Tempat parkir adalah satu-satunya tempat yang ingin kutuju setelah mengetahui saldo rekening Mas Ilham. Bisa-bisanya dia masih meminta uang padaku. Sayang sekali kah dia mengeluarkan uang untuk ibunya sendiri? Atau uang itu dia rencanakan untuk keperluan gundiknya?Kutelpon Sintya mengabarkan kalau aku mau langsung pulang."Ya, Mba?""Sin, Mba mau langsung pulang. Kamu enggak apa-apa cuma berdua dengan Mas Ilham?""Iya, Mba. Enggak apa-apa. Mba Mayang istirahat dulu aja. Besok kerja kan?""Iya, Sin. Kalau ada apa-apa kamu kabari Mba ya?""Iya, Mba. Mba Mayang hati-hati ya. Ini sudah malam sekali, hampir dini hari malah.""Iya, makasih ya, Sin."Sungguh aku sudah sangat tidak ingin melihat wajah lelaki tamak itu lagi. Hatiku sangat sakit. Bahkan di saat seperti ini pun dia masih berpikir untuk membohongiku. Apa sebenarnya yang ada dipikiran laki-laki itu?Selanjang jalan air mata ini terus mengalir. Rasanya nlangsa, berkali-kali diri ini dibohongi. Terlalu bodohkah aku selama ini? Pada
"Darimana aja kamu, Nda? Jam segini baru pulang."Baru saja aku menutup pintu mobil langsung disambut suara yang memekakan telinga. Aku menoleh ke arah Mas Ilham hendak menjawab pertanyaannya, tapi belum juga kujawab dia sudah kembali bersuara. "Maksud kamu apa nyuruh-nyuruh Titin buat ngusir Riana, hah?"Yang membuat dia emosi bukan karena aku telat pulang, tapi Riana yang terusir. Aku harus terbiasa dengan keadaan ini sebelum palu pengadilan diketuk. Kini di hatinya hanya ada Riana."Sudah sepantasnya," jawabku datar kemudian berlalu meninggalkannya yang berdiri di ambang pintu penghubung garasi dan dapur."Kamu benar-benar keterlaluan, Nda!" bentaknya. Aku tak menghiraukannya. Segera kubersihkan diri di kamar mandi, kemudian bersujud kepada Sang Pemilik hati. Kuadukan segala pahit getir yang mendera jiwa.Malam semakin merayap. Rumah ini pun semakin sunyi bagai tak berpenghuni. Kumelangkah keluar kamar. Menyalakan televisi di ruang keluarga. Lebih tepatnya bekas ruang keluarga. Ter
"Jika Bu Sonia jadi saya, keputusan Ibu bagaimana?" tanyaku setelah menceritakan permasalahan yang sedang menimpaku kepada Pak Broto dan Bu Sonia."Jangan jual rumah ini dulu, Bu! Ini rumah anak Ibu. Menghadapi perceraian kedua orang tuanya saja rasanya sudah sangat menyakitkan," terang Bu Sonia."Jangan buat dia lebih terluka, Bu. Jika Bu Mayang enggak mau rumah ini di tempati simpanan suami, katakan saja! Rumah ini bukan milik suami Ibu lagi, tapi milik Delia. Dengarkan pendapat Delia nanti saat dia pulang. Jika dia setuju rumah ini dijual, maka juallah! Tapi jika tidak, biarlah dia menempati rumah ini." Bu Sonia menghela nafas. Dia terlihat ikut prihatin dengan kondisi rumah tanggaku."Memang korban dari perceraian adalah anak-anak. Mereka tidak tahu apa-apa, tapi harus ikut menanggung luka." Kali ini Pak Broto yang bersuara.Aku bersyukur dipertemukan orang-orang bijaksana seperti mereka. Akhirnya kami sepakat untuk menunda jual beli rumah ini. Sampai Delia nanti yang memutuskan.
Lelaki yang sebentar lagi akan jadi mantan suamiku itu duduk persis di sebelahku di ruang tunggu Pengadilan Agama. Wajahnya terlihat begitu kacau. Rambutnya menyentuh telinga. Kumis dan jambangnya pun terlihat tak terurus. Badannya lebih kurus dari sebelumnya.Berkali mengusap wajahnya kasar. Kemudian kedua jemarinya saling bertaut di antara kedua lutut."Nda, apa sudah tak ada lagi kesempatan untuk Ayah?" tanya Mas Ilham memecah keheningan di antara kami."Maaf, aku sudah enggak bisa," jawabku datar dengan tatapan lurus ke depan. Pak Candra, pengacaraku berkutat dengan ponselnya. Mungkin membiarkan aku dan Mas Ilham agar bisa leluasa berbicara setelah beberapa minggu kami tak berkomunikasi lagi. Tepatnya sejak aku menempati rumah baru."Bunda yakin akan mengakhiri pernikahan kita?" tanyanya dengan suara bergetar.Aku menoleh kepadanya dengan mimik santai. Kemudian bertanya, "kenapa harus enggak yakin?" Aku merasa sudah cukup dengan semua perjuangan yang telah kulakukan untuk memperta
Sintya membenamkan wajah di kedua lulutnya. Bagas berdiri bersandar dinding ruang ICU menatap langit-langit. Aku dan Mas Ilham tergopoh menuju ke tempat mereka."Ibu kenapa, Sin?" ucap Mas Ilham.Sintya yang mengetahui kedatangan kami langsung berdiri. Menatap kami dengan wajah basah oleh air mata."Sejak pagi ibu enggak mau makan, Mas. Dan tadi tiba-tiba kembali enggak sadar."Gadis itu kembali tergugu. Aku meraihnya dalam pelukan."Kamu tenang, ibu pasti baik-baik saja," ucapku seraya mengelus-elus pundaknya."Sintya takut, Mba. Sintya takut.""Hus, kamu harus pikirkan yang baik-baik tentang ibu!"Gadis itu terus tergugu."Sin, apa kamu bilang sama ibu kalau hari ini ... ." Mas Ilham menggantungkan kalimatnya."Enggak, Mas. Sintya sama Bagas enggak bicara tentang perceraian Mas Ilham sama ibu. Kami takut ibu akan kepikiran.""Terus kenapa ibu bisa kaya gini?" tunut Mas Ilham."Sintya juga enggak tahu, Mas. Seharian ibu hanya diam melamun, entah apa yang ibu pikirkan. Pas aku tanya e
Sepanjang malam mataku tak bisa terpejam. Ingin sekali kubangunkan Sintya untuk meminta penjelasan. Kini yang kurasa luka ini bak disiram air garam. Perih. Sangat perih.Malam terasa begitu lamban. Aku hanya bisa menatap langit-langit dengan dibayangi berbagai pikiran buruk. Tentang ibu, Sintya dan semua orang yang ada di sekitarku. Sebodoh inikah aku? Hingga tak menyadari bahwa mereka semua selama ini hanya bersandiwara. Ibu, bahkan hingga beliau menutup mata membawa kebohongan ini sampai ke alamnya.Adzan subuh menggema. Pelan kubangunkan Sintya. Aku tak sabar untuk mendengarkan penjelasan darinya. Sungguh dadaku bergemuruh terasa panas hingga ubun-ibunku."Sin, subuh, Sin. Bangun!" Sintya menggeliat kemudian mengucek matanya. Gadis itu menatapku yang sudah menggunakan mukena."Mba Mayang pagi sekali bangunnya," ucapnya."Sudah sana ambil wudu terus solat sama-sama!" pintaku.Sempoyongan gadis itu keluar dari kamar. Aku menunaikan solat sunah sebelum melaksanakan solat subuh. Tak l
Sintya keluar membawa selembar kertas. Aku belum mengerti kertas apa yang dia bawa. Lalu mendekati Mas Ilham yang masih dalam kondisi terlentang."Baca baik-baik, Mas!" ucap Sintya tegas sembari menyerahkan selembar kertas itu pada Mas Ilham. Mas Ilham menerimanya sembari berusaha menggeser posisinya sehingga bisa duduk.Kemudian Sintya berdiri kembali dan nyalang menatap Mak Jum dan Riana. "Kalian berdua jangan mimpi bisa tinggal di rumah ini! Sampai kapanpun kami enggak akan menerima kalian disini! Pembunuh!" teriak Sintya."Sintya, saya istri abangmu!" ucap pongah Riana."Mas Ilham tak mendapat hak apa-apa dari semua yang ditinggalkan ibu. Ibu tak sudi punya anak pembohong seperti dia!" seru Sintya sembari menunjuk Mas Ilham yang masih tertunduk lesu."Jaga ucapanmu, Sintya!" bentak Riana."Hei! Siapa rupanya kamu beraninya bicara keras padaku? Perempuan murahan! Jangan pikir dengan merebut suami orang hidupmu bisa sama dengan orang yang suaminya kamu rebut! Kalian beda level! Dasa
Sore ini aku merefresh pikiran dengan menonton televisi ditemani secangkir kopi. Hatiku kembali terasa hampa setelah tadi datang kembali ke rumah lama. Bagaimanapun ada rasa tak rela semua berakhir begitu saja. Namun apa daya jika ini memang kehendak Yang Kuasa. Ponsel di meja bergetar mengalihkan pandanganku dari televisi. Pesan WA dari Hilda.[May, habis mahrib temenin aku beli baju ya?] [Yoa, kamu kesini tapi ya?][Meluncur!!!!]Rumah ini cukup dekat dengan rumah Hilda. Itu sebabnya dia sering main-main kesini. Bahkan tak jarang membawa kedua anaknya untuk menginap ketika suaminya ke luar kota. Dia sangat tahu bahwa sebenarnya aku kesepian. Itu sebabnya dia berusaha selalu ada bersamaku. Sangat beruntung rasanya bisa kembali bertemu Hilda.Suara salam membuyarkan lamunanku. Tak salah lagi, orang yang sedang aku pikirkan langsung menuju ke sini. Padahal kami janjian sehabis mahrib. "Assalamualaikum! May! May!""Waalaikumsalam."Kubuka pintu lebar-lebar tampak wajah cantik itu lan