"Ayu!" Gio meraih pergelangan tanganku. Kami tidak bersentuhan langsung karena piyamaku menjadi perantara. Menyadari itu, Gio langsung melepasnya. "Kamu mau bunuh diri? Sadarlah, itu dosa."
"Aku gak peduli. Selama kamu menyerah, aku akan tetap mengakhiri hidup."
"Jangan bunuh diri. Pikirkan perasaan orangtua kamu, juga Dian sebagai sahabatmu."
"Bagaimana dengan perasaanmu sendiri, Gio? Apa kamu tidak sedih atau malah senang jika aku pergi dari dunia ini?"
Gio membuang napas kasar. "Bukan seperti itu. Kamu tidak bisa memahami apa keinginanku karena dibelenggu obsesi. Cinta tidak selamanya berakhir indah."
"Bagaimana jika aku ingin cinta kita berakhir indah?"
"Jangan melawan takdir, Ayu!"
Aku tersentak mendengar respons Gio. Sungguh, aku bukan mau melawan takdir karena sama saja durhaka kepada Tuhan. Hanya saja berusaha bangkit dan meminta agar takdir itu diubah menjadi indah.
Bukankah senjata orang mukmin adalah doa? Allah tidak pernah melarang hamba-Nya untuk berdoa, lalu kenapa Gio bersikap demikian?
"Gio, aku akan berusaha mendapat restu ibu," kataku berusaha meyakinkan meski belum tahu harus menggunakan cara apa lagi.
"Itu tidak mungkin."
"Kita buat menjadi mungkin. Aku tahu caranya."
Gio menatapku dalam. Dia memindai wajahku seperti mencari sesuatu. Jujur, aku sedikit salah tingkah apalagi ada yang berdesir dalam hati.
Entah apa pikiran lelaki yang ada di depanku ini. Dia sama sekali tidak menunjukkan rasa penasaran atau bahagia. Mungkin, cintanya sudah dibunuh.
"Jangan pernah berpikir seperti itu, Ayu. Aku gak mau kamu disalahkan ibumu. Sekarang kamu pulang ke rumah dan istirahat. Besok kita bicarakan lagi."
"Kenapa kamu gak mau mengerti kalau aku mencintaimu dan gak mau pisah dari kamu, Gio?" teriakku frustrasi.
Saat ini aku hanya berharap mendengar Gio menyatakan cintanya juga. Aku ingin dia kembali berjuang sekali pun nanti belum tahu akan seperti apa. Namun, selama penantian itu, seharusnya lebih banyak merapalkan doa.
Lagi pula aku belum memberi jawaban pada Akbar. Kalau sudah ada kepastian dari Gio, maka malam ini juga aku langsung memberi jawaban penolakan. Tidak peduli bagaimana perasaannya.
Jika menikah dengan Gio, hanya ada satu hati yang terluka. Namun, jika menikah dengan akbar, maka aku dan Gio akan terluka.
"Bunuh perasaanmu itu, Ayu. Aku gak mau kamu kecewa dan sakit hati karena saat ini aku tidak bisa berbuat banyak."
Air mata menetes pada pipi. Aku tidak sanggup menerima kenyataan harus berpisah dari lelaki yang aku cintai. Gio sudah mendarah daging dalam jiwaku, dia terlalu baik selama ini.
"Setelah kamu berhasil membuatku jatuh cinta begitu dalam, sekarang harus memaksa untuk membunuh cinta ini juga?"
Gio mengusap wajah kasar. Aku tahu dia sama bingungnya, tetapi harus mengalah karena tahu cinta kami terlarang.
"Gio, katakan kalau kamu mencintaiku!" pintaku memelas.
"Aku menyukaimu, tetapi tidak seperti dulu." Air mata Gio juga menetes, tetapi segera diseka.
"Apa kamu tidak bisa berpura-pura mencintaiku seperti dulu, Gio? Apa kamu tidak bisa pura-pura bertahan demi aku?"
"Kamu mau hidup dalam kepura-puraan?" Pertanyaan yang begitu menohok hati.
Sungguh, aku pun sama sekali tidak beminat hidup dalam kepura-puraan. Akan tetapi, mau bagaimana lagi jika keadaannya sudah serumit ini?
Cinta yang berdiri begitu megah tidak berguna tanpa restu dari ibu. Aku pun tidak bisa berbuat banyak karena merssa berjuang seorang diri.
Tiba-tiba, sebuah mobil mewah terparkir di depan rumah Gio. Turunlah seorang perempuan paruh baya yang usianya tersamarkan karena kecantikan, dia bergelayut manja pada seorang lelaki yang memakai kemeja hitam.
"Gio Sayang? Kamu ngapain di sini? Masuk gih!" pinta Bu Dania, kemudian melirik padaku. "Kamu pacarnya Gio?"
"Bukan, Tan. Aku temannya Gio," balasku ramah.
Bu Dania hanya tersenyum tipis, kemudian melangkah anggun masuk rumah. Aku tahu lelaki itu bukan suaminya karena Gio menatap penuh kebencian.
"Sekarang lebih baik kamu pulang. Aku sedang tidak mau bertemu siapa pun!" perintahnya kemudian meninggalkanku sendirian.
Dengan berat hati, aku memacu motor meninggalkan rumah Gio. Hati begitu perih, air mata pun tidak mau berhenti mengalir. Sepanjang perjalanan aku hanya merutuki diri yang jatuh cinta terlalu dalam pada Gio.
Sesampainya di rumah setelah satu jam berlalu, aku langsung menyeka air mata karena ibu dan ayah sudah duduk di ruang tamu. Mereka menatap penuh intimidasi.
"Tadi aku ke supermaket nyari cemilan soalnya laper, Bu," jelasku sebelum mereka bertanya.
Akan tetapi tidak ada respon, aku jadi ketakutan. Lama mematung, ayah memberi isyarat untuk masuk dalam kamar. Kalau sudah begini, artinya besok akan ada perang dunia.
Dalam kamar, aku mengecek ponsel dan menemukan pesan baru dari Gio.
[Iya, aku akan bertahan. Namun, jangan berharap penuh sama aku.]
Sekalipun Gio terpaksa melakukan itu, tetapi bisa mendamaikan hati. Aku mengukir senyum, kemudian mengirim stiker love yang hanya dibaca olehnya.
***
"Bu, aku pergi dulu!" pamitku pada ibu yang sedang menyiapkan sarapan.
"Duduk dulu, ibu mau bicara!"
"Tapi aku telat, Bu. Hari ini ada lelang di toko." Aku mencoba beralasan, tetapi ibu selalu bersikap demikian.
Sepotong roti bakar diletakkan di depanku, kemudian menyuruh untuk makan. Daripada semakin rumit, aku terpaksa menuruti ibu padahal sama sekali tidak ada nafsu makan.
"Tadi malam kamu dari mana?"
"Supermaket, kan, Bu?"
"Masa dari supermaket? Ngapain? Itu juga mata kamu bengkak. Apa jangan-jangan kamu habis ketemuan sama Gio? Iya?" Ibu menodongku dengan banyak pertanyaan.
Aku menelan saliva, ternyata alasan tadi malam tidak diterima secara mentah oleh orangtuaku. Ya, mau bagaimana lagi karena aku butuh kepastian dari Gio.
Satu hal yang aku dapat dengan keluar menemui Gio semalam adalah keinginannya untuk bertahan. Hanya itu satu-satunya kunciku untuk berjuang melawan badai cinta.
Ibu membuang napas panjang. "Jangan pernah menemui Gio lagi. Tadi malam adalah yang terakhir. Sekarang habiskan sarapanmu dan berangkat kerja."
"Iya."
"Jangan kerja sama dengan Dian. Ibu sudah meminta seseorang untuk memata-matai kamu. Awas saja kalau berani melawan ibu!" tegasnya lagi yang terdengar seperti sebuah ancaman.
Entahlah, aku malas sekali untuk me jawab ibu karena apa pun yang kukatakan tentu akan dinilai salah kecuali langsung menerima pinangan Akbar.
Ingin menyalahkan lelaki itu juga tidak mungkin karena sejak awal dia sudah bertanya apakah di hatiku tersimpan sebuah nama? Dan aku menjawab tidak.
Rasanya semakin berat saja. Kalau tahu begini, aku ingin kembali ke masa kanak-kanak di mana aku hanya fokus bermain tanpa mengenal cinta pada lawan jenis.
"Pulang kerja nanti, jangan mampir ke rumah Dian karena ada hal yang harus kamu tahu!" kata ibu lagi berhasil membuatku penasaran.
Lelah rasanya setelah melakukan live streaming di Facebo0k. Pasalnya lelang kali ini lumayan banyak daripada tahun lalu dan alhamdulillah peminatnya banyak juga. Kami sampai banjir orderan.Selain aku, ada satu karyawan baru lagi. Ah, mungkin saja saudara Mbak Rina karena setahu aku dia bukan asli sini, ketahuan dari muka.Dia mem-packing barang dengan cekat, aku sampai melongo melihatnya. Atau mungkin juga karena dia seorang lelaki berpengalaman sampai bisa secepat dan serapi itu."Tempelin gih!" perintah Mbak Rina menyerahkan tumpukan stiker info pemesan yang berisi nomor pesanan, nama, nomor telepon, alamat serta ucapan terimakasih. "Mbak mau ke warung sebentar, laper!"Laki-laki itu sangat pintar karena sudah menandai tiap paket dengan nomor pesanan sehingga aku tidak perlu bingung. Tentu saja aku menempel stiker itu dengan hati-hati, takut mendapat sensor."Rafael, panggil saja Rafa.""Eh?" Aku terkejut karena tiba-tiba saja dia memperkenalkan diri."Nama kamu siapa?" tanya Rafa
"Gak, aku gak mau pulang sebelum berhasil menyadarkanmu!" tolak Dian dengan senyum pongah."Lagian kenapa, sih? Aku kan gak kesurupan!""Sudah kukatakan, rasa berharapmu pada Gio harus dikikis, Ayu." Dian sudah kembali melembutkan suara."Hatiku pedih!" tukasku cepat, kemudian berakhir dengan embusan napas kasar.Memang semua ini salah dan aku menyadari itu, tetapi kita tidak bisa mengatur hati untuk bersikap biasa saja. Aku juga tahu bahwa masalah apa pun yang menimpa baik itu berupa ujian pada harta, keluarga atau kekasih, kita harus kembali kepada Allah.Setiap malam aku bermunajat pada-Nya meminta pertolongan agar bisa menerima Akbar hadir dalam kehidupanku. Nyatanya cinta pada Gio yang semakin tumbuh megah. Umpama ilalang yang rimbun tanpa disiram."Kepedihan bagiku adalah sebuah panggilan dari Tuhan untuk kembali pada-Nya. Wahai hambaku, segeralah kembali, mendekat ke sisi-Ku. Kamu sudah lama merasa hebat sehingga lupa dan lalai dari mengingat-Ku," tutur Dian menohok hati.Air m
Pesan Akbar tidak aku balas karena masih bingung harus menjawab apa. Ingin mengelak juga khawatir dia sudah tahu semuanya dan menganggap aku ini perempuan dramatis.Ingin jujur juga tidak mungkin, jangan sampai dia mengira aku ini terlalu diperbudak cinta. Aku tidak mau dicap buruk sama manusia lainnya sekalipun penilaian mereka tidak penting.Apalagi, sepuluh menit setelah kudiamkan pesannya semalam, dia posting story Whats*pp. Katanya, hati yang tenang adalah hati yang tidak terikat sesuatu selain Allah."Selamat datang di Toko Fashion Muslim dan Muslimah. Ada yang bisa kami bantu?" sapaku ramah begitu melihat pelanggan masuk.Hari sudah beranjak sore, sejak tadi kami sibuk menyusun barang baru dibantu Rafael juga. Lelaki itu melepas maskernya seraya melangkah cepat mendekat padaku yang mematung di dekat manekin."Ayu, aku mau bicara sama kamu.""Bicara apa?""Story yang kamu pasang itu buat Gio?""Kamu tahu Gio?" tanyaku ragu-ragu.Akbar menunduk dalam beberapa saat, aku jadi semak
"Ibu bilang sama Akbar kalau lamaran ini diterima?" tanyaku pada ibu begitu selesai salat magrib."Loh, memangnya kenapa kalau ibu ngomong gitu ke Akbar?" Ibu melipat kedua tangan di depan dada. "Pokoknya tidak usah banyak protes. Sabtu nanti mereka bakal datang ke sini buat nentuin tanggal pernikahan. Ayahmu aja sudah setuju, jadi nunggu apa lagi?""Ibu gak ngerti perasaan aku!" pungkasku menunjuk diri dengan tangan kanan."Memangnya Akbar kurang apa dari Gio? Setahu ibu, Akbar itu lebih berilmu, kemudian cakep. Cuman mungkin kalah tajir aja sama Gio yang ibunya–""Kupu-kupu malam kan yang mau Ibu bilang lagi?" Terpaksa aku membuang napas kasar di depan ibu karena emosi sudah mendarah daging. "Gini ya, Bu. Kita gak bisa menilai orang dari luar saja. Sifat asli orang itu ketahuan kalau dia dalam keadaan emosi, apakah tetap lemah lembut atau malah meluapkannya ""Dan Akbar orang yang ibu percaya. Dia anak yang lahir dari orangtua hebat, mendidik dengan sempurna sampai bisa seperti sek
Sabtu yang dinanti-nanti telah tiba. Entah mengapa sampai sekarang aku tidak bisa ikhlas menerima semua ini padahal kemarin malam merenungkan ayah yang sudah berusaha membujuk ibu sampai beradu mulut.Selama beberapa hari ini pula aku selalu di bawah pengawasan Dian untuk tidak menemui Gio. Bukan hanya itu, setiap hari dia mengingatkanku untuk menerima Akbar sebagai suami karena di luar sana banyak sekali perempuan yang menginginkan lelaki sepertinya.Walau aku menolak dengan dalih Gio juga orang baik, Dian menggelengkan kepala. Ibu memberi kepercayaan pada Dian sehingga dia tidak ingin ingkar ketika diminta berjanji untuk membujukku.Sebuah amanah yang sebenarnya sulit untuk Dian lakukan karena dia sendiri tahu bagaimana hati ini telah tenggelam dalam dunia Gio. Lelaki itu tidak pernah lagi memberi kabar padaku, hanya memasang story beberapa kali."Sudah siap, Bestie?" tanya Dian memecah lamunan.Aku menatap pantulan cermin. Di sana ada sosok pere
"Gio, kenapa sejak tadi kamu diam? Kamu marah karena sebenarnya aku yang maksa Dian buat ngajak kamu ketemuan? Hayolah, aku butuh kejelasan!" rengekku menahan tangis agar dia mengira kalau hati sedang baik-baik saja.Sebenarnya ini bagian dari syarat yang diajukan Dian sebelum mengantarku bertemu dengan Gio. Dia bilang kalau aku harus tegar di hadapannya dan jangan sampai menitikkan air mata atau pertemuan ini tidak akan terjadi.Mau tidak mau aku menurut saja karena rindu sudah meraja dalam hati. Namun, sepertinya berbeda dengan Gio. Dia sama sekali tidak senang melihat kedatanganku karena sejak tadi dia diam saja bahkan enggan membuka mulut."Gio, tolong. Hanya sekali ini saja!" bujuk Dian ketika aku menatap iba padanya."Kejelasan apa? Semua sudah jelas dan aku tahu dia akan menikah sama Akbar," ketus Gio."Ayu cuma mau nanya satu hal sama kamu, Gio. Jangan keras kepala begini karena aku tahu kamu juga sama merindukannya, tetapi mencoba lari dar
Saat pertama melihat Gio, perlahan benih-benih cinta tumbuh dalam hatiku. Setiap hari aku merasa, selama ada cinta pasti ada kebahagiaan. Namun, kadang-kadang pula cinta adalah air mata. Menjadi penyebab kesedihan dan penderitaan, yakni sedih karena tidak bisa memiliki dan menderita karena menahan gejolak rindu tanpa temu. Sejak saat itu aku faham bahwa cinta saja tidak cukup untuk menyatukan dua insan. Sekalipun cinta melebihi luasnya langit dan bumi, tanpa restu dari orangtua, tetap saja semua itu sia-sia. "Saya terima nikah dan kawinnya Ayu Syafitri binti Herianto dengan mas kawin tersebut, tunai." Akbar mengucapkan ijab qabul dengan suara lantang seolah dia sudah latihan beberapa hari. Akan tetapi, lebih lantang lagi sorakan saksi dan tamu undangan yang hadir mengatakan kalau kami sudah sah menjadi suami istri. Hati menangis pilu karena pada akhirnya takdir benar-benar tidak sejalan. Dian menepuk pundakku berulang kali, juga memaksakan senyum. Tentu saja sebagai sahabat yang t
Fajar menyingsing, aku tentu sudah siap untuk ke luar kamar hendak membantu ibu di dapur. Sesuai kesepakatan saat fitting baju pengantin, aku minta untuk menetap di rumah beberapa hari.Baru saja tangan ingin membuka daun pintu ketika Akbar menarikku menjauh dari sana. Kami berdiri di dekat jendela, matanya seperti ingin mencari tahu sesuatu.Aku berdehem karena salah tingkah. "A-ada apa?""Ada yang mau aku tanyakan dan tolong kamu jawab dengan jujur, Ay.""Apa?" Aku mengerjapkan mata seraya berusaha meminimalisir rasa gugup."Kamu ...." Sejenak Akbar menundukkan pandangan, lalu melanjutkan, "apa ada kemungkinan namaku hadir dalam hatimu?"Entahlah. Aku tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan sepele itu. Bagi pengantin baru lainnya, tentu akan menjawab dengan yakin bahwa suaminya akan menjadi pemilik hati. Namun, mungkin tidak denganku karena pernikahan ini tidak pernah kuharapkan terjadi.Dia memang baik, aku tahu itu. Hanya saja kita tidak bisa mengatur hati untuk mudah menggantika