Mag-log inToko kecil itu bernama Anak Lipat—tempat croissant hangat, isian nyeleneh, dan rahasia yang belum selesai dipanggang. Qale, gadis bermata sipit sebelah dan bergigi gingsul, menyimpan luka masa lalu : dituduh jadi penyebab kematian ibu, dicap pembawa sial, dan kini… dipaksa menikah dengan pria buta dan lumpuh demi utang budi keluarga. Tapi lelaki asing itu datang membawa lebih dari sekadar cincin. Ia tahu banyak hal rahasia di masa lalu yang membuat Qale penasaran. Syaratnya satu, menikah, tapi jangan jatuh cinta. Tapi, siapa yang bisa menolak pesona si anak lipat, si pembuat croissant manis beraroma dendam.
view more"Nona, mari ikut kami.”
Qale menghentakkan kakinya, berdiri tegak menghadapi dua pria bertato yang baru saja menghadang di depan motor ojek online yang ditumpanginya. Dia baru saja keluar dari kosan, hendak ke tempat kerjanya. “Suruhan Ayah? Minggir,” jawabnya dingin, menahan amarah. Entah mengapa ayahnya kumat lagi, ikut campur di hidupnya setelah sekian tahun. Salah satu pria itu menahan stang motor. “Jangan melawan.” “Berani sentuh aku, dan aku bakal teriak!” Tangan kasar mereka mencengkeram lengan Qale. Ia meronta, berusaha melepaskan diri. Ojol motor yang dipesannya tadi langsung kabur melihat keributan. “Lepas!” pekik Qale sambil menyikut perut lelaki itu. Pria itu meringis, tapi temannya sudah menarik tubuh Qale lebih kuat lagi. Gadis itu melawan, menendang keras lutut lawannya. Dalam kekacauan itu, Qale berhasil lolos. Ia berlari di antara kendaraan, menyelinap masuk ke dalam gang kecil. Langkah cepatnya nyaris membuat terpeleset, tapi ia terus berlari tanpa menoleh. Napasnya pun ikut memburu. Beberapa menit kemudian, ia berhenti di depan halte dan naik kendaraan umum. Tak lama Qale tiba di sebuah toko kue kecil. Tempat kerjanya. Napasnya belum stabil saat ia masuk ke dalam ruang ganti. Dia melihat dua orang preman tadi dari kaca dalam toko. Mereka takkan berani mengganggu di sini, pikirnya. Meski mungil, toko kue yang dia sewa dengan sahabatnya ini lumayan ramai. Toko ~Anak Lipat spesialisasi menjual croissant berbagai isian dengan harga terjangkau. Rasa nikmat dan tidak pasaran, membuat menu andalan mereka selalu diburu pelanggan. Beberapa jam kemudian, hari mulai gelap. Qale menutup tokonya, sang kawan sedang sakit sehingga ia sendirian hari ini. Malam ini Qale terpaksa pulang. Penasaran dengan keinginan ayahnya. Dia kini berdiri kaku di depan meja makan rumahnya. Tak ada suara. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak pelan tapi menyayat. Sang ayah duduk di seberangnya. Matanya tajam, mengamati Qale tanpa berkedip. “Masih demen ngelawan. Sejak kapan dagangan bodohmu itu lebih penting dari Ayah?” Qale menegakkan dagunya. Matanya menatap dingin. “Aku kerja karena aku ingin hidup, Yah. Aku nggak minta uang dari Ayah. Jadi jangan hina kerjaanku,” tegasnya sambil mengepal jari di sisi tubuh. “Tukang kue! Bikin malu! ... Pekan depan ada kerabat lama mau liat kamu. Mereka nagih janji konyol yang dibuat ibumu itu," ucap Ayah Qale sinis. “Kenapa aku?” suara Qale pecah. “Bukannya kakak yang akan menikahinya?" sanggahnya menatap nanar. Drama apalagi ini? Hening. Sang ayah hanya memandangi Qale tanpa berkedip, membuat Qale seolah memiliki kekuatan membantah lagi. "Aku nggak mau. Kakak saja!" "Dia akan menikah dengan kekasihnya." Qale menyeringai, melihat sekeliling, merasa lucu dengan kalimat ayahnya. "Lalu aku yang dikorbankan? ... Kakak itu bisa melakukan banyak hal, Yah! Percaya padaku sekali ini saja!" Qale masih ingat, dia selalu menjadi tertuduh atas segala kekacauan. Dia sering melihat kejanggalan bahwa kakaknya seolah berpura-pura menjadi gadis cacat. Sempat menyelidiki tapi entah mengapa dirinya selalu sial, entah karena sang kakak selalu dibela ayah atau ada setan yang membantunya. "Dia cacat, Qale!" sentak sang ayah. "Siapa yang mau menikahi kakakmu jika bukan kekasihnya? Yang kondisinya serupa!" Qale terdiam. Dari dulu, sejak kejadian itu, sang ayah tak pernah percaya padanya. "Ayah bahkan nggak pernah mau dengerin aku!” Sebuah napas berat terdengar dari seberang meja. Tapi tak ada jawaban. Hanya keheningan. Dinginnya malam seolah menelannya. Qale berbalik. Melangkah ke kamar, menutup pintu tanpa suara. Tapi tubuhnya roboh begitu begitu pintunya terkunci. Ia terduduk di lantai. Isaknya pecah dengan tangan yang membungkam mulutnya sendiri. ["Tuhan, kalau beneran aku bawa sial dan hanya duri di hidup Ayah. Utuslah Izrail, tapi aku pengen mati di toko sambil ngopi dan makan croissant dulu."] batinnya lelah. Tapi malam itu, seperti biasa, tak ada pelukan. Tak ada jawaban. Qale terbangun, dia tertidur di tempat tadi. Wajahnya setengah basah. Dan dia menangis lagi. Dadanya masih terasa sesak. Seperti ada yang menghimpit. Kepalanya mulai berdenyut. Ingatan lamanya kembali datang. Dia bangkit perlahan, meraih foto ibunya di nakas. Mengusapnya getir. "Ibu kenapa mati konyol sih?" lirih Qale. ["Ada bangkai di sini!"] ["Nyonya ditemukan!"] Itu saja yang bisa ia ingat. Tapi tak ada yang pernah menjelaskan. Ayahnya selalu bungkam. Selalu dingin. Qale lalu berwudhu. Ia duduk di sisi ranjang, membuka mushaf milik ibunya dan mulai membaca perlahan. Keesokan pagi, dia mencari sang ayah, hendak pamit pulang ke kos. Meski satu kota, semenjak lulus SMK, Qale memilih tinggal terpisah. Berbekal keterampilan dan resep andalan ibunya, dia dipercaya oleh orang tua sahabatnya membuka toko kue. Dari sana, dia bisa kuliah meski di universitas terbuka di akhir pekan. "Sudah 4 tahun berlalu, masih saja begini." Qale akhirnya pergi tanpa pamit. "Gimana kalau aku wisuda? Masa mau sewa ortu palsu sih? ... Padahal aku pengen viral, diantar wisuda naik sapi," kekehnya saat ojol pesanannya datang. Keseharian Qale berkutat membuat adonan pastry di toko yang diberi nama "Anak lipat" bagai kisah hidupnya yang terlipat-lipat oleh harapan dan tekanan keluarga. Menu di toko mereka kebanyakan nyeleneh, hasil pemikiran Qale dari adaptasi hidupnya. Membuat toko kecil itu seketika trending di kalangan teman-temannya, dari satu kampus ke kampus lain. Malam itu, toko sudah sepi. Qale duduk di lantai belakang sebelum pulang, memeluk lututnya sambil menatap layar ponsel. Notifikasi terus berdentang. Grup alumni, grup kampus, DM Instagram—semuanya ramai. Temannya dari jurusan Marketing mengirim pesan : “Qale... kamu kuat, ya?” Disusul link video pendek. Tangannya gemetar saat menekan tautan. Video itu bukan sembarang video. Rekaman kabur dari tahun-tahun lalu. Seorang wanita ditemukan tergeletak, tubuhnya setengah tenggelam di kolam dekat rumah lama mereka. Orang-orang berteriak. ["Ada bangkai di sini!"] ["Nyonya ditemukan!"] Suara-suara itu menghantam dadanya. Ingatan samar berkelebat—air, teriakan, kain putih, dan tangan ayahnya yang menariknya menjauh waktu itu. Caption video: [“Anak durhaka yang menyebabkan ibunya bunuh diri? Kini jualan croissant nyeleneh. Aib keluarga!”] Qale membeku. “Siapa yang nyebarin ini?” gumamnya, matanya memerah. Ia membuka komentar. Ratusan. Ribuan. Beberapa membela, tapi lebih banyak yang menyalahkan. “Cocok, muka pembawa sial.” “Lagi viral, nih. Anak lipat, lipat dosa juga.” Nafasnya memburu. Ia bangkit mengintip dari celah jendela toko yang tertutup. Memastikan tidak ada yang menguntitnya. “Kenapa baru muncul sekarang?” desisnya. Di tengah kekalutan, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia angkat, berharap seseorang akan menjelaskan. Tapi yang terdengar hanya suara berat dan pelan. Seolah bicara dari balik kain basah. "Nikmati satu per satu karmamu." Klik. Sambungan terputus...Malam turun perlahan di atas tembok tinggi lapas.Di dalam sel bernomor 27, Lea duduk di ranjang sempitnya. Angin dari jendela kecil meniup ujung rambut pendeknya, membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi.Di pangkuannya, kertas putih terlipat rapi. Pena hitam di tangannya sempat ragu menari, tapi akhirnya bergerak pelan.Tulisan pertama muncul:“Untuk Deni, suamiku.”Lea menarik napas panjang. Setiap huruf yang ia tulis terasa berat, tapi juga menenangkan.“Aku sudah lihat lukisanmu. Dari ayah.Aku tahu kita merindu—karena tembok ini, tapi karena ingatanku terpaku padamu.""Aku baik-baik saja. Cukup mengingat kalau cintamu pernah menyelamatkanku sekali, waktu aku nyaris gak punya alasan buat bertahan.”Lea berhenti menulis. Air matanya jatuh di atas kertas, meninggalkan noda kecil. Ia tersenyum samar, menatap langit hitam di luar jeruji.“Aku pikir kebahagiaan itu tentang bebas.Tapi ternyata, bebas itu tentang hati yang tenang. Terima kasih sudah ngajarin aku mencintai lagi.”
Gerimis makin rapat saat mereka meninggalkan pemakaman.Bakar masih diam, menatap jalanan basah di depan. Ria di sebelahnya, memeluk tas kecil di pangkuan, matanya sesekali menatap jendela yang dipenuhi titik-titik hujan.Radio memutar sisa lagu ~So Far Away, tapi kini suaranya terdengar lebih tenang.“Bapak lebih tenang,” ucap Ria akhirnya, pelan.Bakar menoleh sekilas, bibirnya bergerak membentuk senyum tipis. “Kadang yang bikin berat,” katanya pelan, “rasa bersalah yang belum selesai.”Ria mengangguk pelan. “Kalau gitu … terima kasih udah ngajak aku ke sana, Pak. Aku jadi ngerti sesuatu.”“Ngerti apa?”“Bahwa kadang, luka yang gak disembuhin bisa bikin kita nyakitin orang yang gak salah.”Bakar terdiam. Matanya masih ke depan, tapi rahangnya sedikit mengeras.“Termasuk kamu?” tanyanya datar, nyaris seperti gumaman.Ria tak menjawab. Hanya senyum kecil di ujung bibirnya yang seolah berkata ya, tapi aku udah gak marah lagi.Mobil terus melaju, menyisakan keheningan yang aneh—bukan di
Lea mendengus kesal. “Aku hanya…”Ia menarik napas panjang, menahan sesuatu di dadanya. “Aku hanya ingin Ayah percaya … bahwa aku gak lagi jadi orang yang sama.”Suara itu pelan, tapi menggigit.“Aku tahu aku salah. Aku nyakitin banyak orang, termasuk Ayah … tapi bukan berarti aku gak bisa berubah.”Hasan menatap putrinya lama. Ada sorot ragu, tapi juga iba yang ditahannya sejak lama.“Ayah gak pernah berhenti pengin percaya, Lea,” ucapnya tenang. “Tapi percaya itu bukan sesuatu yang dikasih. Itu harus kamu buktiin.”Lea menunduk, mengusap wajahnya cepat-cepat. “Aku cuma takut gak sempat buktiin, Yah.”Hasan tersenyum tipis, tapi penuh getir. “Masih ada waktu, Nak. Selama kamu gak menyerah sama dirimu sendiri.”Sunyi.Suara jam dinding terdengar jelas, diikuti derit halus kursi yang bergeser.“Ayah…” panggil Lea pelan.Hasan menatapnya lagi.“Aku cuma pengin dianggap manusia lagi,” ucap Lea, kali ini hampir berbisik. “Bukan kesalahan yang selalu diingat.”Hasan memejamkan mata sejenak
Sore itu toko tutup lebih cepat. Ria membereskan loyang dan adonan yang belum sempat diolah.Rini sudah pulang, menyisakan aroma roti setengah matang yang tertinggal di udara.Telepon dari Nadia baru masuk menjelang magrib."Gimana Nad?" tanya Ria cemas. Nadia sempat ikut menyusul ke rumah sakit dengan motornya tadi.“Udah aman, kata dokter cuma kontraksi ringan. Tapi harus banyak istirahat,” ucapnya lega.Ria mengembuskan napas panjang, duduk di kursi dekat pintu.Syukurlah.Tapi di sela lega itu, ada rasa lain yang menghantui, apakah usulnya soal perekrutan tadi bikin Qalesya kepikiran?Suara langkah sepatu terdengar tepat kala pintu terbuka. Bakar baru datang, menenteng plastik berisi minuman.“Aku kira kamu udah pulang,” katanya datar sambil meletakkan satu botol di depan Ria.“Lagi nunggu kabar, Pak,” jawab Ria pelan.“Qale udah baikan. Aku barusan dari rumah sakit.”“Oh…” Ria menunduk. “Syukurlah.”Hening beberapa detik. Hanya bunyi kipas angin yang berputar lambat.“Kamu tadi p
Keesokan siang, udara toko terasa menggoda oleh aroma butter dan adonan croissant yang baru keluar oven.Ria sibuk di dapur dengan Rini. Nadia di depan berdua dengan Qalesya. Pemilik Anak Lipat itu menghindari memegang butter, mual katanya.Bakar baru datang dengan Wafa. Dia langsung ke belakang, matanya tak lepas dari gerak-gerik Ria.Terlebih setelah pria kemarin, datang lagi ke toko. Kebetulan Ria ke depan membawa baki croissant untuk dipajang di etalase.Pria itu menghampiri Ria. Bakar melihatnya tersenyum yang entah kenapa terasa menyebalkan di matanya.Ria berbicara seperlunya. Pelan dan tetap sopan. Namun bagi Bakar, caranya tersenyum tipis saja sudah cukup membuat dadanya terasa aneh.Begitu pria itu pamit, Bakar langsung melangkah mendekati Ria yang sedang beres-beres meja stainless.“Dia mantanmu?” tanyanya datar.Ria berhenti mengelap meja. “Kenapa, Pak?”“Ngajak balikan?” lanjutnya. Nada suaranya tenang, tapi matanya menyimpan bara kecil yang tak bisa disembunyikan.Ria me
Tiga hari sudah, Ria dan Bakar nyaris tak bertukar sapa.Suasana toko jadi canggung. Bakar tetap datang dengan Wafa seperti biasa, di jam makan siang. Tapi tanpa berani bersitatap dengan Ria langsung.Ria, di sisi lain, menenggelamkan diri dalam pekerjaan, berusaha seolah semuanya baik-baik saja.Namun, setiap kali mereka berpapasan di dapur yang sempit, jantungnya berdegup aneh karena bingung harus bersikap bagaimana.Qalesya memperhatikan keduanya sejak pagi.Ketika melihat Ria menghela napas kesekian kalinya di depan oven, ia langsung memutuskan sesuatu.“Kak Ria, nanti tolong antar pesanan buat Bu Widya ya. Sekalian bantu cek nota,” katanya santai. "Aku bisa antar, Nyah. Bos nggak ada jadwal siang ini," ujarnya menyambar ucapan Qale.“Oke." Qale mengangguk."Aku bisa sendiri, Kak,” potong Ria cepat.“Musim hujan. Daripada pake motor 3 roda atau ojol, sama aja kan diantar Pak Bakar,” jawab Qale lembut, tapi tegas.Bakar hanya mengangguk pelan.Ria tidak membantah lagi, meski ekspr






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments