Share

Bab 7

Author: Bintu Hasan
last update Last Updated: 2022-09-01 08:06:33

"Ayu!" Gio meraih pergelangan tanganku. Kami tidak bersentuhan langsung karena piyamaku menjadi perantara. Menyadari itu, Gio langsung melepasnya. "Kamu mau bunuh diri? Sadarlah, itu dosa."

"Aku gak peduli. Selama kamu menyerah, aku akan tetap mengakhiri hidup."

"Jangan bunuh diri. Pikirkan perasaan orangtua kamu, juga Dian sebagai sahabatmu."

"Bagaimana dengan perasaanmu sendiri, Gio? Apa kamu tidak sedih atau malah senang jika aku pergi dari dunia ini?"

Gio membuang napas kasar. "Bukan seperti itu. Kamu tidak bisa memahami apa keinginanku karena dibelenggu obsesi. Cinta tidak selamanya berakhir indah."

"Bagaimana jika aku ingin cinta kita berakhir indah?"

"Jangan melawan takdir, Ayu!"

Aku tersentak mendengar respons Gio. Sungguh, aku bukan mau melawan takdir karena sama saja durhaka kepada Tuhan. Hanya saja berusaha bangkit dan meminta agar takdir itu diubah menjadi indah.

Bukankah senjata orang mukmin adalah doa? Allah tidak pernah melarang hamba-Nya untuk berdoa, lalu kenapa Gio bersikap demikian?

"Gio, aku akan berusaha mendapat restu ibu," kataku berusaha meyakinkan meski belum tahu harus menggunakan cara apa lagi.

"Itu tidak mungkin."

"Kita buat menjadi mungkin. Aku tahu caranya."

Gio menatapku dalam. Dia memindai wajahku seperti mencari sesuatu. Jujur, aku sedikit salah tingkah apalagi ada yang berdesir dalam hati.

Entah apa pikiran lelaki yang ada di depanku ini. Dia sama sekali tidak menunjukkan rasa penasaran atau bahagia. Mungkin, cintanya sudah dibunuh.

"Jangan pernah berpikir seperti itu, Ayu. Aku gak mau kamu disalahkan ibumu. Sekarang kamu pulang ke rumah dan istirahat. Besok kita bicarakan lagi."

"Kenapa kamu gak mau mengerti kalau aku mencintaimu dan gak mau pisah dari kamu, Gio?" teriakku frustrasi.

Saat ini aku hanya berharap mendengar Gio menyatakan cintanya juga. Aku ingin dia kembali berjuang sekali pun nanti belum tahu akan seperti apa. Namun, selama penantian itu, seharusnya lebih banyak merapalkan doa.

Lagi pula aku belum memberi jawaban pada Akbar. Kalau sudah ada kepastian dari Gio, maka malam ini juga aku langsung memberi jawaban penolakan. Tidak peduli bagaimana perasaannya.

Jika menikah dengan Gio, hanya ada satu hati yang terluka. Namun, jika menikah dengan akbar, maka aku dan Gio akan terluka.

"Bunuh perasaanmu itu, Ayu. Aku gak mau kamu kecewa dan sakit hati karena saat ini aku tidak bisa berbuat banyak."

Air mata menetes pada pipi. Aku tidak sanggup menerima kenyataan harus berpisah dari lelaki yang aku cintai. Gio sudah mendarah daging dalam jiwaku, dia terlalu baik selama ini.

"Setelah kamu berhasil membuatku jatuh cinta begitu dalam, sekarang harus memaksa untuk membunuh cinta ini juga?"

Gio mengusap wajah kasar. Aku tahu dia sama bingungnya, tetapi harus mengalah karena tahu cinta kami terlarang.

"Gio, katakan kalau kamu mencintaiku!" pintaku memelas.

"Aku menyukaimu, tetapi tidak seperti dulu." Air mata Gio juga menetes, tetapi segera diseka.

"Apa kamu tidak bisa berpura-pura mencintaiku seperti dulu, Gio? Apa kamu tidak bisa pura-pura bertahan demi aku?"

"Kamu mau hidup dalam kepura-puraan?" Pertanyaan yang begitu menohok hati.

Sungguh, aku pun sama sekali tidak beminat hidup dalam kepura-puraan. Akan tetapi, mau bagaimana lagi jika keadaannya sudah serumit ini?

Cinta yang berdiri begitu megah tidak berguna tanpa restu dari ibu. Aku pun tidak bisa berbuat banyak karena merssa berjuang seorang diri.

Tiba-tiba, sebuah mobil mewah terparkir di depan rumah Gio. Turunlah seorang perempuan paruh baya yang usianya tersamarkan karena kecantikan, dia bergelayut manja pada seorang lelaki yang memakai kemeja hitam.

"Gio Sayang? Kamu ngapain di sini? Masuk gih!" pinta Bu Dania, kemudian melirik padaku. "Kamu pacarnya Gio?"

"Bukan, Tan. Aku temannya Gio," balasku ramah.

Bu Dania hanya tersenyum tipis, kemudian melangkah anggun masuk rumah. Aku tahu lelaki itu bukan suaminya karena Gio menatap penuh kebencian.

"Sekarang lebih baik kamu pulang. Aku sedang tidak mau bertemu siapa pun!" perintahnya kemudian meninggalkanku sendirian.

Dengan berat hati, aku memacu motor meninggalkan rumah Gio. Hati begitu perih, air mata pun tidak mau berhenti mengalir. Sepanjang perjalanan aku hanya merutuki diri yang jatuh cinta terlalu dalam pada Gio.

Sesampainya di rumah setelah satu jam berlalu, aku langsung menyeka air mata karena ibu dan ayah sudah duduk di ruang tamu. Mereka menatap penuh intimidasi.

"Tadi aku ke supermaket nyari cemilan soalnya laper, Bu," jelasku sebelum mereka bertanya.

Akan tetapi tidak ada respon, aku jadi ketakutan. Lama mematung, ayah memberi isyarat untuk masuk dalam kamar. Kalau sudah begini, artinya besok akan ada perang dunia.

Dalam kamar, aku mengecek ponsel dan menemukan pesan baru dari Gio.

[Iya, aku akan bertahan. Namun, jangan berharap penuh sama aku.]

Sekalipun Gio terpaksa melakukan itu, tetapi bisa mendamaikan hati. Aku mengukir senyum, kemudian mengirim stiker love yang hanya dibaca olehnya.

***

"Bu, aku pergi dulu!" pamitku pada ibu yang sedang menyiapkan sarapan.

"Duduk dulu, ibu mau bicara!"

"Tapi aku telat, Bu. Hari ini ada lelang di toko." Aku mencoba beralasan, tetapi ibu selalu bersikap demikian.

Sepotong roti bakar diletakkan di depanku, kemudian menyuruh untuk makan. Daripada semakin rumit, aku terpaksa menuruti ibu padahal sama sekali tidak ada nafsu makan.

"Tadi malam kamu dari mana?"

"Supermaket, kan, Bu?"

"Masa dari supermaket? Ngapain? Itu juga mata kamu bengkak. Apa jangan-jangan kamu habis ketemuan sama Gio? Iya?" Ibu menodongku dengan banyak pertanyaan.

Aku menelan saliva, ternyata alasan tadi malam tidak diterima secara mentah oleh orangtuaku. Ya, mau bagaimana lagi karena aku butuh kepastian dari Gio.

Satu hal yang aku dapat dengan keluar menemui Gio semalam adalah keinginannya untuk bertahan. Hanya itu satu-satunya kunciku untuk berjuang melawan badai cinta.

Ibu membuang napas panjang. "Jangan pernah menemui Gio lagi. Tadi malam adalah yang terakhir. Sekarang habiskan sarapanmu dan berangkat kerja."

"Iya."

"Jangan kerja sama dengan Dian. Ibu sudah meminta seseorang untuk memata-matai kamu. Awas saja kalau berani melawan ibu!" tegasnya lagi yang terdengar seperti sebuah ancaman.

Entahlah, aku malas sekali untuk me jawab ibu karena apa pun yang kukatakan tentu akan dinilai salah kecuali langsung menerima pinangan Akbar.

Ingin menyalahkan lelaki itu juga tidak mungkin karena sejak awal dia sudah bertanya apakah di hatiku tersimpan sebuah nama? Dan aku menjawab tidak.

Rasanya semakin berat saja. Kalau tahu begini, aku ingin kembali ke masa kanak-kanak di mana aku hanya fokus bermain tanpa mengenal cinta pada lawan jenis.

"Pulang kerja nanti, jangan mampir ke rumah Dian karena ada hal yang harus kamu tahu!" kata ibu lagi berhasil membuatku penasaran.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN   Bab 126

    Sepuluh tahun berlalu, kini Ayu sudah berkepala tiga. Dia sedang duduk di sebuah kursi taman berwarna putih di belakang rumahnya. Wanita itu sibuk menyulam rindu untuk kedua orangtua yang kini telah tiada.Rasanya waktu bergulir begitu cepat, dia tidak lagi muda dan kuat seperti dulu. Meski usia tiga puluh tahun lebih belum termasuk menua, tetapi pada anak remaja saja sudah banyak yang mengeluh lutut sakit atau kekurangan pendengaran."Bunda!" teriak seorang anak lelaki yang begitu mirip dengan Akbar. Usianya baru menginjak tahun ke delapan dan saat ini masih duduk di bangku kelas dua SD.Di belakangnya menyusul lelaki tampan yang selalu membersamai Ayu selama ini. Dia menggendong seorang gadis kecil yang matanya seindah milik Ayu. Usianya baru menginjak dua tahun pada pekan lalu.Anak kedua mereka bernama Syafiq dan anak ketiganya bernama Aisha. Meski sudah ada dua pengganti atas kepergian Yafiq, tetapi Ayu selalu dipanggil sebagai Bunda Yafiq."Anak bunda sudah pulang?""Iya, Bun. T

  • PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN   Bab 125

    Tujuh bulan berlalu tanpa terasa dan proses pemulihan Ayu sudah selesai. Sekarang dia bisa bergerak sesuka hati meski Akbar selalu melarangnya untuk mengangkat beban berat. Selain karena dia perempuan, Akbar selalu takut terjadi sesuatu pada sang istri.Aktivitas mereka kembali seperti dulu sekalipun Ayu tetap banyak diam di rumah. Jika dulu ada Dian yang menemani, sekarang tidak lagi. Bahkan sahabatnya itu semakin jarang memberi kabar.Benar kata orang dahulu bahwa setelah menikah, mereka akan semakin jarang bertemu atau kumpul dengan sahabat karena kini prioritasnya berbeda. Terlebih jika dirinya bukan wanita karir maka akan semakin sedikit waktu untuk ketemu di luar.Selama tujuh bulan itu pula, Ayu selalu mendapat kebahagiaan dari perhatian penuh dari suami dan keluarganya. Dia juga dipanggil Bunda Yafiq oleh tetangga dan rekan kerja suaminya."Sayang, aku ada kabar gembira nih!" seru Akbar ketika baru pulang dari bekerja.Ayu yang sedang menonton televisi lantas berdiri dan mengh

  • PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN   Bab 124

    Ayu membuka mata perlahan. "Benarkah Steva sudah pulang?""Iya, dia minta maaf karena tidak bisa menghindar. Steva mengaku kalau dirinya betul-betul tidak sengaja."Wanita itu mengangguk lemah, dia tersenyum karena pada akhirnya keputusan yang Akbar pilih jauh lebih baik dan menenangkan hati. Ayu yakin kalau Steva sungguh-sungguh dalam meminta maaf.Akbar pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan rekaman suara Steva. Dua menit setelahnya terdengar ketukan di pintu utama membuat lelaki itu beranjak cepat."Masuk dulu, Dan!""Gak usah, lebih baik istirahat dulu, yang penting sekarang kita sudah tahu kalau Steva meminta maaf. Motor Gio sudah aku kembalikan dan kalau ada apa-apa, kamu tinggal telepo aku, kali aja bisa ngebantu.""Ya udah, barangkali kamu juga sibuk."Dani mengacungkan kedua jempol sebelum menghilang dari pandangan Akbar. Lelaki itu bahagia karena ternyata kejadian yang menimpa sahabatnya tidak melibatkan Dian juga Gio. Akan tetapi, dia masih harus merahasiakan sesuatu.Dani

  • PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN   Bab 123

    Dani dengan gerak cepat turun dari motor dan menarik Steva. Motor Gio dibiarkan jatuh sementara gadis itu Dani tarik kasar masuk ke halaman rumah Ayu.Akbar dengan sigap menyalakan rekaman suara untuk menjadi bukti kalau gadis itu yang bersalah. Tidak lupa dia berlari masuk ke belakang rumah untuk mengambil tali dan mengikatnya di kursi depan rumah.Dia tidak lagi peduli apakah gadis itu akan merasakan malu atau tidak, satu hal yang pasti dia harus menyesali perbuatannya. Motor Gio diambil oleh Dani dan memarkirnya di depan rumah Ayu."Kenapa kalian mengikatku, hah?!" teriak Steva kemudian setelah sadar dengan apa yang terjadi."Katakan, Ste. Kamu sengaja menabrak Ayu hari selasa kemarin, kan?" Dani langsung mengintrogasinya. "Tidak perlu mengelak karena aku hadir sebagai saksi di sana.""Tidak, kamu salah!""Apa perlu kutunjukkan bukti CCTV di tempat kejadian itu?" Dani sengaja menyeringai tajam agar Steva ketakutan. "Rupanya kamu tidak kenal kata lelah untuk berbuat jahat, ya. Setah

  • PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN   Bab 122

    "By, jangan begitu. Entahlah, aku merasa terlalu kejam untuk memenjarakannya.""Terlalu kejam? Ayolah, Ay, ini bukan kejam. Mereka yang terlibat memang pantas mendapat hukumannya. Apa kamu pikir pembunuhan itu kesalahan kecil dan bukan dosa besar?""Sayang ... aku tahu itu kesalahan besar dan pelakunya wajib dipenjara, tapi apa kamu tahu kalau aku juga bersalah? Aku yang lari ngejer kamu di keramaian tanpa melihat ke kanan dan kiri jalan. Dia seperti gak sengaja nabrak aku, makanya lari begitu. Meskipun kita tahu Steva itu jahat, bisa jadi dia memang tidak sengaja. Aku yang salah dan kalau saja tidak lari ke jalan, dia gak bakal nabrak, kan?"Akbar menepuk jidatnya. "Kamu lari karena ada sebabnya, kan? Kalau aja laki-laki itu gak ada ngegoda kamu, mana mungkin kamu ngejer aku. Paling menunggu di tempat. Nah, di saat itu lah mereka kerja sama.""Tapi Bu Dania gak ada di sini, masa iya kerja sama. Mending daripada kita ikut disalahin sama pak polisi, gak usah usut perkara itu. Biar kita

  • PERNIKAHAN YANG TIDAK KUIMPIKAN   Bab 121

    "Dan, kamu bisa ke sini gak?" tanya Akbar via telepon. Dia ingin meminta bantuan serta saran dari Dani berhubung sekarang hari minggu, jadi tentu sahabat istrinya itu memiliki waktu luang."Bisa. Jam sepuluh ya soalnya masih cuci motor ini. Tapi mau bahas apa?""Gak denger kabar Ayu, Dan?""Enggak, kenapa sama Ayu?" tanya Dani lagi masih di balik telepon.Akbar tidak menceritakannya sekarang, dia meminta Dani untuk datang saja karena cerita di telepon bisa membuat salah faham. Begitu telepon ditutup, lelaki itu langsung melangkah cepat ke kamar menemui istrinya.Ayu yang sudah selesai memakai jilbab mengulurkan tangannya. "Anter ke depan mau jemuran.""Eh gak boleh. Orang abis caesar gak boleh kena paparan sinar matahari langsung. Mending latihan jalan lagi atau gak makan tempe sama minum susu biar cepet kering lukanya.""Boleh.""Gak boleh, Ay.""Boleh.""Enggak, Sayang."Ayu cemberut karena kali ini keinginannya tidak dituruti. Akbar yang super peka langsung duduk di tepi ranjang me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status