Share

BAB 132.

Author: QIEV
last update Last Updated: 2025-12-22 13:32:21

Tidak semua perubahan datang dengan gemuruh.

Sebagian hanya berupa kebiasaan kecil yang bergeser—cara seseorang menyapa, cara menunggu, cara mendengar tanpa menyela.

Hasan merasakan itu pertama kali di peternakan.

Pagi itu, sinar jingga menyapa dedaunan lebih lembut dari biasanya. Udara masih basah oleh embun, sapi-sapi belum seluruhnya bangun.

Pekerja yang melihatnya sempat terkejut—bukan karena kehadirannya, tapi karena Hasan tidak langsung memberi perintah.

Ia berdiri, mengamati.

“Pak, pakan mau ditambah hari ini?” tanya seorang pekerja muda, ragu.

Hasan mengangguk pelan. “Tambahin dikit. Yang kemarin kelihatan kurang lahap.”

Nada suaranya datar, tidak tinggi, tidak memerintah. Pekerja itu tersenyum kecil, lalu pergi.

Mbak Mun memperhatikan dari kejauhan. Ia mendekat sambil membawa kopi hitam juga camilan beserta laporan pembelian kemarin.

“Tuan,” katanya, menyodorkan semuanya ke meja di bawah pohon. Tak jauh dari Hasan berdiri.

Hasan tersenyum singkat. “Sehat, Mun?”

"Sehat, Tuan."
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 136.

    Langit sore sudah bergeser ketika mereka akhirnya tiba di rumah.Qalesya tidak langsung masuk kamar. Ia duduk sebentar di sofa ruang tengah, melepaskan sepatu pelan, seperti orang yang baru selesai menempuh perjalanan jauh—padahal jaraknya tidak seberapa.Wafa memperhatikannya dari belakang, tidak bertanya, tidak mendesak. Ia hanya melepaskan dasi dan meletakkan di meja, lalu mendekat.“Kamu mau langsung rebahan?” tanyanya pelan.Qale mengangguk kecil. “Iya.”Wafa memapah ke kamar, Qale berbaring setengah duduk seperti biasa. Bantal bertumpuk di punggungnya, kaki sedikit ditekuk, satu tangan bertengger di perut. Wafa menarik selimut tipis, menyelimutinya sampai sebatas pinggang.Ia duduk di sisi ranjang. Baru bertanya setelah istrinya nyaman.“Seharian tadi… ada yang ganggu pikiranmu?”Nada suaranya datar, hati-hati. Tidak seperti menginterogasi.Qale menoleh pelan. Tatapannya ragu, seolah sedang menimbang—perlu cerita atau tidak.“Enggak,” jawabnya cepat.Wafa tidak menanggapi. Ia ha

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 135.

    Langit siang itu tidak mendung, tidak juga cerah—hanya berawan biasa.Qalesya melangkah perlahan di antara nisan-nisan yang berjajar rapi. Bau tanah basah masih tersisa, meski hujan terakhir turun dua hari lalu. Ia berhenti di satu titik yang sudah ia hafal letaknya, bahkan tanpa melihat nama.Rahayu.Ia duduk pelan di tepi makam. Mengatur napas. Tangan kanannya refleks mengusap perut, seolah mencari keseimbangan.Dewi tidak ikut mendekat. Ia memilih duduk beberapa meter di belakang, di bawah pohon kamboja kecil. Cukup dekat untuk berjaga, tidak ikut masuk ke ruang sunyi yang sedang Qale nikmati sendiri.“Bu…” suara Qalesya lirih. Hampir seperti berbisik pada tanah.Ia tersenyum kecil, senyum yang lebih mirip kebiasaan daripada bahagia.“Aku kok gampang capek ... Apalagi hari ini.”Kalimat itu keluar begitu saja. Tidak puitis. Tidak sok kuat. Tapi jujur.Matanya menatap nisan tanpa berkedip. Angin menyapu ujung rambutnya pelan.“Aku ketemu dosen pembimbing,” lanjutnya. “Revisinya bany

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 134.

    Di lapas lain, Elan berdiri canggung di depan papan pengumuman.“Unit dokumentasi… dapur… administrasi.”Pak Surya berdiri di sampingnya. “Milih itu bukan soal gengsi. Tapi soal kamu mau bertahan di mana.”Elan mengangguk. “Saya coba dokumentasi, Pak.”Hari pertama, ia salah menyimpan arsip. Hari kedua, ia ditegur karena foto blur. Hari ketiga, seorang napi mengejek, “Sok jadi seniman.”Elan menelan ludah. Dadanya panas. Tapi ia ingat wajah Mama Danisha.[Supaya kemarahanmu tidak tumbuh jadi kebencian.]Malam itu, ia duduk di ranjang besi, memandang dinding."Mungkin hidupku belum bermakna," pikirnya."Tapi aku masih di sini. Dan itu berarti masih ada kesempatan."Malam itu, setelah lampu sel dipadamkan, suara napas penghuni lain menyatu dengan dengung kipas tua.Elan tidak langsung berbaring.Ia duduk di tepi ranjang besi, telapak kakinya menapak lantai dingin.Ia teringat ejekan siang tadi.“Sok jadi seniman.”Dulu, kalimat seperti itu akan ia balas. Dengan sindiran. Dengan pembelaa

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 133.

    Tidak semua perubahan datang dengan perasaan ingin diakui.Sebagian hanya berupa keputusan kecil yang diulang—lagi dan lagi—sampai ia berubah menjadi kebiasaan.Pagi itu, Qalesya terbangun dengan napas pendek. Tangannya refleks memegang perutnya yang semakin besar. Bayi di dalamnya bergerak, bukan tendangan kuat, lebih seperti menggeser posisi—namun cukup membuatnya meringis.“Mas…” panggilnya lirih.Wafa yang setengah tidur langsung bangun. “Kenapa?”“Pinggang aku kayak mau patah... sesak.”Wafa duduk, meraih minyak kayu putih. Tanpa banyak bicara, ia mengusap punggung Qale pelan. Gerakannya hati-hati, seperti takut menyakiti.“Sakit banget, ya?" bisiknya. “Kita napas bareng.”Qale mengangguk. Setelah beberapa saat, ia bersandar, napasnya lebih teratur. Tapi matanya berkaca-kaca.“Mas,” ucapnya tiba-tiba. “Kalau nanti aku panik pas lahiran gimana?”Wafa terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Ya kita panik bareng.”Qale tertawa kecil, meski air matanya jatuh. “Kok jawabanmu gitu sih.

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 132.

    Tidak semua perubahan datang dengan gemuruh.Sebagian hanya berupa kebiasaan kecil yang bergeser—cara seseorang menyapa, cara menunggu, cara mendengar tanpa menyela.Hasan merasakan itu pertama kali di peternakan.Pagi itu, sinar jingga menyapa dedaunan lebih lembut dari biasanya. Udara masih basah oleh embun, sapi-sapi belum seluruhnya bangun.Pekerja yang melihatnya sempat terkejut—bukan karena kehadirannya, tapi karena Hasan tidak langsung memberi perintah.Ia berdiri, mengamati.“Pak, pakan mau ditambah hari ini?” tanya seorang pekerja muda, ragu.Hasan mengangguk pelan. “Tambahin dikit. Yang kemarin kelihatan kurang lahap.”Nada suaranya datar, tidak tinggi, tidak memerintah. Pekerja itu tersenyum kecil, lalu pergi.Mbak Mun memperhatikan dari kejauhan. Ia mendekat sambil membawa kopi hitam juga camilan beserta laporan pembelian kemarin.“Tuan,” katanya, menyodorkan semuanya ke meja di bawah pohon. Tak jauh dari Hasan berdiri.Hasan tersenyum singkat. “Sehat, Mun?”"Sehat, Tuan."

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 131.

    Lorong lapas itu tidak pernah benar-benar hangat. Meski matahari kerap menerpa ruangan dari celah-celah kecil.Dindingnya pucat, langkah-langkah selalu bergema, dan waktu seperti berjalan dengan iramanya sendiri.Tapi siang itu, Hasan melangkah dengan dada yang entah kenapa terasa lebih ringan.Ia membawa dua tas. Satu berisi kebutuhan rutin. Satu lagi—lebih ringan, tapi terasa paling penting—berisi beberapa lembar cetakan foto.Petugas membuka pintu kunjungan.Lea sudah duduk di sana.Hasan sempat berhenti sebentar. Anaknya itu terlihat berbeda. Bukan karena seragam lapasnya, bukan pula karena rambutnya yang kini lebih rapi terikat. Ada sesuatu di wajah Lea—tenang, cerah, seperti seseorang yang tidak lagi terus-menerus bertanya kenapa aku di sini.“Ayah,” sapa Lea lebih dulu. Suaranya ringan, ceria. Matanya berbinar.Hasan tersenyum lebar tanpa sadar. “Nak.”Lea bangkit, mendekat, lalu memeluk ayahnya erat. Pelukan yang tidak tergesa, tidak canggung. Pelukan orang yang sama-sama bela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status