Memasuki trimester dua kehamilan Asha, kondisi Akash jauh lebih baik. Dan bersyukur sekali karena Asha sendiri juga tidak merasakan hal-hal yang mengganggu seperti mual dan penciuman yang makin sensitif. Kondisi tubuhnya pun jauh lebih baik dibanding saat kehamilan pertama lalu.Namun, yang berubah justru sikap Atha, putra pertama mereka. Entah kenapa, sejak kehamilan Asha menginjak usia 4 bulan. Sejak awal, Atha selalu antusias menyambut kehadiran adik bayi dalam perut Bundanya, tapi belakangan dia menjadi lebih manja dan overprotective pada Asha.Dia bahkan sering bertanya, “apa nanti Bunda tetap saya Atha?”Awalnya, pertanyaan itu tidak begitu mengganggu. Tapi karena Atha semakin sering menanyakan hal yang sama, Asha jadi mulai berpikir, apakah putranya mulai khawatir kekurangan kasih sayang? Kenapa? Apa ada perlakuannya yang membuat Atha merasa diabaikan belakangan ini?“Mas Atha, mau ikut Ayah dan Bunda ke kantor gak sayang?”Ajakan itu Asha berikan pada Atha saat ia baru turun d
Sore itu suasana kantor sedikit lebih tenang dari hari biasanya. Asha sudah merapikan meja kerja dan bersiap untuk pulang saat tiba-tiba Akash meminta sesuatu padanya.“Sha,” panggil Akash dengan nada pelan.Asha menoleh, melihat wajah suaminya yang nampak lesu dan kurang bersemangat. “Kenapa Mas? Butuh sesuatu?”Akash mendekat, berdiri tepat di belakang Asha dan memeluk perempuan itu. Beruntung sekali karena ruang kerja Akash tertutup rapat dan tidak semua orang bisa masuk ke ruangan itu tanpa izin. Hingga, apapun yang mereka lakukan di ruangan itu tidak akan membuat Asha malu.Akash saat mode clingy seperti ini adalah Akash yang tidak boleh dilarang sama sekali. “Mas mau apa? Mau pulang sekarang?” tawar Asha. Sebuah tawaran aman menurut Asha, karena semua pekerjaan memang sudah selesai mereka kerjakan dan tidak ada agenda lain yang harus dilakukan sore ini. Meskipun, memang ini belum benar-benar waktu pulang kantor. “Mas pengen makan sesuatu, yang asem-asem, kecut, seger, pedes git
Malam itu, mungkin jadi salah satu malam yang paling membahagiakan bukan hanya untuk Akash yang meminta acara itu diadakan, tapi juga untuk semua orang. Malam itu, berlalu dengan penuh canda, tawa, bukan hanya dari ayah dan ibu muda, juga dari anak-anak yang masih suka berceloteh tanpa arah, termasuk juga dari kakek dan nenek yang tidak pernah membayangkan kalau hidup akan seindah ini di masa tua mereka.Malam itu, para Kakek dan Nenek tidur di kamar yang jumlahnya terbatas di rumah Akash. Sementara yang lain memilih tidur di dalam tenda yang sudah berdiri di halaman belakang.Saat semua orang sedang terlelap, Akash dan Asha justru sedang duduk di ruang makan sambil menikmati teh hangat. Keduanya duduk di sisi yang berbeda, saling berhadapan, satu tangan mereka saling bertaut, pandangan mereka saling berpaut.“Aku ada rencana mau renovasi rumah ini Sha, mau nambah satu atau dua kamar lagi, gimana?”Asha mengangguk pelan dan tersenyum. “Sepertinya memang harus ditambah Mas. Sebentar la
Farid membawa dua kantong belanja di tangannya, berisi cemilan, buah-buahan dan juga marshmallow untuk anak-anak. Saat Adrian menghampiri Cakra dan yang lainnya di ruang tengah. Farid dan Cantika meneruskan langkah ke area belakang. Farid ke halaman belakang, sementara Cantika masuk ke dapur.“Loh, lagi isi juga ternyata?” tanya Asha saat melihat Cantika masuk dengan perut yang terlihat membuncit.“Iya nih, alhamdulillah sudah lima bulan,” jawab Cantika sambil membalas pelukan Asha.“Maa syaa Allah, semoga lancar kehamilannya ya. Dan si kecil lahir dalam keadaan sehat, selamat dan sempurna,” balas Asha mendoakan.Setelah itu mereka ikut bergabung di halaman belakang bersama para tim pria, menunggu malam menjelang.
Sepertinya, ancaman Rama dan Akash sudah cukup untuk membuat Erik berhenti mendekati Akash. Ia tidak pernah lagi dengan sengaja mendekati Asha, bahkan ketika mereka bertemu secara tidak sengaja di tempat yang sama, baik dengan atau tanpa Akash di sampingnya.Asha justru kembali disibukkan dengan suaminya yang kembali clingy dan makin manja belakangan ini. Sepertinya, efek kehamilan simpatik itu belum benar-benar hilang.Sore itu, Asha baru saja selesai menata berkas di meja kerjanya ketika Akash masuk ke ruang kerja dengan wajah sedikit cemberut. “Sayang…” panggilnya dengan nada memelas sambil memeluk perut Asha dari belakang.Asha menoleh, sedikit heran. “Kenapa Mas? Kok cemberut gitu?”Akash mengeratkan pelukannya, dagunya bersandar di bahu kanan Asha dan ia kembali bicara. “Capek,” keluhnya. “Kerjaan hari ini banyak banget, rasanya pusing, terus perut kayak nggak enak,” keluhnya sambil mengerutkan dahi.Asha Mengulas senyum sambil mengusap punggung tangan suaminya yang berada tepat
Erik membawa kedua tamunya masuk ke ruang kerjanya yang tidak terlalu luas. Rama menaikkan sebelah alisnya, memperhatikan ruangan itu dengan seksama, satu kalimat sarkas muncul di kepalanya saat itu juga. ‘Baru jadi marketing saja, sudah mau macam-macam, apa menurutnya dia mampu melawanku?’Erik meminta keduanya duduk, pendingin ruangan yang biasanya menenangkan justru seakan membekukan udara. Akash duduk dengan ekspresi tenang tapi tegas, matanya menatap lurus pada sosok di seberangnya—Erik.Sementara di sisi kanan Akash, Rama bersandar sedikit ke kursinya, tatapan matanya tak kalah tajam, tapi lebih mengintimidasi karena diamnya. Ia sesekali mengamati ekspresi Erik, menunggu kapan tepatnya Erik menunjukkan rasa takutnya.“Ada perlu apa?” tanya Erik. “Kenapa kalian datang kemari?” tanya Erik.Badan Rama bergerak sedikit condong ke depan. Kedua tangannya menyanggah di atas pangkuan, sorot matanya tajam menatap Erik. “Sebetulnya pertanyaan itu tidak perlu anda tanyakan, karena saya ya