Reina berdiri, sempoyongan, lalu menarik tangan teman di sampingnya yang masih setengah sadar. “Kepalaku berisik, minuman ini tidak bisa mengurangi berisiknya.”
Kemudian, Reina duduk lagi karena merasa pusing. Ia ambil ponselnya dan menekan nomor Abian. Sudah empat kali dia spam panggilan, tapi tak ada satu pun yang dijawab. Saat panggilan kelima, dia sudah tidak peduli akan terhubung atau tidak. “ABIAAAAAANN! APA KAMU MEMANG SEJAHAT ITU?” bentak Reina. Suaranya sedikit serak, bernada tinggi, dan jelas terdengar mabuk. “Sialan! Kamu tuh … kamu tuh cowok paling menyebalkan sedunia! SOK ATUR! PADAHAL AKU NGGAK NGAPA-NGAPAIN!” “Heh cowok brengsek, dengar ya. Kalau aku mati malam ini, itu karena kamu! Kamu yang terlalu ganteng, terlalu sok cool, dan terlalu diem kayak setan!” racau Reina yang tidak sadar kalau panggilan itu tersambung. Tak ada balasan, tentu saja, tapi Reina terus bicara. Mata mulai berkaca. “Kamu pikir aku nggak ngerti? Kamu cuma nikahin aku buat drama keluarga kalian itu, ya kan? Kamu tahu nggak sih, nikah pura-pura pun tetap sakit, tahu! Dasar bajingan!” “Kamu tuh nggak punya hak buat ngatur aku, ngerti nggak! NIKAH INI CUMA OMONG KOSONG! SAMA AJA BOHONG!” racau Reina. “Aku nggak nangis. Aku cuma … kehausan. Bartender, satu lagi, ya. Kali ini, buat yang paling keras.” Reina lalu melempar ponselnya ke meja dan mulai bersulang bersama teman yang masih sadar. Lalu, samar-samar dari balik suara Reina, terdengar suara sang bartender. “Tequila lime shot keenam, Nona. Mau aku buatkan yang ketujuh sekalian?” “Buat lebih banyak, malam ini kita party!” seru Reina dengan wajah memerah karena emosi dan alkohol. Panggilan itu masih tersambung. “Reina,” panggil Abian dari seberang, tapi tidak mendapatkan jawaban. Dia hanya mendengar tawa cekikikan istrinya bercampur dengan musik. Abian yang saat itu baru saja merapikan dokumen di ruang kerjanya segera keluar. Ia langsung mengambil jaket, menyambar kunci mobil dan mengabaikan panggilan bu Mar. Abian menghubungi orang kepercayaannya untuk mencari keberadaan Reina dalam lima menit. Kurang dari 30 menit kemudian, Abian sudah berdiri di ambang pintu bar. Sorot matanya tajam, menyapu ruangan, hingga tertuju pada Reina yang tertidur dengan kepala miring, lipstik setengah luntur, tangan menggenggam gelas kosong. “Reina,” panggilnya pelan, merendah di hadapan wanita yang tak sadarkan diri. Reina menggeliat. “Kamu telat, dasar Abian brengsek. Suami bajingan,” gumamnya tanpa membuka mata. Abian menghela napas, lalu membayar tagihan atas nama Reina ke bartender. Nafas wanita itu bau alkohol, tapi masih ada keteguhan dalam nada suaranya yang sumbang. “Jangan bawa aku pulang. Aku nggak punya rumah lagi. Bahkan, dia juga pergi.” Abian menarik napas panjang. Lelaki itu tidak tahu apa yang terjadi pada istrinya dan ia tidak ingin mencari tahu. Dengan gerakan cekatan, ia menyampirkan jaketnya ke bahu Reina dan mengangkat tubuh wanita itu ala bridal style. “Rumahku tetap rumahmu, meskipun kau terus menyakiti dirimu sendiri itu tidak akan mengubah fakta,” gumam Abian lirih yang hanya didengar olehnya. Reina merintih kecil di pelukan suaminya, lalu semakin menyandarkan kepala pada dada bidang Abian. “Kamu beneran datang, ya?” suaranya nyaris seperti anak kecil yang ketakutan. Abian tidak menjawab. Ia hanya membuka pintu mobil, membaringkan Reina perlahan di jok penumpang dan menyelimutinya. Ia menatap wajah Reina yang mulai tenang, meski masih di bawah pengaruh minuman. Dalam perjalanan pulang, Reina mengigau. “Besok, pura-pura bahagia lagi yah?” Abian terdiam, tidak merespon tapi tatapannya terlihat sendu. Mobil meluncur dalam keheningan, membawa mereka pulang ke rumah yang megah tapi dingin. Tempat mereka menjalani peran sebagai pasangan yang saling mencintai. Suara mesin mobil berhenti di halaman rumah yang sunyi. Malam sudah larut, hanya lampu taman yang masih menyala samar. Abian turun lebih dulu, lalu membuka pintu penumpang. Reina masih tertidur setengah sadar, napasnya berat, wajahnya pucat di bawah riasan yang luntur. Dengan hati-hati, Abian kembali menggendong wanita itu masuk ke dalam rumah. Tangan Reina tanpa sadar mengalung di leher suaminya. Abian hanya menghela napas dan membawanya ke kamar utama. “Jangan pergi,” gumam Reina lirih. Sesampainya di kamar, Abian merebahkan Reina di tempat tidur. Reina langsung membuka matanya dan terduduk. Dia membuka sepatu, jaket kulit, lalu mini dress -nya. Kebiasaan yang tidak pernah berubah saat ia mabuk dari dulu. Kini, hanya pakaian dalam saja yang menjadi pelindung tubuhnya. Tatapan mata Reina terkunci pada manik hazel Abian. Tubuhnya sedikit condong ke depan, rapuh tapi berbahaya dan Abian tahu itu tatapan yang membuatnya tak bisa menolak. Reina membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu. “Matamu … masih sama seperti dulu. Panas dan menelanjangiku.” Tiba-tiba, tangan Reina menyentuh wajah suaminya. Lembut, tanpa keraguan sedikit pun. “Kita nggak seharusnya begini. Kita cuma menikah di atas kertas.” Abian meraih tangan itu, menahannya di pipi lalu mengecup sekilas. “Aku tahu,” ucapnya pelan. “Malam ini, jangan pikirkan siapa yang benar atau salah.” . . . ~ To Be Continue ~Hening sejenak.Abian mendekat, bibirnya menyentuh bibir Reina dengan lembut. Ciuman itu awalnya pelan, ragu, tapi Reina merespon. Tangan sang istri kini bergerak ke belakang leher Abian, menariknya lebih dekat.“Mari lakukan dosa itu lagi," bisik Reina di sela napasnya yang mulai berat.“Namun, kali ini dosa yang terikat, Sayang,” balas Abian dengan suara serak.Abian mencium lagi bibir Reina, lalu turun ke dagu, leher, dan akhirnya pundaknya yang terekspos, menantang lelaki itu. Ketika Abian memberikan gigitan di sana, Reina mengeluarkan desahan pertamanya. Hal itu membuat Abian menggigit bibir bawahnya sendiri untuk menahan dorongan rasa.“Ini … terlalu manis,” gumam Abian sambil meninggalkan kissmark di lekuk leher Reina, bukan hanya sekali tapi berkali-kali.Tubuh Reina bergetar saat Abian kembali menelusuri jalur ciuman ke arah atas dada. Sentuhan bibir Abian seolah membakar tubuhnya secara per
Reina berdiri, sempoyongan, lalu menarik tangan teman di sampingnya yang masih setengah sadar. “Kepalaku berisik, minuman ini tidak bisa mengurangi berisiknya.”Kemudian, Reina duduk lagi karena merasa pusing. Ia ambil ponselnya dan menekan nomor Abian. Sudah empat kali dia spam panggilan, tapi tak ada satu pun yang dijawab. Saat panggilan kelima, dia sudah tidak peduli akan terhubung atau tidak.“ABIAAAAAANN! APA KAMU MEMANG SEJAHAT ITU?” bentak Reina. Suaranya sedikit serak, bernada tinggi, dan jelas terdengar mabuk. “Sialan! Kamu tuh … kamu tuh cowok paling menyebalkan sedunia! SOK ATUR! PADAHAL AKU NGGAK NGAPA-NGAPAIN!”“Heh cowok brengsek, dengar ya. Kalau aku mati malam ini, itu karena kamu! Kamu yang terlalu ganteng, terlalu sok cool, dan terlalu diem kayak setan!” racau Reina yang tidak sadar kalau panggilan itu tersambung.Tak ada balasan, tentu saja, tapi Reina terus bicara. Mata mulai berkaca. “Kamu pikir aku nggak n
Sementara itu di kamar utama, Reina baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah dan tubuh hanya dibalut bathrobe kecil. Ketika ia melihat koper-kopernya masih tertumpuk di sudut ruangan, membuatnya bertanya-tanya.Reina berjalan ke sisi kiri ranjang dengan ponsel sudah berada di tangan kanannya. Dia melihat jadwal sang kekasih yang menunjukkan bahwa Raka sedang berjaga di rumah sakit. Sore ini dia akan datang berkunjung. Bagi Reina, Raka adalah tempatnya melarikan diri dari dunia nyata.“Tumben nomornya tidak aktif?” monolog Reina saat dua panggilannya mengarah pada jawaban operator.Kini Reina sudah berganti pakaian. Mini dress warna biru dengan corak bunga Daisy. Rambutnya dibiarkan terurai setelah menyisirnya rapi.Reina keluar dan menuju kamar tamu. Namun, saat ia hendak membuka pintunya, pintu itu tak mau terbuka. Kesal, Reina turun ke lantai bawah untuk mencari keberadaan bu Mar.“Bu Mar, itu pi
Rumah besar itu berdiri megah di kawasan elite yang sunyi. Arsitekturnya bergaya minimalis modern. Reina menatap bangunan itu dari balik kaca mobil, kacamata hitamnya menutupi separuh wajah lelahnya. Abian keluar dari mobil, diikuti Reina di belakangnya. Kedatangan keduanya disambut oleh bibi kepala pelayan dan satpam rumah. Abian menyerahkan kunci mobil dan meminta satpam mengeluarkan koper istrinya. “Selamat datang, Nyonya Reina. Saya Maryam, kepala pelayan di sini sekaligus orang yang akan membantu segala keperluan rumah tangga di sini,” ujar bibi kepala pelayan. Bu Mar segera tersenyum. “Itu sudah menjadi tugas saya, Nyonya.” Reina masuk ke dalam rumah dengan menjinjing tas kecilnya. Hawa dingin khas pendingin ruangan mahal dan aroma maskulin yang samar menyambutnya. Rumah itu besar, megah, tapi terlalu hampa untuk rumah yang mewah. Bu Mar menyuruh seorang pelayan untuk membawa koper Reina ke kamar utama. Abian langsung melenggang pergi menuju ruang kerjanya, meninggalkan Rei
“Jadi, setelah ini kalian akan tinggal di mana?” suara mama Reina terdengar ringan, tetapi jelas mengandung harapan tertentu.Setelah sarapan, suasana di ruang tamu beralih menjadi sedikit lebih serius. Abian duduk dengan tenang, tangan kanannya menggenggam secangkir kopi hitam. Sementara Reina, kini sudah berganti pakaian menjadi lebih tertutup.Reina yang masih duduk di samping Abian langsung menoleh dengan refleks. Dia belum memikirkan apa pun soal tempat tinggal. Baginya, pernikahan ini saja masih seperti skenario teater yang dipaksa dijalani.“Kita sepakat untuk tinggal di rumahku,” jawab Abian kalem, tanpa melihat Reina.“Tentu saja, Nak.” Bunda Abian menyahut cepat, ekspresinya puas atas keputusan kedua pengantin.Ayah Abian mengangguk setuju. “Keamanan rumahnya pun ketat. Jadi kalian berdua aman dari kejaran wartawan.”Reina menahan napas. Semua orang berbicara seakan dia tak punya suara. Seolah hidupnya sudah dipetakan dengan garis tegas. Tinggal di rumah suami dan berpura-pu
“Kamu yakin kita harus pakai cincin itu?” tanya Reina berbisik saat melihat bunda Abian berjalan mendekat ke arah altar sambil membawa kotak beludru warna merah. “Apa hal begini saja kamu tidak tahu?” sindir Abian. “Jangan mulai,” peringat Reina sambil mencubit lengan Abian dengan pelan. Setelah acara tukar cincin selesai, lima puluh tamu undangan pilihan bergiliran mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Mereka adalah orang-orang terpilih dari keluarga inti, rekan bisnis hingga orang yang berpengaruh dalam dunia bisnis. Mereka semua menyambut bahagia pernikahan ini, berbanding terbalik dengan kedua mempelai. Sore harinya, Reina memilih untuk mengurung diri di kamar pengantin yang dingin dan luas. Ia tidak memedulikan petugas keamanan yang berpatroli di sekitar vila, tidak juga suara para pekerja yang mulai membereskan dekorasi. Ia hanya berbaring di ranjang, menatap langit-langit yang sama hampa dengan hatinya. Di tempat lain, Abian berdiri di balkon kamarnya, memandangi langi