Share

Bab 3

Sekarang masanya kembali bekerja karena pemilik toko sudah kembali dari kampung halamannya. Baru pukul delapan pagi, tentu saja masih sepi pelanggan.

Saat menguap, mataku tertuju pada seorang laki-laki yang membuka pintu.

Dia memindai sekitar, lalu tersenyum ramah. Gegas aku mendekat untuk menyapa, "selamat datang di Toko Fashion Muslim dan Muslimah. Cari apa, Mas?"

"Cari baju koko, Mbak." Dia menjawab ramah.

Lelaki di hadapanku terbilang tampan dan bersih, jadi kurasa pakaian model dan warna apa pun akan cocok dengannya.

Dia melangkah pelan dengan mata fokus melihat koko yang terpajang di patung manekin.

Baju kokonya ada logo yang asing di mataku, tetapi di bagian dada sebelah kanan tertera nama Akbar Wijayuda. Aku jadi teringat tentang perjodohan yang disampaikan ibu, apakah dia?

"Mbak, aku mau yang model ini. Berapa harganya?" tanya lelaki itu lagi sambil menunjuk kurta Azzaky warna taro.

"Harganya dua ratus tiga puluh sembilan, Mas."

"Boleh, ambil dua. Satunya warna navy."

Setelah memasukkan kurta itu dalam kantong plastik khusus bertuliskan nama toko ini, lelaki itu langsung membayar dengan uang pas. Baru saja dia hendak melangkah keluar ketika aku bertanya namanya.

"Akbar Wijayuda. Panggil saja Akbar."

"Maaf, apa sudah menikah?" Aku bertanya dengan perasaan ragu karena takut disangka baperan.

"Eh?" Dia nampak terkejut, kemudian kembali tersenyum ramah. 

Ketika bibir itu melengkung tipis, matanya semakin menyipit seperti orang keturunan Cina. Namun, tetap saja Gio tidak bisa digulingkan dari singgasana.

Sumpah, ini bukan cinta pada pandangan pertama. Aku hanya ingin memastikan lelaki mana yang akan meminangku karena jika pun mencintai Gio jika terus didesak ibu, aku bisa apa.

"Belum, Mbak. Mohon doanya semoga aku bisa ketemu jodoh." Akbar mengatup kedua tangan, kemudian melangkah cepat menyisakan tanda tanya.

Kalau dia adalah Akbar yang dijodohkan ibu dengan aku, tidak mungkin belum melihat fotoku. Lelaki itu juga tidak bisa langsung dikatakan modus karena ini toko pakaian, siapa pun bisa datang dan pergi dari sini.

Aku mendesah dalam kegundahan. Apalagi Gio bilang tidak ingin memaksakan kehendak diri jika memang jalan sudah buntu. Berulang kali pula Dian mengingatkan bahwa sesuatu yang dilakukan tanpa restu kerapkali berujung luka.

"Lelaki itu juga cuek bebek kayak bukan dia yang akan dijodohkan sama aku. Yah, mungkin benar-benar pelanggan!" monologku lagi sebelum kembali berdiri ketika ada lima perempuan masuk toko.

Mereka mencari-cari gamis model terbaru. Dua orang memakai cadar, sementara tiga lainnya hanya memakai jilbab sepinggang. Aku iri melihat penampilan mereka berharap kelak bisa lepas dari celana jeans dan kemeja ini.

"Mbak, abaya trend dong yang harga murce," kata salah satu dari mereka yang memakai jilbab warna lilac.

"Lima?"

Mereka mengangguk bersamaan. Lekas aku menunjukkan beberapa model abaya yang hanya tersisa tiga warna saja. Mereka memindai dengan teliti bahkan noda sekecil apa pun tidak akan lolos dari penglihatan mereka.

"Dua hitam, tiga mocca. Hitam satu ukuran M satunya L. Mocca ukuran M dua dan satunya S," jelas perempuan yang memakai cadar.

Pasti ukuran S itu untuk dirinya karena terlihat mungil memang. Namun, dilihat dari mata dia cantik apalagi hidung yang menjulang tinggi. Aku bisa melihat keramahan yang ada dalam dirinya ketika membayar semua gamis itu.

Ya, dia yang membayar untuk teman-temannya. Tidak perlu heran, ada kemungkinan dia anak orang kaya yang dermawan. Setelah mereka pergi, kembali ada pembeli, tepatnya Dian Fahirah.

"Cari apa, Bu Dian?" sapaku.

Dian malah menjitak pelan jidat ini. Huh, memang kebiasaan kalau datang ke toko dan kusapa seperti itu, dia pasti memberi hadiah jitakan.

"Nyari perempuan yang mau dijodohkan sama ibunya!"

Aku mendelik kesal, lalu menarik tangan Dian untuk duduk di kursi tunggu. Sahabatku yang satu ini memang tidak bekerja karena dilarang orangtua serta saudara kembarnya. Enak sekali karena bisa jalan-jalan sesuka hati.

Tanpa mengulur waktu, aku menceritakan pada Dian tentang pelanggan yang bernama Akbar Wijayuda tadi. Entah kenapa aku sedikit tertarik untuk membahasnya. Bayangan Akbar ketika tersenyum mengusik perhatian.

"Hati-hati, nanti jatuh cinta. Tak mengapa jika lelaki tadi memang Akbar yang akan dijodohkan sama kamu."

"Dian, aku cuma cinta sama Gio. Ingat, sama Gio doang bukan yang lain!" tegasku penuh penekanan.

"Bisa saja kan setelah bertemu Akbar, cintamu jadi terbagi. Memang sekarang hanya berpikir tentang Gio, kedepannya tidak ada yang tahu." Jawaban Dian benar apalagi jika aku dipaksa menikah.

Cinta tumbuh karena terbiasa bersama apalagi jika Akbar adalah lelaki tadi, mungkin rasa akan berpindah ke lain hati. Namun, aku juga berat jika harus meninggalkan Gio yang sudah sabar dengan segala amukanku selama ini. 

Sejak awal kenal hingga sekarang, dia belum pernah berkata kasar apalagi marah padaku. Ini bukan tentang menjaga image, semua orang tahu bahwa sulit menahan amarah ketika kita disudutkan tanpa tahu alasannya.

"Semoga aku selalu setia sama Gio. Semua belum usai, aku masih berharap Tuhan menyatukan kami dalam mahligai pernikahan. Hanya Gio yang aku harapkan menjadi suami," lirihku dengan kepala menunduk.

"Ayu!" panggil seseorang.

"Ya, Gio?" Bahkan sebelum menoleh pun aku sudah bisa menebak siapa pemilik suara itu.

Dia datang bersama Dani. Sekarang hari minggu, mereka memang libur bekerja. Berbeda dengan aku yang tidak mengenal waktu libur kecuali pemilik toko yang meminta.

"Ada hal yang harus aku sampaikan. Aku membawa Dani ikut serta karena mengira kamu sendiri di sini." Gio memaksakan senyum. "Bisa ikut duduk, kan?" tanyanya pada Dian.

Dian langsung berdiri, dia melangkah mengiringi saudara kembarnya memindai sekitar toko. Dalam hati berdoa, semoga saja mereka memborong. 

"Ayu, tadi malam aku merenung. Mungkin memang sebaiknya kamu menerima perjodohan itu. Bagaimana pun juga, rida orangtua lebih penting. Ibu kamu lah yang sudah melahirkan serta merawatmu sejak kecil sementara kita baru bertemu."

"Tapi, Gio, aku mencintai kamu. Aku tahu bagaimana tulusnya cintamu sama aku. Kamu selalu membantu aku, belum tentu Akbar melakukan hal yang sama," lirihku. Mata kini berembun.

"Ayu, bukan aku melepas karena sudah tidak mencintaimu. Namun ...." Gio melipat bibir sekilas. "Semua demi kebahagiaan kamu. Kebaikanku tidak sebanding dengan kebaikan ibumu."

Lelaki itu kembali memaksakan senyum. Suaranya terdengar parau seperti menahan sesak dalam dada. Aku mendesah pelan karena bingung harus berbuat apa lagi.

"Kalau kamu sudah menyerah, mungkin itu sudah menjadi tanda kita tidak bisa bersama."

Gio tidak menjawab, dia malah melenggang pergi disusul Dani tanpa pamit. Air mata tumpah begitu deras, aku semakin terluka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status