Share

Bab 2

Aku pulang ke rumah dengan perasaan gamang. Hati memang menginginkan rida orangtua, tetapi cinta pada Gio terlalu besar.

Jangankan untuk pisah selamanya, mengetahui ada perempuan yang fans sama Gio saja aku sudah terbakar api cemburu. Bagaimana pun hati menolak untuk jatuh cinta, tetap saja gagal.

"Apa kamu tidak tahu pekerjaan Dania?"

"Ibunya Gio?"

"Dania itu seorang kupu-kupu malam. Apa kamu mau punya mertua yang kerjanya suka gonta-ganti pasangan?"

Aku terkejut bukan main. Pantas saja Gio selalu memberi banyak alasan ketika diminta memperkenalkan aku pada ibunya. Ternyata seorang wanita malam.

"Tapi, Bu, bisa aja kan ibunya sudah taubat dan berhenti dari pekerjaan itu?" Aku masih mencoba mencari cara agar bisa mendapat restu.

"Belum. Dania itu sangat terkenal."

Malang sekali nasib yang menimpa, aku hanya bisa mengembus napas kasar. Ada sedikit rasa takut untuk terus melawan apalagi menentang terang-terangan keputusan orangtua.

Padahal jika boleh dikata, kenapa harus melihat kehidupan keluarganya yang berantakan dan jauh dari kata bahagia, kan kami yang menjalani pernikahan itu? Sekarang juga sudah bisa mengontrak rumah untuk pisah agar terhindar dari campur tangan mertua.

"Ibu tahu Gio anak yang sopan dan baik, cuman gak mau punya besan p**acur. Dia sudah tua, tetapi belum mau pensiun. Kamu mau bersuamikan laki-laki yang sering makan uang haram?!"

"Ibu, setidaknya beri satu kesempatan pada Gio. Dia bisa membujuk ibunya untuk berhenti dari pekerjaan itu. Nanti aku sampaikan," tuturku lembut.

"Sampai kapan pun, ibu gak bakal setuju! Kamu hanya boleh menikah sama Akbar!" tegasnya kemudian memintaku masuk kamar saja.

Dengan langkah gontai, aku masuk dalam ruangan yang selalu menjadi saksi bisu jika mata kembali berair pun hati yang berkecamuk karena tidak sejalan dengan pikiran.

Ponsel berdering, ada miscall dari Gio yang menandakan dirinya sedang online. Setelah mengaktifkan data seluler, kami pun melanjutkan obrolan yang sempat tertunda.

"Gio, ada kabar buruk untuk kita berdua," kataku. Kami memang terbiasa mengirim pesan suara jika suasana hati sedang tidak baik-baik saja.

"Kabar buruk apa?"

"Aku dijodohkan sama laki-laki yang tidak aku kenal sama sekali. Aku sudah berusaha menolak, tetapi ibu sama ayah bersikukuh agar menerima lamaran itu nantinya."

Gio sudah mendengar pesan suara itu bahkan sudah lima menit berlalu, belum ada balasan juga. Aku khawatir dia terluka karena ada satu jalan yang bisa memisahkan kami.

Lelaki yang menjadi idamanku itu memang kaya, tetapi sejak dulu dia bekerja keras untuk menghidupi diri sendiri. Aku pikir dia hanya berusaha mandiri, ternyata karena pekerjaan ibunya.

Satu kemungkinan adalah dia tidak ingin terus diberi makan dari pekerjaan haram. Gio rajin salat dan mengaji, tentu sedikit paham masalah agama walau belum sesempurna anak pesantren.

Bukan Gio yang cerita, melainkan Dani saudara kembar Dian. Dari ceritanya jugalah sampai aku berani menaruh hati untuknya. Satu yang aku sesali adalah tidak pernah bertanya kehidupan real yang tengah dijalani.

"Benarkah?" balas Gio kemudian. Suaranya terdengar parau seperti menyimpan beribu luka.

Aku ragu untuk membenarkan karena merasa kasihan. Selama ini Gio sudah menyusun rencana masa depan denganku. Kami tidak berpikir tentang restu karena melihat sikap ibu dan ayah yang selalu menyambut hangat kehadiran Gio ketika bertamu bersama Dani dan Dian.

Seandainya sudah ada lampu merah sejak awal, aku tidak akan berani jatuh cinta sejauh ini apalagi menyimpan kasih yang teramat dalam dan tulus. Semua sudah terjadi, aku tidak bisa hanya menyesal.

"Aku sudah berusaha menolak. Ibu bersikukuh bukan karena benci kamu, Gio. Namun, beliau memang belum tahu kalau kita saling mencintai, bukan?" hiburku padahal mata masih sangat basah.

"Keputusan ada di tanganmu, Ayu. Aku gak bisa memaksamu untuk tetap berada di sisiku sampai Tuhan menyatukan kami dan juga tidak bisa memintamu menerima lamaran itu. Kamu tahu sendiri bagaimana aku mencintaimu, kan?" balasnya lagi.

Kata-kata yang sederhana itu mampu memporak-porandakan hati. Air mata semakin mengalir deras membentuk anak sungai. Dada begitu sesak seperti dihantam puluhan gajah.

Bukan hanya aku, pasti Gio juga sama terlukanya. Dia akan pusing memikirkan cara agar bisa meminang segera, tetapi belum mapan soal materi. Apalagi sesuatu yang tidak dia ketahui adalah cinta kami terlarang.

"Gio ... bawa aku kabur. Biar saja kita kawin lari asal bisa bersama kamu. Sekalipun melamar sekarang, tidak akan direstui karena ibu sudah memilih Akbar!" pintaku seraya memejamkan mata menahan luka.

"Maafkan aku, Ayu. Sejak dulu sudah kutegaskan pada diriku kalau tidak akan menikah dengan cara seperti itu. Izinkan aku mengejar restu orangtuamu," balasnya lembut.

Ah, berat sekali rasanya kalau harus menyampaikan alasan ibu yang sebenarnya. Aku takut Gio tersinggung, seandainya dia memang ingin aku tahu pekerjaan perempuan yang sudah melahirkannya, pasti diberitahu sejak awal.

Aku juga tidak berani menuduh Gio sebagai penipu karena belum tahu bagaimana situasi yang sebenarnya. Bisa jadi dia sudah berusaha melarang ibunya untuk pensiun dari pekerjaan itu, tetapi tidak membuahkan hasil.

"Lalu kamu bakal ngebiarin aku  nikah sama Akbar?"

"Tidak. Kalau boleh mencegah, maka aku akan maju paling depan. Ayu, aku tidak bisa bergerak bebas karena belum mapan soal materi. Masalah cinta, kamu tahu sendiri gimana tulusnya aku, kan?"

Aku menarik napas panjang, kemudian mengembus perlahan. Bibir gemetar karena terus terisak, aku sampai kesulitan untuk mengucapkan sepatah kata pun.

"Kalau orangtuamu tidak setuju, sebagai lelaki yang kurang ilmu agama, pasti ada keinginan untuk membawamu pergi dari sini. Kita menikah dan hidup bahagia." Gio menjeda sedikit kalimatnya dengan embusan napas kasar. "Tapi, aku memikirkan kebahagiaan kamu, Yu."

"Bahagiaku ada sama kamu, Gio!"

"Mungkin pada Akbar. Pilihan orangtua itu tidak pernah salah. Mustahil jika ada ibu yang menginginkan hal buruk terjadi menimpa anaknya. Kamu percaya?"

[Gio, aku tidak mengenal Akbar. Bagaimana kalau seandainya dia itu pura-pura baik di hadapan ibu saja? Kamu tega kalau setelah menikah nanti, dia nyiksa aku?] Sengaja aku mengirim pesan aksara saja.

"Sekarang aku tidak tega dan akan marah kalau ada orang yang berani nyakitin kamu apalagi sampai melukai fisik. Cuman kalau status kamu sudah jadi istri Akbar, aku bisa apa? Suka atau tidak, sudah menjadi haknya untuk mendidik istri."

Aku hanya mengirim stiker menangis sambil memeluk lutut sebelum akhirnya menjauhkan benda pipih itu dariku. Pilihan yang begitu sulit kadang menjadikan kita susah mengontrol emosi.

Ketika marah, terkadang aku melampiaskan pada Gio yang sama sekali tidak bersalah. Dia bersabar, kemudian terus mengingatkanku untuk menahan marah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status