Sesampainya di depan toko, aku memaksa senyum pada Mbak Rina karena sepanjang jalan tadi mendapat omelan dari ibu. Sungguh aku tidak mengerti kenapa ibu harus mempermasalahkan pekerjaan orangtua Gio.Padahal jika telah menikah nanti, kami bisa pisah rumah. Lagi pula tentu saja ibunya Gio tidak akan mau serumah dengan kami atau akan mempersulit dirinya sendiri."Sebenarnya ada apa, sih, Yu? Mbak bukannya kepo cuman kalau ada masalah, kamu bisa cerita." Mbak Rina mulai penasaran."Gak ada apa-apa, kok, Mbak.""Gak apa-apa gimana? Tadi aja ibu kamu langsung marah-marah pas tau mbak bilang ke rumah sahabatmu. Dia juga marahin mbak karena ngeberi izin gitu."Aku membuang napas kasar. Ternyata ibu sangat benci jika aku masih berusaha dekat dengan Gio atau dengan orang-orang yang akrab dengannya. Namun, kenapa harus memarahi Mbak Rina juga?"Maafkan ibu, Mbak." Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan sebelum akhirnya kembali ke meja kasir.Mbak Rina manggut-manggut mengerti. Mungkin dia peka
"Ayu!" Gio meraih pergelangan tanganku. Kami tidak bersentuhan langsung karena piyamaku menjadi perantara. Menyadari itu, Gio langsung melepasnya. "Kamu mau bunuh diri? Sadarlah, itu dosa.""Aku gak peduli. Selama kamu menyerah, aku akan tetap mengakhiri hidup.""Jangan bunuh diri. Pikirkan perasaan orangtua kamu, juga Dian sebagai sahabatmu.""Bagaimana dengan perasaanmu sendiri, Gio? Apa kamu tidak sedih atau malah senang jika aku pergi dari dunia ini?"Gio membuang napas kasar. "Bukan seperti itu. Kamu tidak bisa memahami apa keinginanku karena dibelenggu obsesi. Cinta tidak selamanya berakhir indah.""Bagaimana jika aku ingin cinta kita berakhir indah?""Jangan melawan takdir, Ayu!"Aku tersentak mendengar respons Gio. Sungguh, aku bukan mau melawan takdir karena sama saja durhaka kepada Tuhan. Hanya saja berusaha bangkit dan meminta agar takdir itu diubah menjadi indah.Bukankah senjata orang mukmin adalah doa? Allah tidak pernah melarang hamba-Nya untuk berdoa, lalu kenapa Gio b
Lelah rasanya setelah melakukan live streaming di Facebo0k. Pasalnya lelang kali ini lumayan banyak daripada tahun lalu dan alhamdulillah peminatnya banyak juga. Kami sampai banjir orderan.Selain aku, ada satu karyawan baru lagi. Ah, mungkin saja saudara Mbak Rina karena setahu aku dia bukan asli sini, ketahuan dari muka.Dia mem-packing barang dengan cekat, aku sampai melongo melihatnya. Atau mungkin juga karena dia seorang lelaki berpengalaman sampai bisa secepat dan serapi itu."Tempelin gih!" perintah Mbak Rina menyerahkan tumpukan stiker info pemesan yang berisi nomor pesanan, nama, nomor telepon, alamat serta ucapan terimakasih. "Mbak mau ke warung sebentar, laper!"Laki-laki itu sangat pintar karena sudah menandai tiap paket dengan nomor pesanan sehingga aku tidak perlu bingung. Tentu saja aku menempel stiker itu dengan hati-hati, takut mendapat sensor."Rafael, panggil saja Rafa.""Eh?" Aku terkejut karena tiba-tiba saja dia memperkenalkan diri."Nama kamu siapa?" tanya Rafa
"Gak, aku gak mau pulang sebelum berhasil menyadarkanmu!" tolak Dian dengan senyum pongah."Lagian kenapa, sih? Aku kan gak kesurupan!""Sudah kukatakan, rasa berharapmu pada Gio harus dikikis, Ayu." Dian sudah kembali melembutkan suara."Hatiku pedih!" tukasku cepat, kemudian berakhir dengan embusan napas kasar.Memang semua ini salah dan aku menyadari itu, tetapi kita tidak bisa mengatur hati untuk bersikap biasa saja. Aku juga tahu bahwa masalah apa pun yang menimpa baik itu berupa ujian pada harta, keluarga atau kekasih, kita harus kembali kepada Allah.Setiap malam aku bermunajat pada-Nya meminta pertolongan agar bisa menerima Akbar hadir dalam kehidupanku. Nyatanya cinta pada Gio yang semakin tumbuh megah. Umpama ilalang yang rimbun tanpa disiram."Kepedihan bagiku adalah sebuah panggilan dari Tuhan untuk kembali pada-Nya. Wahai hambaku, segeralah kembali, mendekat ke sisi-Ku. Kamu sudah lama merasa hebat sehingga lupa dan lalai dari mengingat-Ku," tutur Dian menohok hati.Air m
Pesan Akbar tidak aku balas karena masih bingung harus menjawab apa. Ingin mengelak juga khawatir dia sudah tahu semuanya dan menganggap aku ini perempuan dramatis.Ingin jujur juga tidak mungkin, jangan sampai dia mengira aku ini terlalu diperbudak cinta. Aku tidak mau dicap buruk sama manusia lainnya sekalipun penilaian mereka tidak penting.Apalagi, sepuluh menit setelah kudiamkan pesannya semalam, dia posting story Whats*pp. Katanya, hati yang tenang adalah hati yang tidak terikat sesuatu selain Allah."Selamat datang di Toko Fashion Muslim dan Muslimah. Ada yang bisa kami bantu?" sapaku ramah begitu melihat pelanggan masuk.Hari sudah beranjak sore, sejak tadi kami sibuk menyusun barang baru dibantu Rafael juga. Lelaki itu melepas maskernya seraya melangkah cepat mendekat padaku yang mematung di dekat manekin."Ayu, aku mau bicara sama kamu.""Bicara apa?""Story yang kamu pasang itu buat Gio?""Kamu tahu Gio?" tanyaku ragu-ragu.Akbar menunduk dalam beberapa saat, aku jadi semak
"Ibu bilang sama Akbar kalau lamaran ini diterima?" tanyaku pada ibu begitu selesai salat magrib."Loh, memangnya kenapa kalau ibu ngomong gitu ke Akbar?" Ibu melipat kedua tangan di depan dada. "Pokoknya tidak usah banyak protes. Sabtu nanti mereka bakal datang ke sini buat nentuin tanggal pernikahan. Ayahmu aja sudah setuju, jadi nunggu apa lagi?""Ibu gak ngerti perasaan aku!" pungkasku menunjuk diri dengan tangan kanan."Memangnya Akbar kurang apa dari Gio? Setahu ibu, Akbar itu lebih berilmu, kemudian cakep. Cuman mungkin kalah tajir aja sama Gio yang ibunya–""Kupu-kupu malam kan yang mau Ibu bilang lagi?" Terpaksa aku membuang napas kasar di depan ibu karena emosi sudah mendarah daging. "Gini ya, Bu. Kita gak bisa menilai orang dari luar saja. Sifat asli orang itu ketahuan kalau dia dalam keadaan emosi, apakah tetap lemah lembut atau malah meluapkannya ""Dan Akbar orang yang ibu percaya. Dia anak yang lahir dari orangtua hebat, mendidik dengan sempurna sampai bisa seperti sek
Sabtu yang dinanti-nanti telah tiba. Entah mengapa sampai sekarang aku tidak bisa ikhlas menerima semua ini padahal kemarin malam merenungkan ayah yang sudah berusaha membujuk ibu sampai beradu mulut.Selama beberapa hari ini pula aku selalu di bawah pengawasan Dian untuk tidak menemui Gio. Bukan hanya itu, setiap hari dia mengingatkanku untuk menerima Akbar sebagai suami karena di luar sana banyak sekali perempuan yang menginginkan lelaki sepertinya.Walau aku menolak dengan dalih Gio juga orang baik, Dian menggelengkan kepala. Ibu memberi kepercayaan pada Dian sehingga dia tidak ingin ingkar ketika diminta berjanji untuk membujukku.Sebuah amanah yang sebenarnya sulit untuk Dian lakukan karena dia sendiri tahu bagaimana hati ini telah tenggelam dalam dunia Gio. Lelaki itu tidak pernah lagi memberi kabar padaku, hanya memasang story beberapa kali."Sudah siap, Bestie?" tanya Dian memecah lamunan.Aku menatap pantulan cermin. Di sana ada sosok pere
"Gio, kenapa sejak tadi kamu diam? Kamu marah karena sebenarnya aku yang maksa Dian buat ngajak kamu ketemuan? Hayolah, aku butuh kejelasan!" rengekku menahan tangis agar dia mengira kalau hati sedang baik-baik saja.Sebenarnya ini bagian dari syarat yang diajukan Dian sebelum mengantarku bertemu dengan Gio. Dia bilang kalau aku harus tegar di hadapannya dan jangan sampai menitikkan air mata atau pertemuan ini tidak akan terjadi.Mau tidak mau aku menurut saja karena rindu sudah meraja dalam hati. Namun, sepertinya berbeda dengan Gio. Dia sama sekali tidak senang melihat kedatanganku karena sejak tadi dia diam saja bahkan enggan membuka mulut."Gio, tolong. Hanya sekali ini saja!" bujuk Dian ketika aku menatap iba padanya."Kejelasan apa? Semua sudah jelas dan aku tahu dia akan menikah sama Akbar," ketus Gio."Ayu cuma mau nanya satu hal sama kamu, Gio. Jangan keras kepala begini karena aku tahu kamu juga sama merindukannya, tetapi mencoba lari dar