Sementara itu di kamar utama, Reina baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah dan tubuh hanya dibalut bathrobe kecil. Ketika ia melihat koper-kopernya masih tertumpuk di sudut ruangan, membuatnya bertanya-tanya.
Reina berjalan ke sisi kiri ranjang dengan ponsel sudah berada di tangan kanannya. Dia melihat jadwal sang kekasih yang menunjukkan bahwa Raka sedang berjaga di rumah sakit. Sore ini dia akan datang berkunjung. Bagi Reina, Raka adalah tempatnya melarikan diri dari dunia nyata. “Tumben nomornya tidak aktif?” monolog Reina saat dua panggilannya mengarah pada jawaban operator. Kini Reina sudah berganti pakaian. Mini dress warna biru dengan corak bunga Daisy. Rambutnya dibiarkan terurai setelah menyisirnya rapi. Reina keluar dan menuju kamar tamu. Namun, saat ia hendak membuka pintunya, pintu itu tak mau terbuka. Kesal, Reina turun ke lantai bawah untuk mencari keberadaan bu Mar. “Bu Mar, itu pintu kamar tamu kenapa tidak bisa dibuka yah?” tanya Reina. “Aden udah bilang kalau nyonya akan tidur di kamar tamu. Namun, kamar tamu sedang dikunci. Kuncinya dipegang sama Nyonya Besar,” jawab bu Mar penuh penyesalan. “Bunda Abian?” Reina memastikan. Bu Mar mengangguk. “Iya. Katanya biar kalian bisa membangun chemistry lebih cepat.” Reina terdiam. Rasa panas menjalar ke ubun-ubunnya. Giginya bergemeletuk menahan emosi. “Makan siangnya sudah siap, Bu?” tanyanya. “Sudah, Nyonya. Mau saya hi—” “Tidak perlu, biar saya bawa ke ruang kerja Abian,” potong Reina cepat. Dia harus segera membicarakan hal ini pada Abian. Reina masuk ke ruang kerja Abian dan meletakkan nampan berisi makan siang mereka di atas meja. Dia duduk menantang di sofa, menunggu respon suaminya. 30 detik, dua menit, 10 menit tidak ada respon dari Abian, membuat amarah yang sejak tadi ia tahan meledak. “Kamu tidak buta, ‘kan? Kemari dan makan ini!” perintah Reina. “Aku tidak makan siang, Rei,” balas Abian santai dan masih fokus dengan pekerjaannya. “Kalau begitu aku akan membuang semua stok kopi bahkan di kantormu sekalipun,” ancam Reina yang sangat tahu betul akan kelemahan suaminya. Abian mendongak, menatap tajam Reina, seolah dengan tatapan itu mereka berdua bisa saling berkomunikasi. “Berani kamu me—” “Aku tidak takut. Bahkan, detik ini juga aku bisa melakukannya,” potong Reina cepat. Abian tahu Reina tidak akan pernah main-main dengan ucapannya. Dia juga tahu istrinya itu pasti sedang melampiaskan amarah ke arahnya perihal kamar tamu. Tadi, bu Mar sudah mengatakan padanya bahwa kamar tamu dikunci oleh bundanya. “Kamu menang.” Abian beranjak dari kursi kerjanya dan berjalan mendekati Reina yang duduk di sofa. Keduanya akhirnya makan siang bersama dalam diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan bahkan saat makanan mereka habis, Reina segera membereskannya, keluar tanpa sepatah kata dan tidak kembali lagi. Tak butuh waktu lama, Reina sudah berganti pakaian. Mini dress hitam tanpa lengan dengan leather jacket cropped dan sepatu boots tinggi. Rambut panjang diikat seperti ekor kuda. Reina berjalan cepat melewati ruang tengah tanpa menyapa siapa pun. Abian baru saja keluar dari ruang kerja saat Reina melintas. “Rei, mau ke mana?” “Urusan pribadi. Ingat kesepakatan kita? Aku nggak ikut campur urusanmu, dan kamu jangan ganggu hidupku,” jawab Reina lalu melenggang pergi tanpa memedulikan Abian lagi. ***** Rumah sakit tempat Raka bekerja tampak tenang sore itu. Reina masuk dengan langkah mantap, melewati lorong yang sudah ia kenal dengan baik. Ia menyapa beberapa perawat yang mengangguk hormat kepadanya. “Permisi, saya cari dokter Raka. Jadwal malam ini, kan?” tanya Reina kepada suster jaga di resepsionis. Suster itu terlihat bingung sejenak. Ia membuka jadwal dokter lalu berkata, “Maaf, Dokter Raka tidak ada jadwal malam ini. Hari ini beliau off.” Reina mengerutkan alis. “Nggak mungkin. Dia selalu mengirim jadwal terbarunya dan hari ini dia ada jaga malam. Kalaupun ada perubahan jadwal, dia selalu memberitahu aku.” “Kalau tidak percaya, Anda bisa cek langsung ke ruangan dokter Raka. Data kami selalu real time. Mungkin dokter Raka lupa memberitahu,” jawab suster dengan keyakinan penuh. Dengan kekecewaan yang mulai menggerogoti hatinya, Reina tersenyum pahit. “Nggak usah. Terima kasih, ya.” Reina keluar dari rumah sakit dan langit mulai berubah jingga. Perasaan dikhianati menyelinap pelan, seperti duri-duri kecil yang menyayat pelan tapi dalam. “Bahkan kamu bohong juga, Raka,” bisiknya pelan. Ia menyalakan mobil dan memutar stir menuju tempat satu-satunya yang selalu membuatnya merasa hidup. Rumah kedua bagi Reina, yaitu klub malam. Kebetulan teman-temannya sudah berada di sana sejak tadi sore, di tempat yang sama tidak pernah berubah. Lampu neon yang berkedip, dentuman musik yang keras dan aroma alkohol, serta parfum mahal menyambut Reina. Beberapa orang yang mengenalnya, menyapa hangat atau menggoda genit. Namun, wanita itu hanya melemparkan senyum tipis, tak lebih. Reina duduk di bar, bersama teman-temannya yang telah menunggu sejak tadi. “Tequila lime shot. Malam ini aku yang bayar,” ucapnya. Sorakan langsung terdengar dari teman-temannya. Malam ini, dia ingin menikmati rumahnya yang bebas karena rumah tempatnya pulang tak bisa dihubungi. Reina tersenyum miris mengingat Raka yang seharian ini tidak bisa dihubungi sama sekali. Kepalanya begitu berisik. Bahkan dalam pelarian seperti ini, wajah Abian masih menari-nari dalam benaknya. Ketegasan dalam bicara dan tatapan tajam laki-laki itu saat memperhatikannya. Entah kenapa, daripada merasa jijik, ia malah merasa tertantang. “Kalau memang harus hidup bersamanya ….” Reina menatap gelas kosongnya. Kali ini bukan alkohol yang membakar tenggorokannya, melainkan niat yang baru lahir. Seringai tipis terbit di bibir tipisnya. “Kalalu begitu, mari buat dia menyesal … dengan caraku.” . . . ~ To Be Continue ~Reina berjalan keluar dari kamar utama dengan langkah santai. Ia mengenakan kemeja Abian yang kebesaran hingga jatuh sampai pertengahan pahanya. Rambut panjangnya masih sedikit berantakan. Namun, leher dan tulang selangkanya yang dipenuhi tanda kemerahan sangat mencolok. Tanda kepemilikan yang tidak mungkin dapat disembunyikan.Dia tahu, dan dia tidak peduli. Ia langsung duduk di kursi dengan meja yang sudah menyajikan berbagai macam menu sehat. Bahkan ada melon yang merupakan buah kesukaannya.“Selamat pagi, Nyonya,” sapa bu Mar yang menunggu. Tatapannya terhenti sejenak pada jejak-jejak kemerahan di tubuh Reina. Wanita paruh baya itu hanya tersenyum tipis, penuh arti.Reina melihat senyum itu, lalu tersenyum tipis balik. “Pagi, Bu.” Ia duduk di kursi utama yang biasanya ditempati oleh Abian.“Bian sudah sarapan belum?” tanya Reina santai karena dia melihat piring Abian masih bersih.Bu Mar menggeleng. “Tadi pagi
Hening sejenak.Abian mendekat, bibirnya menyentuh bibir Reina dengan lembut. Ciuman itu awalnya pelan, ragu, tapi Reina merespon. Tangan sang istri kini bergerak ke belakang leher Abian, menariknya lebih dekat.“Mari lakukan dosa itu lagi," bisik Reina di sela napasnya yang mulai berat.“Namun, kali ini dosa yang terikat, Sayang,” balas Abian dengan suara serak.Abian mencium lagi bibir Reina, lalu turun ke dagu, leher, dan akhirnya pundaknya yang terekspos, menantang lelaki itu. Ketika Abian memberikan gigitan di sana, Reina mengeluarkan desahan pertamanya. Hal itu membuat Abian menggigit bibir bawahnya sendiri untuk menahan dorongan rasa.“Ini … terlalu manis,” gumam Abian sambil meninggalkan kissmark di lekuk leher Reina, bukan hanya sekali tapi berkali-kali.Tubuh Reina bergetar saat Abian kembali menelusuri jalur ciuman ke arah atas dada. Sentuhan bibir Abian seolah membakar tubuhnya secara per
Reina berdiri, sempoyongan, lalu menarik tangan teman di sampingnya yang masih setengah sadar. “Kepalaku berisik, minuman ini tidak bisa mengurangi berisiknya.”Kemudian, Reina duduk lagi karena merasa pusing. Ia ambil ponselnya dan menekan nomor Abian. Sudah empat kali dia spam panggilan, tapi tak ada satu pun yang dijawab. Saat panggilan kelima, dia sudah tidak peduli akan terhubung atau tidak.“ABIAAAAAANN! APA KAMU MEMANG SEJAHAT ITU?” bentak Reina. Suaranya sedikit serak, bernada tinggi, dan jelas terdengar mabuk. “Sialan! Kamu tuh … kamu tuh cowok paling menyebalkan sedunia! SOK ATUR! PADAHAL AKU NGGAK NGAPA-NGAPAIN!”“Heh cowok brengsek, dengar ya. Kalau aku mati malam ini, itu karena kamu! Kamu yang terlalu ganteng, terlalu sok cool, dan terlalu diem kayak setan!” racau Reina yang tidak sadar kalau panggilan itu tersambung.Tak ada balasan, tentu saja, tapi Reina terus bicara. Mata mulai berkaca. “Kamu pikir aku nggak n
Sementara itu di kamar utama, Reina baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah dan tubuh hanya dibalut bathrobe kecil. Ketika ia melihat koper-kopernya masih tertumpuk di sudut ruangan, membuatnya bertanya-tanya.Reina berjalan ke sisi kiri ranjang dengan ponsel sudah berada di tangan kanannya. Dia melihat jadwal sang kekasih yang menunjukkan bahwa Raka sedang berjaga di rumah sakit. Sore ini dia akan datang berkunjung. Bagi Reina, Raka adalah tempatnya melarikan diri dari dunia nyata.“Tumben nomornya tidak aktif?” monolog Reina saat dua panggilannya mengarah pada jawaban operator.Kini Reina sudah berganti pakaian. Mini dress warna biru dengan corak bunga Daisy. Rambutnya dibiarkan terurai setelah menyisirnya rapi.Reina keluar dan menuju kamar tamu. Namun, saat ia hendak membuka pintunya, pintu itu tak mau terbuka. Kesal, Reina turun ke lantai bawah untuk mencari keberadaan bu Mar.“Bu Mar, itu pi
Rumah besar itu berdiri megah di kawasan elite yang sunyi. Arsitekturnya bergaya minimalis modern. Reina menatap bangunan itu dari balik kaca mobil, kacamata hitamnya menutupi separuh wajah lelahnya. Abian keluar dari mobil, diikuti Reina di belakangnya. Kedatangan keduanya disambut oleh bibi kepala pelayan dan satpam rumah. Abian menyerahkan kunci mobil dan meminta satpam mengeluarkan koper istrinya. “Selamat datang, Nyonya Reina. Saya Maryam, kepala pelayan di sini sekaligus orang yang akan membantu segala keperluan rumah tangga di sini,” ujar bibi kepala pelayan. Bu Mar segera tersenyum. “Itu sudah menjadi tugas saya, Nyonya.” Reina masuk ke dalam rumah dengan menjinjing tas kecilnya. Hawa dingin khas pendingin ruangan mahal dan aroma maskulin yang samar menyambutnya. Rumah itu besar, megah, tapi terlalu hampa untuk rumah yang mewah. Bu Mar menyuruh seorang pelayan untuk membawa koper Reina ke kamar utama. Abian langsung melenggang pergi menuju ruang kerjanya, meninggalkan Rei
“Jadi, setelah ini kalian akan tinggal di mana?” suara mama Reina terdengar ringan, tetapi jelas mengandung harapan tertentu.Setelah sarapan, suasana di ruang tamu beralih menjadi sedikit lebih serius. Abian duduk dengan tenang, tangan kanannya menggenggam secangkir kopi hitam. Sementara Reina, kini sudah berganti pakaian menjadi lebih tertutup.Reina yang masih duduk di samping Abian langsung menoleh dengan refleks. Dia belum memikirkan apa pun soal tempat tinggal. Baginya, pernikahan ini saja masih seperti skenario teater yang dipaksa dijalani.“Kita sepakat untuk tinggal di rumahku,” jawab Abian kalem, tanpa melihat Reina.“Tentu saja, Nak.” Bunda Abian menyahut cepat, ekspresinya puas atas keputusan kedua pengantin.Ayah Abian mengangguk setuju. “Keamanan rumahnya pun ketat. Jadi kalian berdua aman dari kejaran wartawan.”Reina menahan napas. Semua orang berbicara seakan dia tak punya suara. Seolah hidupnya sudah dipetakan dengan garis tegas. Tinggal di rumah suami dan berpura-pu