Share

Kejutan untuk Akbar

"Akbar juga tidak tahu, bu." Akbar menggeleng. Antara bingung dan juga malu, karena ia tidak punya uang cash sebanyak itu.

"Bagaimana, mas? Kalau sudah ditotal seperti ini barang tidak bisa dikembalikan," ujar pegawai kasir tersebut. Mendengar itu membuat pikiran Akbar bertambah kacau.

"Kalau ngutang dulu bisa nggak, mbak. Besok kalau sudah ada uang pasti kami bayar," ujar Lidya.

"Wah nggak bisa, bu." Pegawai kasir itu menggeleng.

"Kalau begitu saya pulang dulu untuk ambil uang, nanti saya kembali lagi ke sini," ucap Akbar.

"Kalau begitu KTP mana, sebagai jaminan." Pegawai kasir itu meminta KTP milik Akbar sebagai jaminan. Khawatir jika nantinya Akbar tidak kembali lagi untuk membayar barang belanjaan yang sudah diambil.

"Memangnya harus ya, mbak?" tanya Lidya.

"Iya, bu." Pegawai kasir itu mengangguk seraya tersenyum ramah.

Dengan sangat terpaksa Akbar menyerahkan KTP miliknya sebagai jaminan. Setelah itu mereka berdua bergegas pulang seraya membawa barang belanjaan yang sebelumnya sudah dimasukkan ke dalam kantong kresek. Akbar tidak pernah menduga jika kejadian memalukan ini akan terjadi pada dirinya.

Setelah menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit, Akbar dan ibunya sampai di rumah. Akbar langsung membawa barang belanjaan tersebut, tentunya dibantu oleh ibunya. Setelah semuanya selesai, Akbar mengeyahkan bokongnya di sofa, lelaki itu memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa pusing.

"Ibu masih ada uang nggak?" tanya Akbar.

"Ibu cuma ada lima ratus ribu, kamu masih punya kan." Lidya balik bertanya.

"Akbar enggak ada, bu. Soalnya belum sempat narik, niatnya tadi sekalian, eh nggak tahunnya ATM diblokir," jawab Akbar. Lelaki berkemeja biru itu mengacak rambutnya frustasi.

"Coba kamu telepon Aretha, ibu khawatir kalau ini ulah dia," titah Lidya. Dengan segera Akbar mengambil benda pipih miliknya lalu menekan nomor istrinya.

"Nomor Aretha nggak aktif, bu." Akbar terlihat kesal lantaran sudah ada lima kali, tetapi nomor Aretha tetap tidak aktif.

"Kok bisa sih, coba kamu telepon lagi." Lidya kembali menyuruh putranya untuk menelpon Aretha.

[Halo, Aretha sekarang kamu lagi ngapain? Kenapa ATM aku diblokir, apa kamu yang melakukannya]

[Kok bisa, mas. Aku enggak tahu, coba besok aku cek ke bank. Soalnya saat ini aku lagi sibuk]

[Jadi kamu tidak tahu kenapa ATM aku keblokir]

[Aku enggak tahu lah, mas. Besok aku cek deh]

[Ya sudah, oya untuk yang sepuluh juta, kapan kamu transfer]

[Mungkin minggu depan, mas. Akhir-akhir ini aku sibuk, soalnya majikan aku lagi banyak acara]

[Ya sudah, tapi kamu jangan bohong ya. Soalnya ini juga untuk masa depan kita]

[Iya, mas. Udah dulu ya, aku mau lanjut kerja lagi]

Sambungan telepon terputus, Akbar menghela napas lega, meski ia masih bingung. Soalnya saat ini Akbar sedang tidak pegang uang, sedangkan ibunya hanya punya lima ratus ribu. Untuk membayar barang belanjaan tidak akan cukup.

"Akbar bagaimana?" tanya Lidya.

"Aretha yang akan mengurusnya, bu. Sekarang lebih baik, ibu jual perhiasan dulu untuk membayar belanjaan yang tadi," jawab Akbar.

"Apa?! Tapi .... "

"Tidak ada pilihan lain, bu. Nanti kalau Aretha sudah transfer, Akbar ganti." Akbar memotong ucapan ibunya. Dengan sangat terpaksa Lidya menuruti saran dari putranya itu.

***

Hari yang telah ditunggu akhirnya tiba, seharusnya Akbar merasa bahagia lantaran pernikahannya dengan Wanda akan segera terlaksana. Namun, Akbar merasa bingung lantaran uang yang Aretha janjikan belum juga ditransfer.

Sementara untuk kartu ATM diblokir, Aretha meminta sang suami untuk buka rekening sendiri. Tapi sampai detik ini, Aretha belum juga mentransfer uang ke rekening milik suaminya. Setiap kali ditanya, Aretha selalu menjawab belum punya waktu.

Dan hari ini adalah hari pernikahan Akbar dengan Wanda, ia berharap setelah ijab kabul selesai, Aretha akan mentransfer uang yang nantinya digunakan untuk biaya resepsi pernikahan.

"Bagaimana, apakah sudah siap?" tanya pak penghulu.

"Sudah, pak." Akbar mengangguk. Setelah itu pak penghulu mulai menjabat tangan Akbar, lalu ijab kabul pun akan segera dimulai.

Ijab kabul berjalan dengan lancar, kini Akbar dan Wanda resmi menjadi sepasang suami-istri. Bahkan kini mereka sudah berdiri di atas pelaminan untuk menerima ucapan selamat dari para tamu undangan yang datang. Senyum kebahagiaan tercetak jelas di wajah keduanya, begitu juga dengan Lidya.

"Selamat ya, mas atas pernikahannya. Semoga langgeng dan segera diberi momongan," ucap seorang wanita. Akbar yang begitu mengenal suara tersebut seketika menatap wanita yang ada di hadapannya.

Wanita itu membuka kaca mata hitam miliknya, lalu tersenyum seraya menatap mempelai lelaki di hadapannya. Wanita itu tak lain adalah Aretha, seketika mata Akbar melotot melihat istrinya datang dan memberinya ucapan selamat. Bukan hanya Akbar saja yang terkejut, tetapi juga dengan Lidya dan juga Wanda.

"A-Aretha ka-kamu .... "

"Kenapa, mas. Tidak usah kaget seperti itu," potong Aretha. Rasanya ia ingin tertawa melihat ekspresi wajah suaminya yang tegang itu.

"Kedatangan aku ke sini hanya ingin memberikan ini." Aretha menyerahkan amplop kepada suaminya. Dengan tangan gemetar Akbar menerima amplop tersebut.

"Ini apa?" tanya Akbar dengan wajah yang sudah basah oleh keringat.

"Mas buka saja sendiri," jawab Aretha. Dengan cepat Akbar membuka dan membaca isi amplop yang ada di tangannya. Sedetik kemudian mata Akbar melotot ketika tahu jika Aretha telah menggugat cerai dirinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status