhasil menghindar.
“Jaga tangan Anda, jangan sentuh orang sembarangan!” ucap Asha sedikit bernada tinggi.
Mendapat jawaban seperti itu Erik justru berusaha makin mendekat hingga tangannya hampir menyentuh pergelangan tangan Asha. Namun Asha beruntung karena saat itu Akash tiba-tiba datang.
“Singkirkan tangan kamu atau aku patahkan,” Asha menatap Akash yang baru datang. Refleks dia berjalan mendekat pada Akash dan menjauh dari Erik.
“Masuk mobil!” perintah Akash.
Dan Asha menurut.
Asha berjalan lebih dulu dan masuk ke mobil yang terparkir tidak jauh, Akash menyusul setelah memberi peringatan pada Erik agar menjauhi Asha.
***
Sesampainya di rumah, Asha lekas masuk ke kamar dan membersihkan diri serta berganti pakaian.
“Laki-laki tadi siapa?” tanya Akash saat melihat Asha keluar dari kamar mandi.
“Erik, kami dulu satu kampus,” jawab Asha singkat.
“Mantan pacar?” tanya Akash.
“Bukan.” Asha kembali menjawab singkat.
“Lalu?”
“Bukannya di kesepakatan tertulis kalau kita tidak boleh saling ikut campur urusan satu sama lain?”
Akash menatap dingin mendengar jawaban Asha.
“Kalau kamu sadar dengan kesepakatan itu, kenapa kamu justru mencampuri urusanku belakangan ini?”
“Karena sampai semalam aku memposisikan diri sebagai istri Mas,” jawab Asha tanpa melihat ke arah Akash. “Tapi mulai detik ini, aku akan memposisikan diriku sebagai orang lain,” lanjutnya.
“Hanya karena aku mau tahu siapa laki-laki tadi?” Asha menoleh, menatap Akash dengan tatapan tidak kalah dingin.
“Bukan, tapi karena aku baru sadar bahwa Mas selama ini hanya menganggapku sebagai jalan untuk naik jabatan, tidak lebih,” ucap Asha.
“Bukannya sejak awal kamu tahu?” Asha menggeleng.
“Iya, itulah bodohnya aku.”
Ada sesuatu yang mengganjal di hati Akash saat melihat sikap dingin Asha hari itu.
Ada apa?
“Erik?”Mendengar nama itu disebut, sontak membuat Indira menoleh pelan, melihat suaminya yang sedang melihat ke arah ponselnya. “Mas, tadi sebut nama siapa?” tanyanya memastikan.“Erik,” jawab Rama.“Siapa? Erik siapa?” tanya Indira.“Aku juga gak tahu sayang, ini Akash yang kirim pesan.” Rama menunjukkan ponselnya ke arah Indira.[Kenal Erik?]Indira spontan mundur perlahan, bayangan beberapa tahun lalu bermain di kepalanya. Rama kaget melihat sikap Indira yang berubah. Wanita itu bahkan terus berjalan mundur bahkan ia abai pada panggilan suaminya, hingga punggungnya membentur dinding.
Erik menoleh, sosok Akash berjalan pelan menghampiri. Melihat Akash datang Gara dan Esa memilih memindahkan food tray milik mereka ke meja lain sambil terus memperhatikan Akash. Berjaga-jaga kalau Erik mencari masalah dan Akash terpancing.“Anda siapa?” tanya Erik dengan tatapan tajam.Akash menarik satu sudut bibirnya, mengulurkan tangannya yang langsung diraih oleh Asha. Melihat itu Erik mengerutkan keningnya, lalu menatap Akash yang menarik pelan Asha ke arahnya.“Seharusnya Pak Arjuna sudah mengatakan apa posisi Asha di CPM, dan kalau anda menganggap kerjasama dengan CPM penting, harusnya anda berhenti membuat ulah dan mengganggu istri saya.”Erik bergeming, matanya menelisik Akash dari ujung rambut ke ujung kaki. Seperti sedang menghitung sia
“Asha,” sapaan halus itu membuat Asha menoleh pelan pada sumber suara. Ternyata, di seberang meja yang ia pilih sudah lebih dulu duduk Rama, Indira dan Anna dengan tiga mangkuk es krim yang menggugah selera.“Hei!” Asha yang menyadari kehadiran keluarga Rama begitu senang dan lekas menghampiri mereka.“Gabung sini aja ante Asha, ini banyak kursi kosong nih,” ajak Anna.Belum juga Asha menjawab, Atha lebih dulu mengambil tempat duduk di samping Anna. Mau tidak mau Akash dan Asha pun di meja yang sama dengan Rama dan Indira.Obrolan ringan tercipta begitu saja, ada canda yang hadir dari obrolan Anna dan Atha. Lalu sedikit mengarah ke haru ketika mereka membicarakan tentang kehamilan Indira dan Asha yang berdekatan waktunya.“Berarti nanti, Anna bakal punya dua adik sekaligus ya. Satu dari Bunda Dira, satu lagi dari Ante Asha.” Mata Anna berbinar ketika mengucapkan hal itu, ia bisa membayangkan akan menggendong dua bayi kecil sekaligus.Asha dan Indira hanya bisa mengulum senyum melihat
Asha merasa seluruh tubuhnya seperti kehilangan tenaga sore itu. Ia menundukkan kepala sebentar, menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa energi yang tersisa setelah seharian penuh rapat dan koordinasi proyek.Tangannya terulur ke belakang leher, memijat pelan bagian yang terasa kaku. Sesekali ia menggeleng kecil, berusaha mengusir rasa pening yang mulai merayap dari pelipis ke belakang kepala.“Ternyata kerja sendiri secapek ini ya?” gumamnya pelan.Ini memang pertama kalinya dia mengurus pekerjaan sendiri tanpa Akash. Biasanya, rasa lelah itu bisa ditepis dengan melihat wajah Akash yang menyungging senyum, tapi hari ini… jangankan senyum, bahkan melihat wajah Akash saja tidak bisa.Asha merapikan tasnya, menatap layar ponsel sekilas&mda
Sepanjang rapat berjalan, Asha berusaha fokus pada presentasi dan data pendukung yang ditampilkan di layar. Saat semua orang fokus pada pembahasan kerjasama, Erik justru malah mencari celah—melempar komentar yang terlalu personal, menggodanya dengan nada bercanda yang sama sekali tidak pantas untuk suasana formal.“Kamu gak pernah berubah ya Sha, selalu serius dan… tetap cantik dan menarik,” ucapnya setengah berkelakar. Arjuna yang mendengar itu belum menunjukkan reaksi apapun, justru beberapa rekan kerja Erik yang memberi teguran kecil.Sayangnya, dia tidak mengindahkan teguran dari rekan kerjanya itu dengan dalih, dia sudah mengenal Asha sebelumnya.Asha menegakkan badan, menatapnya dingin dari ujung meja dan berkata, “tolong jaga batasan Anda tetap profesional, Pak Erik.”Erik menyungging senyum tipis. “Jangan terlalu serius Sha,” ucapnya dengan senyum licik yang dibuat-buat.Arjuna, yang duduk tak jauh dari mereka, sudah sejak awal memperhatikan perubahan ekspresi Asha. Ia mungkin
Mood Akash hampir saja berantakan saat melihat Esa dengan kejahilannya.Beruntung saat itu Asha mengambil alih kedua piring dan meletakkannya di hadapannya. Ia menyendok satu sendok makanan dan menyuapi Akash, hingga pria itu mengulas senyum. Lupa sudah dia pada kesalnya pada Esa.Esa dan Yudha hampir tersedak melihat tingkah atasan mereka, ingin tertawa tapi melihat tatapan tajam Asha pada mereka, membuat keduanya akhirnya memalingkan muka dan menahan tawa.Masalahnya, yang melihat kejadian itu bukan satu dua orang, tapi seisi kantin memperhatikan bagaimana Akash bertingkah seperti anak-anak di hadapan istrinya.Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar, tapi kali ini Asha menuliskan telinganya. Ia memilih melayani suaminya yang sedang mode manja dan clingy. Tidak peduli dengan tatapan dan bisikan orang-orang di sekitarnya.“Lagi?” tawar Asha saat melihat piring pertama sudah kosong.Akash menggeleng, tapi piring di hadapan Asha ditarik mendekat ke arahnya. “Sekarang biar Mas yang suapi