LOGIN“Mas?” Tanya Akash sambil menaikkan sebelah alisnya.
Panggilan itu terdengar asing di telinganya. Biasanya Asha memanggilnya dengan sebutan ‘Tuan’, lalu kenapa sekarang Mas?
“Maaf, aku gak mungkin panggil suami aku dengan sebutan Tuan kan?” ucap Asha. “Aku rasa panggilan yang paling pas saat ini adalah Mas, Mas gak mungkin bersedia kalau aku panggil Sayang atau Hubby kan?” Akash mengerjap.
Kenapa tiba-tiba Asha bersikap ramah dan sesantai itu? Dia bahkan merubah panggilan dari Saya ke Aku. Bukankah harusnya dia sedang tertekan dengan hubungan yang baru mereka jalani?
“Gimana? Mau dipanggil Mas, Sayang atau Hubby?” tanya Asha dengan senyum tipis di bibirnya.
“Mas saja,” jawab Akash.
“Jadi Mas Akash mau bawa bekal ke kantor?” tanya Asha lagi.
“Gak,” jawab Akash singkat sambil mengambil sepasang sepatu dan duduk di kursi sebelum memasang sepatunya.
Tanpa disangka Asha ikut berjongkok di depan Akash dan bersiap memasangkan sepatu ke kaki Akash.
“Mau apa?” tanya Akash dingin.
“Mau bantu pakai sepatu,” jawab Asha santai.
“Gak, gak! Saya bisa sendiri.” Mendapat penolakan itu, Asha berdiri dan memperhatikan suaminya mengambil sepatu sebelah kiri.
“Sunnahnya pakai di kaki sebelah kanan dulu, Mas,” ucap Asha membuat Akash meletakkan sepatu kiri dan mengambil sepatu kanan.
Asha mengulum senyum.
Selesai memakai sepatu Akash berdiri dan berniat keluar dari rumah. Tapi Asha menyodorkan tangan kanan dan membuat Akash mengerutkan keningnya.
“Apa?” tanyanya.
“Mau salim, Mas mau berangkat kerja kan?” Akash masih bergeming.
“Kamu lupa isi kesepakatan kita?” tanya Akash dengan tatapan tajam.
“Ingat, tapi bukannya di depan orang kita harus terlihat seperti suami istri?” Akash diam.
“Ibu lagi di depan, kalau aku gak salim nanti Ibu pasti nanya kenapa gak salim pas Suami berangkat kerja, terus aku harus jawab apa?” Akash menghela napas berat dan dengan terpaksa mengulur tangan kanannya yang langsung disambut Asha.
Cup!
Asha mengecup punggung tangan Akash dan seketika dia membeku saat melakukan itu.
Bukan sentuhan pertama tapi kali ini rasanya berbeda. Akash menarik tangannya.
“Kelamaan,” ketusnya membuat Asha tersadar.
Akash melangkah keluar rumah, masuk ke mobil dan melajukannya ke jalan raya Jakarta yang tidak pernah sepi.
***
Akash sampai ke kantor setelah satu jam lebih berkendara. Sesuai instruksi Cakra, dia langsung ke lantai tujuh untuk menghadap Cakra. Bima telah sampai lebih dulu dan memintanya menunggu di dalam ruangan.
Pukul 09.00, Cakra datang bersama Sandy. Akash berdiri dan menyambut keduanya. Karena tidak ingin membuang waktu, Cakra mengajak mereka berdua ke lantai lima. Satu lantai yang memang menjadi incaran Akash sejak awal.
Melihat kedatangan ketiganya dan disusul Bima di belakang mereka. Spontan satu persatu karyawan di tiap ruang kerja berdiri dan memberi hormat.
Mereka berjalan menyusuri tiap ruang kerja dan sampai ke sebuah ruangan tertutup dimana seorang pria empat puluh tahunan menyambut mereka.
“Silahkan Pak,” ucapnya, Hardi namanya.
Mereka duduk bersama dan memulai pembicaraan.
“Sudah siap ke Singapura?” tanya Cakra.
“Tentu,” jawabnya pasti.
“Hardi akan dikirim ke Singapura untuk mengatur bisnis kita yang ada di sana dalam tiga bulan kedepan,” ucap Cakra. “Itu artinya tiga bulan lagi posisi CSO akan kosong dan kita butuh orang baru untuk mengisinya.”
Sandy diam mendengarkan begitu juga dengan Akash.
“Mungkin kalian berpikir kalau posisi itu akan langsung aku serahkan pada Akash, tapi saat ini aku harus bilang kalau Akash belum cukup mampu untuk itu.” Akash mengangkat wajahnya, menatap kakeknya dalam diam.
“Kalau begitu kita bisa berikan posisi itu pada Arjuna atau Maha, mereka jauh lebih kompeten dan punya lebih banyak pengalaman.” Akash mengepalkan tangannya tidak terima mendengar ucapan Sandy yang meremehkannya.
“Tidak, untuk urusan strategi aku bisa pastikan Akash jauh lebih baik dari mereka. Kalau kamu lupa, dua anakmu yang lain itu sudah mendapat posisi tinggi dengan mudah, apa kamu harus selalu menolong mereka untuk mempertahankan posisi?” tanya Cakra membuat Sandy menundukkan kepala.
“Akash akan menempati posisi CSO, menggantikan Hardi tiga bulan lagi tapi dia harus melewati banyak latihan keras.” Akash bersitatap dengan Cakra.
“Selama tiga bulan kamu akan digembleng habis-habisan oleh Hardi. Kamu harus siap ditempatkan di posisi manapun sesuai perintah Hardi. Ambil dan serap semua ilmu yang dia berikan dan tiga bulan lagi kamu akan mendapatkan posisi Hardi. Bagaimana?”
Akash mengulur senyum.
“Akan aku lakukan,” ucap Akash yakin.
Hardi mengangguk, dia cukup senang dengan semangat Akash saat itu. Semangat yang sama yang pernah dia lihat enam tahun lalu saat Akash masuk sebagai karyawan magang untuk pertama kalinya.
***
Sementara itu Asha justru sedang berada di sebuah cafe bersama Indira, sahabatnya.
“Jadi, kamu tetap mau lanjut cari kerjaan nih?” Asha mengangguk. “Padahal kamu sudah nikah sama anak orang kaya, bukannya itu artinya kamu sudah aman secara finansial?” Asha terkekeh mendengar ucapan Indira.
“Siapa yang bisa jamin aku bakal hidup selamanya sama dia?” tanyanya setelah tawa kecilnya mereda. “Pernikahan yang didasari cinta saja bisa bubar di tengah jalan, apalagi pernikahan yang diawali dengan paksaan Dir,” lanjut Asha.
Indira adalah sahabat terdekat Asha yang mengetahui banyak hal tentangnya termasuk tentang pernikahannya dengan Akash.
“Bikinlah dia jatuh cinta sama kamu, biar klepek-klepek dan gak bakal ninggalin kamu.” Asha berdecak dan memasang wajah kesal pada sahabatnya.
“Hah, bikin jatuh cinta apaan? Nyentuh dia aja gak boleh, gimana mau bikin dia jatuh cinta,” celetuknya dengan wajah kesal.
“No physical touch?” Asha menggeleng. “Oh God! Kalian terjebak dalam hubungan platonis?” tanya Indira setengah berteriak sampai Asha sonta memukul tangannya.
“Jangan teriak-teriak Dira,” kata Asha setengah berbisik. “Ada yang denger nanti gimana?” Indira mengatupkan dua tangan di depan dadanya dan memasang cengiran pada Asha.
“Sorry,” ucapnya lirih.
“Entah apa nama hubungan ini, yang jelas kami terikat beberapa kesepakatan dan salah satunya tidak boleh ada sentuhan fisik kecuali memang dibutuhkan dan dia mengizinkan.” Indira menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
“Aku gak bisa bilang apa-apa, aku cuma berharap kamu bisa melewati ini, dan apapun ujungnya nanti aku harap kamu bahagia Sha.”
Asha mengaminkan harapan Indira, karena sejatinya itu juga jadi harapannya.
Sambil menyesap kopi di atas meja. Mereka kemudian melanjutkan obrolan tentang lowongan pekerjaan di beberapa perusahaan yang akan mereka masuki.
Asha harus fokus untuk mencari pekerjaan, bukankah dia harus bersiap bila sewaktu-waktu Akash melepaskannya
Siapa sangka pernikahan Akash dan Asha yang dimulai dengan niat untuk melunasi hutang Kinasih, dan berniat diakhiri dalam waktu satu tahun ternyata bisa bertahan hingga 10 tahun.Dalam satu dekade itu, mereka dikaruniai dua orang pangeran dalam hidup mereka. Atha yang penyayang dan perhatian, serta Kael yang lucu dan menggemaskan. Keduanya, lahir dari sebuah hubungan yang dulunya tidak diharapkan.Dan kini, setelah sepuluh tahun berlalu, ternyata biduk rumah tangga itu bisa dipertahankan.Dua hari di Jogja menjadi hadiah ulang tahun pernikahan yang indah untuk Asha dari Akash. Waktu terasa diberikan khusus untuk mereka—waktu yang selama ini nyaris tak pernah mereka miliki tanpa distraksi, tanpa suara anak-anak, tanpa pekerjaan yang mengejar dari segala arah.Makan malam yang indah, perjalanan siang yang menyenangkan, obrolan yang hangat, wajah yang terus tersenyum, tawa lebar dan gurauan yang selalu membuat suasana terasa jauh lebih hidup.“Mas,” panggil Asha dengan penuh kelembutan.
“Mas, ini—”Kalimat Asha terhenti saat merasakan kedua tangan Akash melingkar di pinggangnya. Sementara dagu pria itu bertahta di bahu kirinya.“It’s our honey moon, right?” bisiknya. Asha mengangguk pelan menjawab ucapan Akash. “Dan ini akan jadi kamar honeymoon kita, sayang.”Asha memejamkan matanya, suara Akash di telinganya terdengar berat, ia tahu kemana arahnya ini semua. Tapi, apa tidak berlebihan pikirnya? Kamar ini benar-benar dihias seperti kamar pengantin baru.Di atas kasur, taburan kelopak mawar membentuk pola hati yang sederhana namun penuh makna. Tepat di tengahnya, ada sebuah kotak kecil berwarna ivory, dibungkus pita emas tipis yang berkilau.“Mas,”
Angin malam berhembus lembut, lampu kota mulai berkelip di kejauhan—siluet Malioboro dan jalanan Jogja di malam hari tampak redup indah dari ketinggian. Mereka duduk di meja kecil di sudut rooftop, di salah satu hotel di Jogja. Satu meja sudah dihias dengan lilin pelan yang berkelip, menciptakan atmosfer hangat dan intim.“Mas,” ucap Asha dengan suara tenang.“Kenapa, Sayang?” jawab Akash.“Ini … kita liburan berdua, anak-anak gimana?” tanya Asha.Sejujurnya, dia masih kaget dengan semua ini. Tiba-tiba dibawa ke Jogja dengan alasan pekerjaan, tapi ternyata malah liburan dalam rangka anniversary. Tentu dia akan memikirkan kondisi kedua putranya di Jakarta.Akash mengulas senyum. “Jangan khawatir, mereka tahu kok kita liburan. Mereka juga lagi liburan di rumah Oma dan Opanya.”Asha berdecak pelan. “Kenapa gak sekalian diajak aja sih? Kan seru liburan rame-rame,” ucap Asha, dengan wajah sedikit cemberut.Pria yang kini berusia 38 tahun itu mengusap lembut tangan istrinya. “Ada masanya ki
Sesampainya di bandara, keduanya segera melakukan check in. Asha sedikit kebingungan, “Kok langsung check in?” pikirnya. Padahal sebelumnya mereka tidak ada rencana untuk berangkat, lalu … kenapa tiba-tiba bisa check ini? Tiketnya dari mana?Lalu kebingungan berikutnya terjadi, ketika mendengar pengumuman yang meminta penumpang pesawat menuju Jogja segera naik ke pesawat.“Jogja?” tanya Asha dalam hatinya. “Emang kita ada klien dari Jogja? Siapa?”Tapi, sama seperti sebelumnya, Asha tidak bertanya banyak. Dia menurut saja, apalagi saat itu dia melihat wajah Akash sudah cukup lelah.Sepanjang perjalanan, Asha memilih diam meski ada banyak pertanyaan di kepalanya. Bahkan dia sedang berpikir apa yang akan dibahas dengan klien nanti? Kontrak? Masalah? Atau apa?Saat pesawat mendarat di Bandara Adisutjipto, Akash justru lebih tenang. Seseorang sudah menunggu mereka di bagian kedatangan. Seorang pria yang langsung menyerahkan kunci mobil pada Akash.“Ayo sayang,” ajak Akash sambil menggengg
Atha akhirnya masuk ke ruangan ayahnya setelah rapat selesai dan rekan kerjanya meninggalkan ruangan. Pria kecil itu terlihat antusias menceritakan teman-teman barunya yang lebih banyak dibanding saat di TK. Ia juga menunjukkan apa yang digambarnya di sekolah. Gambar dirinya dan Fadlan, teman barunya yang juga suka menggambar.Sementara Atha bercerita banyak, Akash setia mendengarkan. Sesekali ia menanggapi dengan kata ‘Wah, keren atau maa syaa Allah.’Ada rasa lega di hati Akash dan Atha saat melihat binar di mata putra mereka, belum lagi semangatnya bercerita, senyumnya, tawanya. Pria kecil itu baru berhenti bicara setelah dia lelah, menguap beberapa kali dan berakhir berbaring di atas sofa panjang.“Sepertinya dia happy,” ucap Akash.Asha mengangguk sambil meletakkan kopi di atas meja kerja Akash. Wangi kopi menguar, mengundang pria berkacamata itu segera menyesapnya.“Ah, akhirnya bisa minum kopi hari ini,” kekehnya.Kening Asha mengernyit. “Memang hari ini belum minum kopi?”A
Waktu menunjuk pukul sebelas siang, saat anak-anak dari kelas 1 Hasan keluar. Mereka berlari ke satu arah, ke tempat para orang tua menunggu mereka. Di antara semua anak itu, ada Atha yang berlari sambil berteriak.“Bunda!” tangannya terentang lebar.Sementara Asha spontan berjongkok dengan tangan yang tidak kalah lebarnya. Saat mereka bertemu, keduanya saling berpelukan.Asha pikir, Atha akan kehabisan energinya, ternyata … energinya masih sama seperti pagi tadi. Wajah anak berumur 6.5 tahun itu tampak begitu bahagia, matanya berbinar, dan dia tepat setelah pelukannya melonggar dia tidak segan bercerita tentang banyak hal.Tentang kelas barunya, banyak temannya, gurunya yang ramah. Dan Asha bersyukur, karena Atha ternyata bisa berbaur dengan begitu mudahnya dengan lingkungan barunya.“Mau langsung pulang? Atau—”“Ke kantor ayah yuk Bun, Atha mau cerita soal sekolah Atha ke Ayah.”Asha tidak menolak, mereka berjalan sambil bergandeng tangan menuju parkiran. Di sana supir kantor yang d







