Share

Bab 6

Author: Bintu Hasan
last update Last Updated: 2022-09-01 07:17:27

Sesampainya di depan toko, aku memaksa senyum pada Mbak Rina karena sepanjang jalan tadi mendapat omelan dari ibu. Sungguh aku tidak mengerti kenapa ibu harus mempermasalahkan pekerjaan orangtua Gio.

Padahal jika telah menikah nanti, kami bisa pisah rumah. Lagi pula tentu saja ibunya Gio tidak akan mau serumah dengan kami atau akan mempersulit dirinya sendiri.

"Sebenarnya ada apa, sih, Yu? Mbak bukannya kepo cuman kalau ada masalah, kamu bisa cerita." Mbak Rina mulai penasaran.

"Gak ada apa-apa, kok, Mbak."

"Gak apa-apa gimana? Tadi aja ibu kamu langsung marah-marah pas tau mbak bilang ke rumah sahabatmu. Dia juga marahin mbak karena ngeberi izin gitu."

Aku membuang napas kasar. Ternyata ibu sangat benci jika aku masih berusaha dekat dengan Gio atau dengan orang-orang yang akrab dengannya. Namun, kenapa harus memarahi Mbak Rina juga?

"Maafkan ibu, Mbak." Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan sebelum akhirnya kembali ke meja kasir.

Mbak Rina manggut-manggut mengerti. Mungkin dia peka kalau aku tidak ingin masalah ini diketahui orang lain. Yah, memang kalau cerita padanya bisa menemukan solusi karena yang aku tahu, dia itu bijak hanya saja terlalu berat.

Aku khawatir jika terus bercerita tentang Gio, air mata akan tumpah sementara hati tidak bisa menahan perih. Apalagi jika ada pelanggan lagi, terkhusus Akbar.

"Layani pelanggan itu, Yu. Mbak mau,ke toilet!" titah Mbak Rina.

Begitu aku menoleh, ternyata dia Mona. Aku tahu betul siapa dia. Perempuan tajir yang menjadi selebgram, bahkan pengikutnya di Tik-Tok sampai ribuan.

"Selamat datang di Toko Fashion Muslim dan Muslimah, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" sapaku ramah seraya mengatup kedua tangan di depan dada.

Mona tersenyum pongah, aku bisa merasakan aura keangkuhan menjalan di sekujur tubuhnya. Mata yang sipit itu menatap tajam padaku, membunuh nyali hingga kutak berani berkutik.

"Jadi, kamu yang bernama Ayu Syafitri?"

"Iya, Mbak. Kok, Mbak Mona bisa tahu?" tanyaku ragu, tetapi masih terus berusaha mengukir senyum.

Bukannya menjawab, Mona malah mengibas rambutnya. Dia menatapku dengan senyum mengejek. Entah ada apa dengan perempuan ini padahal aku merasa tidak pernah bermasalah dengannya.

"Jangan panggil aku 'mbak', aku ini bukan kakakmu!" tegasnya, kemudian berlalu meninggalkan toko.

Aku hanya melongo mendengar kalimat Mona barusan. Dia datang hanya untuk memastikan aku ini Ayu, kemudian melarang memanggilnya 'mbak'.

Sepertinya, harapanku menjadi orang kaya harus dihilangkan, takutnya jadi kayak Mona. KTS alias Kaya Tetapi Sinting.

***

Malam berembus begitu syahdu, aku duduk melipat lutut dalam kamar. Tiba-tiba pintu terbuka lebar, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu kalau itu ibu.

"Ada apa, Yu? Kamu belum bisa menerima keputusan ibu?"

Aku menundukkan kepala, takut untuk menjawab. Jangan sampai jawabanku kembali memancing amarah ibu terutama perasaanku saat ini sedang kacau balau.

"Suatu hari nanti kamu akan mengerti maksud ibu apa. Intinya ibu sama ayahmu gak bakal ngebiarin putri satu-satunya menikah sama keluarga yang hancur begitu. Gio anaknya Dania, sementara pekerjaan–"

"Cukup, Bu! Aku sudah tahu pekerjaan ibunya Gio. Apa ibu kira Gio mau lahir dari perempuan pela**r?"

"Ibu tidak peduli Gio merasa seperti itu atau tidak, yang pasti dia itu anaknya Dania. Jangan sampai ternyata dia anak haram."

"Tidak ada anak yang lahir ke dunia ini dalam keadaan haram, Bu. Semuanya suci, bersih, halal."

"Akbar. Hanya Akbar yang akan menjadi suami kamu. Pak Haris dan Bu Laila itu baik, gak seperti Dania. Kalau mau mencintai orang itu barus melihat bobot, bibit, bebetnya." Ibu langsung melenggang pergi.

Aku kembali mengangkat wajah. Memang benar kalau Akbar dan orangtuanya itu baik, tetapi kita tidak bisa memanajemen hati untuk jatuh pada siapa, untuk berlabuh ke mana. Semua ini sudah menjadi kehendak dari Tuhan.

Rasanya malam berlalu begitu lama karena tidak ada Gio di sisi. Entah bagaimana kabar lelaki itu sekarang. Dia telah berjuang, walau tidak menemukan hasil.

Ponsel bergetar, ada pesan dari Gio. Segera aku sambar karena kebetulan rindu sedang menggebu.

[Cinta butuh pengorbanan, tidak selamanya kita bersama orang yang dicintai.]

"Apa maksudmu, Gio? Apa kamu memintaku menerima Akbar?" balasku mengirim pesan suara karena malas mengetik.

[Mungkin seperti itu.]

"Kamu menyerah, Gio? Kamu bahkan belum berjuang." Aku membalas dengan intonasi yang lebih tinggi karena tersulut emosi. Jangan tanya bagaimana terlukanya hati saat ini, air mata yang berbaris pada pipi adalah saksi bisunya.

[Aku gak bisa bertahan, Yu. Semua ini berat dan sulit untuk meyakinkan ibumu. Gimana pun, ibuku sulit dibilangin. Maaf, kamu harus melupakan aku.]

"Gio, aku gak percaya kamu ngomong gitu. Ayo, kita ketemu besok biar aku yakin kalau kamu sudah menyerah!" tantangku dengan sengaja karena yang aku tahu adalah Gio tidak akan bisa minta ditinggalkan ketika menatap mataku.

Cintanya begitu tulus, tetapi bukan berarti harus ikhlas melepaskan dan membiarkanku merajut kebahagiaan bersama Akbar. Memang cinta tidak harus memiliki, namun bukankah bagus jika orang yang saling mencintai itu menikah?

"Aku menyerah, Yu. Aku gak yakin kita bisa bersama," balas Gio dengan pesan suara pula.

Malam belum larut, aku segera memakai jilbab rumahan dan mengendap-endap ke luar rumah. Untung saja ibu sama ayah sedang fokus menonton hingga aku tidak ketahuan oleh mereka.

Motor kupacu dengan kecepatan tinggi setelah agak jauh dari rumah. Pikiranku saat ini hanya dipenuhi nama Gio. Rumahnya tidak terlalu jauh, hanya butuh setengah jam untuk sampai ke sana jika mengemudi santai.

[Gio, aku ada di depan rumah kamu. Keluarlah!] pintaku membalas pesannya tadi.

Jam sudah menunjuk angka sembilan malam, angin berembus syahdu menembus kulit. Aku mengusap lengan beberapa kali karena hanya memakai piyama tidur. Salah sendiri tidak menyambar jaket tadi.

Lima menit menunggu, Gio keluar dengan wajah lesu. Dia tidak mengukir senyum seperti dulu.

"Gio, aku cinta sama kamu. Masa kamu nyerah setelah perjuangan kita selama ini? Bukan hanya kamu, aku pun akan berusaha meraih restu ibu. Asal yakin, jalani saja dulu." Aku tidak mau basa-basi karena takut pulang kemalaman.

Lelaki itu membuang pandangan ke kanan. "Cinta saja tidak cukup, Ayu. Aku khawatir, semakin hari kamu semakin berharap sama aku. Lebih baik sakit sekarang daripada nanti–"

"Kamu gak sayang sama aku?" potongku cepat.

Gio menatapku lekat, tetapi enggan memberi jawaban. "Kamu gak rindu sama aku?" tanyaku lagi.

"Gak. Sekarang kamu lebih baik pulang dan jangan berharap lagi sama aku. Lebih baik kita temanan saja, Yu."

Duniaku runtuh mendengar penuturan Gio sekalipun di matanya menyiratkan kebohongan besar. Dia melakukan ini pasti agar aku benci padanya dan menerima lamaran Akbar Wijayuda.

"Baiklah, sekarang aku pulang sekalian bunuh diri!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN   Bab 126

    Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T

  • PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN   Bab 125

    Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh

  • PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN   Bab 124

    Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani

  • PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN   Bab 123

    Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah

  • PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN   Bab 122

    "By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita

  • PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN   Bab 121

    "Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status