Share

Nekat.

“Waaah ... pasti Mas Bayu istimewa banget ya, sampai temannya baik banget kasih kebutuhan pokok sebanyak ini. Pasti ada maunya,” sindirku.

 

 

“Tidak usah suuzon begitu, Mel. Bayu itu orang baik di mana pun berada makanya banyak yang sayang,” jawab Mbak Dwi.

 

“Iya, saking baik dan sayangnya sampai kelewatan,” jawabku.

 

Ibu mertuaku dan Mbak Dwi bersamaan menoleh padaku. Pasti mereka tidak akan menyangka kalau aku selalu saja membantah ucapan mereka.

 

 

“Terserah kamu lah, Mel! Orang dapat rezeki kok, malah suuzon harusnya itu bersyukur dan ngucapin terima kasih,” kata Mbak Dwi lagi.

 

 

“Kalau Mbak Dwi dikasih sesuatu sama maling yang sudah mengambil barang  sangat berharga bagi Mbak, apa Mbak Dwi akan bilang terima kasih?” tanyaku menohok. Tatapanku beralih pada Mas Bayu yang sejak tadi sudah gelisah.

 

 

“Maling? Apaan si, kamu, Mel, ini halal.”

 

 

“Ah ... terserahlah. Aku mau ke kamar. Lelah banget rasanya. Ayo, Naila, kita tidur sudah malam takut besok kesiangan,” kataku seraya mengambil Naila dari pelukannya Mas Bayu.

 

 

“Jangan kasar gitu dong, Mel!” bentak Mas Bayu.

 

 

“Terserah aku, Mas. Selagi aku tidak menyakiti Naila dan dia tidak protes itu kuanggap normal,” jawabku sinis lalu aku masuk ke kamar.

 

 

“Mel! Enggak sopan, kamu!” Mas Bayu menyusulku pasti dia tidak enak karena ada ibu dan kakaknya.

 

 

“Jaga sikapmu atau aku akan buang kamu dari rumah ini!” Ancam Mas Bayu, tanganku dicekalnya. Sakit sekali. Untung saja Naila sedang di kamar mandi. Gosok gigi dan wudu.

 

 

“Aku tidak takut dengan ancamanmu, Mas. Apa kamu lupa rumah ini berdiri karena jasa dari orang tuaku meski tanah ini milik orang tuamu. Kalau kamu mau ngusir aku dari sini bayarin dulu rumah ini.”

 

 

“Oke, akan aku bayar! Pacarku banyak uang dia pasti mau bayarin rumah mungil ini,” jawabnya berbangga diri.

 

 

“Ck, dasar laki-laki modal burung puyuh doang. Enggak malu minta modalin pacar. Heran kok, mau pelakor itu sama kamu, Mas. Perasan burung puyuhmu juga kecil enggak sewow milik orang-orang bule,” ejekku. Mas Bayu melotot.

 

 

“Tidak sopan ya, Kamu! Emang kamu tahu burungnya orang bule? Ooo ... apa selama ini mau main di belakangku juga?” Fitnahnya.

 

 

“Aku tidak semurah yang kamu kira, Mas. Ini zaman internet Mas, semua bisa diakses. Kamu lupa teman-temanku banyak yang menikah dengan orang bule? Jelas aku tahu dari mereka.”

 

 

“Ah, lupakan! Ini peringatan ya, jangan sampai kamu bertingkah seperti tadi. Ibu bisa curiga.”

 

 

“Sengaja. Biar ibumu tahu kalau anaknya bejat!”

 

 

“Ancamanku tidak main-main, Melsa! Kamu tahu kan, aku tidak pernah bercanda.” 

 

 

“Aku pun tidak main-main, Mas. Resiko kamu berani berbuat berani bertanggung jawab.”

 

 

Mas Bayu tak menjawab lagi karena HP-nya berdering. Pasti pelakor itu yang telepon.

 

 

“Nanti dulu, ya, Beb. Di rumah sedang kacau gara-gara kamu belanjain Mbak Dwi. Kamu enggak mau dengar ucapanku. Sudahlah aku butuh waktu sendiri!” ucap Mas Bayu. Terlihat sekali dia menahan amarah. Rasain emang enak punya selingkuhan bar-bar.

 

***

 

 

“Kamu rapi banget mau ke mana?” tanya Mbak Dwi. Oo, rupanya dia semalam tidak pulang malah memboyong keluarganya ke sini. Dasar benalu.

 

 

“Mau ker ....”

 

 

“Bay, bagi ceban dong, buat beli bensin. Itu motor bensinnya habis,” ucap Mas Rudi, suami Mbak Dwi.

 

 

Cih, dasar benalu. Pagi-pagi sudah ngeretin duit orang.

 

 

Mas Bayu melihat ke arahku. Pasti dia merasa sungkan padaku.

 

 

“Bay, kok, malah diam, sih! Buruan kasih itu duit buat Mas  Rudi, sudah siang ini keburu telat masuk kantor,” sahut Mbak Dwi. Dia sedang asyik main HP di meja makan. Entah ibu mertuaku ke mana biasanya pagi-pagi begini beliau di dapur. Ini sama sekali tidak terlihat. Tadi Naila sudah diantar ke sekolah oleh Mas Bayu saat aku mandi.

 

 

“Mas Bayu bukan ATM kalian Mbak, Mas! Kalian ini bisanya jadi benalu di hidup orang saja,” jawabku.

 

 

“Eh, Melsa, enggak usah ikut campur kamu! Aku minta sama adikku bukan sama kamu, wajar dong! Dia jadi seperti sekarang ini juga berkat jasaku!” seru Mbak Dwi.

 

 

 

“Jasa yang mana, Mbak? Kan, sudah dibayar dari Mas Bayu bujang dan kamu Mas, mau-maunya dikeretin sama kakakmu. Untuk diri sendiri aja enggak cukup,” kataku lagi.

 

 

“Sudah-sudah enggak usah ribut. Aku ikut Bayu saja, nebeng sampai kantor,” sela Mas Rudi.

 

 

“Mobil mau aku pakai,” jawabku seraya berlalu.

 

 

“Mel, tunggu! Kamu mau ke mana dan kenapa harus pakai mobil? Kan bisa pakai motormu itu!” protes Mas Bayu.

 

 

“Kamu aja yang pakai motor, Mas. Ini mobilku hadiah dari orang tuaku.” Mas Bayu melongo lalu kembali ke dalam.

 

 

“Mel, tunggu!” Mbak Dwi berlari ke arahku diikuti suaminya.

 

 

“Apa lagi, Mbak?”

 

 

“Kamu mau ke mana pagi-pagi begini mana bawa mobil segala. Mobil mau dipakai kerja sama Bayu!”

 

 

“Aku juga mau keluar Mbak. Biar saja dia naik motor atau angkot,” jawabku ketus.

 

 

“Enak aja nyuruh orang naik angkot. Awas sana pergi. Biar Bayu sama Mas Rudi yang bawa mobil. Buang waktu saja. Sudah hampir terlambat ini!” Usir Mbak Dwi. Kali ini dia mendorongku sampai aku jatuh.

 

 

“Siniin kuncinya!” Mbak Dwi merebut kunci dariku.

 

 

Bruk!

 

Kudorong balik Mbak Dwi sampai jatuh.

 

“Aaa ... sakit!” pekiknya. Mas Bayu dan Mas Rudi berbondong-bondong menolong Mbak Dwi.

 

Gegas aku tancap gas terserah mereka mau gimana yang penting aku pergi dari rumah pagi ini. Rencanaku hari ini pergi menemui temanku yang adiknya pengacara. Aku berniat konsultasi masalah rumah tanggaku padanya. 

 

***

 

Nasib baik belum berpihak padaku. Adik temanku ternyata sudah ada jadwal penuh hari ini dan tidak ada yang bisa dipending. Salahku tidak buat janji terlebih dahulu. Lebih baik aku ke taman kota saja sampai waktunya jemput Naila. Malas kalau di rumah ada Mbak Dwi.

 

Derrtt

 

 

Telepon dari sekolah Naila. Duh, ada apa ya? Tumben sekali padahal ini belum waktunya untuk jemput.

 

 

[Assalamualaikum ... Bu guru?] sapaku.

 

 

[Wa’alaikumsalam ..

 

 Mamah Naila bisa datang ke sekolah secepatnya?]

 

 

[Bi—sa ... memang ada apa ya, Bu guru? Naila baik-baik saja, kan?]

 

 

[Nanti kita bicarakan di sekolah. Secepatnya kami tunggu kedatangan Mamah Naila.] Panggilan berakhir aku segera banting setir ke sekolah Naila.

 

Baru saja hendak keluar parkiran aku melihat Mas Bayu dengan seorang perempuan memasuki mobil mewah. Rupanya hari ini dia bolos lagi enggak kerja. Sayang sekali wajahnya tidak terlihat. Aku yakin itu pacarnya Mas Bayu. 

 

Mengingat Naila kuurungkan niat membuntuti mereka. Semoga lain waktu aku bisa mengumpulkan bukti agar kakak dan ibunya percaya.

 

Sampai di sekolah Naila aku dikejutkan dengan kehadiran mertua dan juga iparku. Rupanya pihak sekolah juga menghubungi mereka.

 

 

“Nih, ya, punya anak ditinggal keluyuran untung saja anakmu enggak ilang dibawa orang!” seru Mbak Dwi.

 

 

“Maaf a—da apa ya, Bu Guru?” tanyaku tanpa meladeni ucapan Mbak Dwi.

 

 

“Tadi ada seorang perempuan datang ke sini mengaku kerabat Naila dan membawakan makanan untuk kami para guru. Katanya di suruh Mamah Naila dan sekaligus membawa Naila pulang karena ada acara di rumah. Kami tidak percaya, kami bilang tunggu saya konfirmasi ke orang tua Naila dulu. Bukannya menunggu, malah perempuan itu bergegas pergi. Satpam dan guru yang berada di luar sudah berusaha mengejar, tapi tidak dapat. Ini rekaman CCTV-nya.” Kami memperhatikan CCTV yang diputar ulang. Jantungku sudah tidak karuan. Perempuan itu memakai cadar, tapi tunggu dulu itu kan, mobil pacarnya Mas Bayu yang aku lihat di taman tadi? Mungkinkah itu pacarnya Mas Bayu? Ternyata dia benar-benar berbahaya. Rupanya dia tidak hanya mau mengambil Mas Bayu dariku, tapi juga Naila anakku.

 

 

Drrttt 

 

 

[Selamat menikmati kejutan indah dariku, Melsa! Menyerahlah maka hidupmu akan baik-baik saja.]

 

Baru saja aku mau balas pesan itu sudah dihapusnya lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status