Puspa pucat dan berkeringat. Padahal suhu dalam ruangan cukup dingin. Bahkan ia hanya sanggup menunduk dan tidak berani memandang sang suami dan kedua orang tuanya yang tengah berbincang. Sore itu Pak Fathir dan istrinya menyambangi Bu Dewi setelah dikabari oleh Puspa siang tadi.
Ia khawatir kalau Bram akan mengungkapkan amarahnya. Walaupun jelas itu tidak mungkin dilakukan dihadapan mamanya yang tengah sakit. Nyatanya sampai kedua orang tuanya pamitan, Bram tidak membahasnya. Puspa lega, meski semua ini hanya sementara sampai mama mertuanya kembali pulih. ***L*** "Mas, ini baju ganti untukmu." Puspa menggeser ransel berisi pakaian suaminya. Bram yang tengah fokus di layar laptop, hanya melirik sekilas. Puspa menghampiri ibu mertuanya yang tengah mendengarkan cerita Sony. Tadi dari sekolah, Puspa langsung mengajak anak tirinya ke rumah sakit. "Seneng ya didampingi Bunda?" Bu Dewi mengusap pipi sang cucu. "Seneng dong, Uti. Semua teman-teman Sony didampingi ibunya. Selama ini Sony kan sama Mbak Tika." Bocah itu bercerita tentang kegiatan di sekolah hari ini. "Puspa, terima kasih banyak. Sudah berusaha menjadi ibu yang baik buat cucu mama. Maafkan Vanya yang belum bisa menerimamu, tapi mama yakin dia bakalan luluh." Bu Dewi memandang menantunya. Puspa tersenyum dan terasa getir bagi dirinya sendiri. Mungkin ini tidak akan lama. Bram masih bertahan karena mamanya sedang sakit. "Semoga kalian juga segera dikasih momongan." Mendengar doa ibu mertuanya, dada Puspa berdesir. Tangannya gemetar. "Sony, mau kan punya adek?" tanya Bu Dewi pada cucunya. "Mau, Uti. Teman-teman Sony banyak yang punya adik kecil. Tadi sama ibunya diajak ke sekolah waktu kami ada acara parents day." Hingga Sony diajak pulang oleh Puspa, Bram tidak nimbrung sama sekali percakapan mereka. Lelaki yang memang pendiam itu kian dingin. Bahkan sampai seminggu kemudian, ketika mamanya sudah pulang ke rumah, Bram hanya bicara seperlunya saja. ***L*** "Mas, saja yang tidur di sini. Biar aku yang tidur di kamar lain." Puspa bicara pada Bram yang hendak keluar kamar malam itu. Sudah seminggu ini Bram tidak tidur di kamar mereka. Puspa segera membuka pintu dan menutupnya pelan. Sejenak dia mematung di depan kamar. Kemudian melangkah ke salah satu kamar yang berhadapan dengan kamar suaminya. Ketika baru membuka pintu, teguran Vanya mengagetkan. "Ngapain kamu ke kamar itu?" Puspa urung masuk. Vanya menghampiri. "Untuk apa kamu ke sini? Mau ngacak-ngacak barang berharga milik mamaku. Nggak cukup kamu ambil papaku, sekarang kamu ingin menjarah kenangan tentang mamaku," hardik gadis itu dengan tatapan penuh kebencian. "VANYA." Bram keluar kamar. "Papa tidak pernah ngajarin kamu jadi anak yang kurang ajar. Masuk ke kamarmu!" Vanya pergi dengan mata berkaca-kaca. Begitu juga dengan Puspa. Embun sudah membasahi netranya. Apa yang dilakukan Bram bukan untuk membelanya, tapi demi mendisiplinkan putrinya. "Kembali ke kamar," ucap Bram. Puspa mengikuti langkah sang suami. Bram langsung berbaring dan memejam. Puspa masih diam di pinggir pembaringan. Kamar terasa sangat sunyi. Pria di sebelahnya tampak lelah. Beberapa hari ini Bram memang sangat sibuk. Makanya belum lagi mengajak bertemu kedua orang tuanya. Mungkin dia juga memikirkan kondisi sang mama yang belum pulih. Tidak ada lagi pembahasan tentang malam itu. Namun bukan berarti Bram bisa menerimanya. Puspa yakin, suaminya masih menunggu waktu yang tepat untuk mengambil sikap. Keputusan yang merupakan bom waktu bagi Puspa. Entah bertahan atau menceraikannya. ***L*** Satu bulan kemudian .... "Puspa, kamu haid, ya. Banyak darah di celanamu," tegur Pipit yang terkejut melihat bagian dalam, paha sahabatnya penuh darah. Puspa terbeliak. Dia tidak sedang haid, tapi pendarahan. Baru kemarin Puspa mendapati dirinya hamil setelah melakukan testpack. "Pit, anterin aku ke klinik." Pipit membimbing Puspa naik ke motor dan melajukannya dengan cepat. Sampai klinik wanita itu langsung mendapatkan tindakan medis. "Maaf, Mbak mengalami keguguran." Dokter klinik memberikan keterangan setelah selesai pemeriksaan USG. Next .... Selamat membaca 🥰"Bagaimana, May?" teriak Dikri. Tidak sabar menyambut Maya yang keluar dari kamar mandi malam itu."Bentar!"Dikri mondar-mandir menunggu. Dia berharap ada kabar bahagia malam ini. Sudah membayangkan memiliki anak perempuan yang cantik. Biar terobati rindunya pada Denik.Maya keluar dari kamar mandi."Bagaimana?" "Aku hamil," ucap Maya dengan suara bergetar dan netra berkaca-kaca. Menunjukkan testpack dengan garis dua di tangannya.Mata Dikri membelalak dan langsung memeluk Maya dengan erat, hampir tak percaya dengan kabar bahagia itu meski harapannya begitu besar. "Alhamdulillah."Akhirnya setelah dua bulan menikah, Maya baru hamil. Biar menepis dugaan sebagian orang kalau mereka menikah diam-diam karena Maya hamil duluan.Tidak adanya resepsi dan nikah dadakan membuat beberapa orang berprasangka buruk. Apalagi Maya seorang janda."Besok kita cek ke dokter, Mas. Baru ngasih tahu orang tua kita.""Iya." Dikri masih speechless. Tak henti ia mengucap syukur. Masih diberikan kesempatan
"Sampai sekarang Rayyan belum tahu kalau akulah yang menghancurkan harapannya. Semoga sampai kapanpun dia nggak akan pernah tahu, Ma.""Baiklah kalau gitu. Kita nggak usah ngadain resepsi saja." Bu Ira mengelus punggung putranya sambil tersenyum. Dalam hati berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Dikri dan Maya bahagia.***L***Dua bulan sudah Dikri dan Maya menjadi pasangan suami istri. Mereka tinggal di rumah orang tua Maya karena Bu Anang di Surabaya menunggui Mika yang hendak bersalin. Tiap akhir pekan mereka menginap di rumah orang tua Dikri atau berkunjung ke Surabaya.Maya membuka jendela dapur saat matahari pagi sudah menerobos masuk. Tiap selesai salat subuh, ia akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Selalu memastikan pagi mereka dimulai dengan sarapan bersama sebelum berangkat kerja. Meski sama-sama sibuk. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengatur makan siang bersama setidaknya dua kali seminggu. Kalau Dikri ada acara di luar kantor, ia akan menjemput Maya untu
PERNIKAHAN - Bidadari Kecil "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Di depan pintu ada Rayyan bersama Najiya yang tengah hamil besar."Hai, Ray. Ayo, masuk!" Dikri bangkit dan menyambut tamunya. Mereka jarang sekali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon. Rayyan pasti lebih sibuk setelah menikah.Maya memperhatikan pasangan itu. Dia belum pernah melihatnya. Karena hampir kenal semua teman-teman Dikri."Nikah nggak ngabarin sih, Mas," protes Rayyan sambil bersalaman. Kemudian ia dan Najiya menyalami Maya, Pak Maksum, dan Bu Ira. Dikri mengenalkan Maya pada Rayyan dan Najiya."Mari silakan duduk," ujar Bu Ira."Maaf, rencananya kan mau tunangan dulu. Tapi kami langsung nikah siri atas saran keluarga. Baru nanti mendaftarkan pernikahan ke KUA. Kapan kalian datang?""Tadi pagi. Dan kami dikasih tahu sama Budhe. Alhamdulilah, saat berulang kali kutanyai Mas Dikri bilang nggak punya pacar. Eh tiba-tiba saja nikah. Rupanya main rahasia selama ini."Dikri tertawa. "Tanyakan ke Budhe, giman
"Apa dulu itu, kamu menyukai gadis lain, Dik? Makanya dengan berbagai alasan kamu menunda pernikahan kita?" Namun pertanyaan itu hanya terucap dalam dada. Dia tidak akan menanyakannya dan tidak usah tahu. Yang penting mereka sekarang berkomitmen untuk melangkah beriringan membina masa depan. Lupakan masa lalu. Sepahit apapun itu. Dirinya sudah menerima Dikri dan menerima seluruh kisahnya."Kita akan saling mencintai sampai kapanpun, May." Dikri mengecup puncak kepala istrinya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki Maya. Dikri berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Maya, melindunginya, dan menjadi suami yang setia.Maya mengeratkan pelukan. Keduanya terhanyut dalam perasaan dan tuntutan kebutuhan ragawi. Ternyata Maya sudah mengenakan gaun istimewa untuk suaminya. Membuat mereka tidak sabar untuk segera tenggelam menikmati malam pernikahan.Sarangan menjadi saksi keduanya untuk menyempurnakan hubungan. Maya tidak pernah tahu, bahwa dia bukan yang pertama bagi Dikri. "Dik, kita
"Setelah ini kamu dan Dikri harus mulai membahas mau tinggal di mana, May. Sebab Dikri pun sekarang menjadi anak tunggal. Jangan sampai hal begini akan jadi masalah. Kalau Mas, maunya kamu nemenin Mama," kata Bayu."Mas Bayu, nggak usah khawatir deh. Mama akan ikut aku ke Surabaya. Nungguin aku lahiran. Jangan khawatir, ada ART di rumah jadi Mama hanya duduk mengawasi saja saat kami tinggal kerja. Iya kan, Ma?" Si bungsu merangkul bahu mamanya.Sejak menikah, Mika memang mau mengajak mamanya tinggal bersama. Tapi Bu Anang menolak dengan alasan, kasihan Maya sendirian."Sekarang Mbak Maya kan sudah menikah, Ma. Ada suami yang jagain. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."Bu Anang memandang Maya. Anak yang paling dekat dengannya. Dibanding dengan kedua saudaranya. Maya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Itu pun karena ada andil orang tua yang memaksakan kehendak."Nggak apa-apa Mama ikut ke Surabaya. Kalau pengen pulang ke Nganjuk kan bisa kami jemput. Pengen ke Surabaya bisa
PERNIKAHAN- Semalam di Telaga Sarangan "Mbak, dulu dia mengulur-ulur waktu nikahin aku. Sekarang dia maunya buru-buru. Kami nikah secepat kilat kayak habis di gropyok hansip saja.""Sssttt, jangan ngomong begitu. Memang takdir jodoh kalian baru sekarang," jawab sang kakak ipar seraya mengaplikasikan bedak di wajah Maya. "Apapun yang pernah terjadi, Mbak salut kalian bisa kembali bersama. Ini jodoh yang sempat belok arah namanya." Nafa, istrinya Bayu terkekeh. "Mbak aja kaget waktu dikabari mama.""Aku sendiri rasanya nggak percaya. Padahal aku sudah mengubur dalam-dalam harapan itu.""Kalian ini jodoh yang tertunda. Mbak doain kalian bahagia. Jangan tunda, segeralah punya momongan. Usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, kan?"Maya mengangguk. Make up sudah selesai. Maya membuka lemarinya dan mengambil kebaya warna putih tulang. Itu baju yang ia pakai di hari pernikahan adik perempuannya. Mika. Baru setahun yang lalu, pasti masih muat. Modelnya simple, masih mewah kebaya pengantin saat