“Jadi, kamu enggak kasih izin kami tinggal di sini, Mel?” “Enggak Mbak, aku tidak kasih izin. Mbak Dwi kan, punya rumah ngapain tinggal di sini!?" tegasku.“Ya, kami di sini untuk jagain ibu. Selama ini kan, kami jagain ibu. Sepi kalau tidak ada ibu. Lagi pula ada lebihan kamar itu di belakang,” jawab Mbak Dwi kekeh memaksa tinggal di sini.“Kalau Mbak Dwi enggak mau pergi, maka aku akan minta bantuan RT untuk usir Mbak Dwi!" Ancamku.“Eh, kurang ajar ya, kamu! Ini juga rumah adikku. Kamu lupa tanah ini milik orang tua kami?”“Enggak lupa kok! Sepertinya memang Mbak Dwi yang lupa bahwa rumah ini dibangun pakai uangku.”“Ih, kamu itu ya, nyebelin banget!” Mbak Dwi hendak mendorongku, tapi aku berhasil menghindar. “Dwi, jaga sikapmu! Apa yang dikatakan Melsa itu benar. Kamu punya tempat tinggal ngapain ikut Ibu ke sini. Kalau alasan kamu sepi enggak ada Ibu, ya, udah Ibu pulang saja. Lagi pula orang tua Melsa juga mau ke sini,” sahut mertuaku. Beliau memang selalu baik hati dan menjad
“Emm ... ini, Bu ... anu temanku Rania lagi ada masalah sama keluarganya, jadi minta izin singgah ke sini sebentar biar hilang penat,” jelas Mas Bayu. Keringat sebesar biji jagung bercucuran di dahinya. Padahal malam ini cukup dingin.Ibu dan Mbak Dwi menatap curiga, tapi sejurus kemudian Mbak Dwi tersenyum lebar saat Rania mengangkat plastik belanja yang dia bawa.“Waah ... boleh-boleh. Ayo, sini masuk, Rania! Udah enggak usah sungkan memang istrinya Bayu begitu. Dia selalu saja suuzon kalau ada perempuan main padahal kan, cuma teman kerja aja,” ucap Mbak Dwi. Ditariknya tangan Rania.Saat melewatiku, Rania tersenyum sinis penuh kemenangan. Begitu juga Mas Bayu. Dia berkali-kali mengusap dadanya, pasti dia merasa lega karena Mbak Dwi percaya padanya. Sedang mertua masih berdiri terpaku di sampingku. Mungkin iba padaku.“Wah, rame, ya? Kalau di rumah Rania cuma sama mamah aja dan itu pun selalu ribut,” ucap Rania. Entah kenapa aku merasa ada yang aneh padanya. Suaranya juga seperti di
“Ibu, kok, gitu, sih! Ibu bilang kita harus menghormati tamu sekalipun itu musuh kita,” protes Mbak Dwi.“Ibu, paham. Hanya saja Ibu merasa tamu kali ini berbeda. Bukankah kita sudah menjamunya. Rumah ini sempit tidak bisa lagi menampung orang lain,” jawab ibu dengan santainya.“Kan, ada kamar Naila, aku sama Mas Rudi dan anak-anak bisa di kamar belakang. Enggak enak loh, Bu, Rania sudah bawa oleh-oleh banyak gini untuk kita. Weh ... kok, malah kita usir,” kata Mbak Dwi lagi.“Kamar Naila mau Ibu tempati. Sudah jangan banyak bantah. Ibu tidak suka dibantah. Silakan pergi Mbak Rania! Kami semua mau istirahat,” usir ibu lagi. Rania dan Mas Bayu terlihat sangat kesal sekali, tapi Mas Bayu tidak bisa berkutik.“Ibu, jahat ih!” Mbak Dwi masih saja berisik.“Kamu sekalian pergi juga Mbak, aku juga tidak mengizinkan kamu dan keluargamu tinggal di sini. Sana pulang! Punya rumah kok, senangnya jadi benalu di rumah orang lain,” sahutku.“Eeh ... kurang ajar ya, kamu! Ini rumah adikku, jadi ters
“Mel! Sudah siang ini kok, belum bangun, kamu enggak masak juga, sih? Ibu juga enggak masak, aku mau kerja!” Mas Bayu menggedor-gedor pintu kamarku. Rasain! Emang enak. Sebenarnya aku dan ibu sudah bangun dari tadi subuh, kami sengaja tidak keluar kamar karena malas mau meladeni Mas Bayu. Biar saja dia mandiri hitung-hitung latihan nanti kalau kami beneran berpisah.“Bu, aku mau kerja kalau enggak sarapan nanti aku kelaparan dan enggak fokus!” rengeknya.“Belilah sana! Ibu capek enggak masak, mau istirahat,” jawab mertuaku.Tak lagi terdengar suara Mas Bayu mungkin dia beneran beli sarapan.“Ibu capek? Nanti kita panggil tukang urut, ya?” ucapku.“Enggak, Mel! Ibu bohong aja sama Bayu. Biar dia enggak nyuruh kita buat masak,” jawab ibu.“Nanti aku nitip Naila ya, Bu. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan.”“Mau ke mana? Apa ada yang kamu sembunyikan dari Ibu, Mel?”“Mau ketemu teman, Bu. Tenang aja, tidak ada yang aku sembunyikan dari Ibu,” jawabku. Memang setelah urusanku beres aku aka
“Enggak usah lebai, Mel! Cuma ditutup doang! Kamu juga Naila, masih kecil enggak usah ngadu yang tidak-tidak sama mamahmu. Enggak sopan dan Papah enggak suka!” hardik Mas Bayu pada Naila. Gadis kecilku beringsut menyembunyikan wajahnya di balik punggungku. Dia ketakutan. Mas Bayu baru pertama kali ini bersikap kasar pada Naila. Ah, ternyata cinta memang buta mata dan hati. Apalagi cinta yang didasari dengan perselingkuhan.“Bayu, sekali lagi kamu hardik anakmu, Ibu tidak akan tinggal diam! Kalau anakmu tidak bicara jujur kenapa kamu harus takut. Tinggal dibilangi saja kalau berbohong itu enggak baik. Ibu heran sama kamu, kok, sekarang kamu berubah jadi manusia yang tidak tahu diri. Zolim sama anak istri!” bentak mertuaku. Rasain emang enak dimarahin ibunya. Mas Bayu langsung menunduk. Dia memang lemah kalau berhadapan dengan ibunya. Hanya itu nilai plusnya. Lainnya minus semua!“Lagi pula, Mas ... anak kecil itu belum bisa bohong. Dia akan berkata sesuai apa yang dilihatnya. Anak keci
“Duuh, menantu kesayangan jam segini baru bangun tidur! Sok ratu, seret nanti rezekimu!” sindir Mbak Dwi. Perasaan aku enggak kesiangan ini masih jam 6 pagi. Tadi memang selepas subuh aku tidur lagi. Rasanya badanku tidak karuan. Capek sekali. “Terserah akulah, mau bangun tidur jam berapa enggak merugikan Mbak Dwi. Lagian pagi-pagi begini ngapain Mbak ke sini? Mau numpang sarapan lagi?” jawabku ketus.“Memang kenapa kalau aku sarapan di sini?! Toh, ini rumah adikku. Belanja dapur pasti pakai duitnya juga kan?” ucap Mbak Dwi lagi. Sebel dan ingin rasanya kucakar mulutnya itu, tapi tidak enak dengan mertuaku.“Kalian apaan ‘sih! Enggak siang, malam, pagi, ribuuuutt terus. Pusing tahu, enggak! Ini kupingku rasanya mau pecah dengar ocehan kalian berdua!” hardik Mas Bayu. Dia baru saja keluar dari kamar mandi belakang. Tadi memang di kamar mandi kami, ada Naila yang sedang PUP. Wajah Mas Bayu pucat sekali sudah seperti mayat hidup. Fiks, dia beneran sakit!“Biasalah ini, Bay, istrimu eng
Selepas kepergian Mas Bayu ke kantor aku gegas ke rumah temanku untuk konsultasi keperluan gugatan ceraiku. Obrolan dia dengan selingkuhannya tadi pagi jelas sekali tidak ingin aku mengetahui lebih dalam tentang mereka, tapi tidak mengapa justru dengan begitu aku tidak semakin sakit.“Perceraian itu sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah, meski itu perbuatan halal, Nak. Harus ada alasan syar’i jika tidak kitalah yang berdosa,” ucap ustazahku kebetulan hari ini kajian rutin mingguan, jadi setelah pulang dari rumah teman, aku sekalian pergi kajian. Hanya ini satu-satunya tempatku melampiaskan segala rasa gundah gulana yang aku alami.“Aku paham, Ustazah. Tapi, bukankah zina itu dosa besar dan aku tidak terima itu. Aku merasa dicurangi, sakit sekali Ustazah,” jawabku.“Sesama perempuan saya bisa mengerti yang kamu rasakan, tapi kalau untuk memutuskan langsung berpisah itu pun tidak bagus, Nak. Kita cari jalan lain dulu. Salat istikharah minta petunjuk. Bukankah Allah maha pemaaf, tidak
“Kamu gimana sih, Beb masa rambut palsumu bisa ketinggalan gitu. Kalau orang rumah pada tanya aku harus jawab apa coba?” Kudengar dengan jelas obrolan Mas Bayu. Karena saat aku sudah di kamar Mas Bayu sama sekali tidak menyadari kedatanganku. Dia sibuk teleponan di pojok kamar membelakangi pintu.“Ya, sudah, nanti aku amankan.”“Bye ... Honey. Maaf ya, belum bisa senang-senang dulu nanti kalau aku sudah sehat kita bebas ngapain aja.”“Iya, aku janji.” Beh, mesra sekali mereka!“Setidaknya kalau mau teleponan mesra gitu enggak di kamar ini, Mas. Bikin dosa. Takut keluargamu yang kena akibatnya,” kataku. Mas Bayu langsung balik badan dan mematikan telepon.“Bisa ‘kan kalau masuk kamar ketuk pintu dulu? Eggak asal nyelonong gitu aja! Udah kayak setan! Tiba-tiba masuk,” protesnya.“Sudah! Apa perlu aku dobrak sampai jebol biar kamu dengar, Mas!?” sungutku.“Bisa enggak sih, santai aja ngomongnya. Kalem aja ‘kan bisa. Bisa-bisa kupingku pecah!” bentak Mas Bayu.“Kalau kamu enggak kasar, ak