"Ka-kamu bilang apa tadi, Ay?" tanya Akbar.Aku tersadar dari lamunan karena tidak menyangka Akbar akan mendengar gumaman tadi, kemudian salah paham. Aku tahu, dia pasti ingin memperjelas pendengarannya.Kasihan juga kalau aku jujur padanya perihal hati yang telah jatuh cinta pada lelaki lain jauh sebelum menikah dengannya. Sementara kalau bohong, semua orang tidak ingin hidup dalam sandiwara.Bahkan aku, lebih baik jujur asal itu benar daripada dicintai dalam kebohongan."Itu ...." Aku menelan saliva karena lidah terasa kelu."Kamu bilang ...?""Hubby, aku mencintaimu," lanjutku jujur.Akbar merekahkan senyum. Dia pasti semakin gede rasa, terbaca dari wajahnya yang merona malu. Sekarang dia memegang tanganku. "Terimakasih telah mau mencintaiku, Ay."***Sementara Akbar sedang mandi, aku segera menyiapkan pakaian kerjanya lengkap sampai dasi dan sepatu. Setelah itu menyusul si Mbok di dapur membantu menyiapkan sarapan pagi.Waktu bergulir begitu cepat ketika Akbar memanggilku ke kamar
Dua jam lebih menunggu, Dian sudah tiba. Hal yang aku khawatirkan adalah jangan sampai si Mbok ditugaskan pula memata-matai aku agar Akbar tahu kebenarannya.Namun, bukankah aku ingin segera cerai? Entahlah, bukan tidak mau berpisah, tetapi bercerai karena dituduh selingkuh itu adalah aib yang paling memalukan."Kita ke belakang rumah aja, ya. Kebetulan di belakang rumah aku liat ada taman. Gak enak ngobrol di sini, ada si Mbok."Dian mengerti, kami pun langsung menuju belakang. Tidak lupa pintu aku kunci agar suara tidak kedengaran sampai ke luar.Aku membuang napas kasar karena ternyata taman belakang tembus ke rumah Gio dan hanya ada dinding kecil yang membatasi. Tidak perlu susah-susah memanjat karena dengan satu kursi pun aku bisa melewatinya."Jangan bilang kamu punya rencana menemui Gio lewat pintu belakang!" sindir Dian tepat sekali menampar wajah.Aku hanya tersenyum miris."Lagian gak kasian apa sama Akbar yang sudah menerima perjodohan kalian? Bisa aja dia juga sudah dekat
Sejak sore hingga sekarang aku malas bicara dengan siapa pun bahkan pada ponsel sendiri yang seolah merengek minta digenggam. Pikiran sibuk melayang ke tetangga sebelah.Pintu kamar terketuk pelan, Akbar baru saja pulang dari masjid. Aku menghela napas panjang karena akan ditanya banyak hal lagi.Hanya Gio yang saat ini bisa mengembalikan mood dan menghilangkan amarahku. Selain dia, percuma saja. Bukan hanya orang lain, aku sendiri pun terkadang marah kalau rindu sedang memuncak."Ada apa, Ay? Sejak tadi kamu murung gitu," tegur Akbar lagi untuk ke sekian kalinya."Jangan banyak diam dan menyendiri dengan pikiran kosong atau jiwamu akan diusik makhluk halus."Aku hanya bergeming."Makan tidak mau, bicara apalagi. Sebenarnya kamu ini kenapa?""Cari tau aja sendiri!" balasku jutek.Akbar terkekeh pelan. "Ya gimana bisa ngebalikin mood kamu kalau gak tahu duduk masalahnya apa?" lalu mencolek daguku. "Katakan, kamu kenapa?"Sepertinya rencana ngambek akan berhasil membawa Mbok Marni ke lu
Aku terhuyung masuk ruang kerja Akbar karena terlalu fokus mencari informasi sehingga tidak menyadari kalau pintu akan terbuka. Untungnya dia dengan sigap menangkapku.Mata kami beradu pandang untuk beberapa saat, tetapi tidak menemukan bau-bau perselingkuhan. Ataukah dia yang sudah lihai menutupinya?"Telepon sama siapa, By?" tanyaku sengaja setelah memperbaiki posisi."Teman." Akbar memaksakan senyum. "Kamu nguping, ya?""Enggak. Siapa yang nguping! Tadi juga mau bicara sesuatu, tapi yaudah, kayaknya ada yang lebih asik!" tandasku meninggalkannya.Padahal beberapa hari lalu dia yang memintaku memanggil 'By' yang berarti Baby, sementara aku dipanggilnya 'Ay' yang berarti Ayang.Sekarang? Dia bahkan kaku dan aku tidak merasa tangan ini dicekal untuk memberi penjelasan. Pernikahan yang semakin tidak kuimpikan ini menambah sesak di dada saja.Kalau tahu Akbar punya kekasih, aku tidak akan menerima perjodohan ini atau mungkin memilih kabur dari rumah. Tidak peduli apa kata tetangga, dari
POV Gio___Setelah kepergian Ayu, aku merasa semakin bimbang. Pertahanan yang sudah dibangun kuat selama ini goyah dalam satu detik. Aku merasa cinta untuk Ayu semakin menggelora.Sejak dulu hingga kini, aku merasa tidak rela kalau sampai perempuan tadi terluka oleh lelaki lain yang juga mengaku mencintainya. Akbar. Aku akan membuat perhitungan dengannya.Namun, kali ini aku harus berangkat ke toko bunga. Tepat saat Ayu sah menjadi istri Akbar, aku berjanji akan bekerja di toko bunga Tante Dina. Dia adalah saudara ibu yang selalu membantuku sejak kecil."Ayu, kamu masih di sini?" tanyaku tidak percaya begitu melihat Ayu di depan gerbang."Gio?" Matanya merah, sementara kristal bening tidak pernah berhenti mengalir dari sana.Mata indah yang selalu aku rindukan kini basah oleh air mata, begitu pun senyum manis paling tulus milik Ayu sangat aku rindukan. Hati nuraniku berbisik kalau dia sudah menjadi istri orang lain dan haram bagiku untuk memilikinya.Jika bukan karena iman, sudah lam
"Dian, kamu jangan salah paham. Aku membuka blokir Ayu itu karena kasian sama dia. Emang kamu gak kasian apa kalau Ayu nanti sakit hati gara-gara Akbar ternyata punya kekasih? Kemudian aku panggil dia dengan sebutan 'Ay' itu karena kecoplosan aja. Gak usah prasangka buruk, sebagian prasangka itu dosa!" kilahku panjang lebar. Dian tertawa kecil di balik telepon. "Prasangka buruk?" "Iya, kamu sudah prasangka buruk sama aku, kan? Aku juga inget dosa, Dian. Gak mungkin aku menikahi Ayu yang jelas-jelas sudah sah jadi istri Akbar walau hanya status." "Gio, semua orang yang selingkuh, mendua, mengkhianati suami atau istrinya itu rata-rata ingat dosa bahkan lebih dari tahu kalau hal itu dosa. Jangan mentang kita udah salat lima waktu, maka gak mungkin bisa lakukan dosa lagi. Bisa dan sangat bisa, Gio!" Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Rupanya Dian sama saja dengan Dani, tidak terlalu setuju kalau aku menunggu Ayu kembali. Mereka berkata demikian karena tidak sedang menempati posisi
"Tidak, Tante. Dia cuma beli bunga. Ayu juga cerita tentang pernikahannya yang bahagia serta sudah melupakan aku. Aku pun sama sudah melupakannya dan menganggap Ayu sebagai teman saja, tidak lebih."Mata Bu Nur memicing. Dia seperti tidak percaya pada apa yang aku jelaskan. Heran saja, kenapa ibu dan anak itu bisa sampai ke sini? Apakah kebetulan atau memang sengaja?Beberapa menit hening, akhirnya Bu Nur mengangguk. Dia mengikuti salah satu pelanggan tetap toko buka ini untuk memilih yang paling indah dan memikat di matanya."Aku mau yang ini, Gio!" Tunjuk Bu Devi pada salah satu bunga yang sangat indah."Pure White Classique de Rose hanya berkisar satu juta." Aku menjawab dengan senyum manis.Seperti biasa, Bu Devi akan menautkan ibu jari dan telunjuknya sebagai pertanda setuju. Aku dengan cekatan memasukkannya ke dalam kemasan khusus packing, kemudian menyerahkan dengan sangat hati-hati pada Bu Devi.Sebelum pergi, dia sempat berkata, "besok pagi sediakan lima bunga mawar Princess
PoV Ayu____Deru mobil terdengar memasuki halaman rumah. Aku langsung keluar meminta si Mbok membuka pintu. Sejak tadi aku membantunya mengemas barang sekaligus bercerita banyak hal.Rupanya Mbok Marni sudah lama bekerja di rumah Akbar dan sekarang harus pisah gara-gara aku yang ingin hidup bebas di rumah ini.Akbar masuk dengan senyum semringah. Dia membawa buket mawar besar sekali serta paper bag menggantung di kedua tangan si Mbok."Buat kamu!" Akbar mengulurkan buket itu.Aku menerima dengan hati bahagia dan menganggap itu hadiah dari teman, mengingat Akbar pasti sudah membeli hadiah untuk kekasihnya yang ditelepon tadi malam.Buket ini besar sekali, bahkan sangat besar sampai aku tidak melihat wajah Akbar. Berbeda dengan setangkai mawar yang diberikan Gio pagi tadi.Walau begitu, setangkai mawar itu lah tanda cinta paling serius walau harganya tidak seberapa sementara buket ini ... kisaran satu juta lebih."Paper bag ini mau ditaruh di mana, Pak?""Yang biru buat Mbok, yang puti