Aku pulang ke rumah dengan perasaan gamang. Hati memang menginginkan rida orangtua, tetapi cinta pada Gio terlalu besar.
Jangankan untuk pisah selamanya, mengetahui ada perempuan yang fans sama Gio saja aku sudah terbakar api cemburu. Bagaimana pun hati menolak untuk jatuh cinta, tetap saja gagal.
"Apa kamu tidak tahu pekerjaan Dania?"
"Ibunya Gio?"
"Dania itu seorang kupu-kupu malam. Apa kamu mau punya mertua yang kerjanya suka gonta-ganti pasangan?"
Aku terkejut bukan main. Pantas saja Gio selalu memberi banyak alasan ketika diminta memperkenalkan aku pada ibunya. Ternyata seorang wanita malam.
"Tapi, Bu, bisa aja kan ibunya sudah taubat dan berhenti dari pekerjaan itu?" Aku masih mencoba mencari cara agar bisa mendapat restu.
"Belum. Dania itu sangat terkenal."
Malang sekali nasib yang menimpa, aku hanya bisa mengembus napas kasar. Ada sedikit rasa takut untuk terus melawan apalagi menentang terang-terangan keputusan orangtua.
Padahal jika boleh dikata, kenapa harus melihat kehidupan keluarganya yang berantakan dan jauh dari kata bahagia, kan kami yang menjalani pernikahan itu? Sekarang juga sudah bisa mengontrak rumah untuk pisah agar terhindar dari campur tangan mertua.
"Ibu tahu Gio anak yang sopan dan baik, cuman gak mau punya besan p**acur. Dia sudah tua, tetapi belum mau pensiun. Kamu mau bersuamikan laki-laki yang sering makan uang haram?!"
"Ibu, setidaknya beri satu kesempatan pada Gio. Dia bisa membujuk ibunya untuk berhenti dari pekerjaan itu. Nanti aku sampaikan," tuturku lembut.
"Sampai kapan pun, ibu gak bakal setuju! Kamu hanya boleh menikah sama Akbar!" tegasnya kemudian memintaku masuk kamar saja.
Dengan langkah gontai, aku masuk dalam ruangan yang selalu menjadi saksi bisu jika mata kembali berair pun hati yang berkecamuk karena tidak sejalan dengan pikiran.
Ponsel berdering, ada miscall dari Gio yang menandakan dirinya sedang online. Setelah mengaktifkan data seluler, kami pun melanjutkan obrolan yang sempat tertunda.
"Gio, ada kabar buruk untuk kita berdua," kataku. Kami memang terbiasa mengirim pesan suara jika suasana hati sedang tidak baik-baik saja.
"Kabar buruk apa?"
"Aku dijodohkan sama laki-laki yang tidak aku kenal sama sekali. Aku sudah berusaha menolak, tetapi ibu sama ayah bersikukuh agar menerima lamaran itu nantinya."
Gio sudah mendengar pesan suara itu bahkan sudah lima menit berlalu, belum ada balasan juga. Aku khawatir dia terluka karena ada satu jalan yang bisa memisahkan kami.
Lelaki yang menjadi idamanku itu memang kaya, tetapi sejak dulu dia bekerja keras untuk menghidupi diri sendiri. Aku pikir dia hanya berusaha mandiri, ternyata karena pekerjaan ibunya.
Satu kemungkinan adalah dia tidak ingin terus diberi makan dari pekerjaan haram. Gio rajin salat dan mengaji, tentu sedikit paham masalah agama walau belum sesempurna anak pesantren.
Bukan Gio yang cerita, melainkan Dani saudara kembar Dian. Dari ceritanya jugalah sampai aku berani menaruh hati untuknya. Satu yang aku sesali adalah tidak pernah bertanya kehidupan real yang tengah dijalani.
"Benarkah?" balas Gio kemudian. Suaranya terdengar parau seperti menyimpan beribu luka.
Aku ragu untuk membenarkan karena merasa kasihan. Selama ini Gio sudah menyusun rencana masa depan denganku. Kami tidak berpikir tentang restu karena melihat sikap ibu dan ayah yang selalu menyambut hangat kehadiran Gio ketika bertamu bersama Dani dan Dian.
Seandainya sudah ada lampu merah sejak awal, aku tidak akan berani jatuh cinta sejauh ini apalagi menyimpan kasih yang teramat dalam dan tulus. Semua sudah terjadi, aku tidak bisa hanya menyesal.
"Aku sudah berusaha menolak. Ibu bersikukuh bukan karena benci kamu, Gio. Namun, beliau memang belum tahu kalau kita saling mencintai, bukan?" hiburku padahal mata masih sangat basah.
"Keputusan ada di tanganmu, Ayu. Aku gak bisa memaksamu untuk tetap berada di sisiku sampai Tuhan menyatukan kami dan juga tidak bisa memintamu menerima lamaran itu. Kamu tahu sendiri bagaimana aku mencintaimu, kan?" balasnya lagi.
Kata-kata yang sederhana itu mampu memporak-porandakan hati. Air mata semakin mengalir deras membentuk anak sungai. Dada begitu sesak seperti dihantam puluhan gajah.
Bukan hanya aku, pasti Gio juga sama terlukanya. Dia akan pusing memikirkan cara agar bisa meminang segera, tetapi belum mapan soal materi. Apalagi sesuatu yang tidak dia ketahui adalah cinta kami terlarang.
"Gio ... bawa aku kabur. Biar saja kita kawin lari asal bisa bersama kamu. Sekalipun melamar sekarang, tidak akan direstui karena ibu sudah memilih Akbar!" pintaku seraya memejamkan mata menahan luka.
"Maafkan aku, Ayu. Sejak dulu sudah kutegaskan pada diriku kalau tidak akan menikah dengan cara seperti itu. Izinkan aku mengejar restu orangtuamu," balasnya lembut.
Ah, berat sekali rasanya kalau harus menyampaikan alasan ibu yang sebenarnya. Aku takut Gio tersinggung, seandainya dia memang ingin aku tahu pekerjaan perempuan yang sudah melahirkannya, pasti diberitahu sejak awal.
Aku juga tidak berani menuduh Gio sebagai penipu karena belum tahu bagaimana situasi yang sebenarnya. Bisa jadi dia sudah berusaha melarang ibunya untuk pensiun dari pekerjaan itu, tetapi tidak membuahkan hasil.
"Lalu kamu bakal ngebiarin aku nikah sama Akbar?"
"Tidak. Kalau boleh mencegah, maka aku akan maju paling depan. Ayu, aku tidak bisa bergerak bebas karena belum mapan soal materi. Masalah cinta, kamu tahu sendiri gimana tulusnya aku, kan?"
Aku menarik napas panjang, kemudian mengembus perlahan. Bibir gemetar karena terus terisak, aku sampai kesulitan untuk mengucapkan sepatah kata pun.
"Kalau orangtuamu tidak setuju, sebagai lelaki yang kurang ilmu agama, pasti ada keinginan untuk membawamu pergi dari sini. Kita menikah dan hidup bahagia." Gio menjeda sedikit kalimatnya dengan embusan napas kasar. "Tapi, aku memikirkan kebahagiaan kamu, Yu."
"Bahagiaku ada sama kamu, Gio!"
"Mungkin pada Akbar. Pilihan orangtua itu tidak pernah salah. Mustahil jika ada ibu yang menginginkan hal buruk terjadi menimpa anaknya. Kamu percaya?"
[Gio, aku tidak mengenal Akbar. Bagaimana kalau seandainya dia itu pura-pura baik di hadapan ibu saja? Kamu tega kalau setelah menikah nanti, dia nyiksa aku?] Sengaja aku mengirim pesan aksara saja.
"Sekarang aku tidak tega dan akan marah kalau ada orang yang berani nyakitin kamu apalagi sampai melukai fisik. Cuman kalau status kamu sudah jadi istri Akbar, aku bisa apa? Suka atau tidak, sudah menjadi haknya untuk mendidik istri."
Aku hanya mengirim stiker menangis sambil memeluk lutut sebelum akhirnya menjauhkan benda pipih itu dariku. Pilihan yang begitu sulit kadang menjadikan kita susah mengontrol emosi.
Ketika marah, terkadang aku melampiaskan pada Gio yang sama sekali tidak bersalah. Dia bersabar, kemudian terus mengingatkanku untuk menahan marah.
Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Jam sudah menunjuk angka empat sore. Tepat ketika Akbar selesai salat asar, dia langsung membantu sang istri untuk bangun. Mereka menuju ruang tengah dan latihan jalan di sana.Ayu memejamkan mata kuat karena perutnya sedikit merasakan nyeri. Namun, dia harus bertahan untuk sembuh karena kata dokter, semakin sering beraktivitas, maka mempercepat pemulihan.Akan tetapi, Ayu juga diingatkan untuk tidak bergerak lebih lama jangan sampai lelah atau melakukan aktivitas berat. Akbar pun terlihat tidak ingin melepas tangan istrinya walau sedetik."Susah, By. Susah geraknya.""Enggak, kok. Kita latihan lagi ya. Kamu ingat pesan ibu tadi siang, kan? Harus semangat untuk sembuh biar Allah kabulkan doa kita.""Kok ibu cepet pulangnya, By? Aku aja gak liat ibu pulang gara-gara ketiduran." Ayu sedikit memanyunkan bibir karena masih rindu pada ibunya."Loh kan ada aku di sini. Kemarin waktu aku kerja kan ibu lama nemenin kamu." Akbar menghela napas. "Lanjut lagi, Sayang."Perlahan Ayu mengangkat ka
Lima hari di rumah sakit, Ayu sudah diperbolehkan pulang. Meski sudah bisa makan, tetapi rasa nyeri itu selalu ada terutama ketika mau buang air. Padahal sejak zaman gadis, dia selalu berprinsip untuk menghindari caesar.Bagaimana tidak, dia tahu bagaimana sakitnya setelah obat bius hilang dari cerita teman-temannya. Apalagi resiko yang sangat besar harus dia lalui termasuk banyaknya pantangan yang wajib dihindari.Ayu ingin membuang napas kasar, tetapi takut menimbulkan rasa nyeri lagi. Membayangkan saja sudah membuat wanita itu merasa ngilu. Sekarang pun dia harus membuka mulut untuk menerima suapan dari suami tercinta."Kamu harus banyak makan protein, Sayang, biar jahitannya cepat kering. Jangan nonton atau baca buku humor dulu, harus semangat untuk sembuh. Sore nanti kita latihan jalan lagi, ya?""Sakit.""Enggak, kok.""Enggak, enggak. Kamu mana tahu, aku yang ngalamin, By! Sakit asli kalau nyeri datang lagi, serasa dikoyak-koyak. Duh, ngilu."Akbar tersenyum membenarkan Ayu kal
"Iya, kamu akan selalu salah di mata orang yang tidak suka atau tidak mengerti kamu. Tapi saya yakin kalau istrimu tidak akan menyalahkanmu," lanjut Pak Hatta."Benar begitu, Pak? Apa istriku gak bakal marah kalau dia sudah sadar?""Iya, benar. Satu yang perlu kamu ingat, Nak, bahwa sepahit apa pun hidup, kita tidak boleh berputus asa. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saat sedang depresi, sungguh istrimu saat ini begitu ingin untuk sembuh dan tertawa bersamamu lagi. Kamu percaya?""Bagaimana kalau aku sulit percaya, Pak? Mertuaku saja menyalahkan aku termasuk beberapa orang yang ada di lokasi kejadian tadi.""Maka paksa dirimu, paksa hatimu untuk percaya. Semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir dari Tuhan. Mereka menyalahkanmu mungkin karena masih shock. Kalau saja istrimu kecelakaan saat bersama sahabatnya, kamu pasti refleks menyalahkannya juga, kan?"Akbar kembali menangis, ada amarah dalam hatinya untuk menghabisi lelaki yang berani menyentuh istrinya. Kalau saj