Share

Bab 7

"Ayu!" Gio meraih pergelangan tanganku. Kami tidak bersentuhan langsung karena piyamaku menjadi perantara. Menyadari itu, Gio langsung melepasnya. "Kamu mau bunuh diri? Sadarlah, itu dosa."

"Aku gak peduli. Selama kamu menyerah, aku akan tetap mengakhiri hidup."

"Jangan bunuh diri. Pikirkan perasaan orangtua kamu, juga Dian sebagai sahabatmu."

"Bagaimana dengan perasaanmu sendiri, Gio? Apa kamu tidak sedih atau malah senang jika aku pergi dari dunia ini?"

Gio membuang napas kasar. "Bukan seperti itu. Kamu tidak bisa memahami apa keinginanku karena dibelenggu obsesi. Cinta tidak selamanya berakhir indah."

"Bagaimana jika aku ingin cinta kita berakhir indah?"

"Jangan melawan takdir, Ayu!"

Aku tersentak mendengar respons Gio. Sungguh, aku bukan mau melawan takdir karena sama saja durhaka kepada Tuhan. Hanya saja berusaha bangkit dan meminta agar takdir itu diubah menjadi indah.

Bukankah senjata orang mukmin adalah doa? Allah tidak pernah melarang hamba-Nya untuk berdoa, lalu kenapa Gio bersikap demikian?

"Gio, aku akan berusaha mendapat restu ibu," kataku berusaha meyakinkan meski belum tahu harus menggunakan cara apa lagi.

"Itu tidak mungkin."

"Kita buat menjadi mungkin. Aku tahu caranya."

Gio menatapku dalam. Dia memindai wajahku seperti mencari sesuatu. Jujur, aku sedikit salah tingkah apalagi ada yang berdesir dalam hati.

Entah apa pikiran lelaki yang ada di depanku ini. Dia sama sekali tidak menunjukkan rasa penasaran atau bahagia. Mungkin, cintanya sudah dibunuh.

"Jangan pernah berpikir seperti itu, Ayu. Aku gak mau kamu disalahkan ibumu. Sekarang kamu pulang ke rumah dan istirahat. Besok kita bicarakan lagi."

"Kenapa kamu gak mau mengerti kalau aku mencintaimu dan gak mau pisah dari kamu, Gio?" teriakku frustrasi.

Saat ini aku hanya berharap mendengar Gio menyatakan cintanya juga. Aku ingin dia kembali berjuang sekali pun nanti belum tahu akan seperti apa. Namun, selama penantian itu, seharusnya lebih banyak merapalkan doa.

Lagi pula aku belum memberi jawaban pada Akbar. Kalau sudah ada kepastian dari Gio, maka malam ini juga aku langsung memberi jawaban penolakan. Tidak peduli bagaimana perasaannya.

Jika menikah dengan Gio, hanya ada satu hati yang terluka. Namun, jika menikah dengan akbar, maka aku dan Gio akan terluka.

"Bunuh perasaanmu itu, Ayu. Aku gak mau kamu kecewa dan sakit hati karena saat ini aku tidak bisa berbuat banyak."

Air mata menetes pada pipi. Aku tidak sanggup menerima kenyataan harus berpisah dari lelaki yang aku cintai. Gio sudah mendarah daging dalam jiwaku, dia terlalu baik selama ini.

"Setelah kamu berhasil membuatku jatuh cinta begitu dalam, sekarang harus memaksa untuk membunuh cinta ini juga?"

Gio mengusap wajah kasar. Aku tahu dia sama bingungnya, tetapi harus mengalah karena tahu cinta kami terlarang.

"Gio, katakan kalau kamu mencintaiku!" pintaku memelas.

"Aku menyukaimu, tetapi tidak seperti dulu." Air mata Gio juga menetes, tetapi segera diseka.

"Apa kamu tidak bisa berpura-pura mencintaiku seperti dulu, Gio? Apa kamu tidak bisa pura-pura bertahan demi aku?"

"Kamu mau hidup dalam kepura-puraan?" Pertanyaan yang begitu menohok hati.

Sungguh, aku pun sama sekali tidak beminat hidup dalam kepura-puraan. Akan tetapi, mau bagaimana lagi jika keadaannya sudah serumit ini?

Cinta yang berdiri begitu megah tidak berguna tanpa restu dari ibu. Aku pun tidak bisa berbuat banyak karena merssa berjuang seorang diri.

Tiba-tiba, sebuah mobil mewah terparkir di depan rumah Gio. Turunlah seorang perempuan paruh baya yang usianya tersamarkan karena kecantikan, dia bergelayut manja pada seorang lelaki yang memakai kemeja hitam.

"Gio Sayang? Kamu ngapain di sini? Masuk gih!" pinta Bu Dania, kemudian melirik padaku. "Kamu pacarnya Gio?"

"Bukan, Tan. Aku temannya Gio," balasku ramah.

Bu Dania hanya tersenyum tipis, kemudian melangkah anggun masuk rumah. Aku tahu lelaki itu bukan suaminya karena Gio menatap penuh kebencian.

"Sekarang lebih baik kamu pulang. Aku sedang tidak mau bertemu siapa pun!" perintahnya kemudian meninggalkanku sendirian.

Dengan berat hati, aku memacu motor meninggalkan rumah Gio. Hati begitu perih, air mata pun tidak mau berhenti mengalir. Sepanjang perjalanan aku hanya merutuki diri yang jatuh cinta terlalu dalam pada Gio.

Sesampainya di rumah setelah satu jam berlalu, aku langsung menyeka air mata karena ibu dan ayah sudah duduk di ruang tamu. Mereka menatap penuh intimidasi.

"Tadi aku ke supermaket nyari cemilan soalnya laper, Bu," jelasku sebelum mereka bertanya.

Akan tetapi tidak ada respon, aku jadi ketakutan. Lama mematung, ayah memberi isyarat untuk masuk dalam kamar. Kalau sudah begini, artinya besok akan ada perang dunia.

Dalam kamar, aku mengecek ponsel dan menemukan pesan baru dari Gio.

[Iya, aku akan bertahan. Namun, jangan berharap penuh sama aku.]

Sekalipun Gio terpaksa melakukan itu, tetapi bisa mendamaikan hati. Aku mengukir senyum, kemudian mengirim stiker love yang hanya dibaca olehnya.

***

"Bu, aku pergi dulu!" pamitku pada ibu yang sedang menyiapkan sarapan.

"Duduk dulu, ibu mau bicara!"

"Tapi aku telat, Bu. Hari ini ada lelang di toko." Aku mencoba beralasan, tetapi ibu selalu bersikap demikian.

Sepotong roti bakar diletakkan di depanku, kemudian menyuruh untuk makan. Daripada semakin rumit, aku terpaksa menuruti ibu padahal sama sekali tidak ada nafsu makan.

"Tadi malam kamu dari mana?"

"Supermaket, kan, Bu?"

"Masa dari supermaket? Ngapain? Itu juga mata kamu bengkak. Apa jangan-jangan kamu habis ketemuan sama Gio? Iya?" Ibu menodongku dengan banyak pertanyaan.

Aku menelan saliva, ternyata alasan tadi malam tidak diterima secara mentah oleh orangtuaku. Ya, mau bagaimana lagi karena aku butuh kepastian dari Gio.

Satu hal yang aku dapat dengan keluar menemui Gio semalam adalah keinginannya untuk bertahan. Hanya itu satu-satunya kunciku untuk berjuang melawan badai cinta.

Ibu membuang napas panjang. "Jangan pernah menemui Gio lagi. Tadi malam adalah yang terakhir. Sekarang habiskan sarapanmu dan berangkat kerja."

"Iya."

"Jangan kerja sama dengan Dian. Ibu sudah meminta seseorang untuk memata-matai kamu. Awas saja kalau berani melawan ibu!" tegasnya lagi yang terdengar seperti sebuah ancaman.

Entahlah, aku malas sekali untuk me jawab ibu karena apa pun yang kukatakan tentu akan dinilai salah kecuali langsung menerima pinangan Akbar.

Ingin menyalahkan lelaki itu juga tidak mungkin karena sejak awal dia sudah bertanya apakah di hatiku tersimpan sebuah nama? Dan aku menjawab tidak.

Rasanya semakin berat saja. Kalau tahu begini, aku ingin kembali ke masa kanak-kanak di mana aku hanya fokus bermain tanpa mengenal cinta pada lawan jenis.

"Pulang kerja nanti, jangan mampir ke rumah Dian karena ada hal yang harus kamu tahu!" kata ibu lagi berhasil membuatku penasaran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status