"Kamu pikir aku gak berat melepasmu?" tanya Gio dengan air mata berlinang. Ayu melipat bibir sekilas. "Gio, tunggu aku satu tahun lagi. Aku akan berusaha meyakinkan ibu dan juga Akbar." Gio menggeleng pelan, kemudian melangkah meninggalkan Ayu seorang diri. ~~~~~ Ayu Syafitri harus tenggelam dalam kedilemaan karena dijodohkan dengan Akbar yang merupakan anak sahabat orangtuanya. Padahal di hati sudah tersimpan sebuah nama, yaitu Gio Syaputra. Cinta mereka tidak mendapat restu karena mama Gio adalah kupu-kupu malam sehingga suka atau tidak, Ayu harus menikah dengan Akbar. Apalagi setelah menikah, mereka tinggal tepat di samping rumah Gio. Tentu saja Ayu menyusun rencana untuk bisa kembali pada kekasihnya.
View MoreBola plastik itu menggelinding di area mall megah yang sedang banyak pengunjungnya, lalu bersarang di bawah kaki seseorang. Di belakangnya berlari seorang bocah laki-laki kecil sekitar tiga tahunan. sepertinya sedang mengejar bola itu.
Tubuhnya yang mungil, tampak bulat berisi, seperti bola yang di kejarnya. Wajah yang tampan, terlihat sangat menggemaskan.Sementara di tempat lain lagi yang tidak begitu jauh dari sana, seorang perempuan cantik berambut panjang hendak mengejar anaknya yang bernama Gagah. Langkahnya terhenti seketika.Deg! Ia mengenali siapa pemilik sepatu itu, yang berdiri menjulang tinggi di hadapan anak laki-laki kecilnya. Dengan segera tubuh rampingnya menyelinap ke belakang sebuah pilar besar penopang bangunan mall, secara diam-diam. Dengan hati cemas, ia terus memperhatikan lokasi Gagah dan laki-laki tinggi itu berada.Wajah Gagah terangkat, saat mengetahui bola miliknya tertahan di kaki seseorang yang tidak dikenalnya."Bolaku" tunjuk Gagah, mengarah pada sepatu lelaki itu. "Danan ijak bolaku." katanya lagi secara lantang. Sepertinya marah karena barang milik dia, ada di bawah sepatunya.Namun, karena raut wajah ciliknya sangat tampan, mimik marahnya malah terlihat lucu.Yang punya sepatu itu tersenyum, mulai tertarik dengan sikap beraninya."Bolamu baik-baik saja, kamu tidak usah marah." ucapnya dengan suara rendah. Kemudian dia mengambil bola dari bawah sepatu.Dan entah kenapa, sepertinya dia ingin sejenak menahan bocah tampan yang lucu ini, padahal seumur hidup belum pernah bercengkrama dengan anak-anak. Dia tidak begitu menyukainya."Danan abil, itu punaku." tunjuk Gagah lagi pada bola yang dipegang lelaki itu. Suara cadelnya terdengar lucu.Tubuh jangkungnya berjongkok, berusaha menyesuaikan dengan tinggi badan Gagah. "Kalau bola ini mau kembali, kamu harus memintanya." Mata Gagah membulat. "Nda mau! itu punaku." mulutnya mulai mengerucut, cemberut."Mintalah!" katanya. Semakin senang mengganggu. Kenapa anak ini, begitu menyita perhatiannya? Dia jadi bingung sendiri."Nda mauu ...!" teriak Gagah lagi. Bibirnya sudah semakin mengerucut."Anak baik, kalau menginginkan sesuatu harus memintanya dengan sopan." Dia mengusili Gagah yang menjadi marah, malah terlihat lucu dan menggemaskan.Sepertinya Gagah sudah mulai tidak sabar, dia melangkah lebih mendekati dan menyambar bola dari tangannya. Laki-laki itu pun sengaja membiarkan bola dengan mudah didapatkannya.Gagah langsung berlari menjauh, sambil membawa bola plastik dan sempat melirik kembali kepadanya yang sudah berdiri. Tangan kecilnya melambai sambil tersenyum. Dan dia tertegun ketika melihat senyumnya.Senyumnya! Mengingatkan dia pada seseorang, dia jadi tertegun untuk sesaat. Wajah anak itu seperti cermin dirinya sendiri. Tidak mungkin! Sangkalnya. Tidak percaya dengan apa yang dilihat matanya sendiri.Dia sempat mengedarkan pandangan. Tidak mungkin seorang bocah sendirian di mall sebesar ini, tetapi tidak tampak ada tanda-tanda seseorang mendekatinya. Saat melihatnya lagi, ternyata Gagah sedang duduk manis di sebuah kursi. Di sekitar konter makanan cepat saji, karena memang mereka sedang berada di area food court. Seakan sedang menunggu seseorang. Anak pintar dan patuh, pikirnya. Segera berlalu. Tanpa merasa khawatir lagi yang sekilas sempat dirasakannya tadi. Pikiran dia, takut diracuni lagi oleh hal yang menurutnya tidak mungkin.Ganistra Yunatha yang biasa dipanggil Ganis, adalah ibu dari anak lucu itu. Segera keluar dari persembunyiannya, setelah yakin kalau laki-laki yang menahan bola anaknya tidak terlihat lagi."Mami ...." teriak Gagah, saat melihat Ganis menghampirinya."Gagah, Mami mencarimu. Lain kali, jangan berlari-lari di tempat seperti ini." tegurnya dengan nada lembut."Mami, bolana ang lali-lali ... aku halus takap!" Gagah berusaha membela diri. Tangannya ditangkupkan, seolah sedang menangkap bola."Hmm ... bolanya tidak punya kaki, ya? Dan kaki Gagah yang kecil ini, kalah kencang sama bola yang tidak punya kaki. Huh! Kalau Gagah mau menang, harusnya Gagah taruh bolanya di lapangan berumput, bukan di sini.""Iyaa, Mami. Bolana nda puna kaki, tapi bisa belali kecang!" celotehnya."Bola ajaib." komentar Ganis asal. Menanggapi pemikiran anaknya, secara praktis saja."Ndak adaib, Mami. Latai ini licin, ndak cepeti lumput."OMG!!! Kalau sudah begini, Ganis suka kehabisan akal untuk menjawab kalimat-kalimat cerdas anaknya. Padahal usia Gagah baru tiga tahun lebih, sekolah saja belum, tetapi mengenal huruf pun sudah tahu."Gagah mau ice cream ?" tanyanya, untuk mengalihkan perhatian. Akan tetapi, dijawab secara spontan oleh Gagah. Terlihat sangat antusias."Gagah mau es klim, Mami ....""Yuk, kita cari ice cream-nya."Gagah berjingkrak kegirangan, sambil berpegangan pada lengan maminya. Meloncat-loncat secara zig-zag. Ternyata, anak ini sudah melupakan kejadian tadi saat pertemuan dengan laki-laki yang menahan bolanya. Sebelum sempat menceritakan padanya.Hampir saja, pikir Ganis. Dunia ini memang sempit."Gagah mau es krim rasa apa?" tanya Ganis. Ketika mereka sudah duduk, mau memesan es krimnya."laca ... emm ... stobeli, sama laca ... emm ... cotlat!" serunya dengan mimik yang sangat menggemaskan.Tidak begitu lama, pesanan yang diharapkan sudah datang. cup kecil es krim itu penuh dengan topping warna-warni."Wow!" mata Gagah membulat. Terlihat gembira melihatnya.Sebelum menyuapkan es krim ke mulutnya, bocah cilik itu melihat dulu ke maminya. "Mami, napa ndak beli ec klimna?""Mama lagi gak enak perutnya, sayang. Udah, Gagah aja yang habisin es krimnya, ya?" "Mami cakit?" tanyanya sedikit menunjukan rasa khawatirannya. "pelica ke dotel, Mami." "Sakitnya Mami, gak harus diperiksa ke dokter, Gagah. Mami masih kuat seperti biasanya." jawab Ganis, sambil menyikukan lengannya seperti binaragawan. Membuat Gagah tertawa."Ayo! Dimakan es krimnya, keburu cair nanti."Gagah baru menyuapkan es krim ke mulutnya, setelah merasa yakin maminya tidak apa-apa. Ganis membiasakan untuk tidak selalu membantu anaknya makan, supaya mandiri. Ia lebih memilih mengelap bibir atau pipinya yang belepotan terkena makanan, karena tidak sepenuhnya masuk ke mulut kecilnya."Mami, tatut dicutik, ya? Ndak mau ke dotel." ternyata Gagah masih membahas soal sakitnya. Ia jadi menyesal telah membuat khawatir anaknya dengan memberi alasan yang sebenarnya asal saja. Tidak berpikir sama sekali akibatnya. Beginilah kalau punya anak pintar dan kritis. Tidak mudah untuk diyakinkan. "Danan tatut dicutik, Mami. Kan Mami biang, kaya di didit cemut lacana." Ganis jadi tersenyum dibuatnya."Mami juga gak pernah takut disuntik, Sayang. Dokter juga tidak sembarang kasih suntik ke yang sakit." ia kembali mengelap pipi gembil Gagah, dengan tisu."Abis! Mami." Gagah menggeser cup es krim, menjauhkan dari badannya. Banyak topping yang berceceran di meja, juga di lantai bawahnya. "Pemenna banak ang jatuh, Mami." Dia turun dari kursi kecilnya, melihat-lihat ke lantai.Ganis terpaksa turun dan menghampiri anaknya. "Jangan ambil yang sudah jatuh ke bawah, sudah tidak bersih lagi, Sayang." Lalu menarik tisu yang tadi diselipkan di dada Gagah. Sebelum tadi dia mulai makan es krim, agar tidak mengotori baju yang dipakainya. "Pulang, yuk!" ajak Ganis kemudian, yang diangguki oleh Si tampan ciliknya ini.Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments