Pagi di Edinburgh tidak pernah sehangat ini. Namun, Reina tidak merasa ada yang bisa ia syukuri. Pancaran matahari dari balik tirai hanya membuat suasana makin panas, bukan karena cuaca, melainkan karena satu nama Abian.Lelaki itu sudah menghabiskan malam bersama mantan tunangannya. Di kamar yang hanya berjarak satu pintu dari kamar Reina. Beruntungnya, dia membawa Raka ikut serta dalam perjalanan ini, setidaknya masih ada satu orang yang berpihak padanya.Reina berdiri di depan cermin, mengenakan crop top putih dan jeans ketat yang sudah robek di beberapa bagian. Rambutnya masih berantakan, tapi ia sengaja membiarkannya agar terlihat liar dan memabukkan. Kakinya telanjang dan Raka memeluknya dari belakang.“Aku kembali ke kamar dulu. Nanti jam 10:00 am, aku jemput buat sarapan dan setelah itu ke bandara,” ucap pria itu sambil memberikan kecupan pada pundak sang kekasih.Reina tersenyum begitu manisnya. “Terima kasih untuk tad
Ketukan itu terdengar tiga kali. Lalu hening.Reina masih duduk di ujung tempat tidur, mengenakan hoodie tipis milik Abian yang terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Dia belum bicara sepatah kata pun sejak pertengkaran mereka tadi. Hanya menatap kosong ke arah cangkir susu yang kini tinggal setengah, uapnya sudah tak ada, dingin seperti hatinya malam ini.Abian melangkah ke pintu kamar hotel, wajahnya tegang. Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Begitu pintu terbuka, Reina tidak perlu melihat siapa yang datang.“Sayang, aku capek karena baru saja selesai pemotretan,” suara Cindy langsung menyergap udara kamar. Manis, lembut, penuh kepura-puraan. Reina menggertakkan giginya.Cindy masuk tanpa menunggu izin. Seketika parfum mewah semerbak memenuhi ruangan. Parfum sensual yang sangat disukai Abian.“Kenapa kamu ke sini? Seharusnya kamu istirahat di kamar saja kalau capek,” ucap Abian tak kalah manisnya.
“Minum ini dulu,” ucap Abian, mendekati Reina yang kini duduk sambil memeluk lutut di pinggiran ranjang.Reina menoleh sekilas, lalu menerima mug itu tanpa suara. Dia menyeruput pelan, tidak memuji rasanya, tidak juga mengeluh. Setidaknya, tangannya sudah tidak gemetar lagi.Abian duduk di sofa seberang. Mengamati. Mengatur napas. Menimbang-nimbang apa sebaiknya dia ucapkan sekarang. Namun, keheningan itu tak bertahan lama.“Dia ninggalin kamu di tengah hujan,” suara Abian akhirnya memecah ruang. Datar, tapi jelas menyimpan nada marah. “Kalau aku datang lima menit lebih lambat—”Reina mengangkat wajahnya. “Kamu nggak perlu ngomong kayak gitu,” potongnya cepat.“Reina, dia ninggalin kamu. Di negara asing. Di malam yang—”“Aku nggak butuh kamu buat menilainya!” bentak Reina, suara yang biasanya tenang kini naik dua oktaf. “Kamu pikir, kamu lebih baik?”Abian terdiam.Reina b
Keesokan harinya, Abian terbangun dan menemukan kamar utama kosong. Hanya aroma parfum Reina yang tertinggal di bantal. Ada catatan kecil di meja dengan tulisan tangan istrinya.Abian segera mengambil ponselnya dan menghubungi Reina. Panggilan pertama tak terjawab. Panggilan kedua ditolak, membuat lelaki itu geram. Pada panggilan ketiga, sambungan itu terhubung.“Di mana?” tanya Abian datar, dingin.“Sarapan bersama Raka. Aku sudah bilang akan pergi jalan-jalan dan jangan ganggu. Apa kamu tidak membaca pesanku?” jawab Reina tak kalah dinginnya.“Aku buang.”Setelah itu Abian mengakhiri panggilan secara sepihak. Tangannya meremas kertas itu tanpa sadar. Dia melangkah ke balkon, menatap langit kelabu Edinburgh yang mulai diguyur gerimis. Entah kenapa, kota ini terasa lebih dingin daripada seharusnya.*****Sementara itu, Reina dan Raka berada di The Vennel Viewpoint sedang menikmati Edinb
Di dalam mobil menuju hotel, Reina sengaja mengabaikan Abian. Dia tahu kalau Abian hendak mengajaknya bicara, tapi memilih untuk memasang earphone. Ia mengingat masa-masa ketika ia dulu begitu ingin mengunjungi kota ini.Edinburgh adalah kota impiannya dengan arsitektur kuno, jalanan berbatu, dan suasana yang tenang. Kali ini dia tidak akan membiarkan Abian maupun Cindy menghancurkan impiannya itu. Reina memejamkan mata, fokus pada musik yang mengalun di gendang telinganya. “Tolong jangan biarkan hatimu pergi dariku. Aku akan berusaha memantaskan diri untukmu. Aku akan mencari cara agar keluargamu mau merestui kita.” Reina tiba-tiba mengingat kata-kata Raka pada malam itu. Ia mengeratkan pegangan pada ponselnya. “Aku akan tepati itu, Rak. Aku akan tetap berdiri di sisimu,” batinnya. Ketika mobil berhenti di depan The Scotsman Hotel, senyum terbit di bibir Reina. Ini juga merupakan impia
Suasana bandara pagi itu begitu ramai. Reina berjalan di belakang Abian, menatap ponselnya sejak tadi. Setelah kepergiannya dari rumah Abian, ia tidak pernah menghubungi suaminya, bahkan hanya sekedar menanyakan kabar.Perjalanan bulan madu ini dia akan dedikasikan untuk bersenang-senang. Dia tidak akan peduli dengan kehadiran Abian di sisinya. Ia akan membuat kenangannya sendiri.Namun, keyakinan itu hancur seketika saat mereka menaiki tangga pesawat. Reina melihat siapa yang berdiri di depan pintu masuk kabin, tersenyum tipis padanya.Cindy.Wanita itu mengenakan blazer krem elegan dan celana panjang yang serasi. Rambut pirangnya tergerai sempurna. Wajahnya berseri seolah tidak ada yang salah di dunia ini.“Selamat pagi,” sapa Cindy mencoba ramah dan berusaha dekat dengan Reina.Reina tertegun. “Apa yang dia lakukan di sini?” bisiknya pada Abian begitu mereka masuk ke kabin.Abian han