Bayangan dirinya terpampang jelas di cermin. Cahaya lampu kamar memantulkan setiap detail wajahnya—garis-garis halus di ujung mata, rahang yang sedikit menegang, dan tatapan yang menyimpan banyak pikiran.
Nafasnya berhembus pelan, diusapnya wajahnya kasar, seolah ingin menghapus perasaan yang masih menggantung sejak sarapan tadi. Setiap kata yang terucap dari mulut Asha masih terngiang di benaknya, kalimat-kalimat yang menyentil hati dan memaksanya berpikir lebih dalam.
‘... sebagai laki-laki bukankah jauh lebih baik kalau Bapak memperjuangkan dia seperti yang dia lakukan?’
Suara itu terngiang kembali, percakapan di ruang makan tadi harusnya memojokkan Akash, tapi mengapa rasanya hatinya yang tertampar. Sayangnya, tidak ada kata-kata yang bisa dikeluarkannya untuk membantah,
Di sudut ruang kerjanya yang dingin oleh semburan AC, Asha duduk gelisah memandangi jarum jam yang terasa berjalan lambat. Tangan kirinya beberapa kali mengetuk-ngetuk keyboard laptop di hadapannya, sementara kaki kirinya bergoyang tak sabar.Pikirannya melayang ke pertemuannya dengan Sizy pagi tadi, melihat sikap Sizy yang berbeda dan matanya yang sembab, ia yakin telah terjadi sesuatu padanya. Karena itu Asha ingin sekali menemuinya jam makan siang ini, tapi waktu terasa berjalan terlalu lambat.“Matanya sembab banget, aku yakin dia nangis semalaman. Tapi kenapa? Kenapa juga dia tiba-tiba butuh pelukan? Pasti terjadi sesuatu kan? Tapi apa?”Tangan kanan Asha memainkan pulpen naik turun dan beberapa kali ujung pulpen menyentuh meja menghasilkan suara ‘tak tak tak’ yang memancing perhat
Sizy tidak bisa membendung air matanya saat masuk ke kamar, kata-kata Cakra terngiang di kepalanya.“Aku sudah menyiapkan seseorang untuk menikah dengan Arjuna, bujuk dia untuk menerima perjodohan ini.”Tidak pernah terpikirkan sebelumnya kalau Cakra akan memintanya membujuk Arjuna untuk menikah dengan pilihan keluarganya. Dia tahu ada tembok penghalang antara dia dan Arjuna, tapi permintaan ini sungguh menyakitkan untuknya.Dia pernah membayangkan Arjuna menikah dengan wanita yang setara dengannya, tapi bukan dia sebagai perantara pernikahan itu“Aku harus apa?” ucapnya sambil terisak. “Aku tahu kita gak akan pernah bisa bersama, sejak awal hubungan kita tidak akan pernah berhasil… tapi aku gak tahu kalau rasanya akan
Sizy melepaskan sendok dan garpu di tangannya, selera makannya mendadak hilang ketika kalimat itu keluar dari mulut Cakra. Sizy mencoba mengatur nafas sebelum akhirnya menjawab ucapan Cakra. Dibasahinya bibirnya dan berkata, “maaf, maksud Pak Cakra apa?”“Aku yakin kamu tahu maksudku,” jawab Cakra pelan membuat Sizy menghela nafas pelan.“Saya dan Pak Arjuna tidak punya hubungan spesial Pak, hubungan kami murni hubungan atasan dan bawahan, tidak lebih dari itu.” Mendengar itu Cakra menegakkan punggungnya, Pria itu mengangguk pelan sambil tetap menatap Sizy.“Kamu yakin?” Sizy mengangguk cepat.“Kalau begitu kenapa kamu tetap bekerja dengannya? Padahal kamu sudah pernah dapat tawaran kerja dengan gaji lebih besar dari
Senja mulai turun, menggantikan cahaya siang yang perlahan memudar di balik jendela. Di dalam kamar, Asha duduk di tepian ranjang. Kepalanya tertunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuan. Nafasnya pendek, dadanya sesak oleh perasaan bersalah yang tak bisa dibendung. Ia menunggu. Di balik pintu kamar mandi, terdengar suara air mengalir—suaminya masih di dalam.Asha telah menyiapkan pakaian ganti untuknya dan meletakkannya di atas kasur. Harapannya setelah Akash keluar nanti, mereka punya kesempatan untuk bicara sebentar dan saling memaafkan.Beberapa menit yang terasa seperti selamanya berlalu. Pintu kamar mandi akhirnya terbuka, Akash melangkah keluar tanpa melihat ke arahnya. Tak ada sapaan, tak ada lirikan. Hanya keheningan yang semakin menghimpit udara di kamar. Asha menatapnya, matanya mulai berkaca-kaca.
Ruang tamu yang biasanya hangat dan penuh tawa kini terasa dingin meski matahari masih menyinari dari balik jendela. Asha, duduk gelisah di ujung sofa. Kepalanya tertunduk dengan dua tangan saling memilin satu sama lain, tanda dia sedang takut saat itu.Di depannya, Cakra–Kakek mertuanya duduk di sofa tunggal dengan dua tangan bersandar di pegangan sofa. Wajahnya dingin dan penuh ketegasan. Akash duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang tidak kalah dingin dari Cakra. Kinasih sendiri, duduk tak jauh, diam dengan ekspresi kebingungan yang tidak bisa digambarkan.Ketiganya menatap tajam pada Asha, menunggu penjelasan Asha.“Kamu tahu kalau Kakek bisa mendapat informasi apapun tanpa bantuanmu kan Sha? Tapi sampai sekarang, Kakek masih memberikanmu kesempatan untuk menjelaskan," ucap sang kakek, suaranya berat dan dalam. "Jadi, apa kamu masih mau terus diam sampai aku tahu dari orang lain?"Asha menghela napas, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Asha mengangkat kepala, menatap satu pe
Asha izin keluar kantor lebih awal pada Ranti sebelum Akash dan timnya kembali ke kantor. Wajahnya cukup gelisah, tapi dia tidak mengatakan apapun pada Ranti. Langkahnya cepat menyusuri jalan setapak menuju sebuah cafe tempatnya akan bertemu dengan Sizy.Siang tadi, Sizy mengiriminya pesan kalau Cakra ingin bertemu. Seketika itu juga Asha merasa was-was, khawatir kalau Cakra memaksanya bicara, karena itu Asha sepakat untuk bertemu dengan Sizy sore ini.Asha mendorong pintu cafe, sebuah lonceng kecil di atasnya berdenting lembut, menyambut kedatangannya dengan suara yang hampir magis. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan keharuman kayu dan vanila, menciptakan suasana yang hangat dan mengundang.Ia melangkah masuk, matanya menyapu ruangan mencari tempat yang nyaman untuk menunggu Sizy. Asha akhirnya memilih d