Share

Bab 5

[Apa kamu ada hati sama orang lain? Maaf, kalau pertanyaan ini terkesan lancang. Namun, aku tidak ingin menaruh harap sama orang yang tidak pernah ada niat untuk menerimaku. Katakanlah sekarang sebelum akhirnya kita melangkah lebih jauh dan sulit untuk kembali ke titik awal.]

Membaca pesan itu membuatku semakin dilema. Kasihan juga Akbar kalau harus diberi harapan sementara hati fokus memikirkan Gio.

Ya, dalam hati dan pikiran selalu terbesit nama Gio Syaputra. Aku sampai heran kenapa bisa sesuka itu sama dia. Entah karena sifatnya yang suka menolong orang atau memang sudah menjadi takdir.

[Tidak, Akbar.]

Hanya itu yang bisa aku kirim padanya. Ini tidak berbohong karena aku hanya mengatakan tidak, bukan menjelaskan secara rinci. Aku mengaku tidak bisa memberitahunya tentang Gio karena lelaki itu saja sudah mengaku kalah.

Mungkin Gio merasa ragu untuk berjuang mengingat status ibunya yang seorang kupu-kupu malam. Ibu merasa khawatir jika kelak aku menjadi menantunya, akan dipaksa untuk terjun dalam dunia itu.

Membawa lelaki asing secara bergilir untuk kepuasan sesaat dalam rumah. Ah, itu hal yang paling aku benci. Seandainya Gio sudah jujur sejak awal, maka tidak akan serumit ini.

Sekian menit aku menunggu, tidak ada balasan lagi padahal sudah centang biru. Biar saja, malam ini juga aku ingin segera tidur berharap besok ada keajaiban yang diberikan Tuhan.

***

"Selamat pagi, ada yang bisa dibantu, Mas?" sapaku lembut ketika ada sosok laki-laki yang masuk ke toko.

Hari ini Mbak Rina si pemilik toko juga ikut hadir karena mau melelang beberapa barang lama besok lusa. Lelaki itu memindai sekitar, lalu bertanya, "gamis yang seukuran kamu, warna terserah deh!"

Aku melongo. Apa jangan-jangan dia mau membelikan gamis untuk aku karena hanya memakai dress selutut dengan celana bahan sehari-hari?

Tanpa protes, aku langsung memilih gamis model terbaru warna krem. Dia langsung mengangguk setuju. Setelah tiba di meja kasir, aku bertanya, "dibungkus apa gini aja?"

"Bungkus, Mbak. Masa iya aku keluar toko bawa gamis itu tanpa kantong plastik?"

Astagfirullah, ternyata dia bukan mau membelikan untukku. Berarti perempuan lain yang mungkin sepantaran sama aku. Dasar tukang geer! gerutuku dalam hati.

Tepat ketika menyerahkan uang kembalian, Dian meneleponku meminta segera datang ke rumahnya karena darurat. Suaranya terdengar parau sekali.

"Mbak Rin, aku bisa izin sebentar gak? Sahabat aku nelfon, dia kayaknya lagi butuh bantuan. Kadang penyakitnya kumat, tetapi lagi sendiri di rumah!" mohonku dengan sangat panik.

"Boleh."

Aku langsung melangkah cepat ke parkiran dan melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Untung saja Mbak Rina orangnya baik, jadi bisa izin dengan mudah padahal pekerjaan di toko lumayan banyak.

Lelang yang akan berlangsung lusa nanti bukan lelang biasa, melainkan besar-besaran karena Mbak Rina mau mengosongkan toko untuk memasukkan barang baru.

"Dian, buka pintunya!" Aku mengetuk pintu sedikit keras ketika sudah sampai.

Daun pintu bernuansa putih itu terbuka lebar. Aku diminta duduk di ruang tamu dulu, bahkan segelas air putih sudah tersedia di sana. Dian memintaku meminum dahulu.

"Bagaimana acara tadi malam, kamu suka sama Akbar?"

"Kamu nelfon aku cuma buat nanyain itu?"

"Enggak. Sabar, ini permulaan saja, Ayu."

"Entahlah. Aku sepertinya belum suka sama Akbar, tetapi mau mencoba menerimanya. Apalagi Gio sikapnya seperti itu, tadi malam saja dia gak aktif."

"Kamu belum tahu alasannya?"

Aku menggeleng pelan. Sudah berulang kali aku menelepon Gio, mencari di Facebo0k juga Instagr*m tetap saja nihil tanpa jawaban. Dia seperti menghilang bak ditelan bumi.

Sampai saat ini aku masih memikirkannya sekalipun menegaskan dalam hati kalau laki-laki itu sudah tidak cinta lagi atau menemukan incaran baru. Aku tidak menyangka akan berakhir seperti ini setelah berulang kali membahas masa depan bersama.

"Gio ada di sini, dia di kamar Dani. Kamu mau melihatnya?"

"Apa? Gio ada di sini?!" pekikku yang kemudian langsung menuju kamar Dani.

Pintu nuansa cokelat itu terkunci, aku menggedor-gedor tanpa rasa malu karena orangtuanya juga tidak ada di rumah. Mereka berdua sibuk mencari nafkah.

Hanya saja yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Gio bisa ada di sini? Bukankah seharusnya berangkat kerja?

"Gio tidak mau melihatmu!" kata Dani ketika pintu sedikit terbuka.

Dengan sekuat tenaga aku mendorong pintu itu. Betapa terkejutnya aku begitu melihat Gio terbaring lemah dengan penuh lebam. Dian menggenggam erat tanganku seolah memberi kekuatan.

"Gio babak belur begitu karena disiksa oleh pacar ibunya. Tadi malam dia berusaha meminta ibunya untuk berhenti dari pekerjaan itu, tetapi ujungnya berakhir seperti ini. Untung saja Dani yang menunggu di luar mendengar erangan Gio dan langsung menyambar masuk," jelas Dian.

Aku menelan saliva, air mata mengucur deras karena tidak tega melihat pemandangan ini. Tadi malam aku tersenyum bahagia sambil terus menyalahkannya, padahal dia tengah berjuang meminta sang ibu berhenti dari pekerjaan itu.

"Gio tahu kalau kamu dijodohkan itu karena pekerjaan ibunya. Walau tanpa diberitahu, dia bisa menebak," tambah Dian lagi.

Sementara Dani kembali mengompres luka Gio dengan air es. Andai saja aku bisa mengobati luka Gio, mungkin dia akan tersenyum bahagia.

Lelaki itu menutup mata rapat, tetapi aku bisa melihat bulir bening mengalir di sana. Hati seketika merasa perih, Gio yang malang harus terbaring lemah demi aku.

"Assalamualaikum!" Kami dikejutkan oleh suara ibu.

Bagaimana mungkin dia tahu kalau aku ada di sini? Cepat-cepat Dani menyuruh kami keluar, lalu menutup pintu kamarnya rapat.

"Waalaikumussalam, Ibu?"

"Tadi ibu mencarimu ke toko, kata Rina kamu ke rumah sahabat. Ada apa?"

Mudah sekali ibu menebak karena sejak dulu hingga kini, aku hanya bersahabat dengan Dian. "Em, Dian tadi menelepon, Bu."

"Maaf, Bu. Aku tidak tahu kalau ...." Dian menggantung kalimatnya. Dia pasti tidak tahu harus bilang apa.

"Kalau mau membantu Ayu menyatu dengan Gio, tidak usah. Sampai kapan pun aku tidak sudi punya menantu dari anak seorang kupu-kupu malam. Kalian sudah tahu pekerjaan Dania, 'kan?" Suara ibu benar-benar lantang.

Aku menutup mata karena merasakan luka yang dirasakan Gio. Lelaki itu hanya pura-pura tidur tadi, berarti bisa mendengar pengakuan ibu.

"Bu, tolong jangan bawa-bawa pekerjaan ibunya Gio," tegurku dengan suara pelan.

Ibu membuang napas kasar. "Ini demi kebaikan kamu juga, Ayu!" tegasnya.

Detik selanjutnya, ibu meraih pergelangan tanganku dan menyeret paksa keluar dari rumah Dian. Tanpa ragu aku berteriak keras, "Dian sampaikan maafku padanya. Sungguh, bukan ini yang aku inginkan!"

Perempuan yang memakai jilbab itu mengangguk pelan. Wajahnya berhias awan hitam yang menyiratkan kesedihan. "Gio, maafkan aku!" teriakku lagi begitu sampai di motor.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status