Share

Bab 6

Sesampainya di depan toko, aku memaksa senyum pada Mbak Rina karena sepanjang jalan tadi mendapat omelan dari ibu. Sungguh aku tidak mengerti kenapa ibu harus mempermasalahkan pekerjaan orangtua Gio.

Padahal jika telah menikah nanti, kami bisa pisah rumah. Lagi pula tentu saja ibunya Gio tidak akan mau serumah dengan kami atau akan mempersulit dirinya sendiri.

"Sebenarnya ada apa, sih, Yu? Mbak bukannya kepo cuman kalau ada masalah, kamu bisa cerita." Mbak Rina mulai penasaran.

"Gak ada apa-apa, kok, Mbak."

"Gak apa-apa gimana? Tadi aja ibu kamu langsung marah-marah pas tau mbak bilang ke rumah sahabatmu. Dia juga marahin mbak karena ngeberi izin gitu."

Aku membuang napas kasar. Ternyata ibu sangat benci jika aku masih berusaha dekat dengan Gio atau dengan orang-orang yang akrab dengannya. Namun, kenapa harus memarahi Mbak Rina juga?

"Maafkan ibu, Mbak." Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan sebelum akhirnya kembali ke meja kasir.

Mbak Rina manggut-manggut mengerti. Mungkin dia peka kalau aku tidak ingin masalah ini diketahui orang lain. Yah, memang kalau cerita padanya bisa menemukan solusi karena yang aku tahu, dia itu bijak hanya saja terlalu berat.

Aku khawatir jika terus bercerita tentang Gio, air mata akan tumpah sementara hati tidak bisa menahan perih. Apalagi jika ada pelanggan lagi, terkhusus Akbar.

"Layani pelanggan itu, Yu. Mbak mau,ke toilet!" titah Mbak Rina.

Begitu aku menoleh, ternyata dia Mona. Aku tahu betul siapa dia. Perempuan tajir yang menjadi selebgram, bahkan pengikutnya di Tik-Tok sampai ribuan.

"Selamat datang di Toko Fashion Muslim dan Muslimah, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" sapaku ramah seraya mengatup kedua tangan di depan dada.

Mona tersenyum pongah, aku bisa merasakan aura keangkuhan menjalan di sekujur tubuhnya. Mata yang sipit itu menatap tajam padaku, membunuh nyali hingga kutak berani berkutik.

"Jadi, kamu yang bernama Ayu Syafitri?"

"Iya, Mbak. Kok, Mbak Mona bisa tahu?" tanyaku ragu, tetapi masih terus berusaha mengukir senyum.

Bukannya menjawab, Mona malah mengibas rambutnya. Dia menatapku dengan senyum mengejek. Entah ada apa dengan perempuan ini padahal aku merasa tidak pernah bermasalah dengannya.

"Jangan panggil aku 'mbak', aku ini bukan kakakmu!" tegasnya, kemudian berlalu meninggalkan toko.

Aku hanya melongo mendengar kalimat Mona barusan. Dia datang hanya untuk memastikan aku ini Ayu, kemudian melarang memanggilnya 'mbak'.

Sepertinya, harapanku menjadi orang kaya harus dihilangkan, takutnya jadi kayak Mona. KTS alias Kaya Tetapi Sinting.

***

Malam berembus begitu syahdu, aku duduk melipat lutut dalam kamar. Tiba-tiba pintu terbuka lebar, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu kalau itu ibu.

"Ada apa, Yu? Kamu belum bisa menerima keputusan ibu?"

Aku menundukkan kepala, takut untuk menjawab. Jangan sampai jawabanku kembali memancing amarah ibu terutama perasaanku saat ini sedang kacau balau.

"Suatu hari nanti kamu akan mengerti maksud ibu apa. Intinya ibu sama ayahmu gak bakal ngebiarin putri satu-satunya menikah sama keluarga yang hancur begitu. Gio anaknya Dania, sementara pekerjaan–"

"Cukup, Bu! Aku sudah tahu pekerjaan ibunya Gio. Apa ibu kira Gio mau lahir dari perempuan pela**r?"

"Ibu tidak peduli Gio merasa seperti itu atau tidak, yang pasti dia itu anaknya Dania. Jangan sampai ternyata dia anak haram."

"Tidak ada anak yang lahir ke dunia ini dalam keadaan haram, Bu. Semuanya suci, bersih, halal."

"Akbar. Hanya Akbar yang akan menjadi suami kamu. Pak Haris dan Bu Laila itu baik, gak seperti Dania. Kalau mau mencintai orang itu barus melihat bobot, bibit, bebetnya." Ibu langsung melenggang pergi.

Aku kembali mengangkat wajah. Memang benar kalau Akbar dan orangtuanya itu baik, tetapi kita tidak bisa memanajemen hati untuk jatuh pada siapa, untuk berlabuh ke mana. Semua ini sudah menjadi kehendak dari Tuhan.

Rasanya malam berlalu begitu lama karena tidak ada Gio di sisi. Entah bagaimana kabar lelaki itu sekarang. Dia telah berjuang, walau tidak menemukan hasil.

Ponsel bergetar, ada pesan dari Gio. Segera aku sambar karena kebetulan rindu sedang menggebu.

[Cinta butuh pengorbanan, tidak selamanya kita bersama orang yang dicintai.]

"Apa maksudmu, Gio? Apa kamu memintaku menerima Akbar?" balasku mengirim pesan suara karena malas mengetik.

[Mungkin seperti itu.]

"Kamu menyerah, Gio? Kamu bahkan belum berjuang." Aku membalas dengan intonasi yang lebih tinggi karena tersulut emosi. Jangan tanya bagaimana terlukanya hati saat ini, air mata yang berbaris pada pipi adalah saksi bisunya.

[Aku gak bisa bertahan, Yu. Semua ini berat dan sulit untuk meyakinkan ibumu. Gimana pun, ibuku sulit dibilangin. Maaf, kamu harus melupakan aku.]

"Gio, aku gak percaya kamu ngomong gitu. Ayo, kita ketemu besok biar aku yakin kalau kamu sudah menyerah!" tantangku dengan sengaja karena yang aku tahu adalah Gio tidak akan bisa minta ditinggalkan ketika menatap mataku.

Cintanya begitu tulus, tetapi bukan berarti harus ikhlas melepaskan dan membiarkanku merajut kebahagiaan bersama Akbar. Memang cinta tidak harus memiliki, namun bukankah bagus jika orang yang saling mencintai itu menikah?

"Aku menyerah, Yu. Aku gak yakin kita bisa bersama," balas Gio dengan pesan suara pula.

Malam belum larut, aku segera memakai jilbab rumahan dan mengendap-endap ke luar rumah. Untung saja ibu sama ayah sedang fokus menonton hingga aku tidak ketahuan oleh mereka.

Motor kupacu dengan kecepatan tinggi setelah agak jauh dari rumah. Pikiranku saat ini hanya dipenuhi nama Gio. Rumahnya tidak terlalu jauh, hanya butuh setengah jam untuk sampai ke sana jika mengemudi santai.

[Gio, aku ada di depan rumah kamu. Keluarlah!] pintaku membalas pesannya tadi.

Jam sudah menunjuk angka sembilan malam, angin berembus syahdu menembus kulit. Aku mengusap lengan beberapa kali karena hanya memakai piyama tidur. Salah sendiri tidak menyambar jaket tadi.

Lima menit menunggu, Gio keluar dengan wajah lesu. Dia tidak mengukir senyum seperti dulu.

"Gio, aku cinta sama kamu. Masa kamu nyerah setelah perjuangan kita selama ini? Bukan hanya kamu, aku pun akan berusaha meraih restu ibu. Asal yakin, jalani saja dulu." Aku tidak mau basa-basi karena takut pulang kemalaman.

Lelaki itu membuang pandangan ke kanan. "Cinta saja tidak cukup, Ayu. Aku khawatir, semakin hari kamu semakin berharap sama aku. Lebih baik sakit sekarang daripada nanti–"

"Kamu gak sayang sama aku?" potongku cepat.

Gio menatapku lekat, tetapi enggan memberi jawaban. "Kamu gak rindu sama aku?" tanyaku lagi.

"Gak. Sekarang kamu lebih baik pulang dan jangan berharap lagi sama aku. Lebih baik kita temanan saja, Yu."

Duniaku runtuh mendengar penuturan Gio sekalipun di matanya menyiratkan kebohongan besar. Dia melakukan ini pasti agar aku benci padanya dan menerima lamaran Akbar Wijayuda.

"Baiklah, sekarang aku pulang sekalian bunuh diri!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status