Share

PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN
PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN
Penulis: Bintu Hasan

Bab 1

"Tidak, Bu. Aku tidak mau dijodohkan dengan Akbar!" tolakku tegas.

"Akbar itu orangnya baik, ibu juga kenal baik sama kedua orangtuanya. Pokoknya kamu harus menerima perjodohan ini atau angkat kaki dari rumahku!" tegas ibu padaku yang merupakan anak sematawayangnya.

Aku bingung, lalu mengusap wajah gusar karena tidak pernah suka dengan kata perjodohan. Bagiku itu adalah takdir buruk karena menjalani kehidupan rumah tangga tanpa dasar cinta.

Apalagi hati telah dihuni oleh lelaki tampan bernama Gio Syaputra. Dia laki yang rajin ke masjid juga sering membantu orang lain yang sedang kesusahan.

Pertemuan kami bermula di sebuah masjid ketika Gio sedang asik memberi makan seekor kucing jalanan. Saat itu aku menatap dari jauh, kemudian memberanikan diri untuk mendekat.

"Nanti mereka akan datang ke rumah dan kamu harus menerimanya. Ini semua demi kebaikan kamu, Ayu!" lanjut ibu lagi.

Perempuan paruh baya yang sedang bicara denganku tahu betul kalau aku sedang dekat dengan Gio sehingga meminta sahabatnya untuk menjodohkan kami. Jika dinilai dari agama, kata ibu, Akbar pemenangnya.

"Apa Ibu tahu bagaimana sulitnya menikah tanpa landasan cinta? Ibu tidak boleh egois karena aku tahu kisah di masa lalu," ucapku pelan. Bagaimana pun juga, takut membangkang orangtua.

"Kisah apa yang kamu tahu?"

"Ibu menikah siri sama ayah karena dijodohkan juga, kan?"

Ibu mengembus napas kasar, lalu mengakui kebenaran itu, tetapi alasannya berbeda. Aku juga tahu kalau ibu nekat menikah siri tanpa restu orangtua karena dijodohkan dengan anak juragan sapi yang terkenal pemabuk.

Sementara itu, aku melangkah cepat ke luar kamar. Namun, kaki berhenti melangkah ketika melihat sang ayah sedang duduk di kursi goyang.

"Kamu mau ke mana, Ayu?" tegurnya.

"Aku tidak tahu, Ayah. Pastinya aku tidak mau menerima perjodohan ini. Aku punya hak untuk memilih kelak menikah dengan siapa."

"Tapi Akbar itu lelaki yang baik. Ayah yakin dia bisa menjadi imam untuk kamu."

Aku tidak peduli, kemudian menyambar kunci motor yang selalu tergantung di paku. Pikiran saat ini kacau dan hendak menyampaikan berita itu pada Dian, sahabat lamaku.

***

Hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di rumah Dian Fahirah. Aku langsung menghambur dalam pelukan perempuan yang juga memakai jilbab itu.

"Dijodohkan?" Dian memekik kaget setelah mendengar cerita dariku.

"Iya, padahal kamu tahu sendiri bagaimana aku mengharapkan Gio." Kini mata sudah berembun.

"Memang Akbar itu siapa?" tanya Dian lagi. Baginya nama itu terdengar familiar.

Tanpa ragu aku mengedikkan bahu tanda tidak tahu. Orangtua kami memang bersahabat, tetapi keduanya tidak pernah membawa anak untuk ikut serta kala makan bersama. Entah aku yang sibuk atau memang sedang malas bergerak.

Hati merasa menikah dengan Akbar hanya sebuah malapetaka. Jangankan sikap, rupa saja belum tahu bagaimana bentuknya. Ingin pasrah juga enggan karena menikah adalah ibadah, bukan ajang coba-coba.

"Rumit," keluhku dengan pipi yang sudah basah oleh air mata.

"Gio sudah tahu?" Aku menggeleng, Dian pun kembali melanjutkan, "kalau Gio tahu, mungkin ada solusi. Entah dia yang datang menghadap orangtua kamu atau apa gitu. Perempuan butuh kepastian, bukan janji manis belaka."

"Gio serius, cuman uangnya belum cukup. Kamu tahu sendiri kalau Gio punya adik perempuan yang masih sekolah sementara ibu dan ayahnya sudah lama pisah."

Dian memutar otak. Dia mengaku setuju kalau aku mau mencoba kenal dengan Akbar karena lelaki yang baik adalah memberi kepastian juga bukti bukan hanya omong kosong.

Semua orang bisa berjanji, tetapi sedikit yang menepati. Dian tidak mengenal Akbar, sementara Gio adalah teman dari saudara kembarnya yang bernama Dani.

"Ini tidak adil!" kataku lagi.

Mendengar itu, kedua alis Dian terangkat karena merasa bingung. Sementara bibir terus menggerutu, menggaungkan kalimat penolakan juga umpatan yang terdengar sedikit kasar.

"Kamu harus sabar, Ayu. Ingat, sabar itu bagian dari iman. Kamu beriman, kan?"

Tangan memilin ujung pashmina yang dipakai, kemudian menunduk dalam. Hati menyimpan sesak yang luar biasa. Aku hanya butuh Gio seorang.

Lelaki yang selalu membantu. Bagiku, Gio adalah malaikat penolong. Dia selalu ada di saat teman kesusahan dalam hal apa pun bahkan lelaki itu lebih mementingkan kebutuhan aku daripada dirinya sendiri.

Kami dekat tanpa sebuah ikatan. Gio pernah mengajak pacaran, tetapi aku menolak karena takut salah dalam melangkah. Hubungan kami biasa saja, hanya saja lelaki itu meminta menunggu.

"Tidak ada solusi yang bisa aku berikan, Yu. Apalagi orangtua kamu yakin kalau Akbar itu orangnya baik. Siapa tahu memang betul adanya, kan? Sekarang kabari Gio tentang perjodohan itu. Dia lelaki, pasti bisa mengambil keputusan!" tegas Dian.

"Tidak, Gio tidak boleh tahu. Aku harus menyembunyikan kabar itu darinya. Kalau Gio tahu, dia bisa sakit hati," lirihku lagi berusaha menolak kenyataan.

Aku mengangkat wajah menatap sendu pada Dian. Mata yang basah ini menyimpan banyak luka. Sudah banyak manusia terutama perempuan di luar sana bunuh diri karena ditinggal sang kekasih.

Jika Gio mati, sudah tentu hati hancur tanpa kepingan. Aku akan merasa dunia kejam sehingga hanya menghabiskan waktu dalam kamar dengan segala kerinduan yang selalu terpatri dalam hati.

"Ay, tidak selamanya kita menyatu dengan orang yang kita cintai. Cinta butuh pengorbanan, mungkin ini sudah jalannya. Allah tidak selalu memberi apa yang kita inginkan, tetapi apa yang kita butuhkan."

"Aku tahu itu. Kamu selalu bilang, kadang kita mengharapkan sekuntum bunga, tetapi Allah memberi segudang bahkan lebih. Itu semua juga butuh proses yang panjang."

"Nanti aku beritahu Dani masalah ini biar dia yang membantumu menyampaikan ke Gio. Aku tahu hatimu berat untuk menerima atau menolak perjodohan–"

"Tidak, aku tidak berat menolak perjodohan itu!" sangkalku cepat.

Aku merasa sedikit menyesal curhat pada Dian karena dia malah mendukung Akbar. Seperti sebuah lagu, 'walau dunia menolak kutetap cinta kamu!'

Tangan memijit kening begitu mendengar nasihat dari Dian yang memintaku menimbang keputusan dengan matang.

"Sikap ceroboh sering membuat kita menyesal, Ayu. Kamu harus ingat hal itu, apalagi kita bukan remaja yang baru mengenal cinta."

"Cinta itu pondasi pernikahan, Dian. Aku tidak pernah membayangkan pernikahan tanpa cinta. Teman SMA kita dulu dijodohkan, lihat sekarang dia sudah jadi janda. Ada lagi teman kuliah dulu, dia dilamar duda dan sekarang apa dia bahagia?"

Kepala sedikit pening memikirkan hal itu. Aku tidak ingin jadi janda dalam waktu dekat apalagi usia masih bisa dibilang muda.

Namun, Dian tidak pernah putus asa untuk mengingatkan aku. Dia tersenyum lantas mengingatkan, "antara cinta dan rida orang tua, menurut kamu mana yang lebih penting?"

Bibir hanya terkatup rapat karena bingung harus menjawab apa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status