Mereka menoleh ke belakang. Bu Sumi terlihat datang dengan wajah sinisnya. Tetangga yang satu itu memang selalu kepo dan julid. "Eh, Bu Sumi ngapain sih ikut-ikutan!" sinis Tini. "Ikut-ikutan? Sama orang-orang miskin seperti kalian ini? Nggak level, ya! Saya cuma mau bilang sama kalian kalau cari suami itu yang berbobot, seperti suami saya contohnya. Jangan hanya cari suami seperti tukang ojek nggak mutu. Nggak akan ada maju-majunya." "Hello Bu Sumi! Ibu pikir kita tertarik gitu sama suami buntelanmu itu! Biar pun kaya, kalau model buntelan kayak Pak Kusno begitu saya sih ogah! Sama sekali nggak enak dipandang! Bikin suasana hati saya buruk aja, mending juga tukang ojek tapi selalu enak dipandang dan menyenangkan hati," sahut Tini. "Hei! Berani kamu mengatai suami saya, ya!" Bu Sumi menjambak rambut Tini dan Tini pun tidak mau kalah menjambak rambut Bu Sumi. Mereka berdua saling serang. Kanaya berusaha memisahkan mereka tapi tidak berhasil. Ia bingung kar
"Itu bukan sebuah masalah. Aku pasti akan membantumu. Lagi pula, kalau kau seperti itu, aku bisa saja menikungmu," ujar Radit. "Awas saja kalau berani!" "Oh, ya. Mama bilang minggu depan akan ada acara di kota ini. Apa kau akan menemuinya?" "Kenapa bisa di kota ini? Apa jangan-jangan kau sengaja memberitahu keberadaanku, ya?" "Tidak, aku sama sekali tidak memberitahukan keberadaanmu. Justru aku berpikir mungkin memang inilah jodoh. Kamu datang ke kota ini karena menghindari pernikahan, malah menikah di sini. Perusahaan butuh tukang ukir, dan aku dikirim ke sini untuk mencari tukang ukir. Dan sekarang, Mama juga akan datang ke kota ini karena ada pagelaran busana yang bekerja sama dengannya," papar Radit. Seperti sebuah kebetulan, semua rentetan kejadian bersatu dalam kota yang sebelumnya sama sekali tidak pernah mereka kunjungi. Mungkinkah ini adalah sebuah pertanda dan petunjuk, bahwa mereka berjodoh. Memikirkan hal itu, Devan tersenyum sendiri. Ra
"Saya harap, kamu segera menyelesaikan baju-bajumu. Karena beberapa desainer akan datang sehari sebelum pagelaran busana itu dimulai. Saya yakin kamu bisa memberikan karya terbaikmu pada acara ini. Saya mengandalkanmu, Kanaya," ujar Pak Iyan dengan gaya lemah gemulainya. "Baik, Pak. Saya akan segera menyelesaikannya. Terima kasih atas kesempatan ini," ucap Kanaya penuh haru. Tentu ini adalah kesempatan baik untuknya karena ia akan menunjukkan baju-baju rancangannya. Ia ingin memberikan yang terbaik dalam acara tersebut. "Oh, ya, kamu akan tetap ikut menjadi modelnya, 'kan?" "Jika diperbolehkan, Pak." "Tentu saja. Saya sangat suka dengan penampilan kamu saat di panggung. Selain baju-baju rancangan yang bagus, kamu juga sangat layak menjadi model papan atas. Kamu sangat berbakat di dunia modelling, meski saya hanya mengajarkanmu sebentar saja. Jangan lupa nanti kabari saya jika semuanya sudah siap, ya!" "Baik, Pak. Terima kasih sekali lagi," ucap Kana
"Turunkan! Nggak sopan banget tau'!" Devan menurunkan tubuh Kanaya karena gadis itu memukuli punggungnya. Wajah gadis itu terlihat kesal. Namun justru itu membuat Devan senang. Ia memang suka sekali menggoda Kanaya. Sebenarnya bukan hanya karena ingin menjahili, tapi ia tidak ingin melihat wanitanya terlalu sibuk dengan perjahitan dan tidak memperhatikan kesehatannya. Ia tidak ingin Kanaya terlalu capek, karena ia lihat, Kanaya menguap beberapa kali dan terlihat juga melenturkan otot-ototnya yang kaku mungkin karena terlalu lama duduk di kursi. "Cepat mandi, bau sekali! Apa perlu aku yang memandikan?" "Enak saja!" Kanaya melepaskan tubuhnya dari Devan dan mencium aroma tubuhnya sendiri. Namun tidak bau sama sekali menurutnya, karena ia selalu memakai deodorant dan parfum yang membuatnya tetap segar walau seharian berkeringat. "Tidak bau." "Itu menurutmu. Tapi menurutku itu sangat bau!" Devan menutup hidungnya, "Sepertinya kamu ingin aku yang meman
Devan terbangun dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang diyakini sebagai ruangan rumah sakit. Ia merasakan kepalanya sakit dan menyentuhnya. Terdapat perban di kepalanya. Ia panik saat teringat ia baru saja mengalami kecelakaan atas keteledorannya. Ia melepas selang infus dan turun dari ranjang. Ia mencari keberadaan Kanaya. Ia khawatir terjadi hal buruk pada istrinya. Terlebih ialah yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi. "Di mana istriku? Ke mana kalian membawa istriku?" teriak Devan seperti orang kesetanan berlari ke sana ke mari. Ia sungguh tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi hal buruk pada Kanaya. Ia menerutuki kebodohannya sendiri yang terlalu panik dan mengambil alih kendali mobil di saat dirinya tidak bisa mengendalikan diri. "Sabar, Pak. Istri Bapak sedang ditangani oleh dokter. Silakan tunggu di sana," pinta seorang suster. Devan berada di depan ruang UGD. Tak berselang lama, pintu terbuka. Devan segera menghampiri do
"Maafkan kata-kataku, aku hanya tidak mau kamu kelelahan karena masih sakit. Jangan bersedih lagi. " Devan mengusap air mata Kanaya dan menenangkannya. "Aku keluar dulu. Tolong jaga Kanaya," ucapnya pada Resti dan Mili. Kedua gadis itu hanya mengangguk patuh. "Jangan khawatir, Ay, kamu pasti bisa menyelesaikannya tepat waktu. Nanti kita akan membantumu. Yang penting sekarang pikirkan dulu kesehatanmu," ujar Resti. "Benar, Aya, jangan sedih lagi, ya!" Mili memeluk Kanaya begitu pun Resti. "Ngomong-ngomong, ini tuh ruangan VVIP loh, kok suami kamu itu bisa memasukkanmu ke ruangan mahal begini ya, Ay," celetuk Mili. "Benar juga loh!" sahut Resti. Kanaya juga baru menyadari hal itu setelah Mili mengatakannya. Sejak bangun, ia tidak menyadari jika dirinya berada di ruangan kelas mahal di rumah sakit ini. Ia semakin bingung dengan laki-laki yang mengaku tukang ojek itu. *** "Aku benar-benar tidak lapar, kalian makan saja dulu." Kanaya menolak makanan yang
Devan duduk di samping Kanaya yang juga duduk di tempat tidurnya, menunggu kata yang akan keluar dari mulut wanitanya itu. "Terima kasih untuk semuanya. Aku tidak bisa membalas semua kebaikanmu. Dan juga, maafkan aku atas sikapku padamu tadi. Aku tidak berniat bersikap kasar. Aku hanya takut tidak bisa mengikuti acara itu," ujar Kanaya. "Aku tidak memintamu membalas semuanya. Cukup dengan melihatmu tidak bersedih dan kembali ceria lagi, itu sudah cukup bagiku." Devan memegang tangan Kanaya dan gadis itu menatapnya. "Semua yang berurusan denganmu adalah tanggung jawabku, jadi tidak perlu mengkhawatirkan apa pun." "Terima kasih sekali lagi, tapi ..., apa ini tidak terlalu berlebihan?" Devan menggeleng dan tersenyum, "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" "Ruangan ini, bukankah sangat mahal? Kenapa tidak menempatkanku di ruangan umum saja? Bagaimana dengan semua biaya rumah sakit nanti?" Devan baru sadar jika ia terlalu mencolok dengan menempat
"Hei! Nglamun terus, Bro!" Sebuah tepukan di bahu membuat Alex kaget. "Apaan sih, Jon! Bikin kaget orang aja!" Jono dan Joni tertawa melihat ekspresi Alex. Kedua kembar itu ikut duduk di samping Alex. Jarang-jarang mereka bisa duduk bertiga setelah Alex dekat dengan Cintia. Karena gadis itu selalu tidak ingin diganggu saat bersama Alex, termasuk kedua sahabat Alex. "Heh, tumben nggak dikintilin Cintia." Jono celingukan melihat kanan dan kiri, karena khawatir ada Cintia tiba-tiba. "Lo nggak nengokin Aya? Eh lupa, mana berani ya, 'kan? Nanti dimarahin lagi sama Cintia." "Nengokin Aya? Memangnya dia kenapa?" tanya Alex penasaran dengan ucapan teman baiknya. "Memangnya lo nggak tahu kalau Aya kecelakaan dan dirawat di rumah sakit?" Alex kaget dan menatap tajam Jono, "Aya berada di rumah sakit? Kenapa aku tidak tahu? Aku harus menjenguknya sekarang!" Alex bangkit dari tempat duduknya. "Nggak takut Cintia marah-marah lagi, lo Lex?" tanya Joni. "