LOGINToko kecil itu bernama Anak Lipat—tempat croissant hangat, isian nyeleneh, dan rahasia yang belum selesai dipanggang. Qale, gadis bermata sipit sebelah dan bergigi gingsul, menyimpan luka masa lalu : dituduh jadi penyebab kematian ibu, dicap pembawa sial, dan kini… dipaksa menikah dengan pria buta dan lumpuh demi utang budi keluarga. Tapi lelaki asing itu datang membawa lebih dari sekadar cincin. Ia tahu banyak hal rahasia di masa lalu yang membuat Qale penasaran. Syaratnya satu, menikah, tapi jangan jatuh cinta. Tapi, siapa yang bisa menolak pesona si anak lipat, si pembuat croissant manis beraroma dendam.
View MoreLangit sore sudah bergeser ketika mereka akhirnya tiba di rumah.Qalesya tidak langsung masuk kamar. Ia duduk sebentar di sofa ruang tengah, melepaskan sepatu pelan, seperti orang yang baru selesai menempuh perjalanan jauh—padahal jaraknya tidak seberapa.Wafa memperhatikannya dari belakang, tidak bertanya, tidak mendesak. Ia hanya melepaskan dasi dan meletakkan di meja, lalu mendekat.“Kamu mau langsung rebahan?” tanyanya pelan.Qale mengangguk kecil. “Iya.”Wafa memapah ke kamar, Qale berbaring setengah duduk seperti biasa. Bantal bertumpuk di punggungnya, kaki sedikit ditekuk, satu tangan bertengger di perut. Wafa menarik selimut tipis, menyelimutinya sampai sebatas pinggang.Ia duduk di sisi ranjang. Baru bertanya setelah istrinya nyaman.“Seharian tadi… ada yang ganggu pikiranmu?”Nada suaranya datar, hati-hati. Tidak seperti menginterogasi.Qale menoleh pelan. Tatapannya ragu, seolah sedang menimbang—perlu cerita atau tidak.“Enggak,” jawabnya cepat.Wafa tidak menanggapi. Ia ha
Langit siang itu tidak mendung, tidak juga cerah—hanya berawan biasa.Qalesya melangkah perlahan di antara nisan-nisan yang berjajar rapi. Bau tanah basah masih tersisa, meski hujan terakhir turun dua hari lalu. Ia berhenti di satu titik yang sudah ia hafal letaknya, bahkan tanpa melihat nama.Rahayu.Ia duduk pelan di tepi makam. Mengatur napas. Tangan kanannya refleks mengusap perut, seolah mencari keseimbangan.Dewi tidak ikut mendekat. Ia memilih duduk beberapa meter di belakang, di bawah pohon kamboja kecil. Cukup dekat untuk berjaga, tidak ikut masuk ke ruang sunyi yang sedang Qale nikmati sendiri.“Bu…” suara Qalesya lirih. Hampir seperti berbisik pada tanah.Ia tersenyum kecil, senyum yang lebih mirip kebiasaan daripada bahagia.“Aku kok gampang capek ... Apalagi hari ini.”Kalimat itu keluar begitu saja. Tidak puitis. Tidak sok kuat. Tapi jujur.Matanya menatap nisan tanpa berkedip. Angin menyapu ujung rambutnya pelan.“Aku ketemu dosen pembimbing,” lanjutnya. “Revisinya bany
Di lapas lain, Elan berdiri canggung di depan papan pengumuman.“Unit dokumentasi… dapur… administrasi.”Pak Surya berdiri di sampingnya. “Milih itu bukan soal gengsi. Tapi soal kamu mau bertahan di mana.”Elan mengangguk. “Saya coba dokumentasi, Pak.”Hari pertama, ia salah menyimpan arsip. Hari kedua, ia ditegur karena foto blur. Hari ketiga, seorang napi mengejek, “Sok jadi seniman.”Elan menelan ludah. Dadanya panas. Tapi ia ingat wajah Mama Danisha.[Supaya kemarahanmu tidak tumbuh jadi kebencian.]Malam itu, ia duduk di ranjang besi, memandang dinding."Mungkin hidupku belum bermakna," pikirnya."Tapi aku masih di sini. Dan itu berarti masih ada kesempatan."Malam itu, setelah lampu sel dipadamkan, suara napas penghuni lain menyatu dengan dengung kipas tua.Elan tidak langsung berbaring.Ia duduk di tepi ranjang besi, telapak kakinya menapak lantai dingin.Ia teringat ejekan siang tadi.“Sok jadi seniman.”Dulu, kalimat seperti itu akan ia balas. Dengan sindiran. Dengan pembelaa
Tidak semua perubahan datang dengan perasaan ingin diakui.Sebagian hanya berupa keputusan kecil yang diulang—lagi dan lagi—sampai ia berubah menjadi kebiasaan.Pagi itu, Qalesya terbangun dengan napas pendek. Tangannya refleks memegang perutnya yang semakin besar. Bayi di dalamnya bergerak, bukan tendangan kuat, lebih seperti menggeser posisi—namun cukup membuatnya meringis.“Mas…” panggilnya lirih.Wafa yang setengah tidur langsung bangun. “Kenapa?”“Pinggang aku kayak mau patah... sesak.”Wafa duduk, meraih minyak kayu putih. Tanpa banyak bicara, ia mengusap punggung Qale pelan. Gerakannya hati-hati, seperti takut menyakiti.“Sakit banget, ya?" bisiknya. “Kita napas bareng.”Qale mengangguk. Setelah beberapa saat, ia bersandar, napasnya lebih teratur. Tapi matanya berkaca-kaca.“Mas,” ucapnya tiba-tiba. “Kalau nanti aku panik pas lahiran gimana?”Wafa terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Ya kita panik bareng.”Qale tertawa kecil, meski air matanya jatuh. “Kok jawabanmu gitu sih.












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews