Sekarang masanya kembali bekerja karena pemilik toko sudah kembali dari kampung halamannya. Baru pukul delapan pagi, tentu saja masih sepi pelanggan.
Saat menguap, mataku tertuju pada seorang laki-laki yang membuka pintu.
Dia memindai sekitar, lalu tersenyum ramah. Gegas aku mendekat untuk menyapa, "selamat datang di Toko Fashion Muslim dan Muslimah. Cari apa, Mas?"
"Cari baju koko, Mbak." Dia menjawab ramah.
Lelaki di hadapanku terbilang tampan dan bersih, jadi kurasa pakaian model dan warna apa pun akan cocok dengannya.
Dia melangkah pelan dengan mata fokus melihat koko yang terpajang di patung manekin.
Baju kokonya ada logo yang asing di mataku, tetapi di bagian dada sebelah kanan tertera nama Akbar Wijayuda. Aku jadi teringat tentang perjodohan yang disampaikan ibu, apakah dia?
"Mbak, aku mau yang model ini. Berapa harganya?" tanya lelaki itu lagi sambil menunjuk kurta Azzaky warna taro.
"Harganya dua ratus tiga puluh sembilan, Mas."
"Boleh, ambil dua. Satunya warna navy."
Setelah memasukkan kurta itu dalam kantong plastik khusus bertuliskan nama toko ini, lelaki itu langsung membayar dengan uang pas. Baru saja dia hendak melangkah keluar ketika aku bertanya namanya."Akbar Wijayuda. Panggil saja Akbar."
"Maaf, apa sudah menikah?" Aku bertanya dengan perasaan ragu karena takut disangka baperan.
"Eh?" Dia nampak terkejut, kemudian kembali tersenyum ramah.
Ketika bibir itu melengkung tipis, matanya semakin menyipit seperti orang keturunan Cina. Namun, tetap saja Gio tidak bisa digulingkan dari singgasana.
Sumpah, ini bukan cinta pada pandangan pertama. Aku hanya ingin memastikan lelaki mana yang akan meminangku karena jika pun mencintai Gio jika terus didesak ibu, aku bisa apa.
"Belum, Mbak. Mohon doanya semoga aku bisa ketemu jodoh." Akbar mengatup kedua tangan, kemudian melangkah cepat menyisakan tanda tanya.
Kalau dia adalah Akbar yang dijodohkan ibu dengan aku, tidak mungkin belum melihat fotoku. Lelaki itu juga tidak bisa langsung dikatakan modus karena ini toko pakaian, siapa pun bisa datang dan pergi dari sini.
Aku mendesah dalam kegundahan. Apalagi Gio bilang tidak ingin memaksakan kehendak diri jika memang jalan sudah buntu. Berulang kali pula Dian mengingatkan bahwa sesuatu yang dilakukan tanpa restu kerapkali berujung luka.
"Lelaki itu juga cuek bebek kayak bukan dia yang akan dijodohkan sama aku. Yah, mungkin benar-benar pelanggan!" monologku lagi sebelum kembali berdiri ketika ada lima perempuan masuk toko.
Mereka mencari-cari gamis model terbaru. Dua orang memakai cadar, sementara tiga lainnya hanya memakai jilbab sepinggang. Aku iri melihat penampilan mereka berharap kelak bisa lepas dari celana jeans dan kemeja ini.
"Mbak, abaya trend dong yang harga murce," kata salah satu dari mereka yang memakai jilbab warna lilac.
"Lima?"
Mereka mengangguk bersamaan. Lekas aku menunjukkan beberapa model abaya yang hanya tersisa tiga warna saja. Mereka memindai dengan teliti bahkan noda sekecil apa pun tidak akan lolos dari penglihatan mereka.
"Dua hitam, tiga mocca. Hitam satu ukuran M satunya L. Mocca ukuran M dua dan satunya S," jelas perempuan yang memakai cadar.
Pasti ukuran S itu untuk dirinya karena terlihat mungil memang. Namun, dilihat dari mata dia cantik apalagi hidung yang menjulang tinggi. Aku bisa melihat keramahan yang ada dalam dirinya ketika membayar semua gamis itu.
Ya, dia yang membayar untuk teman-temannya. Tidak perlu heran, ada kemungkinan dia anak orang kaya yang dermawan. Setelah mereka pergi, kembali ada pembeli, tepatnya Dian Fahirah.
"Cari apa, Bu Dian?" sapaku.
Dian malah menjitak pelan jidat ini. Huh, memang kebiasaan kalau datang ke toko dan kusapa seperti itu, dia pasti memberi hadiah jitakan.
"Nyari perempuan yang mau dijodohkan sama ibunya!"
Aku mendelik kesal, lalu menarik tangan Dian untuk duduk di kursi tunggu. Sahabatku yang satu ini memang tidak bekerja karena dilarang orangtua serta saudara kembarnya. Enak sekali karena bisa jalan-jalan sesuka hati.
Tanpa mengulur waktu, aku menceritakan pada Dian tentang pelanggan yang bernama Akbar Wijayuda tadi. Entah kenapa aku sedikit tertarik untuk membahasnya. Bayangan Akbar ketika tersenyum mengusik perhatian.
"Hati-hati, nanti jatuh cinta. Tak mengapa jika lelaki tadi memang Akbar yang akan dijodohkan sama kamu."
"Dian, aku cuma cinta sama Gio. Ingat, sama Gio doang bukan yang lain!" tegasku penuh penekanan.
"Bisa saja kan setelah bertemu Akbar, cintamu jadi terbagi. Memang sekarang hanya berpikir tentang Gio, kedepannya tidak ada yang tahu." Jawaban Dian benar apalagi jika aku dipaksa menikah.
Cinta tumbuh karena terbiasa bersama apalagi jika Akbar adalah lelaki tadi, mungkin rasa akan berpindah ke lain hati. Namun, aku juga berat jika harus meninggalkan Gio yang sudah sabar dengan segala amukanku selama ini.
Sejak awal kenal hingga sekarang, dia belum pernah berkata kasar apalagi marah padaku. Ini bukan tentang menjaga image, semua orang tahu bahwa sulit menahan amarah ketika kita disudutkan tanpa tahu alasannya.
"Semoga aku selalu setia sama Gio. Semua belum usai, aku masih berharap Tuhan menyatukan kami dalam mahligai pernikahan. Hanya Gio yang aku harapkan menjadi suami," lirihku dengan kepala menunduk.
"Ayu!" panggil seseorang.
"Ya, Gio?" Bahkan sebelum menoleh pun aku sudah bisa menebak siapa pemilik suara itu.Dia datang bersama Dani. Sekarang hari minggu, mereka memang libur bekerja. Berbeda dengan aku yang tidak mengenal waktu libur kecuali pemilik toko yang meminta.
"Ada hal yang harus aku sampaikan. Aku membawa Dani ikut serta karena mengira kamu sendiri di sini." Gio memaksakan senyum. "Bisa ikut duduk, kan?" tanyanya pada Dian.
Dian langsung berdiri, dia melangkah mengiringi saudara kembarnya memindai sekitar toko. Dalam hati berdoa, semoga saja mereka memborong.
"Ayu, tadi malam aku merenung. Mungkin memang sebaiknya kamu menerima perjodohan itu. Bagaimana pun juga, rida orangtua lebih penting. Ibu kamu lah yang sudah melahirkan serta merawatmu sejak kecil sementara kita baru bertemu."
"Tapi, Gio, aku mencintai kamu. Aku tahu bagaimana tulusnya cintamu sama aku. Kamu selalu membantu aku, belum tentu Akbar melakukan hal yang sama," lirihku. Mata kini berembun.
"Ayu, bukan aku melepas karena sudah tidak mencintaimu. Namun ...." Gio melipat bibir sekilas. "Semua demi kebahagiaan kamu. Kebaikanku tidak sebanding dengan kebaikan ibumu."
Lelaki itu kembali memaksakan senyum. Suaranya terdengar parau seperti menahan sesak dalam dada. Aku mendesah pelan karena bingung harus berbuat apa lagi.
"Kalau kamu sudah menyerah, mungkin itu sudah menjadi tanda kita tidak bisa bersama."
Gio tidak menjawab, dia malah melenggang pergi disusul Dani tanpa pamit. Air mata tumpah begitu deras, aku semakin terluka.
Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T
Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh
Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani
Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah
"By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita
"Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me
Jam sudah menunjuk angka empat sore. Tepat ketika Akbar selesai salat asar, dia langsung membantu sang istri untuk bangun. Mereka menuju ruang tengah dan latihan jalan di sana.Ayu memejamkan mata kuat karena perutnya sedikit merasakan nyeri. Namun, dia harus bertahan untuk sembuh karena kata dokter, semakin sering beraktivitas, maka mempercepat pemulihan.Akan tetapi, Ayu juga diingatkan untuk tidak bergerak lebih lama jangan sampai lelah atau melakukan aktivitas berat. Akbar pun terlihat tidak ingin melepas tangan istrinya walau sedetik."Susah, By. Susah geraknya.""Enggak, kok. Kita latihan lagi ya. Kamu ingat pesan ibu tadi siang, kan? Harus semangat untuk sembuh biar Allah kabulkan doa kita.""Kok ibu cepet pulangnya, By? Aku aja gak liat ibu pulang gara-gara ketiduran." Ayu sedikit memanyunkan bibir karena masih rindu pada ibunya."Loh kan ada aku di sini. Kemarin waktu aku kerja kan ibu lama nemenin kamu." Akbar menghela napas. "Lanjut lagi, Sayang."Perlahan Ayu mengangkat ka
Lima hari di rumah sakit, Ayu sudah diperbolehkan pulang. Meski sudah bisa makan, tetapi rasa nyeri itu selalu ada terutama ketika mau buang air. Padahal sejak zaman gadis, dia selalu berprinsip untuk menghindari caesar.Bagaimana tidak, dia tahu bagaimana sakitnya setelah obat bius hilang dari cerita teman-temannya. Apalagi resiko yang sangat besar harus dia lalui termasuk banyaknya pantangan yang wajib dihindari.Ayu ingin membuang napas kasar, tetapi takut menimbulkan rasa nyeri lagi. Membayangkan saja sudah membuat wanita itu merasa ngilu. Sekarang pun dia harus membuka mulut untuk menerima suapan dari suami tercinta."Kamu harus banyak makan protein, Sayang, biar jahitannya cepat kering. Jangan nonton atau baca buku humor dulu, harus semangat untuk sembuh. Sore nanti kita latihan jalan lagi, ya?""Sakit.""Enggak, kok.""Enggak, enggak. Kamu mana tahu, aku yang ngalamin, By! Sakit asli kalau nyeri datang lagi, serasa dikoyak-koyak. Duh, ngilu."Akbar tersenyum membenarkan Ayu kal
"Iya, kamu akan selalu salah di mata orang yang tidak suka atau tidak mengerti kamu. Tapi saya yakin kalau istrimu tidak akan menyalahkanmu," lanjut Pak Hatta."Benar begitu, Pak? Apa istriku gak bakal marah kalau dia sudah sadar?""Iya, benar. Satu yang perlu kamu ingat, Nak, bahwa sepahit apa pun hidup, kita tidak boleh berputus asa. Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup saat sedang depresi, sungguh istrimu saat ini begitu ingin untuk sembuh dan tertawa bersamamu lagi. Kamu percaya?""Bagaimana kalau aku sulit percaya, Pak? Mertuaku saja menyalahkan aku termasuk beberapa orang yang ada di lokasi kejadian tadi.""Maka paksa dirimu, paksa hatimu untuk percaya. Semua yang terjadi di muka bumi adalah takdir dari Tuhan. Mereka menyalahkanmu mungkin karena masih shock. Kalau saja istrimu kecelakaan saat bersama sahabatnya, kamu pasti refleks menyalahkannya juga, kan?"Akbar kembali menangis, ada amarah dalam hatinya untuk menghabisi lelaki yang berani menyentuh istrinya. Kalau saj