Ibu melihat Melodi. "Tapi apa? Bicara itu yang jelas."
Melodi garuk-garuk kepala tidak gatal dengan hati bicara sendiri. "Apa yang harus aku katakan pada Ibu? Aku tidak tega."Ibu melempar tisu pada putrinya. "Ditanya malah bengong!"Untuk menghindari pertanyaan Ibu selanjutnya, Melodi buru-buru pergi. "Aku kebelet pipis.""Dasar bocah, bicara tidak ada jelasnya." Ibu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat putrinya masuk ke dalam kamar......Di tempat lain, lebih tepatnya di depan gedung pencakar langit, Cleon dengan langkah tegas memasuki gedung miliknya, perusahaan besar yang diwariskan kedua orangtuanya, VP Corp."Selamat siang Pak." Sekretaris pribadinya langsung datang menyambut ketika Cleon baru saja ke luar dari lift yang hanya dikhususkan untuk dirinya seorang."Ada meeting apa hari ini? Kamu mengganggu saja! Apa tidak bisa kamu sendiri yang menangani?!" Cleon terlihat kesal melihat sekretarisnya sambil melangkah menuju ke ruangannya.Gloria menghela napas, raut wajah Cleon yang sedang kesal membuatnya harus lebih berhati-hati dalam berbicara."Di mana David?!" tanya Cleon menanyakan sahabat sekaligus tangan kanannya."Saya tidak tahu di mana Pak David. Dari tadi saya coba menghubunginya tidak tersambung, ponselnya mati," jawab Gloria.Cleon menghempaskan tubuhnya di kursi kebesarannya. "Pasti dia sedang berenang di atas perut wanita.""Siapa yang sedang berenang di atas perut wanita?" Orang yang dibicarakan tiba-tiba masuk, David.Cleon melihat David. "Darimana loe?! Gue pecat baru tahu rasa loe! Masuk kantor seenak perutmu!""Silahkan pecat kalau berani!" Tantang David. "Semua rahasia loe ada di tangan gue.""Loe ngancam gue?!""He-he-he. Terserah loe mau menilainya apa." David langsung duduk di sofa yang ada di sudut ruangan."Jam berapa kita meeting?" tanya Cleon melihat Gloria."Sebentar lagi Pak." Gloria melihat jam tangannya."Siapkan semua berkasnya! Jangan sampai ada yang tertinggal!""Iya Pak." Gloria segera pergi dari ruangan Bosnya.Cleon mendekati David. "Darimana saja loe? Kerja kabur mulu!""Habis olahraga gue."Cleon langsung duduk disebelah David. "Olahraga Mbahmu! Cewek mana yang loe tiduri?!""Cewek yang semalam," jawab David tersenyum mesum.Cleon mengernyitkan alisnya. "Gila loe! Gue pikir kagak berlanjut ke atas ranjang. Itu cewek bempernya gede banget."David tertawa terbahak. "Ha-ha-ha. Permainan ranjangnya luar biasa. Gue hampir kewalahan. Gila, gila! Servicenya luar biasa.""Pantas loe datang ke kantor terlambat ternyata loe terkapar di ranjang. Ha-ha-ha. Kena penyakit kelamin baru tahu rasa loe!""Loe pikir gue bego, tidur dengan sembarang cewek! Gue juga pilih-pilih kali," jawab David."Baguslah kalau loe tahu itu! Jangan sampai loe terkena penyakit kelamin, masa depanmu bisa terancam." Cleon bangun dari duduknya ketika Gloria masuk."Semua sudah siap Pak," ucap Gloria. "Kita ke ruang meeting."Cleon merapikan penampilannya, begitu juga dengan David. Jika sedang berdua, Cleon dan David memang seorang sahabat yang bisa bicara bebas selayaknya seorang teman, tapi jika sedang bersama orang lain, David harus menjaga wibawa seorang Cleon Helios Lewis karena biar bagaimana pun, Cleon adalah atasannya. Pemilik VP Corp yang tentunya disegani orang banyak yang harus dijaga kharismanya.....Ditempat lain, di sebuah kota yang jauh dari Ibukota di dalam apartemen yang tidak begitu mewah. Duduk seorang gadis di depan balkon dengan tangan memegang segelas air putih."Selamat siang, sayangku." Seorang pria baru saja datang langsung memeluknya dari belakang."Kamu membuatku kaget, Brian." Hanya dengan melihat tangannya, sudah tahu siapa yang memeluknya.Brian semakin erat memeluk pinggang wanita itu. "Sedang apa di sini? Udara begitu dingin. Nanti kamu sakit, Clara."Clara melepaskan pelukan Brian, membalikkan tubuhnya, menatap dalam iris mata Brian. "Aku ingin pulang."Beberapa detik Brian terdiam. "Pulang? Kenapa?""Aku tidak betah tinggal di sini," jawab Clara. "Sudah cukup lama kita di sini. Aku rindu kampung halamanku."Brian terdiam, ditatapnya dalam iris mata wanita yang telah berhasil mencuri hatinya."Aku mohon Brian. Kali ini saja, penuhi keinginanku untuk pulang," ucap Clara memelas."Bukankah kamu tahu resikonya jika kita pulang?""Aku tahu, sangat tahu. Nyawa kita taruhannya," jawab Clara pelan membuang muka. "Tapi keinginanku untuk pulang, jauh lebih besar dari itu semua."Brian menghela napas. "Apa kamu sudah bosan denganku?"Clara menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, aku tidak bosan padamu. Tidak mungkin aku bosan denganmu.""Lalu? Kenapa kamu ingin pulang?! Padahal kamu tahu resikonya apa, jika kita menginjakkan kaki di kota yang sama dengan seorang Cleon Helios Lewis, nyawa kita taruhannya!"Clara menunduk. "Aku tahu Brian, tapi ... tapi ...."Brian menyisir rambutnya dengan sepuluh jarinya ke belakang. "Tapi apa?! Kamu mencari mati, Clara!"Clara terdiam membisu, tidak berani bicara begitu melihat Brian sudah mulai kesal."Sekarang jawab pertanyaanku! Apa kamu ingin pulang karena melihat ini?!" Brian tiba-tiba mengambil majalah yang ada di atas meja kemudian melemparkannya ke tubuh Clara. "Apa karena Cleon Helios Lewis?!"Majalah yang dilempar jatuh tepat di kaki Clara, seraut wajah tampan mantan kekasihnya nampak tersenyum lebar dibagian sampul."Apa karena itu? Jawab!" bentak Brian marah menatap tajam wajah Clara yang tertunduk.Perlahan Clara mengambil majalah yang ada dibawah kakinya. "Aku ingin pulang tidak ada hubungannya dengan Cleon.""Bulshit! Matamu tidak bisa berbohong, kamu masih mencintainya! Jawab!" Brian benar-benar emosi."Aku berani bersumpah Brian, aku hanya ingin pulang." Clara mencoba menenangkan. "Ini tidak ada hubungannya dengan Cleon. Aku meninggalkan Cleon demi kamu, apa kamu tidak menyadari dengan apa yang telah aku lakukan?""Itu kamu tahu lalu kenapa ingin pulang?" tanya Brian mulai tenang.Clara menghela napas, gelas yang masih dipegangnya disimpan di atas meja bersama dengan majalah kemudian meminta Brian duduk bersamanya. "Kemarilah aku ingin bicara denganmu."Dengan malas, Brian mengikuti kemauan Clara sambil melonggarkan dasi yang melingkari lehernya."Brian, jangan pernah meragukan cintaku padamu. Aku bahkan rela meninggalkan Cleon demi dirimu. Kamu tahu itukan?" tanya Clara."Iya, aku tahu. Lalu?""Jadi cemburumu itu menurutku tidak masuk akal. Aku ingin pulang karena ...." Clara tidak melanjutkan kalimatnya, ragu."Karena apa?"Clara menatap wajah Brian. "Karena aku rasa kehidupan kita di sini suram."Brian mengernyitkan alisnya. "Suram? Apa maksudnya suram?""Lihatlah keadaan kita Brian. Tidak ada yang bisa kita banggakan. Kamu bekerja hanya cukup untuk kita makan. Semua uang tabunganku sudah habis, begitu juga dengan semua perhiasan yang Cleon berikan dulu, semuanya telah habis kita jual untuk memenuhi kebutuhan kita."Brian terdiam, apa yang dikatakan Clara memang benar."Kalau kita tetap seperti ini, hidup kita tidak ada kemajuan. Aku tidak mau itu," sambung Clara. "Biaya hidupku mahal, alat make up aku saja harganya setengah dari gaji kamu. Maka dari itu, aku ingin pulang. Di sini mencari pekerjaan untukku sangat sulit.""Lalu?""Aku ingin pulang, memulai lagi karirku dari awal sebagai model," jawab Clara.Brian menyandarkan tubuhnya, kepalanya mendadak jadi pening. "Kamu tahu resikonya kita pulang?""Iya, aku tahu," jawab Clara pelan. "Sebisa mungkin hindari Cleon dan orang-orang yang dekat dengannya, maka hidup kita akan aman.""Entahlah." Brian bangun dari duduknya kemudian masuk ke dalam kamar mandi.Clara mengambil majalah yang ada di atas meja, dipandanginya wajah Cleon yang ada disampul. "Kamu tidak pernah berubah Cleon masih tetap tampan. Apa sekarang sudah ada wanita lain yang menggantikan aku di hatimu?"Melodi memutar tubuhnya di depan cermin, senyum lebar tak pernah lepas dari bibirnya ketika melihat dress yang sedang dipakainya begitu cocok dengan tubuh kecil mungilnya. "Pasti yang memilih baju ini bukan si manusia es, mana mungkin dia mau bersusah payah membeli baju," ucap Melodi sendiri."Baju yang Nona pakai itu, Tuan Cleon sendiri yang memilihnya," terdengar suara lembut seorang wanita dari belakang tubuh Melodi.Tubuh Melodi langsung berbalik melihat ke belakang. "Sejak kapan Nyonya ada di sini?!" tanyanya."Sejak Nona mulai bicara sendiri," jawabnya. "Jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Bibi."Melodi sejenak menatap wajah wanita itu. "Bibi bekerja di sini?!""Iya, bahkan Bibi yang mengasuh Tuan muda dari kecil," jawabnya tenang disertai senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. "Nona pasti gadis yang sangat spesial buat Tuan muda karena baru kali ini membawa seorang wanita ke rumah ini.""Eh, tidak, tidak!" Melodi menggelengkan kepalanya. "Bibi jangan salah paham. Saya
Melodi yang dipanggil oleh Bos besarnya, tapi Mang Sugeng yang terlihat khawatir. "Non Melodi, cepat masuk ke dalam mobil. Nanti Tuan marah."Melodi malah mendekati Mang Sugeng, kemudian berbisik, "sebenarnya, aku takut ikut dengan Bos.""Takut?!" tanya Mang Sugeng bingung. "Takut kenapa?!""Sst," Melodi menutup bibir mungilnya dengan jari telunjuk. "Jangan kencang-kencang ngomongnya, nanti Bos bisa dengar," bisiknya."Kenapa harus takut?" bisik Mang Sugeng heran. "Tuan Cleon bukan orang jahat.""Masa Mang Sugeng tidak mengerti! Aku dan Tuan besarmu itu berlainan jenis," jawab Melodi. "Mang Sugeng pahamkan?!"Berapa detik Mang Sugeng diam, mencerna ucapan Melodi, tak lama kemudian manggut-manggut. "Maksud Non Melodi, karena kalian berdua ini berlainan jenis jadi Non Melodi takut.""Pinter!" Melodi tanpa sadar memukul tangan Mang Sugeng. "Itu mengerti.""He-he," Mang Sugeng terkekeh sambil mengelus bagian tangan yang dipukul Melodi. "Jangan takut Non, Tuan tidak seperti itu," bisik Man
Intan masuk kembali ke dalam apartemennya. Walaupun Kevin telah pergi, tapi perasaan takut masih membayangi. "Semoga bocah sialan itu tidak datang lagi! Mengganggu kenyamanan ku saja. Brengsek!" Intan menggerutu sendiri.DREET!DREET!Ponsel di atas nakas bergetar. "Siapa yang meneleponku?!" tanya Intan pada diri sendiri langsung melihat layar ponselnya. "Astaga! Bocah tengil itu lagi!" Ponsel langsung dilempar ke atas kasur. Intan berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya yang kusut dan terlihat pucat. Berapa menit kemudian, Intan mengganti bajunya dan berdandan. "Sebaiknya aku ke luar menemui Brian! Sedang apa dia sekarang?!" Intan lalu melihat jam tangannya. "Tapi, apa Brian ada di kantor?!"....Melodi dan Cleon baru saja selesai meeting membahas beberapa tender yang telah berhasil mereka menangkan bersama para direktur utama."Bos," panggil Melodi kerepotan memegang tas kerja dan beberapa berkas yang ada di tangannya, langkahnya begitu tergesa-gesa untuk mengimbangi langka
"Apa kau tuli?!" tanya Kevin sarkas. "Kau pikir aku bodoh, percaya pada wanita murahan sepertimu!"Mendengar apa yang dikatakan Kevin, detik berikutnya Intan mengusir Kevin ke luar dari apartemennya. "Ke luar! Cepat ke luar!" Kevin bukannya pergi seperti yang Intan inginkan, kakinya malah semakin mendekat. "Berani kau mengusirku dari sini!"Tanpa berpikir panjang, Intan segera membuka pintu apartemennya lebar-lebar. "Ke luar!" Ucapnya galak menatap tajam pada Kevin dengan tangan mengarahkan ke luar pintu.Wajah Kevin berubah beringas. "Berani kau mengusirku, wanita murahan!" "Ke luar!" Bentak Intan lebih keras.Kedua tangan Kevin mengepal di sisi kiri dan kanan tubuhnya. "Layani aku dulu, baru aku akan pergi dari sini!"Dada Intan naik turun menahan marah. "Aku tak sudi melayani nafsu gilamu itu! Pergi kau dari sini!"Kevin melangkah mendekat, berdiri dengan sombongnya di depan Intan. "Wanita murahan! Kau pikir siapa dirimu sampai berani-beraninya mengusirku dari sini! Kau hanya sam
Waktu terus berlalu, Lastri sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Menurut Dokter, tidak ada luka parah dibagian kepalanya, hanya sedikit luka robek dibagian kulit kepala. "Syukurlah, Lastri baik-baik saja," ucap Melodi. "Aku sudah sangat cemas dengan keadaannya," Melodi menatap wajah Lastri yang kepalanya diperban dibagian kening melingkar ke belakang. "Kamu sudah menghubungi keluarganya?!" tanya Cleon masih setia menemani sekretaris pribadinya tersebut."Ya ampun, aku lupa!" Melodi segera mengambil ponsel, tapi detik berikut wajahnya jadi berubah kesal. "Batreinya habis. Bagaimana ini?!""Pakai ini," Cleon memberikan ponselnya. Melodi sedikit ragu. "Tidak, tidak usah Bos! Biar aku charger saja ponselku sebentar.""Butuh berapa menit untuk charger ponsel? Kamu ini, dikasih yang mudah malah cari yang susah," ujar Cleon. "Tapi ...," Melodi garuk-garuk kepala tak gatal, tidak enak rasanya harus memakai ponsel yang sama sekali tidak pernah disentuh orang lain."Mau pakai tidak?!" Cleo
Sejenak Melodi terdiam melihat perubahan wajah Lastri, rasanya ingin bertanya tapi waktu sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor. "Lastri, ini kartu namaku!" Melodi mengambil kertas hitam kecil dengan tulisan warna silver dari dalam tasnya langsung diberikan pada Lastri. "Telepon aku jika kamu perlu bantuanku." "Iya," jawab Lastri singkat dan begitu datar menerima kartu nama dari tangan Melodi."Baiklah, aku harus segera pergi ke kantor. Maaf, aku tidak bisa berlama-lama," ucap Melodi tidak enak hati meninggalkan Lastri, tapi kewajibannya sebagai seorang pegawai harus membuatnya pergi. "Jangan lupa, telepon aku!"Lastri menganggukan kepala, tersenyum menatap Melodi. "Semoga kamu sukses!""Iya, terima kasih! Kamu juga," jawab Melodi memeluk Lastri.Selesai saling berpelukan, Lastri pamit meninggalkan Melodi. "Aku harus menyeberang lagi, arah jalanku ke sana," tunjuk Lastri ke arah berlawanan. "Iya, hati-hati!" ucap Melodi melihat punggung Lastri yang berjalan pergi menjauh. "By
Brian tidak bisa berbuat apa-apa. "Baiklah, ini mungkin hukuman yang harus aku terima," gumam Brian lirih. "Tapi asal kamu tahu, aku sangat mencintai mu." Baju yang berserakan di lantai segera Brian pungut begitu kakinya melangkah masuk ke dalam kamar. Satu per satu dimasukkan ke dalam koper. "Tak kusangka, aku dan Clara akan berakhir seperti ini." Selesai semua, Brian segera menarik kopernya ke luar."Clara," panggil Brian mengetuk pintu kamar berharap wanita yang telah bersamanya bertahun-tahun akan membukakan pintu agar bisa berpamitan. "Clara!" Sepi, tidak ada jawaban. Clara yang berada di dalam kamar tidak menjawab apalagi membuka pintu."Clara," panggil Brian menatap daun pintu yang tertutup. "Aku pergi, jaga dirimu baik-baik. Jika kamu perlu bantuanku, jangan sungkan untuk menghubungi ku. Clara, maafkan aku!"Masih tidak ada jawaban, akhirnya Brian memutuskan untuk pergi ke luar dari apartemen yang baru beberapa bulan ditempati bersama Clara setelah bertahun-tahun pergi berse
Dengan antusias, Clara melihat bagian belakang jam tangan yang sedang dipegangnya. Mata merah sembab yang telah kering dengan air mata seketika tergenang lagi dengan air mata, kedua kakinya seakan tidak bertulang dan bertenaga, sangat lemas, bahkan kedua tangan yang sedang memegang jam tangan pun langsung gemetaran ketika melihat ukiran inisial nama yang khusus dirancangnya sendiri terpampang manis begitu indah."A-apa maksudmu?!" tanya Brian gugup lalu dengan cepat mengambil jam tangan dari tangan Clara. "Inisial apa?! A-aku tidak mengerti."Air mata Clara perlahan jatuh kembali membasahi pipi kemudian melihat Brian dengan tatapan kosong. "Kenapa? Kenapa kamu mengkhianati ku?!" bisiknya lirih. "Apa salahku? Apa kamu sudah tidak mencintai ku lagi?!"Brian melihat sebuah inisial nama. "Ini ... ini ...," Seketika itu juga tubuh Brian langsung lemas, bingung harus memberikan alasan apa atau bersandiwara apalagi, bukti kuat bahwa memang itu jam tangannya sekarang ada di depan mata, di da
Brian melangkahkan kakinya menuju lift yang akan membawa ke lantai di mana apartemennya berada. Wajah khawatir diselimuti ketakutan nampak sangat jelas terlihat "Alasan apa yang harus aku katakan pada Clara?" gumamnya sendiri.TING!Pintu lift terbuka, Brian menghela napas sebelum melangkah ke luar berharap rasa takut yang ada dalam dirinya bisa hilang bersama hembusan napasnya.Pintu apartemen hanya Brian pandangi sebelum menekan beberapa sandi untuk membuka pintu. "Semoga tidak terjadi perang dunia."Langkah kaki Brian begitu berhati-hati ketika memasuki apartemennya. Sepi, tidak ada Clara apalagi orang lain di dalam. "Pasti dia ada di dalam kamar," gumamnya pelan perlahan melangkahkan kakinya menuju ke kamar.BLUGH!Sebuah bantal besar mendarat manis di wajah Brian begitu membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. "Laki-laki brengsek! Masih berani kau datang ke sini!" teriak Clara menatap galak dengan tangan bersiap melemparkan satu buah vas bunga yang berada di dekatnya. "Eh, eh,"